Pengertian BI Rate
Sebagaimana yang disebutkan dalam Inflation Targeting Framework bahwa BI Rate merupakan suku bunga acuan Bank Indonesia dan merupakan sinyal (stance ) dari kebijakan moneter Bank Indonesia.
“BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) triwulanan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama”.
(Bank indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Dari pengertian tersebut terlihat jelas bahwa BI Rate berfungsi sebagai sinyal dari kebijakan moneter Bank Indonesia, dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate tersebut.
Sedangkan menurut Dahlam Siamat dalam bukunya yang berjudul Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan moneter dan Perbankan menyebutkan bahwa
“BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter”.
(Dahlan siamat, 2005;139)
Dari pengertian yang dikeluarkan oleh Dahlan Siamat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Bi Rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI-1 bulan hasil lelang OPT (Operasi Pasar Terbuka) berada disekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI-1 bulan tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bunga pasar uang antar Bank (PUAB), suku bunga deposito dan kredit serta suku bunga jangka waktu yang lebih panjang.
Mekanisme Penetapan BI Rate.
BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulanan setiap bulan Januari, April, Juli dan Oktober. Dalam kondisi tertentu, jika dipandang perlu, Bi Rate dapat disesuaikan dalam RDG pada bulan-bulan yang lain.
Pada dasarnya perubahan BI Rate menunjukkan penilaian Bank Indonesia terhadap prakiraan Inflasi ke depan dibandingkan dengan sasaran Inflasi yang ditetapkan. Pelaku pasar dan masyarakat akan mengamati penilaian Bank Indonesia tersebut melalui penguatan dan transparansi yang akan dilakukan, antara lain dalam Laporan Kebijakan Moneteryang disampaikan secara triwulanan dan press release bulanan.
“Operasi Moneter dengan BI Rate dilakukan melalui lelang mingguan dengan mekanisme variabel rate tender dan multiple price allotments”.
(Dahlan Siamat,2005; 140)
Dengan demikian sinyal respon kebijakan moneter melalui BI Rate yang ditetapkan oleh Bank indonesia akan diperkuat melalui berbagai transaksi keuangan di pasar keuangan.
“Untuk meningkatkan efektifitas pengendalian likuiditas di pasar, Bank Indonesia akan memperkuat operasi moneter harian melalui instrumen Fine-Tune Operations (FTO) dengan underlying instrument SBI dan SUN”.
(Dahlan Siamat, 2005;140)
Proses Penetapan respon kebijakan moneter dalam hal ini BI Rate:
- Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.
- Respon kebijakan moneter diharapkan untuk periode satu triwulan kedepan.
- Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda (Lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
- Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Selain itu yang menjadi pertimbangan dalam penetapan respon kebijakan tersebut adalah :
1. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar dapat tetap berada pada sasaran yang telah dirtetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
2. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secrara diskresi dengan mempertimbangkan :
a. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi.
b. Berbagai informasi lainnya seperti leading indocators, expert opinion, asesmen faktor resiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Strategi Komunikasi BI Rate.
Untuk lebih memudahkan masyarakat memahami tentang kebijakan moneter Bank Indonesia yang dilihat dari perubahan BI Rate, maka dilakukan berbagai strategi komunikasi terhadap masyarakat Tujuan strategi komunikasi ini menurut Dahlan Siamat adalah :
“untuk membantu secara bertahap menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi di masyarakat ke sasaran inflasi yang ditetapkan”.
Hal ini menjadi sangat penting karena di Indonesia pengaruh dari ekspetasi inflasi sebagai faktor penyebab inflasi, disamping dampak administered prices, volatile foods dan pengaruh langsung nilai tukar (direct exchange rate pass-trough).
