Pemikiran Tentang Hak Asasi Manusia Dari Hukum Alam Ke Hukum Positif
Istilah hukum alam dapat dipahami sebagai sesuatu yang dihadapkan kepada hal yang gaib atau pada hal-hal yang bersifat supranatural, atau terhadap apa yang diwahyukan atau juga dapat digunakan dalam arti akal budi, tentang hal ini secara jelas diungkapkan oleh Cicero dengan mengatakan bahwa suatu undang-undang yang benar adalah akal yang murni yang selaras dengan alam, tersebar dalam semuanya dan tetap abadi (Algra:1983:92). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila berbagai aliran hukum alam telahj memberikan arti dengan tekanan yang beraneka warna terhadap konsep hukum alam. Misalnya kaum stoa telah mengartikan hukum alam sebagai hukum yang selaras dengan susunan alamiah dari jagat raya. Bagi kaum stoa hukum alam dipadukan dengan hukum jagat raya, subyek-subyek dari hukum alam dianggap sebagai wakil yang abstrak yang sama-sama tunduk pada satu hukum yang universal.
Berabad-abad lamanya ide hukum alam telah memainkan peranan penting dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam perkembangannya sampai saat ini hukum alam tetap berpengaruh terhadap perkembangann ide manusia dan memberi sumbangan besar terhadap kehidupan. Hukum alam memberikan dasar etika bagi berlakunya hukum positif dan memberi dasar pembenar bagi berlakunya kebebasan manusia dalam kehidupan bernegara. Di samping itu hukum alam memberikan dasar terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia dan hukum alam juga memberi ide dasar tentang hakekat hukum dan keadilan
Hukum alam sebai ide tentang keadilan dikemukakan oleh Ernest Barker’s sebagaimana dikutip (Rasyidi:1993:75)sebagai berikut:
The origin of the idea of natural law may be ascribed to an old indefeasible movement of the human mind......which impels it towards the notion of an eternal and immutable justice; a justice which hman authority express, or out to express but note make; a justice which hukam authority may fail to exprsee and must pay the penalty for failing to express by the diminution, or evem the forfeiture, of uts power to command. This justice is conceive as being the higher or ultimate law. Proceeding form the nature of the unverci form being of god and the reason of man. It follows that law in the sense of the law of the last resort-is somehow above law making. If follows that law makers, after all, are somehow under and subject to law.
Sumbangan terbesar mazhab hukum alam adalah validitas universalnya yang terletak pada dasar-dasar pemebrlakuan hukum yang diberikannya terhadap sistem hukum, serta sebagi landasan bagi konstitusi banyak negara. Hukum alam juga memberikan dasar moral terhadap hukum, sebagi sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selam hukum itu diterapkan terhadap manusia.
Menurut paham hukum alam, manusia merupakan bagian dari alam, oleh karena itu manusia tunduk pada hukum alam, yaiotu hukum yang menetapkan apa yang harus dilakukan oleh setiap bagian alam, baik untuk dirinya sendiri maupun dalam nhubungan dan keterkaitannya dengan yang lain atau dengan seluruh alam. Hal ini berarti bahwa manusia sebagai bagian dari alam harus hidup sesuai kodratnya sebagaimana telah digariskan oleh alam.
Bertolak dari pemikiran yang demikian sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa pembahasan hukum alam mempunyai relevansi untuk dikaji. Kedua alasan tersebut adalah: pertama, mellaui kajian ini dapat dipahami mengenai hakekat dan fungsi hukum alam. Kedua, dapat dijadikan sebagi dasar pemikiran mengapa hukum alam dipergunakan sebagai pembenar secara teoritik tentang perlunya jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
I. PERUMUSAN MASALAH
Atas dasar permasalahan dalam tulisan yang singkat ini dibatasi pada:
1.Hak Asasi Manusia Sebagai Hak Kodrat
2.Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Positif
II. PEMBAHASAN
1. Hak Asasi Manusia Sebagai Hak Kodrat
Telah mengani tahapan perkembangan pemikiran tentang hak asasi manusia dari hukum alam ke hukum positif, pertama-tama harus dipahami dari proses kelahiran hukum alam itu sendiri. Hukum alam yang berakar pada batin manusia terbebas dari berbagaio bentuk instrumen perundang-undangan seperti konvensi, deklarasi, statuta dan lain-lain alat kelembagaan. Isi atau muatan terpenting dari hukum alam ada;lah hak kodrat yaitu hak-hak pemberian dari alam dan di dalamnya terdapat sistem keadilan yang berlaku secara universal. Doktrin hukum alam pada pokoknya menyatakan bahwa diatas hukum positif buatan manusia yang tidak sempurna terdapat hukum alam yang sempurna, berpegang pada konsep hukum sebagai perwujudan dari asas-asas moral dan keadilan. Oleh sebab itu hukum alam dipandang mutlak adil, kekal, abadi danbersumber pada ratio Tuhan. Mengemukakanya persoalan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak pada kemanusiaan.
