Pengertian Seni Lukis Dan Makna Seni Lukis
Kelompok mata pelajaran estetika dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas atau yang sederajat dengan standar kompetensinya disebutkan dalam PP 19 tahun 2005 yaitu: ”membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.”. Standar kompetensi kelompok mata pelajaran estetika pada jenjang sekolah dasar adalah: ”menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal.” (BSNP, 2006: 140). Salah satu kegiatan seni yang dilaksanakan di sekolah dasar adalah seni lukis yang merupakan bagian dari seni rupa.
Pada seni melekat kesediaan untuk mengimajinasikan segala kemungkinan, mengeksplorasi ambiguitas, dan menerima keragaman pandangan. Karena itulah, pendidikan seni amat menghargai pengalaman pribadi yang menantang anak untuk bertindak kreatif melalui pemecahan masalah artistik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anugrah (2006) sebagai berikut.
Pendidikan Seni Budaya di sekolah memiliki dua fungsi yaitu: (1) untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiatif, dan kreatif pada diri peserta didik secara komprehensif; (2) untuk membentuk pribadi yang harmonis dalam berlogika dan beretika bagi elaborasi peserta didik untuk mencapai kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, serta mentalitasnya.
Kegiatan melukis bagi anak-anak seusia anak sekolah dasar merupakan kegiatan naluriah dan menjadi kesenangan anak karena muncul atas desakan perkembangan emosi artistik yang bersifat kodrati. Melukis bagi anak-anak merupakan aktivitas psikologis dalam rangka mengekspresikan gagasan, imajinasi, perasaaan, emosi, dan /atau pandangan anak terhadap sesuatu. Anak melukis adalah menceritakan atau mengungkapkan (mengekspresikan) sesuatu yang ada pada dirinya secara intuitif dan spontan lewat media seni lukis (Soesatyo, 1994: 31). Mereka melukis sebagai wujud pengungkapan pikiran dan perasaan tanpa terbatas pada apa yang dilihat oleh mata kepala saja, melainkan lebih pada apa yang mereka mengerti, pikirkan dan khayalkan. Mereka dengan asyik melakukan coret-mencoret, mengekspresikan perasaannya melalui garis, bidang, warna dan sebagainya sesuai dengan suara batin dan lingkungan anak.
Dalam konteks pendidikan, seorang pendidik harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang makna karya seni lukis bagi peserta didik. Pengetahuan dan pemahaman ini diperlukan agar pendidik mampu memberikan bimbingan dan menilai hasil belajar karya peserta didik . Hal ini sesuai dengan kompetensi yang dituntut sebagai seorang guru yaitu menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Penilaian proses antara lain melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan kompetensi peserta didik (PP Nomor 19, 2005).
Pada pelaksanaanya, penilaian proses dilakukan guru sebatas pengetahuan yang dimiliki guru tentang seni lukis, karena latar belakang pendidikan bukan dari bidang seni rupa. Sebagai guru kelas dan tidak pernah mendapat pelatihan tentang penilaian seni lukis sehingga guru mengalami kesulitan dalam menilai proses karya seni lukis. Hal ini lebih disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menilai proses pembuatan karya seni lukis anak tersebut. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, dilakukan pengembangan instrumen penilaian proses karya seni lukis siswa kelas I sekolah dasar, agar penilaian proses yang dilakukan guru mendekati objektivitas.
Pengertian Seni Lukis
Seni lukis merupakan bagian dari bidang seni rupa murni yang berwujud dua dimensi, sehingga seni lukis merupakan karya yang terlepas dari unsur-unsur kegunaan praktis. Lebih jelas lagi seni lukis merupakan suatu pengucapan pengalaman artistik seseorang yang dicurahkan ke dalam bidang dua dimensi dengan menggunakan garis, warna, bidang, dan tekstur. Seni lukis adalah salah satu lingkup seni murni berwujud dua dimensi. Karya seni lukis yang juga sering disebut dengan lukisan, umumnya dibuat di atas kain kanvas berpigura dengan bahan cat minyak, cat akrilik, atau bahan lainnya. Objek dan gaya lukisan sangatlah beragam. Karya seni lukis bergaya naturalis (potret) dibuat persis seperti objek aslinya, seperti pemandangan alam, figur manusia, binatang, atau benda lainnya. Karya lukis bergaya ekspresionis (penuh perasaan) memiliki objek benda atau figur yang dibuat dengan garis dan warna yang bernuansa emosi pelukisnya. Lukisan bergaya abstrak berasal dari khayalan kreatif senimannya, bentuknya tidak nyata, tersamar, bahkan kurang dimengerti oleh orang awam, tetapi mengandung berbagai alternatif rupa yang baru.
