Kebutuhan Informasi Penyandang Cacat Tunanetra
Setiap manusia mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara, salah satunya adalah pendidikan yang layak sampai waktu wajib yang telah ditentukan oleh pemerintah. Yang paling penting dalam pendidikan yaitu bagaimana membaca. Karena dengan membaca semua isi dunia bisa diketahui oleh manusia. Membaca merupakan kebutuhan individu yang setiap masyarakat butuhkan. Entah itu membaca Koran, membaca berita yang tertulis di televise, maupun membaca buku pelajaran di sekolah.
Informasi merupakan salah satu hal yang penting bagi masyarakat pada era teknologi seperti sekarang ini. Masa kejayaan teknologi seperti saat ini menjadikan informasi semakin hari semakin cepat berkembang dan berganti, sehingga masyarakat bisa tertinggal akan informasi dalam hitungan menit atau bahkan detik. Akan tetapi, bagaimana dengan penyandang cacat tunantera yang mempunyai kesulitan dalam hal membaca? Indra penglihatan merupakan salah satu sumber informasi vital bagi manusia, karena dapat dikatakan sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatan. Dengan demikian dapat dipahami ketika seoarang mengalami gangguan penglihatan atau cacat maka kemampuan aktivitasnya semakin terbatas. Karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan dengan orang normal. Apa saja sebenarnya informasi yang dibutuhkan oleh penyandang tunanetra?
Penyandang cacat tunanatera mengalami beberapa keterbatasan dalam mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan tidak adanya perpustakaan yang dapat memeberikan fasilitas, koleksi dan layanan yang dapat memeberikan pengguna yaitu khususnya tuna netra untuk dapat mendapatkan informasi dengan mudah. Banyak kendala-kendala yang belum diperhatikan oleh pengelolah perpustakaan untuk memberrikan fasilitas, koleksi dan layanana kepada para penyandang cacat yaitu tuna netra dalam memenuhi kebutuhan informasi. Perhatian pengelolaan perpustakaan serta penyediaan informasi terhadap masyarakat tuna netra tersebut sangat penting karena tuna netra mempunyai hak untuk mendapatkan sebuah informasi seperti halnya orang normal yang diatur dalam undang-undang.
Tuna netra menurut Direktorat Jendral Pendidikan Luar Biasa dalam “Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Tuna Netra” (2006) adalah seorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
Seperti tertuang dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 pada bab IV pasal 24 ayat 7 yang menjelaskan bahwa penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan khusus. Dapat diartikan bahwa orang penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan formal maupun informatif seperti layanan di perpustakaan dan pendidikan di sekolah(Dalam Jiunspe). Dapat dikatakan bahwa perpustakaan sebagai organisasi pengelola dan peneyedia informasi tidak hanya memperhatikan kebutuhan informasi, fasilitas, layanan, dan koleksi yang dibutuhkan bagi orang normal, tetapi juga harus melihat kondisi lingkungan dan keberagaman jenis karakter pengguna informasi yaitu penyandang cacat untuk diperhaitikan dan mendapatkan pelayanan khusus seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 bab IV pasal 24 ayat 7.
Generasi penerus bangasa merupakan salah satu senjata Negara untuk mempertahankan kejayaan bangsanya, dan dapat dilihat dari pemuda yang berada di suatu Negara. Anak-anak dalam usia sekolah merupakan kunci dari peradaban bangsa. Pendidikan merupakan alat bantu untuk mengantarkan suatu bangsa pada kejayaan. Oleh karena itu, anak-anak dalam usia sekolah dituntut untuk mempunyai bekal pendidikan yang bagus. Akan tetapi bagaimana jika murid-murid sekolah kekurangan atau mengalami kesulitan dalam belajar, seperti contoh siswa penyandang cacat tunanetra.
