Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
A. Pemekaran Model dan Ruang Lingkup Kajian
Jika ruang lingkup keilmuan filsafat Islam sewaktu awal dikenalnya di Indonesia pada dekade 1970-an dibandingkan dengan ruang lingkup keilmuan ini pada masa sekarang, maka ditemukan banyak sekali pengembangan dan pergeseran titik tekan kajian. Perluasan dan pergeseran ini terjadi karena semakin banyak literatur filsafat Islam yang diterbitkan di Indonesia, baik yang berupa karya terjemahan maupun yang ditulis langsung oleh sarjana Indonesia. Para peminat filsafat Islam semakin menyadari bahwa kajian filsafat Islam tidak hanya terbatas pada telaah atas sejarah kelahiran dan perkembangan awalnya serta pemikiran beberapa filsuf Muslim klasik sebagaimana yang telah dikenalkan oleh Harun Nasution,[1] tetapi telah mengalami perluasan kepada tema-tema lainnya, baik yang berupa tema-tema filsafat yang umum maupun yang khusus.
Di sisi lain, telah diperkenalkan pula pemikiran filosofis dari puluhan bahkan ratusan filsuf Muslim yang pemikirannya tidak kalah hebat daripada pemikiran para filsuf Muslim yang telah dikenalkan sebelumnya. Sudut pandang kajian juga mengalami perkembangan dengan dikenalkannya perspektif historis, tematis, dan kajian-kajian kritis terhadap materi dan kandungan filsafat Islam. Tentu saja para peminat filsafat Islam sangat diuntungkan dengan perkembangan literatur yang ada saat ini, karena selain menambah wawasan mereka tentang filsafat Islam juga mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut ruang lingkup, rentangan waktu, ajaran, dan lainnya. Perkembangan literatur-literatur tersebut menunjukkan bahwa filsafat Islam tetap terus hidup dan berkembang hingga masa sekarang ini.
1. Literatur Pengantar Filsafat Islam: Perluasan Materi dan Sudut Pandang
Sejak tahun 1998 hingga sekarang, perkembangan terbitan pengantar filsafat Islam di Indonesia menunjukkan tingkat yang menggembirakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas terbitan. Hal ini tampak dari beberapa karya yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Perkembangan dan peningkatan itu dapat ditemukan dalam aspek materi dan sudut pandang kajian.
Materi dalam literatur pengantar filsafat Islam saat ini sudah mencakup hampir seluruh aspek yang perlu dimuat dalam sebuah buku pengantar. Aspek-aspek filsafat umum seperti metafisika, epistemologi, logika, etika, dan estetika telah menjadi bagian dalam literatur-literatur filsafat Islam di Indonesia, seperti yang ditulis oleh Oliver Leaman,[2] Majid Fakhry,[3] Seyyed Hossein Nasr,[4] Musa Asy’arie,[5] Haidar Bagir,[6] dan Khudori Soleh.[7]
Materi tentang sejarah awal perkembangan filsafat Islam tertuang dalam beberapa karya di atas. Oliver Leaman menuliskan bagian penjelasan tentang sejarah singkat munculnya filsafat Islam, yang meliputi uraian tentang faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya tradisi filsafat di dunia Islam, pengaruh tradisi filsafat Yunani melalui neoplatonisme, serta kecenderungan filsuf Muslim awal dalam mencampur-adukkan ajaran Plato dan Aristoteles dalam terminologi Neoplatonisme sebagaimana tampak dalam pandangan para filsuf utamanya.[8]
Pengantar yang lebih lengkap tentang aspek sejarah ini bisa ditemukan dalam karya Majid Fakhry dan Seyyen Hossein Nasr. Dua karya ini sama-sama menjelaskan faktor eksternal dan internal munculnya filsafat Islam. Faktor eksternal dipicu oleh pengaruh Yunani, Suryani, Persia, dan India lewat proses penerjemahan. Sedangkan faktor internal dipicu oleh norma-norma al-Quran yang menganjurkan umat Islam untuk berpikir secara rasional serta tuntutan dalam memahami ayat-ayat al-Quran yang membutuhkan proses logika.[9]
Kontroversi-kontroversi yang muncul di masa awal perkembangan filsafat Islam juga tercakup dalam buku-buku pengantar filsafat Islam ini. Leaman menguraikan isu-isu dan persoalan-persoalan pokok yang kontroversial di kalangan filsuf dan teolog Muslim saat itu. Isu-isu itu meliputi kontroversi di seputar apa yang dimaksud dengan filsafat Islam, reaksi awal atas filsafat Yunani dalam kebudayaan Islam, kontroversi soal penciptaan, hakikat waktu, pengetahuan Tuhan, hingga soal makna dan kesatuan.[10]
Perluasan materi kajian filsafat Islam dalam literatur-literatur pengantar ini juga meliputi aspek-aspek filsafat umum dan khusus. Leaman misalnya, menunjukkan persoalan-persoalan pokok yang dibahas dalam metafisika, seperti soal wujud dan eksistensi, ekuivokalitas wujud, serta peran imajinasi dalam perbincangan soal wujud.[11] Musa Asy’arie mengembangkan persoalan ontologi kepada soal hakikat kemajemukan (pluralitas) dan hakikat pluralitas.[12] Perkembangan dan perluasan tema kajian semacam ini juga bisa ditemukan dalam pembahasan tentang aspek-aspek filsafat umum lainnya seperti soal epistemologi, etika, dan estetika, serta filsafat khusus, seperti filsafat politik, bahasa, dan seterusnya.
