Politik Hukum Pengawasan Peraturan Daerah, Masa Lalu Dan Masa Kini
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa ”Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Menurut konsep negara kesatuan, penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan inherent dengan negara kesatuan itu dan daerah tidak pernah memiliki kewenangan asli. Kewenangan asli milik dari Pemerintah pusat, dan daerah hanya memperoleh kewenangan berdasarkan apa yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Mengingat luasnya wilayah, kompleksnya urusan dan pembangunan serta banyaknya pulau dengan aneka ragam suku bangsa dan budaya, maka tidak memungkinkan semua kewenangan dipusat pada pemerintah pusat, melainkan diserahkan kepada daerah-daerah otonom berdasarkan ketentuan Undang-undang.Undang-undang yang mengatur soal otonomi daerah baik sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 dari waktu ke waktu cenderung berubah. Perubahan itu terlihat dari ketentuan undang-undang yang mengaturnya, mulai dari UU No 1 Tahun 1945 dan terakahir UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Satu hal yang perlu diketahui (Radjab, 2005) bahwa wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah otonom. Daerah-daerah otonom tersebut diberikan otonomi untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Daerah-daerah otonom tersebut merupakan bagian-bagian organis dari negara kesatuan, artinya daerah-daerah otonom bersifat mandiri (zelfstanding), tetapi bukan merdeka (onafhankelijk)
Mengingat daerah otonom dalam menyelenggarakan pemerintahan bukan merdeka, melainkan mandiri, maka dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah pengawasan oleh pemerintah pusat merupakan sebuah keharusan. Menurut Bagir Manan (2001), bahwa Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain, merupakan satu aspek yang harus ada. Artinya tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan .kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi satu lembaran mata uang dalam negara kesatuan dengan sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian berotonomi dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap kecendrungan sentralisasi yang berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa sistem pengawasan. Salah satu yang diawasi adalah kebijakan daerah yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah. Dalam pengawasan terhadap peraturan daerah ada dua jenis pengawasan (1) pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang pengesahan terhadap peraturan daerah sebelum ditetapkan dan (2) pengawasan Refresif adalah wewenang pembatalan atau penangguhan terhadap peraturan daerah setelah ditetapkan dan diperlakukan kepada masyarakat.
I. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan, maka yang menjadi permasalahannya adalah: Bagaimana politik hukum pengawasan terhadap peraturan daerah oleh pemerintah.
II. PEMBAHASAN
1.Politik Hukum Pengawasan Peraturan Daerah Masa Lalu
Menurut Lubis (1989) Politik Hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di dalam menentukan hukum apa yang berlaku ditentukan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang berlaku sebagai konsep dasar menentukan poltik hukum tersebut, setidak-tidaknya oleh rezim yang berkuasa. Untuk melihat politik hukum pengawasan peraturan daerah masa lalu, penulis akan melihat pengaturannya mulai dari UU No 22 Tahun 1948 s.d UU No 22 Tahun 1999.
a. UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa politik hukum pengawasan terhadap Peraturan daerah sebelum UU No 32 Tahun 2004 cenderung berubah. Perubahan ini berkaitan dengan sistem otonomi daerah yang sedangkan digariskan dari rezim yang berkuasa ke dalam ketentuan undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah. Pengaturan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dimulai sejak berlakunya UU No 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diketahui UU No 22 Tahun 1948 ini dibentuk saat terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sistem presidentil ke sistem parlementer. Perubahan ini terjadi dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945, tanggal 16 Oktober dan dilanjutkan dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.
Menurut Maklumat tersebut di atas Menteri-menteri tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden, melainkan kepada Parlemen/Komite Nasional Indonesia Pusat (Radjab: 2005), Konsekuensi dari perubahan sistem pemerintahan dan pertanggungjawaban menteri di daerahpun terjadi perubahan sistem pemerintahan daerahnya, bahwa pemerintah daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sedangkan DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari dan bertanggungjawab kepada DPRD. Kemudian ditentukan pula Kepala Daerah memiliki dua fungsi. Salah satunya fungsinya adalah melaksanakan pengawasan preventif maupun refresif. Ini dapat dilihat dalam Pasal 36, bahwa Kepala Daerah berhak menahan dilaksanakannya putusan DPRD dan DPD, apabila bertentangan dengan kepentingan umum, UU/PP atau Perda yang lebih tinggi. Penahanan harus dilakukan tujuh hari setelah diberitahukan kepada DPRD atau DPD, demikian pula Presiden terhadap putusan DPRD dan DPD tingkat Provinsi dan apabila Presiden atau DPD tingkat Provinsi dalam tenggang waktu 3 bulan, maka putusan yang ditahan berlaku dengan sendirinya.