Siswa penyandang cacat tunantera mengalami kesulitan yang bisa dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa awas atau mempunyai penglihatan yang normal. Media yang digunakan untuk proses belajar mengajarpun harus sesuai dengan standard an kebutuhan siswa tunantera. Oleh karena itu baik dari pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah harus menyediakan peralatan yang memadai dan cukup untuk menunjang kegiatan belajar mengajar baik di sekolah maupun dirumah dan selalu memperhatikan kebutuhan apa saja yang diinginkan, karena dengan keterbatasan yang dimiliki oleh tunanetra membuat masyarakat sekitar harus peka dnegan apa saja yang dibutuhkan.
Survey Indra Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993 – 1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5%-paling tinggi di Asia - dibandingkan dengan Bangladesh 1%, India 0,7%, dan Thailand 0,3%. Artinya jika ada 12 penduduk dunia buta dalam setiap 1 jam, empat di antaranya berasal dari Asia Tenggara dan dipastikan 1 orangnya dari Indonesia. Survey ini juga diaminkan oleh Direktur Jenderal Bina Kesmas Kementerian Kesehatan RI, Budihardja. Kebutaan pada usia senja yang rentan terkena katarak sebagai penyebab 75% kebutaan, kini menjadi ancaman yang pelik bagi negera kita. Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa pada tahun 2025 penduduk usia lanjut meningkat menjadi 414 % dibandingkan dengan tahun 1990. Dan masyarakat Indonesia berkecenderungan menderita 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis.
Bila kita melihat jumlah pada salah satu daerah di Indonesia misalnya Jawa Timur, maka jumlah penyandang cacat mengalami peningkatan yaitu sebanyak 82.389 jiwa tahun 2005 naik menjadi 88.071 jiwa pada tahun 2007 menurut data SUSENAS BPS, 2008(Dalam Mutia). Dari data yang ada, bisa disimpulkan bahwa penyandang tuna netra semakin terjadi peningkatan. Dengan adanya peningkatan penyandang tuna netra ini mengharuskan pihak pengelola perpustakaan maupun penyedia informasi untuk menyediakan layanan atau fasilitas bagi tuna netra. Hal ini dikarenakan tuna netra kesulitan dalam mendapatkan informasi yang dia butuhkan. Seperti yang dikatakan Juang Sunanto:
“Bisa menjadi pekerjaan yang sulit dan melelahkan menjadi seorang tuna netra. Sejumlah besar konsentrasi diperlukan untuk berbagai kegiatan seperti membaca Braille per karakter, menggunakan kaca pembesar untuk mempelajari diagram atau grafik, belajar melalui pendengaran tanpa bisa melihat wajah pembicara dan lain sebagainya. Aktifitas seperti ini sangat membutuhkan konsentrasi daripada membaca atau mendengar dengan penglihatan dan pendengaran yang normasl atau sempurna” (2008)
Seperti tertuang dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 pada bab IV pasal 24 ayat 7 yang menjelaskan bahwa penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan khusus. Dapat diartikan bahwa orang penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan formal maupun informatif seperti layanan di perpustakaan dan pendidikan di sekolah(Dalam Jiunspe). Adanya layanan perpustakaan yang diberikan kepada penyandang cacat merupakan bentuk dari pendidikan yang berfungsi sebagai pendidikan informatif. Sarana pendidikan informatif dapat diperoleh di perpustakaan berupa layanan yang diberikan seperti bahan bacaan atau koleksi buku, majalah, koran, maupun sumber informasi multi media seperti vcd, dvd yang menunjang dengan proses kebutuhan penyandang cacat.
