Perdagangan Asia dan Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme Barat Di zaman perekonomian Asia yang telah maju, perekonomian Eropa justru masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abad ke-14 s/d abad ke-15 adalah dunia Islam, khususnya imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang-barang dagangan dari Timur seperti rempah-remapah menjadi langka dan harganya melambung tinggi.
terhadap komoditi itu tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Oleh kerena itu maka para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya mencari jalan alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut.
Meningkatnya permintaan baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya seperti India secara tidak lengsung telah mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya kepulauan Maluku memperluas tanaman ekspornya, terutama pala dan cengkeh. Selain adanya perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau, seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditi lain yang juga sangat diminati orang-orang Eropa, yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah, namun waktu itu lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari wilayah Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini mulanya merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat daya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri lada”. Sejak kapan lada dibumidayakan oleh penduduk Sumatera tidak begitu jelas.
Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar yang patut disebut sebuah emporium adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama kerajaan itu muncul pada ke-15 M. Kemunculannya sekaligus menggeser kedudukan Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu Parameswara menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan daripada pertanian.Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur-jalur perdagangannya dari para bajak laut atau lanun yang berkeliaran di sekitar Selat Malaka. Di samping itu penguasa Malaka berupaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama Majapahit (Jawa), Siam dan Cina.
Malaka juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang dianggapnya penting untuk dikuasai karena menghasilkan barang-barang yang sangat dibutuhkan Malaka. Misalnya Kampar di pantai timur Sumatera ditaklukannya karena daerah ini merupakan penghasil lada dan merupakan pintu keluarnya emas dari daerah pedalaman Minangkabau. Kemudian Siak juga ditaklukan dan dikuasainya karena menghasilkan emas.
Keberhasilan Parameswara menjalankan kebijakan politiknya, ditambah dengan perbaikan sistem pergudangan dan perbengkelan kapal (doking), membuat kota Malaka berkembang menjadi sebuah emporium terbesar di Asia Tenggara.
Apalagi setelah penguasa Malaka menjadi Islam pada tahun 1414, telah mendorong semakin banyak pedagang Islam dari Arab dan India yang nota bene menguasai jalur perdagangan dari Asia ke Timur Tengah, melakukan kegiatan bisnis-perdagangan di kota ini.
Menurut Tomé Pires, penulis Portugis, kebijakan yang ditempuh para raja Malaka adalah menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang erat kaitannya dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka waktu itu ada empat orang syahbandar yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan niaga mereka. Pertama, syahbandar yang mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau); dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti inilah yang mendorong Portugis berusaha menguasainya.
Bangsa Portugis telah mendengar informasi tentang kota Malaka dengan segala kekayaan dan kebesarannya itu dari pedagang-pedagang Asia. Atas dasar informs itu Raja Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan kota tersebut, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya dan menetap di sana sebagai wakil raja Portugal. Awalnya Sequeira disambut dengan senang hati oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528). Sikap Sultan kemudian berubah setelah komunitas dagang Islam internasional yang ada di bandar itu meyakinkannya bahwa Portugis merupakan suatu ancaman berat baginya. Oleh karena itu Sultan berusaha menangkap Sequeira dan anak buahnya. Empat kapal Portugis yang sedang berlabuh berusaha dirusak oleh pihak Sultan, namun gagal karena para kaptennya telah berhasil membaya kapal-kapal itu berlayar ke laut lepas. Penyerangan terhadap Portugis juga terjadi di tempat lainnya di barat. Dengan adanya kejadian seperti itu Portugis yakin bahwa untuk menguasi perdagangan hanyalah dengan cara penaklukan, sekaligus mengokohkan eksistensinya dalam dunia perdagangan Asia.
Di satu pihak jatuhnya Byzantium ke tangan Turki Usmani telah menyebabkan komoditi dari Asia Timur dan Asia Tenggara di Eropa langka dan kalaupun adany harganya sangat mahal. Namun di pihak lainnya peristiwa itu berdampak positif karena telah mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan di dunia.
Sementara itu Malaka yang dihindari oleh para pegadang Islam kedudukannya semakin merosot dan tidak pernah meraih kembali kejayaan dan kebesarannya.
Portugis sendiri akhirnya menyadari bahwa pentingnya Malaka adalah peranannya sebagai pelabuhan emporium, pelabuhan transito. Guna mempertahankan fungsinya itu, kapal-kapal Portugis belayar ke Maluku untuk mengambil komoditi tersebut. Pada waktu itu di Maluku ada dua kesultanan Islam yang besar dalam kondisi sedang menurun dalam kekuasaan politiknya dan saling bermusuhan satu sama lain, yaitu Ternate dan Tidore.
