Musik Rock Di Indonesia Dan Struktur Pertunjukan Musik Rock
Pada pertengahan dekade 1950-an berkembang jenis musik rock ’n roll yang dipopulerkan oleh Bill Haley and The Comet dan Elvis Presley di Amerika.[1] Melalui medium kepingan piringan hitam, radio, dan film, musik rock ’n roll masuk ke Indonesia dan menjadi populer di kalangan anak-anak muda golongan menengah yang tinggal di kota besar yang pada waktu itu jumlahnya sangat terbatas. Dalam perkembangannya, pada dekade 1960-an pengaruh musik rock ’n roll diperkuat dengan masuknya grup-grup musik asal Inggris seperti Rolling Stone, The Beatles, dan sebagainya yang kemudian dikenal sebagai gerakan musik British Invasion.[2]
Pada awal dekade 1960-an, anak-anak yang tinggal di kota besar yang mampu untuk membeli peralatan musik mulai membentuk grup musik dan menyanyikan lagu-lagu dari grup musik yang menjadi panutannya yang mereka dengar dari kepingan piringan hitam dan radio seperti Everly Brothers atau pun irama jenis baru (rock ’n roll) dari The Beatles. Los Suita, Eka Djaya Combo, Dara Puspita dan Koes Bersaudara adalah beberapa grup musik yang melakukan hal ini. Menjelang pertengahan dekade 1960-an grup-grup musik itu mulai menciptakan dan menyanyikan lagu sendiri yang jelas terpengaruh oleh lagu-lagu asing yang sering mereka dengarkan. Pertunjukan musik langsung pun banyak digelar tetapi tidak terlalu besar volume intensitasnya, karena hanya diselenggarakan pada suatu tempat tertentu atau ketika para tetangga atau siapa saja sedang ada hajatan atau semacamnya.
Seperti perkembangan dalam seni pertunjukan lainnya (teater dan tari) yang sangat dipengaruhi oleh faktor non-seni yang terdiri atas faktor politik, sosial, dan ekonomi, perkembangan musik rock di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor tersebut. Perkembangannya sejalan dengan perkembangan situasi politik, sosial, dan ekonomi tertentu yang terjadi di Indonesia. Ketiga faktor inilah yang sangat menentukan hadirnya sebuah genre atau bahkan bentuk seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat. Ketiga faktor tersebut kadang-kadang faktor ekonomi yang dominan menentukan perubahan, faktor politik yang menonjol, dan terkadang faktor sosial atau bahkan kerap terjadi perpaduan antara dua atau ketiga faktor tersebut.[3]
Pada awalnya situasi dan kondisi Indonesia kondusif bagi perkembangan musik rock, tetapi kondisi itu berubah menjadi non-kondusif pada masa Demokrasi Terpimpin. Nada keberatan terhadap musik rock ini dilihat secara politis melalui kepentingan nasionalisme; Musik rock dikatakan sebagai bagian dari “imperialisme kebudayaan”. Pernyataan imperialisme kebudayaan ini dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidato ”Manipol Usdek” pada tanggal 17 Agustus 1959, yang kemudian diputuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung pada bulan September 1959 sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Permusuhan terhadap musik rock di Indonesia dimanipulasi pula oleh kepentingan PKI melalui Lembaga Kesenian Rakyat, namun demikian lagu-lagu Barat masih bebas untuk dimainkan hingga sampai tahun 1963 pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden PP No. 11/1963 tentang larangan musik ngak ngik ngok.[4]
Musik rock menghadapi persoalan nyata akibat dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut. Musik rock diberangus dan dianggap musik yang merusak budaya bangsa. Konsekuensi logis dari Penetapan Presiden tersebut, maka piringan-piringan hitam milik grup musik The Beatles, The Rolling Stone, The Shadows, dan lain-lainnya serentak dimusnahkan secara massal dan diberlakukan pelarangan impor bagi rekaman-rekaman musik dari Barat. Siaran radio yang menyiarkan musik-musik Barat juga dilarang, termasuk RRI. Pemuda berambut gondrong yang berpakaian dengan memakai model Barat tidak luput menjadi korban razia para aparat berwenang. Koes Bersaudara yang mengambil beat keras dalam landasan musik yang mereka ciptakan ikut terkena paranoisme Orde Lama; mereka sempat beberapa saat mendekam di balik terali besi penjara Glodok.