Perpustakaan sebagai organisasi pengelolah dan penyedia informasi seharusnya dapat meningkatkan peran dalam meningkatkan pengetahuan sumber daya manusia yang ada. Perpustakaan merupakan organisasi pelestari informasi bahan pustaka sebagai hasil budaya yang dapat digunakan sebagai sumber kebutuhan informasi manusia berupa ilmu pengetahuan, budaya dan teknologi yang bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa seperti yang dituangkan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Akan tetapi dalam kenyataannya penegelolaan perpustakaan belum maksimal untuk menyediakan fasilitas dan layanan bagi penyandang cacat, perpustakaan sebagai organisasi yang memberikan jasa informasi hendaknya mengetahui jenis karakter penggunanya untuk menyediakan fasilitas dan koleksi yang dibutuhkan oleh pengguna perpustakaan yaitu para penyandang cacat. Untuk saat ini belum adanya perhatian khusus mengenai pelayanan dan fasilitas perpustakaan yang diberikan bagi para penyandang cacat. Untuk itu perpustakaan sebagai organisasi informasi dapat memeberikan fasilitas dan koleksi yang mendukung dengan kebutuhan para penyandang cacat yaitu tuna netra. Adapun fasilitas yang diberikan untuk pengguna penyandang cacat dapat berupa fasilitas ruangan yang dapat berupa koleksi braile, koleksi multi media seperti vcd, dvd dan ruangan yang nyaman. Contohnya saja tambahan aplikasi yang diperkenalkan untuk tunanetra dalam mengakses informasi, Orca.
Tidak hanya fasilitas dan koleksi yang harus diperhatikan perpustakaan dalam memebrikan layanan kepada penyandang cacat. Ruang lingkup lain yang harus diperhatikan oleh perpustakaan yaitu akses dan gedung yang diberikan kepada penyandang cacat. Akses tersebut dapat berupa suatu ruangan khusus yang didesain dengan kenyamanan yang sesuai dengan psikologis para penyandang cacat. Aspek psikologis di sini dapat dikatakan bahwa ruangan yang didesain dengan kenyamanan memepunyai makna terhadapa pengguna yaitu manfaat bagi penyandang cacat yang dapat merasakan bahwa lingkungan dalam ruangan tersebut mempunyai fungsi sebagai rumah tinggal pribadi maupun sebagai tempat untuk mengakses informasi.
Dapat dikatakan bahwa perpustakaan sebagai organisasi pengelola dan peneyedia informasi tidak hanya memperhatikan kebutuhan informasi, fasilitas, layanan, dan koleksi yang dibutuhkan bagi orang normal, tetapi juga harus melihat kondisi lingkungan dan keberagaman jenis karakter pengguna informasi yaitu penyandang cacat untuk diperhaitikan dan mendapatkan pelayanan khusus seperti yang diatur dalam undang-undang No.2 tahun 1989 bab IV pasal 24 ayat 7.
Maka dari itu penulis membahas kebutuhan informasi penyandang cacat tuna netra yaitu untuk memberikan pengetahuan bagi pustakawan, perpustakaan dan lembaga informasi lainnya untuk lebih memeperhatikan kebutahan informasi, layanan, fasilitas dan koleksi yang dibutuhkan para penyandang cacat untuk menunjang pengetahuan dan pendidikan formal maupun informatif seperti halnya orang normal.
Kebutuhan Informasi Penyandang Cacat
Tuna netra menurut Direktorat Jendral Pendidikan Luar Biasa dalam “Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Tuna Netra” (2006) adalah seorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
Ada berbagai factor yang menyebabkan kelainan penglihatan (ketunanetraan) seperti kelainan struktur mata atau penyakit yang menyerang cornea, lensa, retina, saraf mata dan lain sebagainya. Di samping itu, kelainan penglihatan juga dapat diperoleh karena factor keturunan, misalnya perkawinan antar saudara dekat yang dapat meningkatkan kemungkinan diturunkannya kondisi kelainan penglihatan. Penyebab ketunanetraan yang lain adalah adanya berbagai infeksi virus, tumor otak atau cidera seperti yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas dan lain-lain. Perawatan dengan menggunakan obat-obat keras yang terlalu lama, seperti yang menggunakan jenis-jenis steroids tertentu, dapat juga mempunyai dampak temporer ataupun permanen terhadap system penglihatan (Juang Sunanto, 2008).