Selain ke Maluku Portugis berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Pajajaran, satu kerajaan Hindu di Jawa Barat yang kedudukan politiknya juga sedang menurun. Namun kerjasama dengan kerajaan ini tidak sempat terwujud karena Pajajaran tenggelam oleh kekuatan Islam Demak - Banten.
Kenyataan ini telah memaksa Portugis untuk meninggalkan politik anti Islamnya (Perang Salib), dan berusaha mencari mitra kerja atau sekutu dagang dari kalangan Islam. Sebab, (1) Portugis harus menerima kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan di sekitarnya adalah Islam, dan (2) perdagangan Islam di Asia Tenggara sampai Timur Tengah cukup dominani.
Persaingan dan kemitraan
1. Portugis di Maluku
Setelah Portugis menyadari bahwa penghasil rempah-rempaah bukanlah Malaka melainkan Maluku. Atas dasar kenyataan itu Portugis berlayar ke Maluku dan berupaya menanamkan pengaruhnya melalui persekutuan dengan Ternate. Atas persetujuan Sultan Ternate, pada tahun 1522 Portugis membangun sebuah benteng di sana. Pada awalnya persekutuan itu berjalan dengan baik. Hubungan itu mulai rusak setelah Portugis melakukan kristenisasi terhadap masyarakat Maluku, serta perilaku orang-orang Portugis sendiri dinilai tidak sopan. Akan tetapi karena kekuatan kerajaan Ternate ternyata tidak cukup kuat untuk mengusir orang-orang Portugis. Akibatnya yang terjadi menjadi kebalikannya, justru sultan Ternate, Tabariji diturunkan dari singgasananya oleh Portugis lalu dibuang ke Goa, India. Sekitar empat puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1575 giliran Portugis yang diusir oleh sultan Ternate, Baabullah (1570-1583). Dari Ternate orang-orang Portugis pindah ke Tidore dan membangun sebuah benteng di sana.
Meskipun gerakan kristenisasi tidak lagi sepenuhnya dijalankan oleh ‘pemerintah’ Portugis, namun tidak berarti upaya kristenisasi sama sekali berhenti.
Karena masih ada orang Eropa yang meneruskan kegiatan itu di kepulauan Nusantara. Orang itu adalah Santo Francis Xavier (1506-1552), orang Spanyol, yang bersama-sama dengan Santo Ignatius Loyola mendirikan Ordo Jesuit. Pada tahun 1560-an di kepulauan Maluku diduga sudah ada sekitar 10.000 komunitas Katholik yang sebagian besar berdomisili di Ambon, dan pada tahun 1590-an terdapat sekitar 50.000 – 60.000 orang Katholik (Ricklefs, 2005). Menurut Ricklefs, kondisi ini telah memberi sumbangan yang besar pada rasa memiliki kepentingan yang sama dengan orang-orang Eropa, terutama di kalangan penduduk Ambon. Perasaan semacam itu tidak dialami oleh penduduk pribumi (Indonesia) di daerah-daerah lainnya.
Upaya kaum missionaris yang sungguh-sungguh ini terjadi justru pada waktu kegiatan penaklukan Portugis di kepulauan Indonesia telah terhenti. Pada waktu itu kepentingan utama Portugis telah bergeser dari Maluku ke perdagangan dengan Jepang yang dinilainya lebih menguntungkan. Setelah Portugis memperoleh Macao di tahun 1557, perdagangan dengan Cina juga semakin terbuka. Akhirnya kegiatan Portugis yang luas mulai lebih dipusatkan pada perdagangan gula Brazil dan budak-budak Afrika daripada terhadap wilayah timur Asia, terutama setelah Portugis terusir dari Malaka tahun 1641 oleh kekuatan gabungan VOC dan Johor. Dengan demikian kristenisasi dengan segala pengaruhnya di kepulauan Indonesia bagian timur lebih merupakan hasil jerih payah seorang Jesuit daripada hasil jerih payah kerajaan Portugal.