Selain melalui press release dan konferensi pers yang secara reguler mengumumkan keputusan RDG, penguatan strategi komunikasi tersebut dilakukan melalui penerbitan Laporan Kebijakan moneter secara triwulanan. Di dalamnya akan memuat assesmen menyeluruh Bank Indonesia mengenai perkembangan terkini makroekonomi, inflasi, kondisi moneter, prakiraan inflasi kedepan, dan respon kebijakan moneter yang diperlukan untuk membawa inflasi ke arah sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
Strategi komunikasi lain yang lazim dipraktekan oleh bank-bank sentral yang menerapkan ITF (Inflation Targeting Framework) adalah dengan penjelasan-penjelasan Dewan Gubernur mengenai kebijakan moneter di berbagai kesempatan maupun publikasi dan penjelasan mengenai kerangka kebijakan moneter yang baru, proses inflasi di Indonesia, proses perumusan kebijakan moneter, model-model prakiraan ekonomi, maupun operasi operasi moneter. Selain itu juga melalui media elektronik dan juga website Bank Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulmkan bahwa strategi komunikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui :
1. Press Realease.
2. Laporan Kebijakan moneter secara triwulanan.
3. Publikasi dan penjelasan Dewan Gubernur.
4. Media elektronik.
5. Situs resmi Bank Indonesia.
Selain strategi komunikasi terhadap masyarakat, diperlukan juga koordinasi dengan pemerintah agar kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalpat sejalan dengan kebijakan umum pemerintah.
Inflasi.
Tinjauan Teoritis Mengenai Inflasi.
Sebelum menjelaskan mengenai hal-hal lainnya, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan mengenai teori-teori yang membahas mengenai Inflasi.
Teori Kuantitas.
Teori ini adalah teori tertua yang membahas mengenai Inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami perkembangan dari para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai kaum meneteris (moneterist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya Inflasi.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.
Keynesian Model.
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).
Mark Up Model.
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
Pengertian Inflasi.
Secara luas Inflasi dapat dikatakan sebagai kenaikan harga yang terus menerus sehingga mengakibatkan daya beli dari masyarakat pun menjadi menurun, hal ini disebabkan karena Jumlah uang yang ada di tangan masyarakat tidak sebanding dengan tingkat kenaikan harga yang terjadi. Dalam berbagai litelatur-litalatur dapat ditemukan bahwa pengertian Inflasi adalah :
“Inflasi merupakan Salah satu peristiwa moneter yang menunjukkan suatu kecenderungan akan naiknya harga barang-barang secara umum. Yang berarti terjadinya penurunan nilai uang”.
(Rimsky K. Judisseno, 2002;16)
Dari pengertian tersebut jelas terungkap bahwa dengan kenaikan harga-harga / Inflasi dapat mengakibatkan nilai uang yang ada menjadi turun (devaluasi), sehingga berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat.
Selain pengertian dari Rimsky tersebut diketahui juga bahwa pengertian dari Inflasi menurut seorang ekonom terkenal di Indonesia, yang menyebutkan bahwa
“Inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian”.
(Sadono Sukirno, 2002;15)
Dalam bukunya yang berjudul makroekonomi tersebut, Sadono Sukirno menyebutkan dengan singkat dan jelas bahwa yang disebut dengan Inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga.
Sedangkan menurut Gerald J. Thuesen dan W.J. Fabrycky yang dikutip dalam buku Analisis Investasi dalam perspektif Ekonomi dan Politik menyebutkan bahwa
“Inflasi adalah keadaan yang menggambarkan perubahan tingkat harga dalam sebuah perekonomian”.
(Irham Fahmi, 2006;79)
Dan pengertian lain tentang Inflasi juga ditemukan dalam sebuah buku yang berjudul Teori Ekonomi Makro karangan Dwi Eko Waluyo pada tahun 2002 yang menyebutkan bahwa
“Inflasi adalah Salah satu bentuk penyakit ekonomi yang sering muncul dan dialami oleh semua negara, kecenderungan kenaikan harga-harga umum secara terus menerus”.
Pengertian-pengertian tersebut sangatlah sejalan dengan pengertian Inflasi yang disebutkan pula oleh Bank Indonesia, BI mendefinisikan Inflasi sebagai berikut
“Inflasi adalah kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Dari pengertian Bank Indonesia tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidaklah bisa dikatakan sebagai Inflasi kecuali bila kenaikan tersebut meluas (atau mengakibatkan kenaikan terhadap barang-barang lainnya.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, terdapat kesamaan persepsi mengenai Inflasi, bahwa yang disebut dengan inflasi adalah suatu kenaikan harga-harga yang terjadi secara umum, artinya terjadi pada semua jenis barang dan juga terjadi secara meluas, yang berarti bahwa kenaikan harga-harga tersebut tidak hanya terjadi di suatu daerah saja, tetapi berdampak pada seluruh daerah yang ada di wilayah negara.