Masalah-masalah hukum yang dikemukakan oleh hukum alam sama usianya dengan perdebatan tertua tentang hukum, hal ini karena hukum alam merupakan refleksi dari antinomi atau pertentangan yang tercakup dalam ilmu hukum itu sendiri, dimana terjadi konfrontasi antara kaedah yang ideal dengan berbagai penyimpangan dalam kenyataan, antara apiriori dan empirisme, antara otonomi dengan heteronomi, maupun antara kemantapan susunan yang ada dengan dinamika dari kemajuan moral atau antara hak dan kewajiban. Terlepas dari adanya perdebatan-perdebatan dan antinomi tersebut, suatu hal yang pasti adalah bahwa hak mempunyai kedudukan atau derajat utama dalam konteks hukum dan hak asasi manusia.( Effendi:1993:9-10)
Kajian mengenai hak asasi manusia tidak bisa dilepaskan dari pandangan penganut hukum alam tnetang hak asasi itu sendiri. Istilah yang disebut dengan “Human Rights” atau The Right of man” seperti yang kita kenal saat ini pada awalnya adalah produk pemikiran mazhab hukum alam. Ide dasar dari hukum alam berasl dari konsep Yunani kunoyang artinya alam semesta. Setiap gerak alam diatur oleh hukum alam abadi yang tidak berubah-ubah. Penganut hukum alam seperti Zeno (336-264 SM), beranggapan bahwa alam semesta diatur oleh logika (logos) sebagai prinsip rasional dan umat manusia memilikinya, karenanya manusia akan mentaati hukum alam tersebut dan tidak mungkin melanggarnya, selama manusia melakukan tindakan-tindakannya dibawah kontrol akalnya yang berarti mengikuti aturan-aturan kehendak alam.
Keadaan kehidupan yang demikian ini oleh Jhon Locke disebut dengan keadaan alamiah (state of nature). Keadaan ini berlangsung dalam suatu kehidupan masyarakat yang belum memiliki hukum positif. Hukum yang diberlakukan dalam keadaan alamiah adalah hukum alam (law of nature). Hukum inilah yang menjadi patokan dasar perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dengan perhatian utama pada tuntutan keadilan. Maksudnya masyarakat memberlakukan norma-norma moral menjadi dasar dalam kehidupannya.
Mazhab modern hukum alam dimulai atau ditandai dengan lahirnya tulisan-tulisan filsuf kristiani yang dipelopori oleh Thomas Aquinas (1225-1274 M). Pandangan Thomastik dari Thomas Aquinas mengenai hukum alam mempostulatkan bahwa hukum alam merupakan bagian dari hukum Tuhan yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia (Davidson:1993:36). Meluasnya pemikiran keagamaan pada masa itu menyebabkan terjadinya perubahan terhadap konsep-konsep yang mendasari pandangan tentang hukum alam.
Dalam filsafatnya tentang hukum, Thoma Aquinas mengadakan pembedaan hukum dalam empat golongan yaitu; lex aetrena, lex naturalis, lex divina dan lex humana. Hukum abadi (lex aeterna) ialah hukum dari keseluruhan yang berakar pada jiwa Tuhan. Hukum abadi adalah kebijaksanaan atau rencana abadi dari tuhan berkenaan dengan penciptaan alam semesta dengan segala isinya. Segala sesuatu yang berada di alam semesta ini tunduk dan harus berjalan sesuai dengan apa yang digariskan oleh hukum abadi. Mengikuti pemikiran kaum sesuai dengan apa yang digariskan oleh hukum abadi. Mengikuti pemikiran kaum Stoa, Thomas Aquinas melihat bahwa hukum alam bagi manusia bukanlah suatu kekuatan buta yang memaksa, karena menurutnya hukum alam adalah hukum akal budi yang hanya dimiliki oleh makhluk yang rasional.