Selain agama, Portugis meninggalkan beberapa pengaruh budaya, seperti balada keroncong yang romantis, dan kosa kata yang terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti kata ‘pesta’, ‘sabun’, ‘sepatu’, ‘bendera’, ‘kemeja’, ‘’meja’, ‘minggu’ dll. Hal ini membuktikan bahwa di samping bahasa Melayu yang menjadi lingua franca, bahasa Portugis banyak pula dipergunakan di kepulauan Indonesia, paling tidak sampai akhir awal abad ke-19. Kini, di daerah kepulauan Maluku masih banyak nama keluarga yang berasal dari masa Portugis, seperti: da Costa, Dias, de Fretes, Gonsalves, Mendoza, da Silva, dan Rodrigues.
Perdagangan Portugis pada dasarnya bersifat semi-feodal dan terikat oleh raja Portugis beserta politiknya. Perdagangan resmi Portugis dapat dikatakan sebagai contoh dari seorang raja Eropah yang berdagang. Karena itu banyak yang menilai organisasi perdagangannya kurang efisien. Para pejabatnya di Asia bukanlah saudagar melainkan hidalgo’s yang lebih menyukai perampokan daripada perdagangan resmi. Apalagi pada waktu itu bagi seorang prajurit, perampokan merupakan hak penakluk dari pihak yang menang perang, sehingga perampokan dianggap terhormat.
2. VOC sebagai Kekuatan Baru
Dibandingkan dengan Belanda (Ekspedisi pertama Balanda di bawah pimpinan Cornellis de Houtman tiba di Banten tahun 1596) dan Inggris (ekspedisi pertama Inggris di bawah pimpinan Sir Francis Drake yang singgah di Ternate, Sulawesi dan Jawa diakhir tahun 1579) yang baru datang ke wilayah ini menjelang akhir abad ke-16, maka organisasi perdagangan Portugis memang kelihatan kuno dan kurang efisien. Organisasi dagang yang dibentuk para pedagang dan penguasa Belanda, yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mempunyai tujuan utama yang jelas, yaitu dagang. Ketegasan itu antara lain tercermin dari khirarkhi VOC itu sendiri. Jabatan “Eerste Koopman” misalnya, dalam hirarkhi VOC merupakan jabatan penting dan strategis. Pada zaman kejayaannya, hampir semua mantan pejabat “Eerste Koopman” menjadi gubernur jenderal.
Dalam menanamkan pengaruhnya di Nusantara, baik Portugis maupun Belanda banyak mempergunakan pola-pola konflik setempat. Disamping itu mereka juga membawa konflik-konflik mereka di Eropa ke wilayah ini, yang kemudian juga dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sejak berdirinya, VOC sudah mempersiapkan diri untuk peperangan, terutama melawan musuh-musuhnya di Eropa. Pertama melawan Portugis dan Spanyol, setelah itu EIC (Inggris).
Permusuhan antar kekuatan Barat ini tidak saja karena pada dasarnya telah bermusuhan di Eropa, melainkan juga karena persaingan dagang di kepulauan Indonesia dan Semenanjung Melayu, di mana tiap-tiap pihak ingin memperoleh monopoli atas perdagangan tersebut.
3. Aceh dan kekuatan Barat
Seperti telah disebutkan bahwa penguasaan kota Malaka oleh Portugis telah mengacaukan struktur perdagangan di Asia Tenggara, khususnya kepulauan Indonesia dan Semenanjung Melayu. Banyak pedagang Asia yang mengindari kota Malaka yang telah dimonopoli Portugis yang secara tidak langsung membuat peranan Malaka sebagai pelabuhan transit semakin merosot. Sebaliknya di beberapa daerah, terutama yang di jalur perdagangan baru, tumbuh dan berkembang kota-kota dagang baru, yang beberapa di antaranya berkembang menjadi pusat kekuatan politik baru di wilayah ini.
Aceh misalnya, pada tahun 1511 di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat masih merupakan satu pelabuhan kecil yang berada di bawah kekuasaan Pidie. Sewaktu Malaka direbut Portugis, sebagian besar komunitas dagang Asia berpindah ke Aceh. Penghidupan utama dari penduduknya adalah menangkap ikan (nelayan), dengan pekerjaan sampingan adalah merampok di laut, termasuk merampok kapal-kapal Portugis. Dengan kekuatan sekitar 30 kapal (lankhara), Aceh di bawah Sultannya yang pertama, Ali Mughayat (?1514-1530) berhasil menyergap kapal-kapal Portugis dan memperoleh meriam-meriam dari hasil rampokan tersebut. Dalam tahun 1530 diberitakan bahwa jumlah meriam yang dimiliki Aceh lebih banyak daripada yang meriam Portugis yang ada di benteng Malaka.