[5] Tidak hanya Koes bersaudara, grup musik lainnya juga mendapat peringatan untuk tidak membawakan lagu-lagu yang berirama rock ’n roll, grup musik itu di antaranya adalah Los Suita. Pihak Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan peringatan bahwa grup musik ini akan dibubarkan jika masih menyanyikan lagu-lagu dari penyanyi Elvis Presley. Irama Abadi, grup musik yang pernah diperkuat oleh Abadi Soesman sempat juga ditegur oleh aparat Kodim ketika mereka pentas membawakan lagu-lagu dari The Beatles.[6]
Segera setelah peristiwa G-30S keadaan menjadi berubah dan perubahan politik yang terjadi pada tahun 1965 memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan musik populer, khususnya musik rock. Musik populer dengan unsur musik rock di dalamnya mendapatkan nafas bebas dan tidak lagi begitu tercekik oleh situasi zaman. Kebijakan menentang impor rekaman musik Barat pun ditingggalkan, maka piringan-piringan hitam pemusik Barat dari segala jenis aliran musik dapat diperoleh kembali di pasaran. Di pasaran, piringan hitam yang tersedia kebanyakan piringan-piringan dari Barat, karena industri rekaman di Indonesia ketika itu belum dapat dikatakan maju dan berkembang luas.[7]
Pada awal kekuasaannya, Soeharto mengerahkan tentara untuk membuat panggung-panggung hiburan populer. Korps Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, pasukan tempur yang baru saja mengambil alih kekuasaan membuat "kompi" baru, yaitu Badan Koordinasi Seni atau disingkat BKS Kostrad. Dari sinilah artis dan musisi, terutama dari jalur pop dibariskan. BKS Kostrad pada dekade 1960-an mengadakan serangkaian pertunjukan musik yang antara lain menampilkan jenis musik yang dilarang pada masa Demokrasi Terpimpin. BKS Kostrad ini menyelenggarakan tour-tour ke seluruh wilayah Indonesia. Bagi Angkatan Darat sendiri berbagai pertunjukan itu mempunyai dua fungsi, yaitu keluar untuk show of force terhadap kekuatan politik lawan mereka dan menarik hati rakyat serta menunjukkan kesan bahwa Indonesia tidak anti- kebudayaan barat. Pada tour-tour BKS Kostrad jenis musik yang dilarang dimainkan pada zaman Demokrasi Terpimpin seperti lagu-lagu cengeng atau pun irama rock ’n roll kembali dimainkan pada tur ini.[8]
Pergantian rezim pemerintahan melahirkan semangat euforia kebebasan di kalangan anak muda. Di masa awal pemerintahan Orde Baru bermunculan radio-radio amatir di kota-kota besar yang kemudian menjadi pemancar radio swasta. Mereka banyak menyiarkan lagu-lagu Barat yang digemari oleh kaum muda pada saat itu dari pagi, siang hingga tengah malam.[9] Selain irama musik pop, irama musik rock juga banyak disiarkan dan dominannya jenis musik, khususnya musik rock baik di pasaran produk rekaman maupun dalam siaran radio menjadi medium yang paling luas khalayaknya dan menimbulkan pengaruh terhadap grup-grup musik yang akan berdiri. Pada tahun 1967 banyak bermunculan grup musik, di antaranya adalah grup rock AKA dari Surabaya yang mengawalinya dengan memainkan musik dari grup musik Barat. Begitu juga dengan The Rollies yang didirikan di Bandung pada tahun yang sama. Dara Puspita yang awalnya bernama Irama Puspita sejak dari Surabaya sudah “meniru” The Beatles dari irama maupun gaya permainannya. Grup-grup musik ini mulai dengan memainkan lagu-lagu yang tengah populer di kalangan anak muda. Media massa berupa majalah-majalah baik dari luar negeri maupun dalam negeri[10] yang mengulas mengenai musik populer yang orientasi pasarnya adalah remaja ikut pula meramaikan dan menyebarluaskan animo musik rock kepada khayalak generasi muda.
