Mengkaji Ulang Konsep Rule Of Law Dalam Pembaruan Peradilan Di Indonesia
Reformasi peradilan telah menjadi titik pusat pembangunan hukum (legal development) dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dan jantung dari reformasi peradilan adalah paradigma “Rule of Law (ROL)” yang meyakini pengadilan sebagai elemen penting dalam ranah reformasi hukum. Terdapat asumsi umum yang menyatakan bahwa pendekatan ROL adalah langkah penting untuk mencapai kestabilan pasar dan masyarakat yang demokratis. Namun demikian, pengalaman di berbagai Negara memperlihatkan bahwa hal ini hanyalah “janji surga” belaka.
Tahun 1998 adalah tahun yang sangat penting bagi Negara-negara asia dimana perekonomian mereka dilanda krisis keuangan yang berdampak pada perekonomian dan politik di wilayah regional Asia termasuk Indonesia. Perubahan signifikan konstalasi politik dan perekonomian di Indonesia ditandai dengan turunnya Soeharto di tahun 1998. Pada masa tersebut, jalan menuju reformasi hukum dan peradilan Indonesia seolah terbuka lebar. Donor asing mulai bersaing untuk menginvestasikan dana yang mereka miliki dalam berbagai project reformasi hukum dan peradilan. Namun demikian, hingga kini benang merah antara perbaikan peradilan yang berujung pada membaiknya iklim investasi masih menjadi tanda tanya. Hasil nyata dari reformasi peradilan sangat sulit untuk diukur. Lebih jauh dari itu, berbagai permasalahan dalam reformasi peradilan terjadi akibat banyaknya program pembaruan yang terkesan tidak berakar dari konteks nasional dan konteks politik.
PENAFSIRAN ATAS PARADIGMA ROL
ROL dalam perspektif Liberalis-Institutionalis. Latar belakang ideologis bagi pembaruan peradilan tidak pernah dapat dilepaskan dari Rule of law dimana tujuan utamanya adalah menciptakan kepastian hukum. Menurut kaum liberalis, yang salah satu pemikirannya diwakili oleh Hayek dalam bukunya The Road to Serfdom, terdapat 3 (tiga) unsur utama dari konsep ROL tradisional Hayek berpendapat, ROL harus memiliki 3 atribut, yaitu berlaku umum (generality), kesetaraan (equality) dan kepastian (certainty). Untuk mencapai tujuan utama dari tiga pilar ini maka perlu ada pemisahan yang ketat antara fungsi legislatif dan fungsi peradilan, karena peradilan diharapkan menjadi lembaga yang berfungsi melakukan cek terhadap pelaksanaan fungsi Negara. Dengan demikian peran Hakim menjadi sangat utama untuk membatasi diskresi pemilik kekuasaan dengan melihat apakah Negara telah melaksanakan fungsinya sesuai dengan hukum dan kewenangannya. Sebagai konsekuensinya, independensi peradilan dan berbagai cara untuk mencapainya menjadi penting untuk memastikan netralitas hakim.
Kritik. Namun demikian, meskipun kaum liberalis terkesan berkepentingan terhadap praktek-praktek untuk melawan ketidaksamaan di muka hukum, namun demikian para pemikir kritik melihat bahwa janji kaum liberal atas kesetaraan dan kemerdekaan dalam prakteknya justru menciptakan ketidaksetaraan. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksetaraan dalam distribusi kesejahteraan dan pengetahuan. Secara lebih khusus lagi, kaum miskin, tidak mampu, kurang berpendidikan dan kaum marginal justru memperoleh perlakuan yang tidak setara di bawah rezim liberal. Dengan demikian liberalisme memerdekakan manusia yang memiliki akses terhadap modal (capital) dan kekuatan ekonomi, namun di sisi lain mendominasi kaum marjinal.
Berkenaan dengan pendapat kaum liberalis tentang posisi sentral hakim, kaum liberalis-institutionalis yang mendasarkan argumentasi mereka terhadap pentingnya hukum formal, meyakini bahwa hukum diaplikasikan oleh hakim secara mekanis yang merumuskan jawaban dalam setiap kasus tanpa diskresi dan bebas dari intervensi. Namun demikian, kaum kritik berpendapat bahwa sesungguhnya terdapat gap dan kontradiksi dalam hukum itu sendiri dan terdapat elemen fleksibiliti hakim dalam menangani perkara. Hakim dalam kenyataannya, saat membuat putusan, tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh sosial dan pribadi serta bias ideologi.