Selanjutnya Pasal 42 ditentukan, bahwa Putusan DPRD dan DPD, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, UU/PP atau Perda yang lebih tinggi tingkatannya, dapat ditunda atau dibatalkan, bagi provinsi oleh Presiden dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah setingkat lebih atas. Putusan penundaan atau pembatalan diberikan dalam lima belas hari sesudah hari putusan itu disampaikan kepada DPD yang bersangkutan disertai dengan alasan-alasannya. Lamanya waktu penundaan disebutkan dalam surat ketetapan dan tidak boleh lebih dari enam bulan. Apabila dalam enam bulan karena penundaan itu tidak ada putusan pembatalan, maka putusan daerah itu dianggap berlaku.
Dari ketentuan di atas jelas ada dua pola pengawasan, yakni pengawasan preventif dan refresif. Pengawasan preventif (penahan berlakunya) dilakukan oleh Kepala Daerah dalam kapasitasnya sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sekaligus Ketua DPD bagi putusan-putusan DPRD dan DPD di bawah provinsi, sedangkan untuk daerah provinsi dilakukan oleh presiden. Sebaliknya pengawasan refresif (penundaan dan pembatalan) dilakukan oleh Presiden untuk daerah tingkat provinsi dan DPD untuk tingkat di bawahnya.
b. UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok–Pokok Pemerintahan Daerah
Meskipun ketentuan pengawasan terhadap putusan-putusan DPRD dan DPD diatur, ketentuan tidak dapat dilaksanakan sebagaima mestinya, akibat terjadinya perubahan ketatanegaraan Republik Indonesia dari bentuk negara kesatuan berubah menjadi negara federal (serikat dengan hukum dasarnya KRIS 1949). Sistem Ketatanegaraan inipun tidak berusia panjang, terjadinya perubahan dari bentuk Serikat ke bentuk Kesatuan dengan diberlakunya UUDS 1950 sebagai Hukum Dasarnya. Pada masa UUDS berlakunya dibentuklah UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok–Pokok Pemerintahan Daerah. Menururt Pasal 64, bahwa Keputusan DPRD atau DPD, jika bertentangan dengan kepentingan umum, UU, PP dan Perda yang lebih tinggi tingkatnya,dipertangguhkan atau dibatalkan bagi Daerah swatantra tingkat I (DaswatiI) oleh Mendagri atau penguasa lain yang ditunjuknya bagi lain-lain daerah DPD setingkat lebih atas.
Selain kewenangan di atas. Mendagri atau penguasa lain yang ditunjuk dapat melakukan penangguhan atau pembatalan terhadap keputusan DPRD dari DPD dari Daswati I dan III, apabila DPD yang berhak melakukannya tidak melakunya. Pembatalan dilakukan setelah mendengar DPD setingkat lebih atas yang berwenang melakukan pembatalan (Pasal 65).
Kemudian ditentukan pula, bahwa putusan pertangguhan atau pembatalan harus menyebutkan alasan-lasannya dalam waktu lima belas hari sesudah diberitahukan keputusan tersebut, lama waktu pertangguhan tidak boleh lebih dari 6 bulan. Dan apabila masa pertangguhan tersebut tidak ada keputusan, maka keputusan daerah yang bersangkutan dianggap berlaku (67).
c. UU No 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Pengaturan pengawasan terhadap putusan–putusan yang dibuat daerah yang diatur dalam UU No 1 tahun 1957 tidak bebeda jauh dengan pengaturan dalam UU No 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa sesuatu keputusan daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh: Menteri Dalam Negeri untuk keputusan daerah tingkat I, Keputusan daerah tingkat II untuk keputusan Daerah Tingkat II, dan Kepala Daerah Tingkat II untuk keputusan Daerah Tingkat III. Perlu diketahui istilah keputusan daerah dapat juga diartikan dengan peraturan.