Sebagian besar musisi saat itu masih para pemain musik masa sebelumnya. Band-band yang eksis di panggung tercatat Madenas, Disselina, Orkes Gumarang, Koes Bersaudara, dan The Rollies yang diakhir dekade 1960-an tampil sebagai band pengiring untuk penyanyi wanita, seperti Anna Manthovani dan Fenty Effendy. Meski sering tampil di panggung, namun mereka walaupun tidak semuanya lebih sering menjadi band pengiring dan bukan sebagai bintang utama dalam pertunjukan karena yang menjadi bintang utama masih penyanyi-penyanyi solo, seperti Ernie Johan, Lilies Suryani, Titiek Puspa dan sebagainya.[11]
Memasuki dekade 1970-an kegiatan anak muda Indonesia menorehkan banyak warna dan salah satunya adalah kegiatan bermusik. Kegiatan bermusik, mulai dari membentuk grup musik hingga mengadakan konser-konser musik merupakan salah satu kegiatan anak muda yang cukup banyak menarik perhatian. Umumnya grup yang mereka bentuk lebih banyak berorientasi ke musik rock, karena musik ini berkonotasi dengan kebebasan jiwa yang berontak dan mewakili suara anak muda. Ibarat cendawan di musim penghujan, banyak bermunculan grup-grup musik lokal yang nantinya akan berkembang dan berkibar di kancah permusikan nasional.
Kota-kota besar di Indonesia menjadi tempat kelahiran grup-grup musik dan hampir semua grup musik di kota-kota besar tersebut membawakan karya repertoar dari grup-grup musik terkenal dunia. Grup musik rock luar negeri yang cukup berpengaruh di Indonesia pada dekade 1970-an, antara lain The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Black Sabbath, Grand Funk Railroad, Emerson Lake Palmer, dan Deep Purple. Khusus untuk lagu yang digandrungi oleh musisi dan publik musik rock Indonesia adalah lagu-lagu yang berasal dari grup musik Deep Purple, seperti lagu Highway Star dan Smoke on the Water (dari album Machine Head, 1972). Lagu ini seakan-akan sudah menjadi semacam "lagu wajib" dalam pentas musik band-band rock Indonesia ketika itu.[12]
Musik rock Indonesia pada dekade 1970-an merupakan musik panggung. Pertunjukan musik banyak diselenggarakan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang, dan Medan.[13] Melalui pertunjukan musik rock yang dihadiri oleh ribuan kepala manusia yang haus akan dentuman suara amplifier yang menggelegar dan beat drum yang menghentak para grup musik banyak menunjukkan kemampuan ekspresinya. Beragam aksi dan gaya dipertunjukan di atas pentas, dari gaya yang ekstrim hingga mereka yang di balik topi baja mengernyitkan dahi dan memberikan sanksi karena terlalu provokatif dan negatif, sampai dengan gaya pertunjukan yang biasa-biasa saja. Para pemusik rock mengalami masa panen karena pertunjukan musiknya dibanjiri penonton dan banyak mengundang histeria massa.
Kehadiran mereka sebagai pembawa aliran musik rock yang hanya menyanyikan lagu Barat dari grup musik idolanya adalah baru sekedar sebagai band panggung, sebab dalam perkembangan selanjutnya untuk mencipta karyanya sendiri mereka belum punya akar kuat dan tradisi mencipta yang waktu itu masih baru. Saat itu iklim bermusik terutama musik rock memang berpusat dari panggung ke panggung dengan menjadi impersonator artis atau grup musik mancanegara. Selain itu, musik rock belum leluasa diterima di dunia rekaman dalam negeri karena hanya dianggap membawa suara hiruk pikuk dan sulit untuk menembus pasar yang didominasi oleh lagu-lagu pop. Keadaan itu sedikit banyak menggelisahkan dan mungkin mematikan para pemusik yang garang di atas penggung pertunjukan. Musim gugur para musisi atau grup musik pun datang dan yang ingin tetap bertahan dalam bermain musik harus rela membanting setir kemudi arah musiknya untuk membawakan, menciptakan sendiri lagu-lagunya, dan masuk ke dalam lingkaran nada musik pop atau musik lainnya. Seperti harimau tanpa belang, hilang sudah aura kegarangan para musisi tersebut pada waktu di atas panggung dan tergantikan oleh suara kelembutan yang tercipta di studio rekaman.