Selain perluasan dalam hal materi kajian, kandungan literatur pengantar filsafat Islam juga mengalami perluasan dalam hal perspektif atau sudut pandang analisisnya. Hal ini tampak dari penggunaan sudut pandang historis, sebagaimana digunakan oleh Fakhry [13] dan sudut pandang tematis yang digunakan oleh Leaman.[14] Berbagai pendekatan dalam filsafat Islam juga dikenalkan dalam karya Musa Asy’arie. Pendekatan tersebut meliputi pendekatan historik, doktrinal, metodik, organik, dan teologik. Berbagai pendekatan itu dibutuhkan karena tanpa suatu pendekatan yang jelas dan padu, filsafat hampir akan menjadi sebuah ketidak-mungkinan atau kemustahilan. Keberadaan sebuah filsafat sepenuhnya akan ditentukan oleh kekuatan pendekatan yang akan diuji secara terus-menerus sepanjang kehidupan intelektual masih berlangsung.[15]
2. Kajian Pemikiran Filsuf Muslim: Ke Arah Studi yang Mendalam tentang Pemikiran Seorang Filsuf
Keberadaan literatur-literatur tentang kajian pemikiran filsuf Muslim tertentu yang menjadi sampel penelitian ini menunjukkan bahwa minat akademik untuk mendalami pemikiran filosofis dari seorang filsuf Muslim tertentu dalam rentang waktu penelitian ini semakin meningkat. Kajian yang lebih mendalam ini diperlukan untuk mengenal dan memahami gugus pemikiran seorang filsuf dalam konteks zaman yang melingkupinya. Ketercerabutan dari konteks zaman ini bisa saja membawa pembaca pada kekeliruan dalam memahami gugus pemikiran filsuf yang bersangkutan.
Literatur tentang pemikiran seorang filsuf Muslim ini mayoritas memilih filsuf yang berasal dari masa awal perkembangan filsafat Islam dan masa pertengahan. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi, dan Mulla Shadra tergolong filsuf yang populer dan lebih banyak diminati pemikirannya di Indonesia ketimbang nama-nama lain semisal al-Amiri, Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan lainnya. Hal ini karena karya-karya rekonstruktif terhadap tokoh-tokoh tersebut belum banyak yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, literatur berbahasa Indonesia tentang para filsuf tersebut lebih banyak diterbitkan daripada para filsuf lainnya.