Pemikiran yang demikian ini mengandung arti bahwa manusia hanya bisa tunduk pada hukum abadi melalui refleksi akal budinya. Oleh karen aitu manusia dengan kebebasan akal budinya mampu mengambil sikap untuk mengikuti atau menolaknya.
Dalam ajaran Thomas Aquinas tentang hukum alam dinyatakan bahwa hukum alam mempunyai dua asas utama yaitu: Principia Prima dan Principia Scundaria. Asas Principia Prima adalah asas atau prinsip-prinsip yang berkaitandengan prinsip hak dasar manusia yang bersifat umum, universal dan berlaku tanpa batas ruang atau waktu. Prinsip ini bersufat mutlak dalam arti melekat pada setiap manusia. Sedangkan Principia Scundaria, merupakan prinsip-prinsip khusus yang dijabarkan dalam prinsip pertama, penjabarannya dilakukan dengan menggunakan pikiran manusia. Daya berlaku dan mengikatnya didasarkan pada kesempatan yang diciptakan dan diberikan oleh hukum positif.
Sebagian isi filsafat hukum alam adalah ide dimana eksistensi manusia dalam kehidupan ditentukan oleh dan tunduk pada otoritas sang pencipta. Pandangan ini mengandung arti bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh aturan-aturan Ilahi akan tetapi manusia juga dikarunai hak-hak kodrati sebagai individu yang otonom dan bebas.
Kepercayaan terhadap Tuhan yang berlaku secara universal tanpa terbatas oleh ruang dan waktu, makin lama makin luntur, hal ini erat kaitannya dengan berkembangnya paham humanisme yang pada abad ke XVI mulai mendapat tempat yang kokoh dalam ilmu pengetahuan hukum. Paham ini berperan besar dalam merubah pandangan dari titik tolak religius menjadi dasar-dasar pemikiran rasional.
Dalam konteks yang paling sekuler pandangan rasionalis muncul dari pikiran-pikiran sarjana abad ke XVII dan XVIII, setelah Grotius mengemukakan bahwa; Tuhan tidak dapat mengubah hukum alam dan hukum alam terus berlangsung sekalipun Tuhan tidak ada lagi. Bagi Grotius hukum alam itu terdiri dari peraturan-peraturan yang oleh akal manusia diilhamkan pada manusia; manusia itu sebagai makhluk yang dianugrahi akal haruslah bertindak menurut akal(Algra: 1983:104).
Perkembangan selanjutnya melalui sekularisasi masyarakat pada masa renaisanse yaitu era kebangkitan pikiran dan reformasi. Pada masa itu teori hukum alam memperoleh landasan baru melalui akal manusia. Maksudnya adalah memutuskan asal-asulnya yang tomistik (mensyaratkan adanya iman pada Tuhan) dan membuatnya menjadi suatu produk pemikiran sekuler yang rasional dan bijak. Tugas ini dilaksanakan oleh Grotius. Dalam pandangannya manusia secara alamiah bukan saja sebagai makhluk rasional tetapi juga makhluk sosial. Aturan tersebut secara alamiah berlaku untuk manusia sendiri (terlepas dari keterikatan pada Tuhan) yang memungkinkan manusia hidup secara harmonis antara sati dengan yang lainnya.
Dalam filsafatnya tentang negara dan hukum Grotius mengatakan bahwa rasio itu berlaku secara bebas, terlepas dari kekuasaan tinggi apapun, juga melebihi kekuasaan alam (de ratio geldt onafhankelijke macht). Pemikiran ini juga menandai terjadinya pemisahan antara teologi dengan ilmu hukum menjadi semakin sempurna.
Grotius berargumentasi bahwa eksistensi hukum alam yang merupakan landasan semua hukum positif atau tertulis, dapat dirasionalkan diatas landasan non empiris dengan menggunakan aksioma ilmu ukur. Pendekatan matematis semacam itu terhadap permasalahan hukum, menunjukkan bahwa semua kesahihanya tidak tergantung pada Tuhan (Davidson:1993:37)..