Lebih lanjut ditentukan pula suatu keputusan daerah harus ditunggu pengesahannya lebih dahulu dari Mendagri bagi Tingkat I dan KDH tingkat atasnya bagi daerah–daeerah lainnya, bila untuk menjalankan sesuatu keputusan daerah harus ditunggu pengesahan lebih dahulu dari Mendagri bagi TK I dan bagi lain-lain daerah dari KDH setingkat lebih atas, maka keputusan itu dapat dijalankan, apabila menteri/KDH yang bersangkutan dalam tiga bulan terhitung mulai keputusan itu diterima untuk mendapat pengesahan, tidak mengambil keuntungan, adapun waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selambat-lambatnya tiga bulan lagi oleh Mendagri atau KDH tersebut yang memberitahukannya kepada daerah yang bersangkutan.
Bila keputusan daerah tidak dapat disahkan, maka Mendagri atau KDH memberitahukan hal itu dengan keterangan-keterangan yang cukup kepada daerah yang bersangkutan. Terhadap penolakan pengesahan daerah yang bersangkutan dalam waktu satu bulan terhitung mulai saat pemberitahuan yang dimaksud diterima, dapat mengajukan keberatan kepada instansi setingkat lebih atas dari instansi-instansi yang menolak (Pasal 79) Kemudian dalam Pasal 81 apabila ada daerah yang putusan bertentangan dengan kepentingan umum, UU, PP atau Perda tingkat atasnya, tetapi KDH yang tidak melakukan pembatalan, maka penangguhan atau pembatalan dilakukan oleh Menteri Dalam negeri. Keputusan pertangguhan atau pembatalan yang menyebutkan alasan-alasannya diberitahukan kepada KDH yang bersangkutan dalam tempo 15 (lima belas) hari sesudah tanggal putusan itu. Lamanya pertangguhan disebutkan dalam keputusan yang bersangkutan dan tidak boleh melebihi 6 bulan dan apabila dalam tempo penangguhan tersebut tidak ada putusan pembatalan, maka keputusan daerah yang bersangkutan dinyatakan berlaku.
d. UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
UU No 5 tahun 1974 bahwa peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai hal-hal tertentu, baru berlaku setelah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang (Pasal 68), Kemudian dalam Pasal 69 (pengawasan preventif) ditentukan, bahwa Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala daerah yang memerlukan pengesahan dapat dijalankan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, atau apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Perda atau keputusan KDH tersebut,pejabat yang berwenang tidak mengambil keputusan dapat diperpanjang oleh pejabat yang berwenang selama 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktunya berakhir. Apabila Pejabat yang mengesahkan harus memberitahukan alasan-alasannya dan selanjutnya jika daerah keberatan dengan keputusan tersebut, maka Daerah mengajukan keberatan kepada pejabat setingkat lebih atas.
Selanjutnya dalam rangka pelaksanan pengawasan refresif ditentukan dalam Pasal 70, bahwa Peraturan Daerah dan atau Keputusan KDH yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau perda tingkat atasnya ditangguhkan berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang.Apabila Gubermur KDH tidak menjalankan hak menanguhkan atau membatalkan Perda TK II dan atau Keputusan KDH TK II, maka penangguhan dan atau pembatalannya dapat dilakukan oleh Mendagri. Pembatalan Perda dan atau Keputusan KDH, karena bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau Perda Tingkat atasnya, mengakibatkan batalnya semua akibat dari Perda dan atau Keputusan KDH yang dimaksud sepanjang masih dapat dibatalkan. Keputusan penangguhan atau pembatalan disertai alasan-alasan diberitahukan kepada KDH yang bersangkutan dalam jangka waktu 2 (dua) minggu sesudah tanggal keputusan. Lamanya penangguhan yang dinyatakan dalam keputusan yang, tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan dan sejak saat penanguhannya, Perda dan atau Keputusan KDH yang bersangkutan kehilangan kekuatan berlakunya. Jika dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah penangguhan itu tidak diusulkan dengan keputusan pembatalannya, maka peraturan Daerah dan atau Keputusan KDH itu memperoleh kekuatan berlakunya. Keputusan mengenai pembatalan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan atau Lembaran Daerah yang bersangkutan.