Kedalaman kajian pemikiran filsuf Muslim tertentu ini antara lain tampak dalam karya tentang Suhrawardi yang ditulis oleh Hossein Ziai dan Amroeni Drajat. Dari dua karya ini diketahui struktur filsafat illuminasi Suhrawardi secara lebih utuh dan terperinci. Dari karya Ziai diperoleh pemahaman yang lengkap tentang filsafat illuminasi yang menekankan unsur intuitif tertentu yang melampaui pemikiran diskursif, meskipun struktur filsafat illuminasi tidak sepenuhnya bertolak belakang atau berbeda dengan filsafat peripatetik. Ziai, sebagaimana Amroeni juga menunjukkan bahwa sebenarnya filsafat peripatetik yang dikaji dan dipahami oleh Suhrawardi adalah titik tolak dan unsur yang tidak terpisahkan dari metodologi illuminasi. Hanya dengan membandingkan dengan filsafat peripatetik lah seseorang dapat menyadari bagaimana filsafat illuminasi bertujuan memperluas pandangan manusia terhadap sesuatu.[16]
Selanjutnya, hanya lewat kajian dan telaah yang mendalam Amroeni dapat menunjukkan kritik-kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik, yang meliputi kritik epistemologis dan ontologis. Pada wilayah epistemologis tersirat ketidak-puasan Suhrawardi terhadap metode memperoleh pengetahuan yang dianggap oleh sebagian pemikir telah sampai pada tahap final. Suhrawardi memelopori munculnya metode baru untuk memperoleh pengetahuan sejati lewat gagasannya tentang al-‘ilm al-hudhūrī yang lebih sistematis. Sedangkan pada wilayah kritik ontologis Suhrawardi memperkenalkan istilah-istilah khusus yang digunakan untuk mengungkapkan pemikirannya, seperti terminologi cahaya, konsep iluminasionisme, nūr al-anwār, yang membentuk suatu bangunan utuh yang ia sebut sebagai wahdah al-isyrāq.[17]
3. Literatur Filsafat Islam Tematik: Upaya Menunjukkan Karakter Islam
Di antara tema filsafat umum yang paling banyak ditemukan terbitannya dalam bahasa Indonesia adalah tema metafisika dan epistemologi. Sedangkan filsafat khusus yang banyak dikaji di Indonesia adalah perihal filsafat politik dan filsafat pendidikan. Kecenderungan ini disebabkan bahwa literatur asing tentang filsafat Islam lebih banyak membahas persoalan metafisika dan epistemologi ketimbang misalnya persoalan etika atau estetika. Demikian pula di wilayah filsafat khusus, dimana kajian filsafat politik dan filsafat pendidikan lebih menarik banyak minat sarjana di Indonesia ketimbang filsafat bahasa, filsafat hukum, dan lainnya.
Perkembangan kajian ini tampak misalnya dalam karya Mehdi Hairi Yazdi yang berjudul Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam.[18] Penerjemahan karya monumental ini ke dalam bahasa Indonesia bernilai sangat tinggi dalam rangka menunjukkan keunikan dan kekhasan modus pengetahuan atau epistemologi keilmuan Islam yang bercorak hudhūrī di tengah semakin menguatnya hujatan dan sikap tidak percaya terhadap keabsahan pengetahuan yang dihasilkannya. Karya ini menunjukkan bahwa al-‘ilm al-hudhūrī adalah modus pengetahuan dan tradisi filsafat Islam yang hidup dan dikembangkan sampai saat ini di berbagai wilayah Islam. Ia adalah karakteristik filsafat Islam itu sendiri.
Karakter Islam ditunjukkan pula dalam karya Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik.[19] Karya yang berangkat dari kegelisahan akademik pengarangnya tentang ekses-ekses negatif dari dikotomi keilmuan yang berlangsung dewasa ini hendak menunjukkan bahwa pada dasarnya pandangan filsafat Islam –terutama di ranah epistemologinya– lebih bercorak integral-holistik ketimbang parsial-dikotomik. Karakter yang holistik ini terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Dalam hal sumber ilmu, filsafat Islam mengakui bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Filsafat Islam menjadikan indera, akal, dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah.