Pada penderita tuna netra terdapat beberapa karakteristik, dilihat dari karakteristik fisik dan juga psikhis.
a. Fisik
Keadaan fisik anak tuna netra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaannya hanya terdapat pada organ-organ penglihatannya.
b. Psikhis
Secara psikhis, tuna netra dapat dijelaskan sebagai berikut:
· Mental atau intelektual
Intelektual atau kecerdasan penderita tuna netra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas lainnya. Kecenderungan IQ anak tuna netra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap, yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan lain sebagainya. Mereka juga mempunyai emosi negative dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan lain sebagainya.
· Sosial
Hubungan social yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah dan anggota keluarga yang lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua atau anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anggota keluarga yang mempunyai cacat atau tuna netra, sehingga muncul ketegangan, gelisah diantara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Tuna netra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah, antara lain:
- Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual yang dialami oleh penyandang cacat tuna netra, tuna netra kurang mampu berorientasi dengan lingkungan sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas menjadi upaya untuk mempertajam fungsi indera lainnya. Upaya ini akan membantu anak tuna netra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
- Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tuna netra yang emosional.
- Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Tuna netra ahrus diberi kesempatan untuk menolong diri mereka sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak dini.
Dengan adanya beberapa karakteristik yang terdapat dalam diri seorang tuna netra, maka hal ini dapat menjadi salah satu tolak ukur untuk mengupayakan fasilitas atau pelayanan yang layak untuk dilayankan kepada seorang tuna netra.
Penulis menggunakan beberapa teori yang bisa mendukung artikel ini, salah satu diantaranya adalah teori dari Wilson. Manusia mempunyai banyak kebutuhan untuk melangsungkan kehidupannya. Konsep umum dari kebutuhan sendiri merupakan konsep psikologis yang mengacu pada kondisi kejiwaan (mental states) atau perhatian (attention) yang dicurahkan pada sebuah gagasan, dimana subyektifitas dan motivasi seseorang berperan besar dalam mendorong timbulnya ekspresi kebutuhan (Wilson, 2000). Kebutuhan informasi manusia terbagi dalam tiga konteks, yaitu kebutuhan terkait dengan lingkungan seseorang (person’s environment), peran social yang disandang (social role), dan karakteristik individu (individualcharacteristic). Selain itu, “kebutuhan” juga semakin tak terpisahkan oleh dua istilah penting lainnya, yaitu: pencarian atau penemuan (seeking atau searching) dan penggunaan/pemanfaatan (using). Semua istilah-istilah ini melengkapi konsep sentral yang biasa disebut “perilaku informasi” atau information behavior.
Selain melihat kebutuhan sebagai bagian dari perilaku yang dapat diobservasi, juga muncul konsentrasi pada penelitian tentang apa yang terjadi di dalam benak manusia, atau yang terbentuk di “jiwa dalam”-nya sebagai sebentuk motivasi (inner motivational state). Puluhan tahun yang silam, seorang penulis bernama Taylor (1968) sudah mengingatkan dunia kepustakawanan dan informasi bahwa kebutuhan informasi merupakan kondisi rumit; merupakan gabungan dari karakteristik personal dan psikologis yang cenderung tak mudah diungkapkan. Selain itu, kebutuhan ini juga seringkali samar-samar dan dapat tersembunyi di bawah alam sadar.
Menurut Taylor, ada empat lapisan atau tingkatan yang dilalui oleh pikiran manusia sebelum sebuah kebutuhan benar-benar dapat terwujud secara pasti. Visceral need, yaitu tingkatan ketika “need for information not existing in the remembered experience of the inquirer” – atau dengan kata lain ketika kebutuhan informasi belum sungguh-sungguh dikenali sebagai kebutuhan, sebab belum dapat dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman seseorang dalam hidupnya. Inilah kebutuhan “tersembunyi” yang seringkali baru muncul setelah ada pengalaman tertentu. Conscious need, yaitu ketika seseorang mulai menggunakan “mental-description of an ill-defined area of indecision” atau ketika seseorang mulai mereka-reka apa sesungguhnya yang ia butuhkan. Formalized need, yaitu ketika seseorang mulai secara lebih jelas dan terpadu dapat mengenali kebutuhan informasinya, dan mungkin di saat inilah ia baru dapat menyatakan kebutuhannya kepada orang lain. Compromised need, yaitu ketika seseorang mengubah-ubah rumusan kebutuhannya karena mengantisipasi, atau bereaksi terhadap, kondisi tertentu.