Grotius yang dianggap sebagai tokoh utama tradisi hukum alam modern, dalam teorinya mengemukakan ciri-ciri hukum alam sebagai berikut:
a) Hukum alam berasal dar Tuhan yang kehendaknya tertulis dalam benak dan jiwa manusia, jadi apa yang diperlihatkan Tuhan sebagai kehendaknya itulah hukum.
b) Hukum alam merupakan hukum tertinggi karena hukum alam adalah perintah Tuhan yang berisi prinsip-prinsip keadilan.
c) Hukum alam bersifat universal yang mengikat semua manusia atas dasar hakikatnya mereka sebagai manusia.
d) Hukum alam adalah struktur rasional, maksudnya sebagai tuntutan akal budi sampai tingkat tertentu hukum alam mencerminkan kodrat atau hakekat manusia yang rasional. Jadi Hukum alam adalah hukum yang menyangkut kodrat manusia dan karenanya adalah hukum bagi makhluk rasional.(Keraf:1997:25-26)
Secara teoritik ciri hukum alam seperti yang dikemukakan oleh Grotius, mempunyai kaitan erat dengan perkembangan hak asasi manusia, sebab penekanan Grotius pada empat ciri hukum alam sebagaimaa diatas melahirkan hak-hak alamiah atau hak kodrati yang merupakan hak asasi manusia.
Tugas menjadikan sifat hukum alam itu menjadi sekuler dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, Pufendorf Spinoza. Bagi mereka essensi hukum alam itu berada dalam kemauan manusia. Konsekunsi dari pandangan yang demikian ini membuat isi hukum menjadi berubah-ubah sesuai dengan kemauan itu sendiri, sebab isi hukum tergantung dari kemauan bebas yang tidak terikat pada nilai yang mendahului kemauan itu. Pandangan ini secara teoritik menandai beralihnya paham hukum alam rasional ke arah paham hukum alam voluntaris.
Pikiran-pikiran yang muncul pada abad ke XVII, merupakan titik awal atau peletak dasar dari konsep hak, karena pada abad sebelumnya yang mengedepan adalah kewajiban. Menurut konsep yang berpengaruh pada abad ke XVII, hak-hak asasi manusia berasl dari hak kodrat (natural law), hak yang sangat ditonjolkan pada abad ini adalah kebebasan politik (Political Freedom) dan hak untuk ada (R ights to be). Menonjolnya dua macam hak ini karena pada masa sebelumnya dalam kehidupan bernegara terdapat dominasi absolutisme sehingga sama sekali tidak ada kebebasan politik, dan dalam kehidupan bermasyarakat yang dikuasai hawa nafsu kekejaman merajalela sehingga eksistensi manusia terancam.
John Locke merupakan pendunkung termuka hak-hak kodrat, Locke berargumentasi bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta yang merupakan milik mereka sendiri, tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara. Akan tetapi Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam alam ini, manusia telah ambil bagian dalam suatu kontrak sosial atau ikatan sukarela. Dengan cara ini penggunaan hak mereka yang tidak dapat dicabut itu diserahkan pada penguasa. Apabila penguasa memutuskan kontrak sosial dengan melanggar hak-hak kodrat individu, mereka yang menyerahkannya itu bebas untuk menyingkarkan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warganya.
Gagasan-gagasan John Locke sangat berpengaruh pada abad ke XVIII, terutama di Amerika Serikat dan Prancis dimana ajaran-ajaran Locke menjadi dasar filosofis bagi liberalisme. Demikian pula halnya dengan konsep hak asasi pada abad XVIII, hak-hak kodrat dirasionalkan melalui konsep-konsep kontrak sosial dan membuat hak-hak tersebut menjadi sekuler, rasional, universal, individual, demokratik dan radikal. Hak yang sangat ditonjolkan ketika itu adalah adalah kebebasan sipil (civil liberty) dan hak untuk memiliki (Rights to be). Menonjolnya kedua hak tersebut, merupakan rentetan logis dari hak yang diperoleh sebelumnya dalam abad ke XVII, yaitu kebebasan politik (Political Freedom) dan hak untuk ada (Rights to be).
Pemikiran adanya negara yang didasarkan pada perjanjian sukarela, mendapat bentuk yang konkrit pada abad ke XVIII, terutama karena tulisan-tulisan J.J. Rousseau yang menyoroti tentang dasar-dasar negara dan masyarakat dimana hubungan itu adalah atas dasar perjanjian. Kedaulatan adalah pelaksanaan kemauan umum (Volonte genera) yang merupakan kemamuan kolektif warganya. Jadi adanya negara adalah karena adanya perjanjian sukarela. Pemerintah itu ada karena rakyatnya. Pandangan ini menarahkan bahwa masalah manusia dalam hubungannya dengan negara dikukuhkan oleh Rousseau dari hubungan abstrak rasional, menjadi kenyataan sosial dimana rasa sosial menjadi dasar utama yang dominan.