Jenis-Jenis Inflasi.
Ditinjau Dari Parah Tidaknya suatu Inflasi.
Apabila dilihat dari skala parah atau tidaknya Inflasi tersebut, maka dapat dilihat sebagai berikut :
1. Inflasi ringan dengan skala Inflasi sebesar < 10 persen / tahun.
2. Inflasi sedang dengan skala Inflasi sebesar 10 – 30 persen / tahun.
3. Inflasi berat dengan skala Inflasi sebesar 30 – 100 persen / tahun.
4. Hiperinflasi dengan skala Inflasi sebesar > 100 persen / tahun.
(Dwi Eko Waluyo, 2003 ; 122)
Ditinjau dari Asal Inflasi.
Dilihat dari asal Inflasi maka dapat diketahui bahwa Inflasi tersebut berasal dari dalam negeri dan juga berasal dari luar negeri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Impoted Inflation. Inflasi yang berasal dari dalam negeri atau disebut Domestic Inflation adalah
“Inflasi yang terjadi karena kenaikan harga akibat adanya kondisi “shock” (kejutan) dari dalam negeri baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga”.
(Dwi Eko Waluyo, 2003;125)
Sedangkan untuk Inflasi yang berasal dari luar negeri atau yang disebut dengan Imported Inflation merupakan suatu kenaikan harga yang diakibatkan karena kenaikan harga-harga dari barang-barang yang diimpor, sehingga akan mengakibatkan tekanan terhadap harga dalam negeri.
Sebab-Sebab Terjadinya inflasi.
Berdasarkan beberapa buku yang membahas mengenai ekonomi makro menyebutkan bahwa Inflasi bisa terjadi karena beberapa sebab, diataranya adalah sebagaimana ayang disebutkan dalam buku karangan Sadono Sukirno.
Penyebab Inflasi :
1. Inflasi tarikan permintaan.
2. Inflasi desakan biaya.
3. Inflasi diimpor
(Sadono Sukirno, 2004 ; 333)
1. Inflasi Tarikan Permintaan.
“Inflasi ini terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa sehingga menimbulkan Inflasi”.
(Sadono Sukirno, 2004;333)
Gambar Inflasi Tarikan Permintaan
Kurva AS adalah penawaran agregat dalam ekonomi, sedangkan AD1, AD2 dan AD3 adalah permintaan agregat. Misalkan pada mulanya permintaan agregat adalah AD1, maka pendapatan nasional adalah Y1 dan tingkat harga adalah P1. Perekonomian yang berkembang pesat mendorong kepada kenaikan permintaan agregat. Yaitu menjadi AD2. Akibatnya pendapatan nasional mencapai tingkat kesempatan kerja penuh, yaitu YF dan tingkat harga naik dari P1 ke PF. Ini berarti inflasi telah wujud. Apabila masyarakat masih tetap menambah pengeluarannya maka permintaan agregat menjadi AD3. Untuk memenuhi permintaan yang semakin bertambah tersebut, perusahaan-perusahaan akan menambah produksinyadan menyebabkan pendapatan nasional riil meningkat dari YF menjadi Y2. Kenaikan produksi nasional melebihi kesempatan kerja penuh akan menyebabkan kenaikan harga yang lebih cepat, yaitu dari P1 ke P2.
2. Inflasi Desakan Biaya.
Inflasi desakan biaya terjadi dalam masa perekonomian berkembang dengan pesat ketika tingkat pengangguran adalah sangat rendah.
(Sadono Sukirno, 2004; 334)
Gambar Inflasi Desakan Biaya
Kurva AS1, AS2 dan AS3 merupakan kurva penawaran agregat, sedangkan kurva AD adlah permintaan agregat. Andaikan pada mulanya kurva penawaran agregat adalah AS1. Dengan demikian pada mulanya keseimbangan ekonomi negara tercapai pada pendapatan nasional Y1, yaitu pendapatan nasional pada kesempatan kerja penuh, dan tingkat harga adalah pada P1. Pada tingkat kesempatan kerja yang tinggi perusahaan-perusahaan sangat memerlukan tenaga kerja. Keadaan ini cenderung mengakibatkan kenaikan upah dan gaji karena :
1. Perusahaan akan berusaha mencegah perpindahan tenaga kerja dengan menaikkan upah dan gaji.
2. Usaha untuk memperoleh pekerja tambahan hanya akan berhasil apabila perusahaan menawarkan upah dan gaji yang lebih tinggi.