Mulyadi menyebutkan bahwa akibat dari integrasi ini dapat ditemukan di bidang klasifikasi ilmu, dimana berlangsung integrasi antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam pencabangan keilmuannya. Demikian pula integrasi yang terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi sebagai metode ilmiah, tetapi juga metode burhānī, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, dan metode ‘irfānī untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyāhadah) secara langsung, serta metode bayānī untuk memahami teks-teks suci seperti al-Quran dan Hadits. Dengan demikian, karakter holistik filsafat Islam di ranah epistemologi ditunjukkan dengan pengakuan kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu pengetahuan.[20]
4. Kajian Komparatif Filsafat Islam: Mendialogkan Tradisi Filsafat yang Berbeda
Perluasan pembahasan yang terdapat dalam literatur kajian komparatif filsafat Islam menunjukkan minat para pemerhati filsafat Islam ke arah upaya mendialogkan pemikiran filsafat Islam dengan pemikiran filsafat dari tradisi yang berbeda. Perbedaan itu baik berupa perbedaan waktu maupun perbedaan kultur dan budaya. Hal ini tampak misalnya dalam karya Amin Abdullah yang berjudul Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant.[21]
Pada masa sekarang ini beberapa sarjana filsafat Islam yang juga mempelajari filsafat Barat mulai gelisah dengan langkanya pemikir-pemikir Muslim yang mendalami secara serius kajian komparatif antara filsafat Islam dengan filsafat Barat sebagai bidang garap filsafat Islam. Hal ini karena harus diakui bahwa perkembangan tradisi pemikiran filosofis di dunia Barat lebih berkembang daripada di dunia Islam. Sehingga untuk bisa mengembangkan kajiannya, filsafat Islam hendaknya mengambil pelajaran dari filsafat Barat dengan cara membandingkan pemikiran-pemikiran filosofis dari dua tradisi yang berbeda ini.
Aminrazavi misalnya, mempertanyakan tentang sedikitnya sarjana filsafat dari kalangan Muslim yang berminat mempelajari perkembangan pemikiran filosofis di Barat atau tradisi lainnya, sementara sebaliknya banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari filsafat Islam dan bahkan memiliki kontribusi dan jasa yang tidak sedikit dalam menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran para filsuf Muslim klasik ke lingkungan akademik. Ia menambahkan bahwa jika filsafat Islam ingin berkembang dan diakui sebagai sebuah sistem pemikiran, hendaknya para sarjana filsafat dari kalangan Muslim tidak menutup diri atau bahkan memisahkan diri dari ranah perkembangan filsafat secara umum, termasuk dari perkembangan filsafat di dunia Barat.[22]
Pendapat Aminrazavi yang terakhir –bahwa filsafat Islam hendaknya tidak mengisolir atau menutup diri dari perkembangan filsafat di dunia Barat– diamini oleh Majid Fakhry. Namun demikian, ia tidak sepenuhnya setuju jika tidak ada sama sekali sarjana Muslim yang telah mencoba melakukan studi perbandingan pemikiran filosofis dari dua tradisi yang berbeda ini. Dari sampel penelitian ini pun upaya untuk melakukan studi semacam itu sudah mulai ada. Fakhry menambahkan bahwa studi perbandingan itu dapat pula dilakukan terkait dengan persoalan-persoalan filosofis kekinian, seperti soal kebebasan, keadilan, dan etika.[23]
Perlunya kajian filsafat Islam dikembangkan ke arah studi perbandingan dengan pemikiran filosofis di Barat ini memang telah memunculkan polemik tersendiri dewasa ini. Pada dasarnya, sebagian besar sarjana Muslim mutakhir setuju bahwa tema-tema filsafat Islam harus dikaitkan dengan persoalan kekinian yang menjadi kebutuhan konkret mereka sendiri, dan tidak hanya sekedar cerita atau sejarah tentang pemikiran para filsuf terdahulu. Persoalan yang masih mengganjal adalah tentang apakah ketika mengalihkan perhatian pada persoalan-persoalan kontemporer itu cara pandang filsafat Islam harus dikomparasikan dengan cara pandang filsafat Barat –mengingangat tradisi yang terakhir ini lebih berkembang dan superior di masa sekarang ini–? Ada kekhawatiran bahwa ketika model itu dilakukan maka para peminat filsafat di dunia Islam akan cenderung untuk meniru, mentransfer, atau bahkan menelan mentah-mentah pandangan filsafat Barat.
Adapun perkembangan literatur dan kajian filsafat Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan adanya studi perbandingan yang dimaksud. Selain dari karya Amin Abdullah yang menjadi sampel penelitian ini, terdapat banyak karya lainnya yang telah berusaha melakukan perbandingan pemikiran dua orang filsuf dari tradisi atau zaman yang berbeda berkenaan dengan topik atau persoalan filsafat tertentu. Tentu saja model studi seperti ini memiliki nilai positif dan perlu dikembangkan lebih lanjut pada masa mendatang.
B. Pengembangan Kajian Filsafat Islam di Indonesia
Filsafat Islam di masa mutakhir dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil. Berbagai persoalan yang membutuhkan pemikiran filosofis dan jawaban yang mendesak muncul di hadapan filsafat Islam, baik yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekulier, maupun dari berbagai teori ilmiah lainnya. Berbagai teori ilmiah dari bermacam bidang ilmu, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasai kepercayaan agama.