Dalam setiap perkembangan musik selalu ada suatu jenis musik yang kalau tidak dihebohkan, paling tidak sedikitnya dianggap sebagai musik yang mempunyai dan membawa pengaruh negatif bagi sebagian masyarakat tetapi bagi sebagian kalangan khususnya untuk kaum muda musik ini dicintai. Pada zaman kolonial Belanda adalah jenis musik keroncong, musik swing, dan musik jazz yang bagi sebagian masyarakat pada waktu itu diterima dengan geleng-geleng kepala. Pada zaman pendudukan militer Jepang di Indonesia, justru musik keroncong dan sejenisnya yang dianggap sebagai salah satu bentuk musik Indonesia yang populer, sebaliknya musik swing dan jazz yang datangnya dari Amerika dilarang. Zaman kemerdekaan Indonesia memberi kesempatan yang luas pada mereka yang memiliki daya cipta dan kreasi untuk menyatakannya dalam berbagai macam bentuk musik dan irama, tidak terkecuali musik yang berirama rock ‘n roll.[14] Akan tetapi pada pertengahan dekade 1960-an, daya kreatif musisi terganjal oleh Demokrasi Terpimpin dengan Soekarno sebagai pemimpin tertinggi revolusi dengan slogan vonis subversi yang mengharamkan siapa pun yang memainkan musik bernada rock ’n roll akan dijatuhkan hukuman. Babakan krusial perkembangan musik rock terjadi ketika pergantian rezim pada tahun 1966. Seperti yang penulis utarakan di atas perkembangan musik rock setelah pergantian rezim mendapatkan nafas bebas dan tidak lagi begitu tercekik oleh situasi yang menghempit atau dengan kata lain jenis musik ini lebih leluasa untuk berkembang.
Musik rock memasuki dekade 1970-an dengan episode yang berbeda. Musik rock dekade 1970-an hadir dalam khasanah pertunjukan musik nasional dengan segala kehebohan yang terjadi di dalamnya. Musik ini sering dianggap bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia dan dapat menuju ke arah timbulnya akibat-akibat yang tidak baik walaupun unsur-unsur yang dianggap dapat menimbulkan ekses dan bertentangan dengan kepribadian terletak di luar musik itu sendiri atau unsur non-musikal. Gegap gempita aksi dan gaya panggung yang proaktif dan cenderung provokatif bagi sebagian kalangan, penampilan panggung musisinya yang eksentrik, narkoba di kalangan musisi, fenomena kerusuhan di panggung pertunjukan musik rock yang diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu, semuanya itu apabila dilihat akan menggambarkan suatu sensasi bombastis tersendiri yang terjadi pada zamannya. Terlepas dari itu semua tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika perkembangan musik rock pada tahun 1967-1978 menghiasi ornamen dari sebuah bangunan sejarah musik nasional yang patut dikenang, karena musik popular tidak terkecuali musik rock Indonesia pada tahun-tahun tersebut menjadi semacam tonggak awal bagi berkembangnya musik di Indonesia selanjutnya.
Dari uraian di atas skripsi ini bertujuan untuk membahas tentang perkembangan musik rock di Indonesia tahun 1967-1978. Untuk memfokuskan pembahasan akan dijawab tiga pertanyaan utama dalam skripsi ini, yaitu :
- Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi bersemainya musik rock dan perkembangannya di Indonesia pada tahun 1967-1974?
- Bagaimana perkembangan panggung pertunjukan musik rock di Indonesia pada tahun 1972-1978?
- Mengapa pada rentang waktu tahun 1971-1978 musisi-musisi rock itu meninggalkan sejenak panggung pertunjukannya, kemudian beralih ke dapur rekaman dan memainkan musik yang berbeda dengan musik yang selama ini dimainkannya di panggung?
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1]Otto Werner, The Origin and Development of Jazz (Colorado State University: Kendal/Hunt Pubilising Company, 1994), hlm. 171. Istilah rock ’n roll biasanya diartikan seperti suatu sintesis antara musik blues, country, dan balada (terutama dari orang kulit putih) yang muncul pada pertengahan dekade 1950-an di Amerika Serikat. Dieter Mack, Apresiasi Musik Populer (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 1995), hlm. 58.
[2]Istilah British Invasion lebih diartikan sebagai suatu masa dimana grup-grup musik yang berasal dari Inggris banyak mendominasi industri musik di Amerika Serikat pada dekade 1960-an. Corak musik dari grup-grup tersebut kebanyakan berorientasi pada musik rock ‘n roll Amerika, artinya mereka lebih suka meniru idola-idola mereka seperti Bill Haley and The Comet, Chuck Berry, dan penyanyi dengan musiknya yang lebih bersifat melodius seperti musik folk. Era ini berlangsung cukup lama sampai kemudian Inggris banyak melahirkan grup-grup musik rock lainnya seperti, Deep Purple, Yes, Led Zeppelin, dan sebagainya.
[3]Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 69.