Apabila dicermati secara mendalam Politik Hukum (legal policy) pengawasan terghadap Peraturan Daerah yang dilakukan Pemerintah Tingkat atasnya antara UU No 22 Tahun 1948, UU No 1 Tahun 1957, UU No 18 tahun 1965, dan UU No 5 Tahun 1974 tidak jauh berbeda, karena UU tersebut menggunakan dua jenis pengawasan baik pengawasan preventif maupun Refresif. Kalaupun berbeda sistem otonomi yang sedangkan digariskan, ketika berlaku UU No 5 tahun 1974 penyelenggaran pemerintahan sangat sentralitik. Dengan sentralitik ini hampir semua kebijakan daerah sebelum dibentuk terlebih dahulu harus menunggu arahan dan pembinaan dari pemrintahan atas, dan kebijakan daerah jumlahnya terbatas, dan penamabahan baru dapat dilakukan setelah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
e. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Beradasarkan pengalaman ketika berlakunya UU No 5 Tahun 1974 yang lebih sentralistik daripada desentralitik, maka melalui UU No 22 Tahun 1999 dilakukan koreksi total terhadap UU No 5 tahun 1974, termasuk kebijakan dalam melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah. Menurut Pasal 113, bahwa dalam rangka pengawasan , Perda dan Keputusan KDH disampaikan kepada Pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan
Menurut Pasal 114, apabila Perda dan atau Keputusan KDH bertentangan dengan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau perundang-undangan lainnya dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan tersebut harus dilengkapi dengan alasan-alasan. Kemudian selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Perda dan Keputusan KDH dibatalkan pelaksanannya dan daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dan Keputusan KDH, dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukan kepada pemerintah. Dalam UU No 22 Tahun 1999 pengawasan dilakukan secera refresif sebagaimana yang ditentukan Pasal 7 PP No 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah , bahwa Pengawasan oleh pemerintah pusat dilakukan secara refresif terhadap kebijakan pemerintahan daerah yang berupa Perda dan Keputusan KDH serta Keputusan DPRD dan Keputusan Pimpinan DPRD. Adapun produk daerah yang diawasi oleh Menteri Dalam negeri sebagai berikut (a) Perda Provinsi, (b) Keputusan Gubernur, (c) Keputusan Pimpinan DPRD, (d) Perda Kabupaten/Kota tentang Pajak , Retribusi,pengelolaan kawasan, penghapusan /perubahan asset daerah, sumbangan pihak ketiga kepada Pemda, Keputusan Bupati tentang Sumbangan pihak ketika dan kebijakan bupati/walikota tentang penghapusan/perubahan asset daerah. Selanjutnya dalam Kepmendagri No 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Refresif. Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kebijakan daerah. Pengawasan ini dilakukan oleh Gubernur terhadap (Pasal 3) terhadap (a) Perda Kabupaten/Kota , selain yang disebut di atas, (b) Keputusan DPRD tentang Peraturan tata tertib, (c)Keputusan DPRD Kabupaten/Kota tentang Kedudukan Keuangan anggota dan pimpinan DPRD, dan Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam rangka pengawasan refresif Mendagri dapat membatalkan kebijhakan daerah sebagaimana yang dijelaskan di tas, demikian pula Gubernur dapat membatalkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pembatalan dilakukan apabila kebijakan daerah bertentangan dengan :
- kepentingan umum (kepatutan atau kebiasaan, norma agama,adat istiadat, budaya dan susila, serta hal-hal yang membebakna masyarakat dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi;
- peraturan perundang-perundangan yang lebih tinggi ( UUD 1945, UU, PP, dan Peraturan Presiden;
- perda Provinsi /Kuputusan Gubernur, apabila Perda Kabupaten/Kota dan Keputusan Bupati /Walikota mengatur objek yang sejenis