Pendekatan dalam Proses Pendidikan dan Pembelajaran Seni Rupa
Pada hakekatnya pendidikan seni rupa bersifat unik, yaitu kegiatan yang bersifat ekspresif, kreatif, dan estetik. Karena keunikannya ini dalam pendidikannya memerlukan pendekatan-pendekatan agar tujuan pendidikan seni rupa itu sendiri dapat tercapai. Ada tiga pendekatan dalam pendidikan seni rupa yang populer saat ini, yaitu:
1. Pendekatan Berbasis Anak
Pendekatan Berbasis Anak berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik haruslah menjadikan anak sebagai pusat. Pada waktu memberikan kesempatan berekspresi harus bertitik tolak dari anak. Herbert Read dalam Education through Art yang menyatakan bahwa naluri berolah seni rupa anak adalah suatu yang universal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengkomunikasikan dirinya (Read, 1970: 10). Peranan pendidik sebagai fasilitator, karena ekspresi diri anak sesungguhnyalah tidak bisa diajarkan oleh pendidik. Garha (1980: 60) mengatakan bahwa pendekatan ini sebagai ekspresi bebas yang memberikan keleluasaaan kepada anak-anak untuk dapat menyalurkan ungkapan perasaan tanpa dibatasi oleh aturan atau norma cipta konvensional dalam membuat gambar. Pada pendekatan berbasis anak ini tugas pendidik adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi anak, memberikan kemudahan kepada anak dalam mempelajari atau melakukan apa yang menjadi keinginan anak agar anak berkembang secara alamiah melalui pengalaman seni. Dengan demikian cara pembelajarannyapun pendidik memberikan kemudahan pada anak dalam melaksanakan kegiatan belajar yang diinginkannya, yaitu dengan pemberian motivasi, dengan peragaan, dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan pengalaman belajar yang dapat merangsang ekspresi pribadi anak.
2. Pendekatan Berbasis Disiplin
Pendekatan berbasis disiplin berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik menjadikan disiplin ilmu seni sebagai hal yang harus dikuasai oleh anak. Pendekatan berbasis disiplin ini berdasar pada teori pedagogi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang dicetuskan pada tahun 1980 di Amerika . Teori ini disebut sebagai Discipline-Based Art Education (DBAE). Karena setiap subjek seni didekati dengan suatu premis bahwa setiap subjek seni memiliki kekhasan yang berbeda dengan subjek seni yang lain sehingga diperlukan suatu pendekatan sebagai suatu “discipline” ilmu yang mandiri. Dengan demikian pendekatan dari berbagai aspek dipadukan dengan proses pengalaman belajar yang terkoordinasi secara menyeluruh menjadi sangat diperlukan. Menurut Brent Wilson “DBAE, builts on the premise that art can be taught most effectively by integrating content from four basic disciplines-art making, art history, art criticism, and aesthetics (the philosophy of art)-into a holistic learning experience” (Wailling, 2000: 19). Hal ini menyiratkan bahwa seni dapat diajarkan secara efektif bila mengintegrasikan makna empat dasar disiplin tersebut. yaitu: penciptaan seni (artistic creation), sejarah seni (art history), kritik seni (art criticism) dan estetika/filsafat seni (aesthetics) dalam suatu pengalaman belajar yang menyeluruh. Hal ini diperkuat dengan gagasan Eisner (1997:16) bahwa, Identified the productive, critical, and cultural and/or historical realms as necessary for leading the child to aesthetic experiences. Aesthetic education therefore represented a balance among producing, appreciating, and understanding. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan seni rupa sesuai yang tersirat dalam DBAE pelaksanaannya tidak memilah keempatnya tetapi berusaha untuk mengintegrasikannya.
Pendidikan Seni Berbasis Disiplin, atau DBAE (Disciplin Based Art Education), mengarahkan untuk mencipta, memahami dan mengapresiasi seni, sejarah seni, produksi seni, kritik seni, dan estetika. Tersurat pula dalam sebuah monograf dari The Getty Center for Education in the Arts, Eisner (1997: 20) membahas komponen estetika sebagai “berguna bagi anak-anak untuk menjadi reflektif tentang basis penilaian mereka berkaitan dengan kualitas karya seni, sebagaimana tentang dunia visual di sekeliling mereka.” Karena itu, para peserta didik harus berusaha melakukan dialog berkelanjutan tentang hakikat dan makna seni dalam kehidupan mereka. Dialog ini paling baik diungkapkan dalam bidang filosofis estetika.