Dengan meningkatnya kekuatan dan persenjataan itu, Aceh menaklukan Pidie yang sebelumnya merupakan tuannya. Setelah itu Aceh memperluas hegemoninya ke selatan, ke Deli dan Sumatera Barat. Pada tahun 1524 Pedir dan Pasai berhasil dikuasai Aceh, setelah pasukannya berhasil mengusir garnisun Portugis yang ditempatkan di daerah itu. Kemenangan Aceh atas Portugis ini dilenggkapi lagi dengan keberhasilnnya mengalahkan armada Portugis di Aru. Kemenangan demi kemenangan itu telah memposisikan Aceh, tidak saja berhadapan dengan Portugis melainkan juga dengan Johor. Untuk sementara waktu Johor besama-sama dengan Indrapura mampu manahan ekspansi Aceh. Johor berhasil memukul mundur pasukan Aceh dari Aru dan menguasinya sekitar empat puluh tahun berikutnya. Satu hal yang perlu dicatat, daerah-daerah yang ditaklukan Aceh, umumnya merupakan daerah penghasil merica, emas, lada, dan produksi lainnya yang laris di pasaran dunia waktu itu.
Kesultanan Johor adalah adalah pusat kekuatan politik baru dinasti Melayu setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kesultanan itu berhasil mempertahankan eksistensinya dan mampu mempertahankan perdagangan internasionalnya. Dalam perkembangannya nanti, Johor bersekutu dengan VOC, terutama dalam menghadapi tekanan dari Kesultanan Aceh yang bersekutu dengan Portugis yang bercokol di Malaka. Sampai pertengahan abad ke-17 perdagangan di Selat Malaka dimainkan oleh tiga kekuatan, yaitu Portugis, Aceh, dan Johor. Namun Aceh berkali-kali menyerang Johor, terutama untuk merebut Aru, seperti pada tahun 1564 dan 1565.
Pada tahun-tahun itu,Aceh di bawah Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1571) menyerang dan merampok Johor serta menawan rajanya Sultan Alaudin Riayat Syah I dibawa ke Aceh dan kemudian dibunuh. Kemudian pada tahun1613, kembali armada Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyerang Johor dan menangkap rajanya Sultan Alaudin Riayat Syah II (1597-1613) dan keluarganya, serta sekelompok pedagang VOC dan membakar benteng VOC di kota tersebut Sultan Iskandar Muda tercatat sebagai penguasa terbesar di antara penguasa-penguasa Aceh. Pada awal abad ke-17 ia berhasil membawa Aceh menjadi kerajaan maritim terbesar di wilayah Nusantara bagian barat. Kekuatan armada perangnya, serta armada dagangnya menjadikan mata uang mas Aceh (dirham) disukai dan diterima oleh komunitas pedagang Asia sebagai salah satu alat pembayaran yang sah dalam transaksi perdagangan di samping Real Spanyol, Rijkasdaalder Belanda atau Kepeng Cina.
Ofensif Aceh terhadap Malaka-Portugis dilakukan berkali-kali. Pada tahun 1614 armada Aceh berhasil mengalahkan armada Portugis di Bintan. Kemudian pada tahun 1617 Aceh merebut Pahang dan menawan rajanya Sultan Ahmad Syah. Setelah itu pada tahun 1620 giliran Kedah ditaklukannya dan tiga tahun kemudian, Aceh kembali merampok Johor. Namun baik Johor maupun Portugis tidak pernah menyerang balik ke Aceh. Ofensif militer Aceh baru terhenti setelah pada tahun 1629 armada lautnya menderita kekalahan besar di muka pelabuhan Malaka Portugis. Menurut laporan Portugis, Aceh kehilangan seluruh kapal perangnya berikut 19.000 prajuritnya (hilang dan tewas).
Setelah kekalahan itu, Iskandar Muda tidak pernah menyerang Malaka Portugis lagi Dua kali ia mengirim ekspedisi lautnya, namun kedua-duanya hanyalah untuk menumpas pemberontakan di Pahang. Meskipun Iskandar Muda berhasil menjadikan Aceh negara terkuat di bagaian utara pulau Sumatera, namun dia tidak pernah mengirimkan ekspedisi untuk menaklukan Lampung, Sumatera bagian selatan, yang merupakan daerah penghasil lada. Waktu itu Sumatera bagian selatan berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten.