Politik pengawasan sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 1999 tidak menggunakan kebijakan pengawasan preventif, tapi langsung saja refresif. Politik hukum pengawasan seperti ini Menurut Bagir Manan ( 2001) ada segi –segi positif dan negatifnya meniadakan pengesahan peraturan daerah. Segi positif, karena pengawasan preventif dapat menjadi daya kendali atau belenggu terhadap inisatif daerah. Melalui pengawasan preventif daerah ”dipaksa“ selalu tunduk pada kemauan pihak yang berwenang memberikan pengesahan. Segi negatif, tidak ada unsur pencegahan terhadap kekeliruan, kecorobahan, atau kesalahan suatu peraturan daerah, misalnya ternyata bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam prakteknya segi negatif inilah yang menonjol, karena seiringan pula dengan euforia otonomi daerah yang berlomba meningkatkan pendapatan asli daerah yang dibungkus dengan alasan percepatan pembangunan daerah, sehingga tidak mengherankan banyak peraturan daerah yang sudah berlaku dengan memberi beban kepada masyarakat, sementara perda tersebut bertentang baik dengan kepentingan umum maupun dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai contoh Perda Kabupaten Kerinci No. 14 Tahun 2002 tentang Retribusi Dispensasi Jalan Berambu dan Perda No. 11 Tahun 2002 tentang Retribusi Ketenagakerjaan, Kabupaten Tanjab Barat Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Retribusi pengiriman/surat keteerangan asal hasil perikanan, Kabupaten Tebo Perda No. 20 Tahun 2001 tentang Izin Usaha pememfataan hasil hutan, dan Perda No. 21 Tahun 2001 tentang Izin pemungutan hasil hutan, demikian Provinsi Jambi Perda No. 8 Tahun 2001 tentang Sumbangan Wajib Pembangunan Provinsi Jambi (SWPP) disektor kehutanan, dan Perda No. 9 Tahun 2001 tentang Sumbangan wajib Provinsi Jambi (SWPP) disektor perkebunan.
Sehubungan kewenangan Pemerintah dapat membatalkan Perda, kepada daerah diberikan hak untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Meskipun kepada daerah diberikan hak mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung UU No. 22 tahun 1999 serta peraturan Pelaksananya tidak menjelaskan konsekuensinya dari Keputusan Mahkamah Agung apakah bila dikabulkan, konsekuensinya apa, dan bila ditolak konsekeunsinya apa?
2. Politik Hukum Pengawasan Peraturan Daerah Masa Kini
Belajar dari banyak Perda yang bertentangan baik dengan kepetingan umum, maupun dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka ketika merumuskan kebijakan hukum dalam pengawasan dituangkan ke dalam Pasal 144, bahwa ranperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota ditetapkan sebagi Perda. Penyampaian ranperda dilakukan dalam jangka waktu paling 7 (tujuh) hari terhitung sejak persetujuan bersama. Paling lama 30 hari sejak persetujuan bersama, maka Gubernur atau Bupati /Walikota harus menetapkan, dan apabila tidak ditetapkan, maka Ranperda sah dan wajib diundangkan dalam Lembaran daerah. Selanjutnya dalam Pasal 145 UU No 32 Tahun 2004 ditentukan pula, bahwa Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan, dan apabila perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan Kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila Provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan dikabulkan sebagian atau seleuruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan apabila pemerintah tidak mengeluarkan peraturan presiden untuk membatalkan perda Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Ketentuan tentang pengawasan di atas diatur lebih dengan PP No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Menurut Pasal 37, bahwa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah di sampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Menteri. Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. Peraturan Presiden tentang pembatalan Perda ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) sejak Perda diterima oleh Pemerintah. Khusus terhadap Ranperda APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan rencana tata ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Pasal 39) Selanjutnya ditentukan pula penjabat yang melakukan evaluasi ( penilaian):
a. Menteri untuk ranperda provinsi tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi daerah dan rencana tata ruang;
b. Gubernur untuk ranperda APBD, Pajak daerah, Retribusi daerah dan rencana tata ruang daerah
Hasil evaluasi tersebut dilakukan paling lambat 15 (lima hari) kerja setelah diterima trancangan tersebut. Gubernur dan Bupati /Walikota menindaklanjuti hasil evaluasi paling 7 (tujuh) setelah diterima, dan apabila jangka waktu Gubernur tidak menindaklanjutinya dan tetap menetapkan Perda, maka Menteri dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Menteri, demikian pula apabila Bupati/Walikota tidak menindaklanjuti dan tetap menetapkan Perda Gubernur dapat membatalkan peraturan daerah dengan Peraturan Gubenur.