Makna Seni Lukis bagi Siswa Sekolah Dasar
1. Seni Lukis sebagai Cerminan Isi Jiwa
Mencermati lukisan anak dan cara mereka menggambarkan lingkungannya, dapat memberikan suatu pandangan tingkah laku dan apresiasi pertumbuhan dan perkembangan bervariasi yang dialami anak. Dengan lukisan anak dapat dibaca jiwa dan kehidupan anak-anak yang bersifat polos. Goresannya spontan dan bebas: miring kesana kemari. Penggunaan warna sesuai dengan suasana hatinya, sangat berani: merah kuning, biru, hitam dan seterusnya. Apa yang dituangkan dalam tema lukisannya adalah apa yang dilihatnya sesuai dengan lingkungan hidup yang nyata dan khayalnya, sesuai dengan “kacamata” anak.
Dalam proses melukis, anak tidak ada rasa takut. Kegiatan seni di samping penting bagi perkembangan kognitif juga memberikan rangsangan bagi pertumbuhan persepsi, emosional, social, dam krativitas anak. Dengan kegiatan ini perlu diketahui apa yang dapat dikembangkan pada diri anak secara maksimal, karena lukisan anak itu sendiri mencerminkan segi kejiwaan anak.
2. Ciri Seni Lukis Anak
Anak berbuat dan berkarya atas dasar daya nalar anak. Mereka mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam ujud karya seni rupa atau lukisan tanpa terbatas pada apa yang terlihat dengan mata kepala saja, melainkan lebih pada apa yang mereka mengerti, pikirkan atau khayalkan. Perkembangan menggambar anak menurut Ricci (1960: 302-307):
The child starts drawing with an “interlacing network of lines” and then moves on to simple representational foms which become more detailed with age. He recognized in these simple forms that the child draws a description of the subject according to his knowledge of that subject and not according to its visual appearance.
Dengan demikian anak menggambar mulai yang paling sederhana yaitu dengan garis-garis dan berkembang menjadi bentuk-bentuk yang representasional dan detail sesuai dengan perkembangan usia sesuai dengan pengetahuannya sendiri bukan menurut penampakan visual.
Banyak sedikitnya unsur pada lukisan sangat tergantung pada keasyikan pemikiran dan fantasinya, lebih banyak yang akan mereka ceritakan maka lebih banyak pula bentuk yang akan dimunculkannya. Dengan penalaran anak wajar dan spontan maka hasilnya tampak sungguh naif. Ungkapan pribadinya muncul melalui bentuk-bentuk dengan makna simbolik tertentu, intuitif, dan lebih dekat pada sifat bermain.
Seni Lukis Siswa Sekolah Dasar Kelas I dalam KTSP
Dalam kurikulum KTSP, mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan adalah nama dari kelompok mata pelajaran Estetika yang dilaksanakan pada tingkat Sekolah Dasar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 (Peraturan Pemerintah, 2005) disebutkan tujuan mata pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan adalah untuk meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
Penilaian dalam Pembelajaran Seni Lukis di Sekolah Dasar
1. Fungsi Penilaian dalam Pendidikan Seni
Pada umumnya penilaian dapat diartikan sebagai aktivitas pembandingan suatu hasil pengukuran terhadap acuan tertentu. Dalam PP No 19 tahun 2005 disebutkan bahwa: penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik (BSNP, 2006: 5).
Penilaian pendidikan seni rupa ditujukan untuk menilai hasil belajar peserta didik secara menyeluruh, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (BSNP DIKNAS, 2006: 7) Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaitskell (1975: 62) sebagai berikut:
Behaviorists in art education also recommend that the three major domains of learning be maintained. These domains, or classifications of learning… cognititive (knowledge, fact, intellectual abilities), affective (feelings and attitudes), and psychomotor (ability to handle specific processes involving physical coordination) skills.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, implementasi pelaksanaan terlihat dalam Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Estetika disebutkan bahwa: standar kompetensi kreasi/rekreasi berkaitan dengan kemampuan peserta didik dalam menciptakan atau mengekspresikan diri melalui karya seni rupa, musik, tari, atau teater. Kemampuan ini terbentuk dari kombinasi pengetahuan, kepekaan rasa estetik, dan ketrampilan motorik yang tercermin pada karya seni yang dihasilkan atau dipertunjukkan (BSNP, 2006: 14).
Pada karya seni rupa penuangan gambar ekspresi adalah karya seni lukis. Dalam proses pembelajaran seni lukis ada pengalaman tertentu yang lebih ditekankan antara lain: pengalaman penghayatan dan penilaian terhadap nilai keindahan; pengalaman memahami dan mengaplikasikan alat, bahan, dan teknik untuk berkomunikasi secara visual (Salam, 2001: 8).
