Al-Falsafah Al-Islamiyyah
Pengertian Filsafat Islam
Perdebatan tentang apa yang dimaksud dengan “filsafat Islam” telah menjadi salah satu topik hangat sejak filsafat Islam dipelajari sebagai disiplin keilmuan. Sebagian kalangan meragukan orisinalitas filsafat Islam karena menemukan pengaruh filsafat Yunani yang sangat kuat dalam kajiannya. Mereka bertanya: apakah filsafat Islam benar-benar ada? Bukankah filsafat Islam yang dikenal saat ini hanya merupakan filsafat Yunani-Alexandria dalam baju Arab yang berperan dalam menyalurkan warisan Yunani kuno kepada Barat Abad Pertengahan?[1] Jika demikian adanya, bukankah filsafat Islam hanya salah satu tahapan saja dari perkembangan filsafat Yunani? Kalau filsafat Islam itu ada, apa karakteristik yang membedakannya dari filsafat pada umumnya?
Selain itu persoalan juga muncul terkait dengan kata “Islam “ dalam filsafat Islam. Ada kalangan yang mempertanyakan keabsahan hal itu mengingat sumber inspirasi keilmuan filsafat Islam tidak sepenuhnya berasal dari al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, ada sebagian kalangan yang menggunakan istilah “filsafat Islam”, dan sebagian lainnya menyebutnya dengan “filsafat Arab” atau bahkan “filsafat Muslim”. Di antara karya-karya yang memakai istilah filsafat Islam adalah Ahmad Fuad al-Ahwani,[2] T.J. Dengan Boer,[3] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,[4] Syeikh Mustafa Abdul Raziq,[5] dan Henry Corbin.[6] Sedangkan di antara penulis yang memakai istilah filsafat Arab adalah Maurice de Wulf,[7] dan Emile Brehier. Sedangkan M.M Sharif menggunakan istilah filsafat Muslim.[8]
Penggunaan istilah filsafat Islam biasanya mengacu pada argumen bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan merujuk pada rentang sejarah dan kebudayaan Islam tanpa memandang agama dan bahasa para filsufnya. Keberatan terhadap penggunaan istilah ini adalah karena ada beberapa filsuf yang menghasilkan karya filosofisnya dalam rahim peradaban Islam namun mereka bukanlah seorang yang memeluk agama Islam. Penggunaan istilah ini meniscayakan tidak tercakupinya filsuf semacam itu dalam keilmuan filsafat Islam. Oleh karena itu, sebagian kalangan merasa keberatan dengan penggunaan istilah ini.
Sedangkan penggunaan istilah filsafat Arab biasanya didasarkan atas argumen bahwa para filsuf yang dikenal dalam kajian filsafat Islam adalah mereka yang hidup dan menetap di Semenanjung Arab dan bahasa yang digunakan sebagai pengantar tulisan-tulisan mereka adalah bahasa Arab. Meskipun begitu, pada kenyataannya tidak semua orang yang melakukan kegiatan filsafat adalah orang dari suku Arab. Di samping itu, banyak karya-karya filosofis yang dihasilkan dan ditulis bukan dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa Persia dan lainnya.[9]
Adapun penggunaan istilah filsafat Muslim terutama didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka yang melakukan kegiatan berfilsafat adalah orang-orang yang beragama Islam. Tentu saja argumen ini pun dapat disanggah d alasan bahwa pada kenyataannya di antara mereka ada yang bukan Muslim, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Istilah filsafat (al-falsafah) memang tidak ditemukan akar katanya dalam struktur asli bahasa Arab yang menjadi bahasa keilmuan Islam. Kata ini masuk dalam perbendaharaan kata bahasa Arab melalui usaha penerjemahan teks Yunani pada abad ke-8 dan 9 M. Padanan istilah ini dalam bahasa Arab adalah hikmah. Kebanyakan penulis Arab menempatkan kata hikmah di tempat kata filsafat dan kata hakim di tempat kata filsuf atau sebaliknya. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa cakupan kata hikmah lebih luas daripada istilah filsafat yang dikenal secara umum. Menurut Seyyed Hossein Nasr, perdebatan tentang penggunaan istilah hikmah atau falsafah telah menjadi topik hangat sejak dikenalnya istilah ini dalam pemikiran dan keilmuan Islam.[10]
Pendefinisian filsafat Islam dapat dilakukan dengan merujuk kepada akar dari masing-masing kata yang terdapat di dalamnya, yakni kata filsafat dan Islam. Filsafat berarti kegiatan berpikir bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas dalam arti tema apapun boleh dipikirkan dan tergantung pada pilihan dan kesanggupan orang yang hendak memikirkannya. Radikal berarti mendalam dan sampai ke akar masalah. Berpikir dalam tahap makna berarti kegiatan itu dilakukan dalam rangka mencari hakikat dari sesuatu. Al-Farabi mengatakan bahwa filsuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya untuk mencari hikmah yaitu mema’rifati Allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan. Ibn Sina berpendapat bahwa hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.