Stephen William Hawking –seorang ahli fisika kuantum– misalnya menyebutkan dalam buku terbarunya The Grand Design bahwa manusia dan alam semesta tercipta bukan karena kehendak dan hasil ciptaan Tuhan, tetapi muncul dengan sendirinya karena hukum gravitasi.[24] Pandangan mutakhir Hawking ini sekaligus mengoreksi pendapatnya sendiri yang ia tulis dalam bukunya The Brief History of Time.[25] Sebelumnya ia tidak menafikan campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Selain mengoreksi pendapatnya sendiri, pandangan mutakhir Hawking juga mementahkan keyakinan Isaac Newton yang menyatakan bahwa jagat raya tidak tercipta secara spontan, melainkan digerakkan oleh Tuhan.
Teori Hawking di atas adalah salah satu dari sekian banyak persoalan ilmiah-filosofis yang dewasa ini dihadapi oleh kalangan agamawan, termasuk umat Muslim serta para pemikir dan filsuf Muslim di dalamnya. Berbagai teori ilmiah dari berbagai disiplin keilmuan, sebut saja fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Atas nama metode ilmiah para ahli dari berbagai bidang keilmuan itu memproklamirkan bahwa Tuhan tidak dipandang perlu lagi untuk dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah.
Kenyataan ini tentu saja membutuhkan respon yang cerdas. Di ranah keilmuan filsafat pada umumnya dan wilayah perkembangan kajian filsafat Islam di Indonesia secara khusus mesti diarahkan untuk menjawab tantangan-tantangan semacam ini. Literatur-literatur filsafat Islam berbahasa Indonesia yang akan diterbitkan pada masa mendatang harus diarahkan bukan saja menjadi sarana transmisi pengetahuan filsofis Islam dari masa lalu tetapi juga membantu pembacanya dalam memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan kekinian dari sudut pandang filosofis Islam. Berdasarkan literatur-literatur filsafat Islam berbahasa Indonesia yang terbit sepanjang tahun 1998-2013, para sarjana dan peminat filsafat Islam di Indonesia hendaknya mulai berpikir untuk mengarahkan perkembangan itu ke arah yang lebih mampu menjawab persoalan zaman sekarang ini.
1. Rekonstruksi Filsafat Islam
Menurut Mulyadi Kartanegara, peminat kajian filsafat Islam di Indonesia hendaknya mulai memikirkan dan melakukan kerja-kerja praktis membangun ulang rancang bangun keilmuan filsafat Islam dengan mempertimbangkan struktur yang telah ada dan karakteristik serta permasalahan yang berkembang di negeri ini. Sebagai contoh adalah bangunan epistemologi Islam. Banyak kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan yang terjadi di bidang ini. Menurutnya, pertama-tama perlu dipahami apa yang dimaksud dengan ilmu dalam tradisi Islam dan apa bedanya dengan sains yang berkembang di zaman modern ini. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Lingkup sains modern terbatas pada bidang-bidang fisik-empiris. Sedangkan ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya fisika tetapi juga matematika dan metafisika.[26]
Upaya rekonstruksi yang sama juga diperlukan dalam hal objek ilmu dan metode ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, obyek-obyek ilmu dibatasi hanya pada obyek-obyek fisik, sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, obyek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada obyek-obyek fisik, tetapi melebar pada obyek-obyek matematika dan metafisika. Status ontologis obyek-obyek semacam ini perlu direkonstruksi lebih lanjut, mengingat kecenderungan epistemologi keilmuan modern yang tidak mengakui keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari modus ini.[27] Upaya rekonstruksi seperti ini telah dimulai oleh karya Mehdi Hairi Yazdi dan karya tersebut telah bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia.[28] Sarjana filsafat Islam di Indonesia hendaknya juga melakukan upaya rekonstruksi filsafat Islam yang serupa dengan menulis karya-karya berikutnya, baik di bidang epistemologi, metafisika, etika, dan lainnya.[29]
2. Pemetaan Ulang Kajian Filsafat Islam
Upaya pemetaan ulang ini diperlukan mengingat tidak banyak buku pengantar filsafat Islam yang tersedia yang memuat aspek-aspek kajian filsafat Islam yang komprehensif. Filsafat Islam perlu diperkenalkan dalam berbagai aspek kajiannya. Literatur yang ada seringkali hanya membahas salah satu aspek tertentu, seperti hanya aliran, sejarah, atau tokoh-tokohnya saja. Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam sekaligus.[30] Literatur yang ada yang cukup komprehensif mengenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya ini yang berasal dari karya terjemahan adalah karya Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu.[31]