Kenaikan upah akan menaikan biaya, dan kenaikan biaya akan memindahkan fungsi penawaran agregat ke atas, yaitu dari AS1 ke AS2. Sebagai akibatnya tingkat harga naik dari P1 menjadi P2. Harga barang yang tinggi ini mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah lagi, maka biaya produksi akan semakin tinggi. Pada akhirnya ini akan menyebabkan kurva penawaran agregat bergeser dari AS2 menjadi AS3. Perpindahan ini menaikan harga dari P2 ke P3. Dalam proses kenaikan harga yang disebabkan oleh kenaikan upah dan kenaikan penawaran agregat ini pendapatan nasional riil terus mengalami penurunan, yaitu dari YF atau Y1 menjadi Y2 dan Y3. Berarti akibat dari kenaikan upah tersebut kegiatan ekonomi akan menurun dibawah tingkat kesempatan kerja penuh.
Dalam kurva diatas diandaikan kenaikan upah tidak menyebabkan kenaikan dalam permintaan agregat. Dalam prakteknya, kenaikan upah mungkin juga diikuti oleh kenaikan dalam permintaan agregat riil. Apabila keadaan ini berlaku, kenaikan harga akan menjadi semakin cepat dan kesempatan kerja tidak mengalami penurunan. Andaikan setelah AS1 menjadi AS2, permintaan agregat AD berubah menjadi AD1. Akibar dari perubahan ini kesempatan kerja penuh tertap terpakai, tetapi tingkat harga lebih tinggi dari P2. Apabila proses kenaikan upah baru berlaku, penawaran agregat akan bergerak dari AS2 ke AS3. Sekiranya ini diikuti pula oleh kenaikan permintaan agregat menjadi AD2 maka tingkat kesempatan kerja penuh masih tetap tercapai, tetapi harga-harga akan mencapai tingkat yang lebih tinggi dari P3 yaitu P4.
3. Inflasi Diimpor.
Inflasi yang diimpor atau Imported Inflation merupakan kenaikan harga yang sangat dipengaruhi oleh tingkat harga-harga yang terjadi pada barang-barang yang diimpor, sehingga kenaikan harga barang-barang tersebut akan sangat berdampak terhadap kenaikan harga barang-barang di dalam negeri. Salah satu contoh yang pernah terjadi yaitu kenaikan harga minyak dunia pada tahun 1970an yang mengakibatkan kenaikan biaya produksi, dan kenaikan biaya produksi mengakibatkan kenaikan harga-harga. Kenaikan harga minyak yang tinggi tersebut (dari US$ 3.00 pada tahun 1973 menjadi US$ 12.00 pada tahun 1974) menyebabkan masalah stagflasi.
“Stagflasi yaitu menggambarkan keadaan dimana kegiatan ekonomi semakin menurun, pengangguran semakin tinggi dan pada waktu yang sama proses kenaikan harga-harga semakin bertambah cepat”.
(Sadono Sukirno, 2004;336)
Gambar Inflasi Diimpor
Permintaan agregat dalam ekonomi adalah AD sedangkan pada mulanya penawaran agregat ada AS1. Dengan demikian pada mulanya pendapatan nasional adalah Y1. Gambar diatas menunjukkan pendapatan ini dicapai di bawah pendapatan pada kesempatan kerja penuh (YF) maka jumlah pengangguran adalah tinggi. Kenaikan harga barang impor yang penting artinya di berbagai industri mengakibatkan biaya produksi naik, dan ini seterusnya akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat dari AS1 menjadi AS2. Pendapatan menurun dari Y1 kepada Y2 sedangkan tingkat harga naik dari P1 menjadi P2. Ini berarti secara serentak perekonomian menghadapi masalah inflasi dan pengangguran yang lebih buruk. Ahli-ahli ekonomi menamakan ini dnegan sebutan Stagflasi, yaitu merupakan akronim dari Stagnasi dan Inflasi.