Adapun kata Islam berarti penyerahan diri, ketundukan, dan keselamatan. Kata Islam di sini bisa juga merujuk pada struktur peradaban Islam yang telah lahir dan berkembang sejak 14 abad yang lalu.
Jika dua pengertian di atas digabungkan, maka filsafat Islam berarti berpikir bebas dan radikal yang berkembang dalam peradaban Islam dengan tidak menafikan sumber-sumber ajaran Islam sebagai fondasinya. Filsafat Islam adalah filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak, dan karakter dari filsafat.[11] Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh dalam peradaban Islam tanpa memandang agama dan bahasa pemiliknya. Hal ini karena dalam peradaban Islam juga terdapat para filsuf dari agama yang berbeda namun ikut menulis karya-karya filsafat yang kritis dibawah pengaruh peradaban Islam.
Persoalan lain yang muncul terkait pengertian filsafat Islam ini adalah tentang apakah filsafat Islam itu tidak bertentangan dengan inti keimanan Islam itu sendiri. Hal ini karena filsafat dimulai dengan sikap keragu-raguan dan kritis terhadap segala sesuatu, sementara inti keimanan Islam dimulai dari keyakinan dan penerimaan tanpa meragukan atau mempertanyakan obyek yang diyakini itu. Dengan demikian, apakah filsafat yang dimulai dengan keraguan dapat berjalan beriringan dengan Islam yang dimulai dari keimanan?
Dari berbagai argumen yang ada dapat ditarik benang merah bahwa penggunaan akal dan tindakan meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu juga sangat penting dilakukan dalam rangka menguatkan keimanan seseorang. Hanya saja, batasan penggunaan akal dan sikap meragukan itu harus tetap berada dalam koridornya. Oleh karena itu, pada dasarnya filsafat tidak bertentangan dengan Islam. Ditambah lagi bahwa kajian filsafat Islam tidak sepenuhnya dimulai dari keragu-raguan. Filsafat Islam merupakan gabungan antara pemikiran liberal dan agama. Ia bisa disebut sebagai liberal dalam hal cara dan metodenya dalam membangun argumentasi filosofis. Sementara pada saat yang sama, pengaruh keyakinan keagamaan Islam sangat dominan dalam penerimaan apa yang dianggap sebagai kebenaran primer.[12]
Ruang Lingkup Keilmuan Filsafat Islam
Filsafat Islam meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika. Di masa klasik, seorang tidak bisa disebut filsuf jika tidak menguasai seluruh cabang-cabang filsafat yang luas itu. Ibn Sina misalnya, yang menulis sebuah karya berjudul asy-Syifā’ yang dipandang sebagai karya filsafatnya yang paling utama, juga menulis tentang metafisika, logika, matematika dan fisika. Kita bisa menemukan karya filsuf ini dalam bidang logika yang meliputi pengantar, kategori, analitika prioria, analitika posterioria, dan seterusnya. Di bidang matematika ia menulis beberapa jilid buku yang meliputi aritmatika, geometri, astronomi, dan musik. Sedangkan di bidang fisika ia menulis beberapa jilid buku yang mencakup kosmologi, meteorologi, minerologi, botani, dan seterusnya. Sementara di bidang metafisika ia menulis tentang ketuhanan, malaikat dan akal-akal. Hal ini menunjukkan betapa luasnya cakupan filsafat Islam di masa klasik.[13]
Keluasan cakupan dan ruang lingkup keilmuan filsafat Islam meliputi pembahasan hakikat semua yang ada, sejak dari tahapan ontologis-metafisis hingga menjangkau wilayah yang empiris. Sebagaimana kajian filsafat pada umumnya, filsafat Islam juga membahas persoalan epistemologi, logika, etika dan estetika. Di samping itu, filsafat Islam membahas pula tema-tema fundamental dalam kehidupan manusia, yaitu Tuhan, manusia, alam, dan kebudayaan, yang disesuaikan dengan kecenderungan perubahan dan semangat zaman.[14]