Adapun karya sarjana filsafat Islam dari Indonesia belum banyak yang muncul, kecuali hanya beberapa saja. Salah satunya adalah karya Musa Asy’arie dan Mulyadi Kartanegara. Musa Asy’arie menjelaskan beberapa aspek dari kajian filsafat Islam, mulai dari aspek pendekatan, ontologi, metafisika, hingga kebudayaan Islam.[32] Sedangkan Mulyadi menguraikan aspek aliran-aliran filsafat islam, topik-topik tentang Tuhan, manusia, dan alam. Mulyadi juga membahas hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya, seperti hubungan antara filsafat dengan sains dan agama, serta hubungan filsafat dan mistisisme atau tasawuf.[33]
3. Membudayakan Tradisi Ilmiah
Hal lain yang juga penting diupayakan oleh sarjana filsafat Islam di Indonesia selain menggalakkan penerbitan karya-karya filsafat Islam adalah membudayakan tradisi berpikir dan bertindak ilmiah. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak akan tercapai jika suatu bangsa tidak memiliki tradisi ilmiahnya sendiri. Peradaban yang maju mensyaratkan adanya tradisi dan budaya ilmiah yang agung. Hal ini telah dibuktikan dalam peradaban Islam sendiri beberapa abad yang lalu. Untuk bisa mengulang atau memunculkan kembali peradaban yang besar dari dunia Islam dalam bentuk kontemporernya itu perlu dikembangkan budaya ilmiah yang dimaksudkan di atas.[34]
Membangun budaya ilmiah itu bisa dimulai dengan mengembangkan lembaga pendidikan, sistem pendidikan dan menggalakkan riset-riset ilmiah di kalangan sarjana Muslim Indonesia. Lembaga pendidikan menyediakan ranah untuk menyemaikan gagasan-gagasan ilmiah. Sistem pendidikan menjamin kesinambungan kegiatan ilmiah yang mengintegrasikan berbagai bidang dan sarana ilmiah. Sedangkan riset ilmiah diperlukan untuk pengembangan bidang keilmuan yang ditekuni. Berdasarkan perkembangan literatur filsafat Indonesia hingga 2013 ini, semua unsur di atas mutlak diperlukan untuk perkembangan kajian filsafat Islam di Indonesia ke arah yang lebih produktif dan konstruktif.[35]
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1] Lihat kembali: Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
[2] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001).
[3] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001).
[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid (Bandung: Mizan, 2003).
[5] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999).
[6] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005).
[7] Ahmad Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
[8] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam..., hlm. 1-6.
[9] Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam..., hlm. 7-12, 15-18. Juga: Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis..., hlm. 36-126.
[10] Ibid., hlm. 14-59.
[11] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam..., hlm. 100-126.
[12] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi..., hlm. 50-58.
[13] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam....
[14] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam....
[15] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi..., hlm. vii-viii.
[16] Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan Ilmu Pengetahuan, terj. Afif Muhammad & Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 19-20. Juga: Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 108-132.
[17] Ibid., hlm. 263.
[18] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003).
[19] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung & Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press, 2005).
[20] Ibid., hlm. 25-30.
[21] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant (Bandung: Mizan, 2002).
[22] Fatimah, dkk., Naskah Buku Ajar Filsafat Islam (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 7-8.
[23] Ibid., 9-10.
[24] Stephen Hawkin, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), hlm. 7.
[25] Stephen Hawkin, The Brief History of Time (London: Bantam Dell Publishing Group, 1988), hlm 30-49.
[26] Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), hlm 15-19.
[27] Ibid., hlm 25-30.
[28] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003).
[29] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta”, Makalah, Dipresentasikan pada acara Ulang Tahun Paramadina yang ke XX, Jakarta 23 November 2006, hlm. 6.
[30] Ibid., hlm. 5.
[31] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid (Bandung: Mizan, 2003).
[32] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999).
[33] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
[34] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam...
[35] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam..., hlm. 7-9.