Problematika ROL dalam Program Pembaruan PERADILAN
ROL sebagai jargon utama project pembaruan. Terminologi ROL menjadi penting karena terminologi ini diterima secara luas oleh lembaga-lembaga donor dan dipercayai bahwa ketiadaannya adalah penyebab utama hilangnya kepercayaan investor dalam pasar regional. Bagi mereka yang meyakini kekuatan pasar dalam mengukur kesuksesan pembangunan, akan memilih untuk mengesampingkan Negara dalam pembangunan ekonomi, kecuali sebagai sarana untuk memproduksi hukum yang bermanfaat bagi kelancaran fungsi pasar. David Trubek menyatakan bahwa ketika lembaga donor menyadari Neoliberalis memilih hukum sebagai sarana menciptakan kondisi bagi kelancaran mekanisme pasar, maka saat itulah lembaga donor sepakat untuk melakukan investasi dalam pembaruan hukum dimana ROL menjadi tujuan utamanya.
Peradilan tetap menjadi fokus utama reformasi hukum. Karena posisinya yang sentral tersebut, lembaga peradilan menjadi magnet utama program bantuan donor. Program bantuan bagi peradilan hingga kini telah melampaui jumlah bantuan yang diberikan pada sector hukum lainnya, dan ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, program donor dengan peradilan sebagai target spesifik berjumlah kurang lebih US$ 40-50 juta; termasuk di antaranya US$ 20 juta dari MCC/USAID, US$ 18 juta yang berasal dari European Union dan berbagai program bantuan lainnya.
Reformasi peradilan melalui pengadilan khusus (1998-2002), melalui Pengadilan Niaga dan disusul kemudian oleh Pengadilan Tipikor. Pengadilan khusus ini dibentuk dengan tujuan utama untuk membuat suatu pengadilan yang terpisah dari segi yurisdiksi, organisasi, personil, dan budget. Pengadilan ini dibentuk sebagai “model”, untuk mendorong perubahan di tubuh pengadilan. Ini merupakan inisiatif program pembaruan pertama pasca reformasi 1998.
Pada masa awalnya Pengadilan Niaga menjadi project penting yang diminati banyak donor. Namun alih-alih menjadi model peradilan modern, pengadilan baru ini dengan cepat tertulari oleh berbagai permasalahan yang terjadi di pengadilan umum, antara lain korupsi, inkompetensi. Daniel S Lev berpendapat bahwa Pengadilan Niaga sebagai bagian penting bagi solusi masalah perekonomian, telah dibuat tanpa memperhitungkan kenyataan bahwa lembaga peradilan secara umum lemah dan rendahnya dukungan politis. Menciptakan suatu pengadilan khusus dengan harapan dapat sedemikian rupa memisahkan permasalahan yang dihadapi peradilan secara umum, merupakan kesimpulan yang terlalu dini.
Namun demikian, disamping berbagai kelemahan yang dihadapi pengadilan niaga, terdapat pula sisi keberhasilan yang perlu dicatat. Pengadilan niaga telah memperkenalkan hakim ad hoc, dissenting opinios, publikasi putusan, peningkatan gaji dan seterusnya. Namun demikian secara umum, pengadilan niaga tidak pernah benar-benar menjadi pengadilan khusus yang terpisah dari pengadilan umum. Selain itu munculnya berbagai pengadilan khusus menyusul “kesuksesan” pengadilan niaga, lebih banyak menimbulkan permasalahan baru daripada memecahkan permasalahan.
Reformasi Mahkamah Agung (2003 hingga kini). MA memulai berbagai program pembaruan sejak 2002-3. Sistem satu atap telah memutus peran pemerintah terhadap pengadilan. Selain itu hakim-hakim non karir yang dipilih semenjak tahun 2000, berperan cukup besar dalam mendorong MA melaksanakan program pembaruan. Terdapat berbagai tantangan besar dalam pelaksanaan program pembaruan di MA. Berbagai program memperlihatkan adanya tumpang tindih yang menyebabkan timbulnya inefisiensi. Selain itu komunitas donor juga memiliki latar belakang yang kurang meyakinkan. Salah satu penyebab utama lemahnya proses reformasi di MA adalah perilaku donor yang tidak menentu. Secara umum, perilaku lembaga donor dalam pelaksanaan asistensi cenderung bersifat jangka pendek, incidental, tidak terkoordinasi dan seringkali tumpang tindih serta dipengaruhi oleh beragam agenda internal masing-masing donor. Program donor secara umum terfokus pada isu-isu yang kurang signifikan, kadangkala cenderung memilih isu-isu “sexy”, dan menafikan isu-isu yang lebih susbtansial dan sistematis yang menuntut komitmen yang lebih besar dan keahlian yang lebih baik untuk mampu melaksanakannya. Dinamika keberadaan donor salah satunya berdampak pada banyak program-program yang tidak terkoordinasi dan berdiri sendiri-sendiri. Di tahun 2007-8 implemntasi cetak biru pembaruan peradilan semakin sulit dan kurang terarah.
NGO DAN DONOR
NGO dalam Krisis. NGO telah melibatkan diri dalam proses reformasi peradilan sejak awal masa reformasi. Hingga kini, NGO sendiri telah mengalami evolusi. Di satu sisi kompetensi personil NGO semakin meningkat, demikian juga peran mereka di dalam institusi peradilan. Namun demikian, secara kelembagaan NGO kini semakin melemah dan peran secara kelembagaan dalam konstalasi reformasi berada dalam bayang-bayang donor.