Karya Taylor adalah salah satu karya yang membuka jalan bagi berbagai penelitian tentang kebutuhan informasi. Penulis-penulis lain segera mengikuti jejaknya. Salah satunya adalah Dervin (1992) yang memperjelas konsep “visceral need” dan “conscious need” dalam proses Sense-Making. Di dalam modelnya, Dervin memperjelas tahap-tahap perubahan kondisi benak seseorang ketika ia menjalani masa kebingungan dalam konteks kebutuhan informasi. Taylor mendapatkan model dalam proses pencarian informasi di perpustakaan. Model tersebut terdiri dari 3 komponen. Pertama, empat tingkatan model untuk mengungkapkan kebutuhan informasi individu yang mua-mula Nampak pada publikasi yang dilakukan oleh Taylor (1962). Kedua, model proses untuk menentukan keputusan dalam menyelidiki informasi. Ketiga, lima penyaring atau filter yang terselesaikan dengan pertanyaan selama negosiasi. Pendapat Taylor sering digunakan oleh beberapa peneliti lain.
Walau tidak langsung menggunakan model Taylor, para peneliti lain menggunakan pandangan Taylor untuk memfokuskan perhatian mereka. Misalnya Saracevic dan kawan-kawan (1988) mengusulkan pendekatan problem orientation, yaitu fokus pada isyu-isyu yang memicu seseorang mencari informasi. Artinya, Saracevic dan kawan-kawannya mengakui pentingnya tingkatan “conscious need” seperti yang digambarkan Taylor di atas, tetapi mereka mengajak peneliti mengungkap kejadian atau isyu yang memicu “conscious need” itu, bukan hanya mencoba mengenali kebutuhan informasi seseorang. Dengan kata lain pula, Saracevic menganjukan peneliti memperhatikan konteks dari sebuah kebutuhan; bukan cuma kebutuhannya itu sendiri.
Rencana seseorang dalam penggunaan informasi dapat dilihat ketika seseorang membutuhkan informasi, sedikit banyak ia juga sudah punya ancang-ancang tentang kegunaan informasi itu. Kondisi pengetahuan seseorang yang relevan dengan kebutuhannya. Ini adalah unsur penting untuk melihat seberapa besar “gap” yang ada di benak seseorang; antara apa yang sudah diketahuinya tentang Paris dan apa yang belum diketahuinya. Wajarlah jika gap ini akan berbeda-beda di setiap orang. Dugaan seseorang tentang ketersediaan informasi yang dibutuhkannya. Dari pandangan-pandangan berbagai penulis yang dikutip di atas, tampaklah bahwa kebutuhan informasi merupakan sebuah konsep yang cukup rumit dan menjadi salah satu topik penelitian yang populer di bidang ilmu perpustakaan dan informasi.
Menurut Guha (dalam Farradane), ada empat jenis kebutuhan lain terhadap informasi:
1. Current need approach, yaitu pendekatan kepada kebutuhan pengguna informasi yang sifatnya mutakhir. Pengguna berinteraksi dengan system informasi dengan cara yang sangat umum untuk meningkatkan pengetahuannya.
2. Everyday need approach, yaitu pendekatan terhadap kebutuhan seseorang yang sifatnya spesifik dan cepat. Pendekatan ini dilakukan seseorang dengan jangka waktu yang rutin.
3. Exhaust need approach, yaitu pendekatan mendalam yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai ketergantungan tinggi pada informasi yang dibutuhkan.
4. Catching-up need approach, yaitu pendekatan ringkas yang dilakukan oleh seseorang mengenai perkembangan informasi terbaru dan hal yang sifatnya relevan dengan apa yang diinginkan.