Pada permulaan sejarahnya, cakupan keilmuan filsafat disebutkan oleh al-Kindi sebagai ilmu yang meliputi tiga aspek, yakni pertama, ilmu fisika (al-‘ilm-ath-thabi’iyyāt) pada tingkat yang paling bawah, kedua, iImu matematika (al-‘ilm ar-riyadhiyyāt) pada tingkatan menengah, dan ketiga, ilmu ketuhanan (al-‘ilm ar-rubūbiyyāt) pada tingakat yang paling tinggi. Sedangkan menurut al-Farabi, filsafat Islam mencakup dua bidang, yakni filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis merupakan filsafat yang hendak mengetahui segala sesuatu yang ada. Bidang ini meliputi metafisika, matematika, dan fisika. Sedangkan filsafat praktis merupakan filsafat yang hendak mengetahui sesuatu yang seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan yang menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagian yang baik. Bidang ini meliputi ilmu akhlak, yaitu amalan yang berhubungan dengan perbuatan yang baik; dan filsafat politik, yaitu praktek-praktek atau amalan yang berhubungan dengan perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh manusia.
Adapun menurut Ibn Sina, cakupan filsafat Islam pada dasarnya tidak berbeda dengan cakupan yang disebutkan oleh al-Farabi. Akan tetapi ia menghubungkan kedua bagian tersebut dengan agama. Menurut Ibn Sina, dasar-dasar filsafat terdapat dalam agama atau syariat Tuhan, sementara penjelasannya diperoleh lewat kekuatan akal dan pikiran manusia. Ibn Sina lantas membagi filsafat ketuhanan ke dalam dua bidang, yakni pertama, ilmu tentang cara turunnya wahyu dan makhluk-makhluk rohani yang membawa wahyu itu, termasuk juga bagaimana cara wahyu itu disampaikan dari sesuatu yang bersifat rohani kepada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar; dan kedua, ilmu keakhiratan.
Dengan demikian, obyek material kajian filsafat Islam pada dasarnya tidak berbeda dengan obyek material dalam kajian filsafat pada umumnya. Obyek ini dari waktu ke waktu mungkin tidak akan berubah. Akan tetapi, obyek formal kajiannya yang meliputi corak, sifat, dan dimensi yang menjadi titik tekan atau fokus kajiannya bisa berubah dan menyesuaikan dengan perkembangan konteks kehidupan dan peradaban manusia.[15]
A. Model dan Pendekatan
Syaifan Nur dan Alim Roswantoro pernah melakukan penelitian terhadap kecenderungan kajian agama-agama dan filsafat Islam di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji tesis-tesis mahasiswa Program Studi Agama dan Filsafat pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tahun 1983-2005. Titik tekannya adalah pada topik dan pendekatan yang digunakan dalam berbagai tesis tersebut.[16] Tesis yang diteliti berjumlah 356 buah. Analisis yang digunakan terhadap tesis-tesis tentang filsafat Islam dilakukan oleh penulisnya dengan mengklasifikasikannya kepada beberapa bentuk, yang meliputi: (1) kajian filsafat Islam murni; (2) kajian filsafat teologis Islam atau kalam; (3) kajian filsafat spiritual-esoteris atau tasawuf; (4) kajian Islam perspektif filsafat; dan (5) lintas disiplin kajian filsafat Islam.[17] Lewat klasifikasi semacam itu, penulis di atas menemukan kecenderungan dominasi kajian kepustakaan, kajian tokoh dan pendekatan filosofis dalam tesis-tesis mahasiswa pada tahun yang dimaksud. Di samping itu, ditemukan juga pergeseran dari tren kajian teologi dan tasawuf ke tren kajian filsafat Islam.[18]