Dari uraian diatas bisa dimaklumi bahwa dari sudut pandang hak kodrati model Locke, ada dua hal yang dapat ditarik sebagai bahan pemikiran yaitu; Pertama, individu adalah makhluk otonom yang mampu melakukan pilihan. Kedua, keabsahan pemerintah tidak hanya tergantung pada kehendak rakyat, tapi juga pada kemampuan dan kemauan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi setiap individu. Pada sisi lain walaupun mengikuti arah utama kontrak sosial sebagaimana dikemukakan oleh Jhon Locke, Rousseau mengatakan bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrati individu, melainkan menganugerahi kedaulatan yang tidak bisa dicabut.
Pandangan terhadap individu sebagai makhluk yang otonom oleh immanuel kant (1724-1804 M) dalam ajarannya tentang etika dan imperatif kategoris dalam bukunya “Grundlegung” mengatakan bahwa pada hakekatnya manusia adalah merdeka dan sederajat sejak lahir(Schmit:1951:183). Oleh karena itu setiap manusia tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang. Lebih lanjut kant mengatakan bahwa segala sesuatu di dalam alam ini bekerja menurut hukum-hukum alam, akan tetapi hanya makhluk berbudi saja yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk brtindak menurut gagasan atau pemikiran tentang hukumm yakni menuruti prinsip-prisnsip tindakan. Prinsip otonomi langsung membawa manusia kepada ide kebebasan. Manusia mentaati hukum moral karena hal itu merupaka ungkapan dari kodratnya sebagai pelaku yang mendasarkan tindakannya pada budi praktis.
Dengan demikian ajaran Immanuel Kant menunjukkan adanya hubungan yang erat antaara hukum moral di satu pihak dan kebebasan di lain piohak yaitu:
a) Hukum morallah yang menjadi “ratio cognoscendi” bagi kebebasan, artinya hukum morallah yang membuat manusia bahwa manusia itu bebas.
b) Kebebasnlah yang menjadi “ratio essend” untuk hukum moral artinya kebebasanlah yang menjadi alasan mengapa hukum moral itu ada. Dengan kata lain, hukum moral itu perlu karena manusia makhluk yang bebas. Bagi hukum moral, kebebasan manusia merupakan “the reason of existence”nya(Dister:1996:136)
Pada abad ke XIX hak-hak yang dirasionalkan emlalui kontrak sosial, dilengkapi dengan konsep etik dan utilitarian. Etika sebagai bisang kajian filsafat mempersoalkan tentang cara bagaimana norma-norma dan nilai serta pertanyaan-pertanyaan yang bersnagkutan dengannya dapat dipertanggung jawabkan di hadapan akal budi. Dalam hubungannnya dengan hak asasi manusia, etika bisa memperdalam kesadraan akan norma dan nilai yang sudah diterima, tapi dapat juga menjlaskan bahwa nilai-nilai itu sudah usang dan perlu diganti dengna nilai baru. Etika tidak memberikan norma-norma konkrit yang langsung siap pakai bagi kelakuan manusia, ia hanya mempersoalkan bagaimana harus bertindak, jadi dalam pengertian ini sifat etika adalah praktis.
Tesis utama utilitarianisme adalah eksistensi manusia dikuasai oleh kesennagan dan penderitaan. Filsuf-filsuf utilitarianisme mengutamakan prnsip kegunaan dalam hidup sosial manusia, apa yang ternyata berguna bagi perkembangan manusia dianggap baik dan benar. Jadi utilitarianisme adalah suatu etika tingkat tinggi yang membimbing manusia bertindak sedemikian rupa. Untuk itu menurut prinsip ini, hak asasi manusia harus dihormati dan dilindungi karena hak tersebut melekat pada manusia bukan karena diberikan oleh suatu lembaga atau negara. Pada abad ke XIX ini hak yang menonjol adalah hak untuk berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk berbuat (rights to do).