Lembaga-lembaga Donor. Meskipun masih diperdebatkan, namun demikian salah satu faktor utama penyebab krisis yang kini dialami oleh NGO adalah dinamika lembaga donor. Jumlah lembaga donor yang bekerja di sector peradilan dan anti korupsi meningkat secara pesat. Termasuk juga semakin besarnya cakupan program yang dilaksanakan serta besarnya jumlah dana yang tersedia. Dalam keadaan ini, donor telah mendorong personil-personil dalam tubuh NGO untuk memberikan asistensi bagi donor dalam pelaksanaan programnya. Dalam proses tersebut, donor tidak melibatkan NGO secara kelembagaan sebagai agen perubahan, namun melibatkan anggota NGO secara individual sebagai konsultan untuk membantu donor mengartikulasikan ide dan kepentingan mereka. Dengan demikian pada saat itu personil NGO tersebut lebih mewakili kepentingan lembaga donor disbanding kepentingan NGO tempat ia bernaung. Pendekatan personal ini memiliki dampak signifikan terhadap NGO.
Tidak dapat dipungkiri, kontrak personal memberikan insentif pendapatan yang menarik bagi staff individu NGO. Dan hal ini juga membantu mereka meningkatkan kapasitas personal yang disebabkan interaksi mereka yang intensif dengan lembaga donor. Dalam situasi dimana sebagian besar anggota NGO mengalami kebuntuan dalam karir di lembaga mereka, pendekatan konsultansi memberikan peluang karir yang menjanjikan bagi mereka. Keuntungan ini sangat mungkin menyebabkan individu NGO yang dilibatkan dalam program secara personal menjadi reluctant untuk merubah kesepakatan yang menguntungkan ini. Beberapa anggota NGO kini menyebut donor sebagai “klien” dan menggunakan terminology “kepuasan klien”. Staff NGO mulai berubah dari actor independent dengan agenda reformasi kelembagaan, menjadi lebih dekat dengan kepentingan donor dan dengan demikian mewakili kepentingan donor. Untuk memperbaiki keadaan ini peran donor untuk mau merubah pendekatan mereka menjadi sangat penting. Keuntungan yang dipetik secara personil tidaklah sebanding dengan resiko yang akan terjadi bagi NGO secara kelembagaan dalam reformasi peradilan secara umum.
TANTANGAN PEMBARUAN PERADILAN
Tanpa mempertanyakan pentingnya reformasi peradilan, para pembaharu hukum seharusnya perlu lebih memperhatikan elemen-elemen lain yang penting bagi pembaruan peradilan. Strategi reformasi seharusnya ditujukan untuk memperbaiki institusi peradilan yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum, bukan hanya demi kepentingan pasar. Amartya Sen, mencatat bahwa pembaruan hukum dan peradilan harus memperhatikan kebutuhan masyarakat untuk meraih kemerdekaan hak-hak mereka dengan cara meningkatkan kapasitas mereka. Dengan demikian pembangunan ROL seharusnya tidak diartikan secara sempit sebagai pembaruan peraturan dan hukum, namun keseluruhan instrument yang mempengaruhi kapasitas masyarakat untuk memperoleh hak-hak mereka harus diperhatikan secara serius..
Hingga kini, reformasi peradilan belumlah memenuhi harapan masyarakat. Kinerja peradilan hingga kini tetap tidak dapat diprediksi dan opini masyarakat maupun pasar pun semakin menguat bahwa peradilan tidak dapat dan belum dapat melaksanakan fungsinya secara independent bebas dari pengaruh kepentingan. Korupsi dan suap tetap menjadi permasalahan utama yang membayangi kinerja dan kredibilitas institusi peradilan. Reformasi peradilan yang berjalan hingga kini bersifat teknokratis dan kurang memperhatikan strategi dan arah reformasi yang seharusnya hendak dituju.
Reformasi juga memperlihatkan pengabaian donor terhadap konteks yang ada di Negara penerima donor. Seringkali proses reformasi terjadi sebagai bagian dari kesepakatan antara Negara maju yang bertindak sebagai donor, dan Negara berkembang sebagai penerima. Dalam keadaan demikian, proses yang instan kerap mengabaikan perlunya jangka waktu yang realistis untuk dapat mengatasi suatu permasalahan yang kompleks dan kronis. Bahaya dari proses instant yang terburu buru ini adalah ketika solusi suatu permasalahan dicangkok sedemikian rupa dari model yang ada di suatu Negara tanpa melakukan perubahan/ penyesuaian dikarenakan keterbatasan waktu untuk mengkaji lebih mendalam kekurangan dan kelebihan model yang diterapkan tersebut.