Apabila suatu perusahaan masih mengalami permintaan yang bertambah, maka perusahaan akan berusaha untuk menaikkan produksinya denganc ara memberikan upah yang lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja yang baru, dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi ini mengakibatkan biaya produksi meningkat yang akhirnya menyebabkan kenaikan harga-harga berbagai barang-barang.
Sedangkan berdasarkan Bank Indonesia dalam Kerangka Kebijakan Moneter Yang Baru disebutkan bahwa
“Inflasi terjadi dikarenakan adanya tekanan dari sisi supply (cost push Inflation), dari sisi permintaan (demand pull Inflation), dan juga dari ekspektasi Inflasi”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
“Cost push Inflation atau Inflasi yang berasal dari sisi penawaran dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered prices), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya jalur distribusi”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Untuk inflasi yang terjadi dari sisi penawaran ini, biasanya tidak bisa langsung “tersentuh” oleh kebijakan moneter Bank Indonesia. Hal ini disebabkan karena sisi penawaran dipengaruhi oleh faktor-faktor luar yang tidak bisa dikendalikan oleh Bank Indonesia.
“Demand pull Inflation atau inflasi yang berasal dari sisi permintaan adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregat demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Inflasi yang berasal dari sisi permintaan ini bisa dikendalikan oleh kebijakan Bank Indonesia, dengan cara mengendalikan tingkat permintaan atas suatu barang dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter, dan diantaranya adalah denganjalur suku bunga atau BI Rate.
Yang terakhir faktor penyebab inflasi menurut Bank indonesia adalah karena adanya ekspektasi Inflasi,
“Ekspektasi Inflasi adalah Inflasi yang timbul karena perilaku masyarakat dan perilaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Taegting Framework)
Ekspektasi Inflasi ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal dan tahun baru) dan penentuan Upah Minimum Regional (UMR).
Pengukuran Tingkat Inflasi.
Banyak cara yang digunakan untuk mengukur tingkat Inflasi, diantaranya adalah dengan menggunakan :
1. General Price
2. Angka Deflator Produk Nasional Bruto.
3. IHK (Indeks Harga Konsumen).
4. Atas Harga Yang Hiharapkan
5. Indeks Harga Dalam Negeri dan Luar Negeri.
(Dwi Eko Waluyo, 2003; 120-122)
Pengukuran Dengan Menggunakan General Price.
Cara umum yang dipakai untuk menghitung Inflasi adalah dengan angka-angka harga umum (general price). Dengan formulasi sebagai berikut :
LIt = Laju Inflasi pada tahun t
Namun demikian dalam banyak penelitian empiris, khususnya di negara berkembang pengamat ekonomi sering dihadapkan pada suatu kesulitan untuk mendapatkan angka-angka harga umum. Berbagai cara untuk mendapat taksiran harga umum dan laju inflasi telah banyak dicoba, walaupun kadang-kadang antara penafsiran yang satu dengan yang lain menghasilkan angka dan pengaruh yang berbeda.
Cara Penghitungan dengan menggunakan Angka Deflator Produk Nasional Bruto (GNP Deflator).
Cara ini menggunakan formulasi sebagai berikut :
AD = Angka Deflator PNB
Yb = PNB menurut harga berlaku.
Yk = PNB menurut harga konsumen.
Kemudian untuk menghitung laju inflasinya ada dengan menggunakan formulasi sebagai berikut :
LIt = Laju Inflasi pada periode t.
ADt = Angka Deflator PNB pada periode t.
ADt-1 = Angka Deflator PNB periode t-1.
Kelemahan dari cara ini adalah sulitnya diperoleh angka deflator PNB bulanan, triwulanan, semesteran. Sehingga kita hanya mempunyai angka deflator dan laju Inflasi tahunan.
Cara Perhitungan Dengan Indeks Harga Konsumen.
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan dalam menghitung Inflasi. Hal ini disebabkan data Indeks Harga Konsumen dapat diperoleh dalam bentuk bulanan, triwulanan ataupun tahunan. Untuk Indonesia data IHK cukup mudah diperoleh baik dari laporan BPS, BI atau lembaga lainnya.