Patut dicatat bahwa pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, Montesqueu dab Rousseau serta Immanuel Kant, sangat berpengaruh dalam perkembangan hak asasi manusia. Jadi dapat dipahami apabila pemikiran Locke mengilhami rakyat Amerika memberontak melawan pemerintah Inggris pada tahun 1976 dan ajaran Jean Jacquas Rousseau menjadi inspirasi bagi rakyat Prancis untuk melancarkan revolusinya pada tahun 1789. walaupun perjuangan pengakuan dan perlindungan hak asasi pada masa itu, masih terbatas pada hak-hak di bidang politik seperti hak asasi manusia dan berkumpul, megeluarkan pikiran dan pendapat, hak atas persamaan dan lain-lain. Hak-hak tersebut dituangkan dalam beberapa piagam antara lain di Kerajaan Inggris dituangkan dalam “Bill of Rights” tahun 1689. dio Prancis dicantumkan dalam “Declaration des droits de I’homme et du Citoyen” tahun 1789 yaitu deklerasi mengenai hak-hak asasi manusia dan warga negara, deklarasi ini anatara lain memuat mengenai hak atas kemerdekaan, kebebasan, kesamaan dan kesitiakawanan.
2. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Positif
Usaha untuk mengkonversi hak-hak kodrat menjadi hukum positif (from natural human rights in to positive legal) baru dimulai pasda abad ke XX. Adanya usaha untuk mengkonversi hak kodrat ke hukum positif, berarti teori hukum alam voluntaris yang bertolak pada kemauan kehendak, beraalih pada pandangan hukum alam teknologis yang menekankan pada segi-segi implementasi hak melalui pengkaedahan terhadap hak tersebut, seperti dikatakan Lon. L. Fuller “jus est ars”, hukum itu adalah suatu keterampilan, suatu seni. Pandangan penganut hukum alam teknologis ini didasarkan pada pendirian bahwa pembentukan hukum itu adalah suatu keterampilan, dan bagi mereka hukum yang baik adalah hukum yang timbul menurut aturan kesenian.
Dalam perspektif pengaturan hak asasi manusia melalui perundang-undangan, pemahaman terhadap aliran hukum alam teknologis ini pendekatannya dapat dilakukan dari sudut teori interaksi hukum yang dikembangkan oleh Lon. L. Fuller ( Algra:1983:119). Pandangan teori ( Saleh:1979:20) ini bertitik tolak dari interaksi dan komunikasi manusia sebagaimana dikatakannya:
“To interact meaning fully men require a social setting in which the moves of the prticipating players will full generally within some predictable patten. To engange in effective social behaviour men need the support of interesting anticipantionts that will let know what their opposite members will dom, or that will at least enable them to gauge the general scoper of the repartory from which response to their action will be drawn.”
Dalam kaitannya dengan upaya mempositifkan hak-hak kodrat tersebut, usaha terbesar yang dilakukan pada abad XX ini ada;lah dirumuskannya standar universal hak-hak asasi manusia dalam suatu piagam hak asasi manusia dan hak yang menonjol pada abad ini adalah hak sosdial ekonomi (social economic rights) dan hak untuk memperoleh sesuatu (rights to receive).
Sifat universal dari deklarasi tersebut nampak jelas dari perumusannya.
a) Semua artikel dalam deklarasi tersebut senantiasa dimulai dengan kata-kta yang mengandung makna universal seperti : everyone, no one, men, women;
b) Validitasnya tidak terbatas pada negara tertentu;
c) Deklarasi tersebut tidak hanya merupakan seruan kepada bangsa-bangsa, tetapi kepada setiap individu dan setiap lembaga masyarakat;
d) Organ PBB dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia demi tercapainya perdamaian dan keamanan dunia tidak hanya terbatas pada negara-negara anggota PBB.
Dipandang dari sudut ilmu hukum Universal Declaration of Human Rights bukan merupakan suatu treaty atau perjanjian internasional, jadi deklarasi tersebut tidak hanya memiliki watak hukum. Dengan demikian ia tidak dimaksudkan mengikat secara hukum. Artinya deklarasi itu tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat secara hukum (legally binding obligation), melainkan hanya sebagai suatu pedoman, suatu annjuran atau suatu kewajiban moral (moral obligation) saja bagi bangsa-bangsa di dunia, agar mereka melaksanakan hak asasi sesuai dengan m,aksud dan is deklarasi tersebut. Jadi deklarasi tersebut adalah untuk mengajukan norma-norma yang ada dalam moralitas, dan hak-hak yang dirumuskan di dalamnya bukan merupakan hak hjukum, elainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal.