Selain itu, menurut Sulistyo-Basuki (2004: 396) kebutuhan informasi ditentukan oleh:
1. Kisaran informasi yang tersedia
2. Penggunaan informasi yang akan digunakan
3. Latar belakang, motivasi, orientasi, dan karakteristik masing-masing pemakai
4. System social, ekonomi, dan politik tempat pemakai berada, dan
5. Konsekuensi penggunaan informasi.
Untuk mengetahui kebutuhan informasi, perlu adanya analisis kebutuhan. Yaitu sebuah proses untuk mendapatkan informasi, model, spesifikasi tentang perangkat lunak apa yang diinginkan oleh klien/pengguna. Kedua belah pihak, yaitu klien dan pengelola informasi terlibat aktif dalam tahap ini, informasi yang diperoleh dari klien atau pengguna inilah yang akan menjadi acuan untuk melakuka tahapan selanjutnya yaitu melakukan desai perangkat lunak. Ada tiga faktor yang harus dipenuhi ketika melakukan analisis kebutuhan ini, yitu lengkap, detail dan benar. Lengkap artinya semua yang diharapkan oleh klien telah didapatkan oleh pihak yang melakukan analisi. Sedangkan detail maksudnya adalah berhasil mengumpulkan informasi yang terperinci. Semua data dari analisis kebutuhan ini haruslah benar, sesuai yang dimaksud oleh klien, bukan benar menurut apa yang dipikirkan oleh pihak yang melakukan analisis
Menurut Wilson, kebutuhan informasi manusia terbagi dalam tiga konteks, yaitu kebutuhan terkait dengan lingkungan seseorang (person’s environment), peran sosial yang disandang (social roles), dan personal (1981). Salah satu kebutuhan terbesar manusia adalah memenuhi kebutuhan kognitifnya. Wilson mengartikan kebutuhan kognitif (cognitive needs) sebagai ‘need to find order and meaning in the environment’ (Eeva-Liisa: 1998). Kebutuhan ini berkaitan erat dengan motif seseorang untuk memperkuat atau menambah informasi, pengetahuan, dan pemahaman mengenai lingkungannya (Yusup, 1995). Lingkungan memiliki andil besar dalam membentuk perilaku yang ditunjukkan oleh seorang individu. Menurut Pirolli (2005), manusia secara adaptif membentuk perilaku mereka berdasarkan lingkungan informasinya (information environments), demikian juga sebaliknya, lingkungan informasi juga dibentuk oleh manusia. Sehingga, tidak mengherankan jika alat yang digunakan dalam penemuan informasi masyarakat pun banyak diadaptasi dari fluktuasi informasi yang terjadi dalam lingkungan (Gleeson, 2001).
Sedangkan konteks kebutuhan informasi terkait peran sosial (social roles) memiliki hubungan erat dengan teori peran (role theory). Teori yang diperkenalkan oleh Biddle dan Thomas ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan pencarian informasi mereka menurut konteks sosial dalam sebuah sistem sosial (Prabha, 2007).
Konteks kebutuhan informasi yang terakhir menurut Wilson adalah kebutuhan terkait dengan karakteristik personal (individual characteristics). Kebutuhan ini berkaitan erat dengan pemenuhan faktor-faktor kognitif, afektif, serta kebutuhan untuk memperoleh hiburan (escapist needs). Kebutuhan afektif adalah kebutuhan untuk menambah pengetahuan dan informasi terkait dengan lingkungan (Yusup, 1995). Dalam konteks ini, informasi yang diperoleh akan digunakan oleh seorang individu untuk memenuhi kebutuhan personalnya. Kebutuhan afektif menurut Katz, Grevitch, dan Haz adalah kebutuhan yang berhubungan dengan penguatan estetis, hal yang dapat menyenangkan, dan pengalaman-pengalaman emosional (Yusup, 1995). Sedangkan escapist needs merupakan kebutuhan untuk melarikan diri, melepaskan ketegangan, dan hasrat untuk mencari hiburan atau pengalihan (diversion) (Yusup, 1995).