Selanjutnya ditentukan apabila Gubenur atau Bupati/Walikota tidak dapat menindaklanjutinya dengan alasan dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka baik Gubernur atau Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas)hari sejak diterima pembatalan
Dari penjelasan di atas jelaslah, bahwa secara umum pengawasan dilakukan adalah pengawasan refresif, ini terlihat Ranperda yang dibahas bersama oleh Kepala daerah dan DPRD sampai mendapatkan persetujuan bersama, kemudian ranperda yang telah disetujui bersama tersebut paling lama 7 hari terhitung sejak dinyatakan persetujuan, pimpinan DPRD menirimkan kepada Kepala Daerah Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Perda. Dan paling lama 30 hari terhitung sejak persetujuan bersama Gubenrur atau Bupati/walikota harus menetapkannya, dan apabila tidak menetapkannya Ranperda tersebu tetap sah menjadi Perda, dengan catatan dengan kalimat sebagai berikut” Perda ini dinyatakan sah dengan mencantumkan tanggal sahnya dan dibubuhkan pada hal terakhir pada halaman terakhir pengundangan ke dalam Lembaran Daerah“.
Berbeda halnya dengan Perda dengan materi muatan tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi daerah dan Tata Ruang pengawasan dilakukan setelah disetujui bersama antara Kepala daerah dengan DPRD (sebelum ditetapkan). Cara pengawasan Perda seperti ini dinamakan pengawasan refresif. Meskipun ada kewenangan Pemerintah Pusat melakukan pengawasan tidak berarti daerah tidak berhak mengajukan keberatan, kebaratan dapat diajukan ke Mahkamah Agung, dengan prinsip Pemerintah Pusat dapat saja melakukan kesalahan, ketika melakukan evalausi terhadap kebijakan daerah yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah, sebagaimana adigium ini menyatakan “Ketidaksempurnaan sebuah keputusan, baru diketahui setelah keputusan ditetapkan”, dan apabila ini terjadi dan keberatan daerah dikabulkan oleh Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri tentang pembatalan Perda tidak mempunyai kekuatan hukum.
III. PUNUTUP
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kebijakan daerah yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah merupakan sebuah keharusan;
2. Kebijakan pengawasan yang dituangkan ke dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemerintahan Daerah mulai dari UU No. 22 Tahun 1948 sampai dengan UU No. 32 Tahun prinsipnya sama yakni pengawasan preventif dan refresif, kecuali saat berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 pengawasan hanya mengenal pengawasan refresif saja
3. Kebijakan dengan pola pengawasan refresif saja banyak menimbulkan dampak negatif, karena banyak peraturan Daerah baik yang bertentangan dengan kepentingan umum maupun dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
4. Dalam pengawasan refresif Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan sebaliknya Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung
5. Apabila Mahkamah Agung mengabulkan keberatan daerah, maka Peraturan Presiden dan atau Peraturan Menteri yang ,membatalkan Peraturan Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan. 2001. Menyongsong Fajar Otonom Daerah, Penerbit Pusat Studi (PSH) Fakultas Hkum UII Yogjakarta
Dasril Radjab. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit, Rineka Cipta, Cet II, Jakarta
M.Solly Lubis .1989. Serba Serbi Politik Dan Hukum, Mandar Maju, Bandung
UU No 22 Tahun 1948, tentang Pokok Pemerintahan Daerah
UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
UU No 18 Tahun 1965, Pokok –Pokok Pemerintahan Daerah
UU No 5 Tahun 1974, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
UU No 22 Tahun 1999,tentang Pemerintahan Daerah
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
PP No 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
PP No 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kepmendagri No 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Refresif