[4]Yapi Tambayong, Ensikolopedia Musik Jilid II (Jakarta: PT. Cipta Adi, 1992), hlm. 166 dan 121. Istilah ngak ngik ngok cenderung lebih bersifat politis, karena dimasudkan untuk membangkitkan semangat nasionalisme bangsa, maka harus ada korban ejekan-ejekan dulu, yakni Barat. Dengan istilah ngak ngik ngok terangkat perasaan seakan-akan lagu Barat itu bodoh, konyol, dan jelek. Derasnya musik Barat saat itu yang diikuti oleh musisi Indonesia untuk memainkan rock ‘n roll dan menjadi trend di panggung pertunjukan dianggap bisa "menodai" semangat revolusi bangsa. Atas usulan pemerintah (Bung Karno) pada saat itu tercetus ide atau ajakan untuk mempopulerkan irama Lenso untuk meng-counter musik Barat. Album musik Lenso dipopulerkan oleh Bung Karno untuk mencegah derasnya musik ngak ngik ngok, milik The Beatles, The Lennon Sister, Marmalade, The Monkeys, The Shadow, dan Rolling Stone masuk ke Indonesia. Lihat juga Denny Sakrie, et al., Musisiku (Jakarta: Repulika, 2007), hlm. 10. Penyanyi-penyanyi seperti, Titik Puspa bersama Jack lesmana, Lilies Suryani, dan Bing Slamet turut mempopulerkan irama Lenso.
[5]Yon Koeswoyo, Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo (Jakarta: PT. Chandra Awe Selaras, 2005), hlm. 47-48. Pemerintah Soekarno waktu itu beranggapan bahwa lagu-lagu milik Koes Bersaudara dikatakan sebagai lagu yang cengeng dan kalau mereka membawakan lagu Barat disebutkan memainkan lagu ngak ngik ngok. Koes Bersaudara dianggap sebagai pelopor subversi di bidang kebudayaan. Flamboyan, No. 8, 5 Februari 1972. Lihat juga Theodore K.S., ”Meniti Jejak Tony Koeswoyo”, Kompas, 10 Oktober 2003. Koes Bersaudara ditangkap tanggal 29 Juni 1965. Perintah penangkapannya berjudul Surat Perintah Penahanan Sementara No. 22/023/k/SPSS/1965 yang dikeluarkan oleh Kejaksanaan Negeri Jakarta. Lihat juga Tambayong, ibid., hlm. 70. Mode pakaian, yaitu busana yang diperkenalkan oleh bintang rock dan ditiru oleh anak-anak muda dilarang dan anak muda yang memakai celana jeans atau aksesoris Barat lainnya juga dikejar-kejar oleh polisi. Lihat juga Denny Sakrie, op. cit., hlm. 43. Lagu-lagu Koes Bersaudara dituding kebarat-baratan rock ‘n roll, musik ngak ngik ngok yang dekaden, tidak patriotik, anti-revolusi dan apolitis.
[6]“Sang Revolusioner The Beatles”, Mumu, No. 31 Tahun I, 2000.
[7]Thahjo S & Nug K, “Pasang Surut Musik Rock di Indonesia”, dalam Prisma. No. 10 Oktober 1991. hlm. 51.
[8]Agus Sopian, ”Putus dirundung Malang Kisah Sukses Majalah Aktuil”, Majalah Pantau, Agustus 2001. Lihat juga Thahjo S & Nug K, Loc. cit.,
[9]Suzan Piper dan Sawong Jabo, “Musik Indonesia dari 1950-an hingga 1980-an”, dalam Prisma. No. 5 Mei 1987. hlm. 11.
[10]Majalah yang banyak memberikan informasi mengenai perkembangan musik di luar negeri adalah majalah Pop Foto dan Muziek Express. Kedua majalah tersebut berasal dari Belanda.
[11]Thahjo S & Nug K, op. cit., hlm. 52. Lihat juga Denny Sakrie, et al., op. cit., hlm. 84.
[12]Riza Sihbudi, “Dari AKA sampai Soneta: Jejak Deep Purple di Indonesia”, Kompas, 26 Maret 2004.
[13]Thahjo S & Nug K, op. cit., hlm. 57. Diperkuat juga wawancara via email dengan Wasis Sosilo (Komunitas Koes Plus Jakarta) tanggal 6 Mei 2008. Grup-grup musik rock menumpukan hidupnya pada pentas-pentas di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Malang. Lihat Juga Suzan Piper dan Sawong Jabo, op. cit., hlm. 11.
[14]Sumaryo Lee, Komponis, Pemain Musik, dan Publik (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1978), hlm. 129 dan 133.