Di tempat lain, Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair mengajukan beberapa model dan pendekatan dalam penelitian filsafat. Setidaknya ada sembilan model dan pendekatan yang salah satunya biasa digunakan dalam penelitian filsafat. (1) Penelitian historis faktual mengenai tokoh. (2) Penelitian historis faktual mengenai naskah atau buku. (3) Penelitian historis faktual mengenai teks naskah. (4) Penelitian mengenai suatu konsep sepanjang sejarah. (5) Penelitian komparatif. (6) Penelitian pandangan filosofis di lapangan. (7) Penelitian sistematis-refleksif. (8) Penelitian mengenai masalah aktual. (9) Penelitian mengenai teori ilmiah.[19]
Bakker dan Zubair juga mengatakan bahwa dalam melakukan penelitian filsafat, seseorang harus melengkapi dirinya dengan model yang inventif, yakni model yang mencari pemahaman baru terhadap modal pemikiran yang telah dikumpulkan dan berusaha memberikan pemecahan bagi masalah-masalah yang belum terselesaikan. Model ini berupaya menggabungkan modal pengetahuan sepanjang sejarah dengan pemahaman dan keyakinan personal. Agar mampu memberikan evaluasi, seseorang harus mempunyai pendapat pribadi; dan agar mampu menyusun sistematika pribadi, ia membutuhkan inspirasi, komunikasi, bahkan konfrontasi dengan model lain.[20]
Penelitian tentang perkembangan filsafat Islam di Indonesia yang penulis lakukan ini mengacu kepada dua model dan pendekatan di atas. Akan tetapi, demi dicapainya corak inventif dan heuristik dalam penelitian filsafat, penulis melengkapi model yang sudah ada dengan model dan pendekatan yang penulis ajukan berdasarkan data yang diperoleh terkait dengan tema penelitian. Ada empat bidang klasifikasi yang penulis ajukan dalam mencermati literatur filsafat Islam berbahasa Indonesia tahun 1998-2013, masing-masingnya adalah: (1) literatur pengantar filsafat Islam, (2) kajian pemikiran filsuf Muslim, (3) literatur filsafat Islam tematik, dan (4) kajian komparatif filsafat Islam dan Barat. Data tentang literatur yang ada akan penulis uraikan dan analisa berdasarkan model tersebut.
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1] Jostein Garder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 142-160.
[2] Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Falsafah Al-Islamiyyah, terj. Sutardji Bachri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988)
[3] T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam (Toronto: University of Toronto, 1866).
[4] Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London & New York: Routledge, 1996).
[5] Mustafa Abdul Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah (Kairo: Lajnah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nashr, 1966).
[6] Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (New York: Paul Keagan, 1993).
[7] Maurice de Wulf, Histoire de la Philosophie Medievale (French: Mass, 1934).
[8] M.M. Sharif, History of Muslim Philosophy (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress, 1963).
[9] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999), hlm. 8-9.
[10] Seyyed Hossein Nasr, “Makna dan Konsep Filsafat dalam Islam”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 29.
[11] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999), hlm. 1-6.
[12] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, hlm. 81.
[13] Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 188-213.
[14] Musa Asy’arie, Filsafat Islam..., hlm. 29.
[15] Ibid., hlm. 30.
[16] Syaifan Nur dan Alim Roswantoro, Peta Kecenderungan Kajian Agama-agama dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2007).
[17] Ibid., hlm. 51-156..
[18] Ibid., hlm. 184-190.
[19] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61-120.
[20] Ibid., hlm. 17.