Karya seni lukis tentunya tidak relevan diukur dengan alat tes yang hanya mengukur aspek kognitif, sedangkan penampilan peserta didik dalam aspek afektif dan psikomotor sangat sulit datanya diukur melalui tes. Tingkah laku peserta didik di luar situasi tes lebih menunjukkan penampilan yang wajar dan non artificial dalam mengaplikasikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang banyak diantaranya tidak dapat terjaring oleh tes. Apalagi bila dikaitkan tujuan pendidikan seni rupa adalah membina kemampuan peserta didik ber- self expression secara kreatif-estetik lewat penggunaan media seni rupa. Dengan demikian untuk menilai karya seni lukis peserta didik diperlukan tidak hanya dari segi hasil saja tetapi juga proses pembuatan karya tersebut. Hal ini sesuai dengan PP 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 64 ayat 5 menyatakan: “Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotor peserta didik”. Selanjutnya pada Bab IV: Standar Proses Pasal 22 dijelaskan sebagai berikut:
(1) penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 3 pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai, (2) teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok, (3) untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester.
Berikut ini prinsip penilaian karya senirupa pada jenjang pendidikan dasar, yang mengacu pada Peraturan Menteri No 20 tahun 2007:
a. Sahih, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
b. Objektif, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
c. Adil, berarti penilaian seni rupa tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
d. Terpadu, berarti penilaian seni rupa oleh pendidik seni rupa merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
e. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan, antara lain peserta didik.
f. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
g. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
h. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapain kompetensi yang ditetapkan.
i. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari teknik, prosedur, maupun hasil.
2. Penilaian Proses dalam Pendidikan Seni
Tujuan penilaian proses karya adalah untuk mengamati kompetensi peserta didik dalam berkreasi membuat karya seni lukis. Menurut Conrad (1964: 271) the processes of evaluation help to build guides and to define and clarity the purposes and accomplishments of the educational processes.In art education, the evaluation prosesses are natural parts of art activity.Karena proses penilaian membangun bimbingan terhadap peserta didik dan memperjelas tujuan dan pemenuhan dalam proses pembelajaran, maka penilain proses sangat diperlukan apalagi proses penilaian merupakan bagian yang alami dari aktivitas seni. Pelaksanaan penilaian dilakukan dengan mengamati peserta didik dalam melaksanakan tugas yang diberikan dalam proses pembelajaran dengan tidak mengganggu aktivitas belajar peserta didik.
Selama kegiatan proses belajar mengajar berlangsung dalam pembelajaran seni lukis, pendidik melakukan penilaian dengan secara langsung mengamati bagaimana peserta didik membuat karya lukis, bagaimana penanganan alat dan bahan yang digunakan, bagaimana kelancaran ekspresi mareka, bagaimana cara memecahkan masalah penciptaan yang mungkin mereka jumpai, bagaimana mereka membangun dan mengorganisasikan kesatuan-kesatuan estetis, bagaimana peserta didik memanfaatkan waktu, dan lain sebagainya.
Dalam pendidikan seni rupa, penguasaan teoritis kesenirupaan dan keterampilan-keterampilan bersifat non ekspresif, misalnya apresiasi, bagaimana menyiapkan alat-alat dan bahan untuk melukis, menyiapkan bahan dan alat untuk membuat patung, dan sebagainya. Relatif tidak sulit untuk ditetapkan kriteria keberhasilan peserta didik yang dapat dikenakan pada hasil belajar yang dapat diukur secara objektif melalui tes. Tetapi kegiatan-kegiatan seni rupa yang bersifat ekspresif-kreatif-estetis sulit untuk terlebih dahulu ditetapkan kriteria keberhasilan objektif yang dapat diberlakukan secara klasikal.
Tidak mudah orang meramalkan secara pasti yang akan terjadi sebagai hasil aktivitas tersebut, seperti kemungkinan-kemungkinan ekspresif-kreatif-estetis dari lukisan, patung, seni garfik, dan lain sebagainya. Inspirasi-inspirasi, penemuan-penemuan ide, simbol-simbol personal, kemungkinan-kemungkinan penciptaan yang tidak terduga sebelumnya yang muncul dalam proses berekspresi dan berkreasi dengan media seni rupa merupakan hasil pendidikan seni rupa yang sulit diterapkan kriteria ekstrinsik dalam tujuan pendidikan, seperti dikatakan oleh Eisner (1997: 211) sebagai berikut: “Many of the most highly prized outcomes of art education are not capable of being stated in advance in the form of instruction objectives”. Penilaian di bidang ini lebih tepat tidak dengan penggunaan kriteria yang ditentukan terlebih dahulu untuk standar pencocokkan tingkah laku atau hasil kerja peserta didik, melainkan dengan usaha menemukan kualitas-kualitas berharga dalam proses kerja peserta didik.