Model dari Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah sebagai berikut :
LIt = Laju Inflasi pada periode t.
IHKt = Indeks Harga Konsumen periode t.
IHKt-1 = Indeks Harga Konsumen periode t-1
Cara Perhitungan Berdasarkan Atas Harga Yang Diharapkan.
Cara ini menitik beratkan pada perhitungan harga dan laju Inflasi pada periode yang berlaku, dan yang ditonjolkan adalah peranan harga yang diharapkan pada periode yang akan datang.
Untuk menghitungnya adalah dengan rumus berikut :
Gurley telah mencoba menghitung harga pengharapan dengan laju Inflasi di Indonesia. Masalah yang dihadapi dalam penentuan atas harga pengharapan adalah kesulitan untuk mengamati perilaku masyarakat dan pemerintah dalam perekonomian.
Cara Perhitungan Dengan Indeks Harga Dalam Negeri dan Luar Negeri.
Rumus yang digunakan adalah :
IHU = a IHDN + (1-a) IHLN
IHU = Indeks Harga Umum.
IHDN = Indeks Harga Dalam Negeri
IHLN = Indeks Harga Luar Negeri.
a = Besarnya sumbangan pengaruh Indeks harga dalam negeri terhadap indeks harga umum.
Kesulitan yang dihadapi dalam hal ini adalah menentukan Indeks Harga Dalam Negeri dan proporsinya terhadap Indeks Harga Umum. Sejauh ini biayasanya Indeks Harga Ekspor dipakai sebagai pendekatan terhadap Indeks Harga Luar Negeri, akan tetapi kitapun tidak mengetahui proporsinya terhadap Indeks Harga Umum.
Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap Tingkat Inflasi.
Dalam mengatasi masalah ekonomi terutama yang berkaitan dengan masalah Inflasi, biasanya digunakan kebijakan fiskal dan juga kebijakan moneter. Tetapi dalam menghadapi masalah Inflasi, kebijakan moneter selalu menjadi instrumen yang paling berperan dalam pengendalian Inflasi. Dan salah satu instrumen moneter yang digunakan adalah melalui kebijakan Jalur Suku Bunga yang dikeluarkan oleh Bank sentral atau di Indonesia dikenal dengan nama BI Rate. Sebagaimana yang disebutkan dalam teori bahwa
“Untuk mengatasi masalah Inflasi, tindakan yang perlu dijalankan Bank sentral adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga”.
(Sadono Sukirno, 2004 ; 349)
Suku bunga memang sangat memegang peranan penting sekali dengan pengendalian Inflasi, hal ini disebabkan karena Inflasi biasanya disebabkan karena tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung lebih konsumtif terutama pada saat-saat tertentu, misalnya Libur nasional seperti Lebaran, Natal dan Tahun baru. Pada saat itu sering terjadi kenaikan terhadap barang dan jasa yang diakibatkan karena Tingkat permintaan barang dan jasa melebihi tingkat penawaran barang dan jasa tersebut.
“Kenaikan suku bunga dapat menguatkan nilai tukar melalui peningkatan (positive) interest rate differential. Demikian juga Bank Indonesia dapat mempengaruhi ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang konsisten dan kredibel”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
DI Indonesia sendiri, kebijakan suku bunga tersebut tentunya tidak berdampak secara “langsung” terhadap tingkat Inflasi, karena sebelum Tingkat bunga mempengaruhi Inflasi terlebih dahulu akan mempengaruhi berbagai instrumen-instrumen lainnya, seperti Tingkat suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang kemudian akan mempengaruhi Money Market Liquidity yang merupakan Indikator Suku Bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Kemudian Akan berpengaruh terhadap Suku bunga, kredit, harga aset, neraca perusahaan, nilai tukar, dan ekspektasi pasar. Pengaruh-pengaruh tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap permintaan domestik yang merupakan tekanan Inflasi dari dalam negeri dan juga mempengaruhi tekanan permintaan terhadap uang asing sehingga mengurangi tekanan Inflasi Asing, dana pada akhirnya karena tekanan-tekanan tersebut bisa berkurang maka berakibat pada penurunan tingkat Inflasi.
Gambar Pengaruh Bi Rate Terhadap Inflasi