Isi dari deklarasi tersebut pada hakekatnya merupakan penjabaran dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam program PBB dan sekaligus juga merupakan implementasi dari program PBB. Biarpun kadar implementasi hak-hak asasi itu berbeda antara suatu negara dengan negara lain, akan tetapi jika dilihat dari sudut penegakannya, latar belakang untuk mengedepankan masalah hak-hak asasi didasarkan pada keinginan atau usaha untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan hukum dengan alasan politis dari penguasa. Sehubungan dengan itu, dapat dipahami bahwa timbulnya keinginan untuk merumuskan hak adalam suatu naskah internasional adalah untuk menjamin dan melindungsi hak-hak asasi manusia.
Suatu hak baru berfungsi efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan dilindungi. Untuk itu sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), hak asasi harus merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur ghukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, pengimplementasikan hak asasi manusia harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
a. Hak asasi manusia harus dijadikan sebagai hukum positif;
b. Harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia tersebut;
c. Harus ada kemandiriamn pengandilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.
Setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin dan menghormati hak asasi manusia, melindungi dan menegakkannya di negara masing-masing. Kewajiban ini tidak saja bersifat positif yaitu untuk ditegakkan atau diipelementasikan. Dalam hala pengimpelementasian ini, terutama terhadap hak-hak asasi yang bersifat universal dan memilki keberlakuan universal sebagaimana yang dirumuskan dalam deklarasi hak-hak asasi manusia, dalam praktek penafsirannya dilakukan berbeda-beda oleh banyak negara dan penerapanya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
III. PENUTUP
Dari apa yang diuraikan di atas, terlihat dengan jelas bahwa tahap-tahap perkembangan hak asasi manusia dari hukum alam ke hukum positif merujuk pada tataran-tataran pertimbangan moral dan politik. Tataran yang paling abstrak dan paling filosofis diantaranya adalah “tahap awal” dimana hak tersebut dirumuskan dengan mempertahankan prinsip-prinsip trans-historis tentang moralitas dan keadilan. Tahap selanjutnya tahap “konstitusional” dimana hak asasi dan kewajiban yang sifatnya spesifik, dirumuskan dengan menerapkan prinsip-prinsip abstrak ke negara-negara tertentu sesuai dengan masalah, sumberdaya dan institusinya. Proses inin kemudian berlanjut pada tahap “legislatif”, dimana pada akhirnya norma-norma konstitusional dan legislatif itu diaplikasikan pada tahap yudisial.
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia bukan sekedar kewahjiban moral tetapi juga merupakan kewajiban hukum. Maksudnya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dapat dilihat dari aplikasi hak asasi tersebut. Hak asasi pada tahap pelaksanaannya masuk dalam tataran persoalan hukum dan diatur dengan undang-undang. Hal ini berarti bahwa penghormatan terhadap hak asasi, merupakan orientasi bagi pengaturan hak asasi manusia melalui pembentukan hukum yang secara optimal menjamin kehidupan bernegara secara adil dan sesuai dengan martabat manusia.
Daftar Pustaka
A. Masyhur Effendi.1983. Debat Internasional. Suatu Langkah Strategi Mensejajarkan Aspek Tanguung Jawab Dalam Kerangka Hak Asasi Manusia. Pendekatan Dari Segi Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Tanggal 22 Nopember 1993.
Franz Magnis Suseno. 1988. Etika Politik, Gramedia, Jakarta.
Hans Kelsen. 1995.Teori Hukum Murni, Rindi Press, Bandung.
Hartanto Bandoro. 1983. Kebijaksanaan Internasional Hak Asasi Manusia, CSIS.
J.J. Von Schmit.1951. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara Dan Hukum, Djambatan, Jakarta.
James W. Nickel.1996. Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta.
Lili Rasjidi.1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung.
N.E. Algra.1983. Mula Hukum, Bina Cipta, Jakarta.
Nico Syukur Dister. 1996. Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta.
Roeslan Saleh. 1979. Penjabaran Pancasila kedalam UUD 1945 Dalam Perundang-Undangan, Aksara Baru, Jakarta.
S.P. Lili Rasyidi.1997. Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Yogyakarta.
Scott Davidson. 1993. Human Rights, Open University Press, Buckingham.
Sonny Keraf. 1997. Hukum Kodrat Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogyakarta.
Vivit Muntarbhorn.1983. Asean Dan Hak Asasi Manusia Antara Kekhususan Dan Kekhasan, Jakarta.