Di pulau Sumatera Aceh secara terus menerus menentang kekuasaan Portugis dan Belanda. Oleh karena itu kesultanan itu dilihat oleh Portugis sebagai kekuatan Islam yang menentang kehadirannya. Satu fakta yang menunjang anggapan itu karena memang Aceh sering mengibarkan bendera Islam dalam peperangannya melawan Portugis dan VOC. Meskipun demikian tidak selamanya Aceh bertentangan dengan Portugis. Kadang-kadang Aceh juga mengadakan persekutuan dengan Portugis dalam menghadapi kesultanan Johor (yang Islam) atau persekutuan Johor-VOC. Pada dasarnya konflik maupun persekutuan seperti di atas adalah soal yang lazim, karena kepentingan-kepentingan tertentu, tidak semata-mata karena alasan politis melainkan juga ekonomi.
Kebesaran kesultanan Aceh tidak hanya terletak pada kekuatan militernya semata, melainkan karena kemampuannya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Asia Barat, terutama Turki yang disebut oleh masyarakat Aceh sebagai Raja Rum. Dengan jatuhnya Aden ke tangan Turki Usmani di tahun 1538, penghidupan perdagangan merica ke Timur Tengah melalui Laut Merah yang sempat terhenti oleh kehadiran kekuatan maritim Portugis di Lautan Hindia, kembali berkembang. Dari beberapa negara Nusantara yang, kemungkinan besar hanya Aceh yang mempunyai hubungan internasional. Duta-duta Aceh tidak hanya sampai ke Istambul, Turki, tetapi juga mengunjungi raja-raja Eropa seperti Ratu Elizabeth dari Inggris, bahkan juga Pangeran Maurice dari Belanda. Di Asia sendiri duta Aceh antara lain berkunjung ke Moghul, India. Dari misi-misi diplomatik itu, hubungan dengan Turki yang paling membawa hasil yang tetap dan besar. Turki melihat kehadiran Aceh sebagai suatu kesempatan untuk memerangi Portugis-Spanyol di wilayah Timur atau dari belakang. Sebagai bukti dari perhatian itu, pada tahun 1567 Turki mengirimkan 500 orang pelatih artileri (meriam) ke Aceh beserta sejumlah meriamnya, antara lain meriam yang diberi nama “Lada sacupak” yang ukurannya sangat besar dan dianggap sebagai pusaka penting waktu itu. Di samping itu orang-orang Turki mengajarkan cara membuat meriam kepada orang-orang Aceh. Di duga bantuan-bantuan militer itu dibayar dengan hasil perdagangan merica atau lada yang merupakan hasil ekspor Aceh yang utama dan menguntungkan.
Ada satu faktor yang membuat Aceh tidak mampu mengembangkan dirinya menjadi kerajaan besar di Nusantara, yaitu intrik-intrik di dalam istananya sendiri, baik di kalangan elit-elit pusat maupun di daerah. Setelah Iskandar Muda meninggal, peranan Aceh dalam politik maupun perdagangan terus merosot, sehingga memberi kesempatan kepada Johor untuk membenahi dirinya. Johor kemudian berhasil menegakkan kembali pengaruhnya di semenanjung Malaya dan kawasan selat bagian selatan.
4. Raja-raja Jawa dan Kekuatan Barat
Jatuhnya kota Malaka ke tangan Portugis, menyebabkan kota-kota lama di pesisir utara Jawa seperti Sunda Kalapa, Cirebon, Jepara, Pati, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya, ramai dikunjungi para pedagang manca negara. Bahkan di beberapa daerah tumbuh pula kota dagang baru, antara lain Banten.
Para penguasa di Jawa melihat Portugis sebagai saingan dan ganjalan dalam perdagangan mereka. Jepara misalnya, melihat Portugis sebagai saingan utama dalam perdagangan lada yang kedua-duanya mengambil barang dagangan itu dari Maluku. Kemudian Demak sebagai pengekspor beras ke Malaka, menjadi rugi setelah kota tersebut jatuh ke tangan Portugis. Faktor-faktor inilah dan juga isu-isu perang agama yang mendorong Demak, Jepara dan Kudus bersatu untuk menyerang Malaka.
Ekspedisi penyerangan dilakukan pada tahun 1513 di bawah Pati Unus. Konon ekspedisi ini terdiri dari 100 buah kapal perang serta membawa 5000 prajurit gabungan dari Jepara dan Palembang.. Namun ekspedisi itu dapat dikalahkan oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1551 Jepara kembali mengirimkan ekspedisinya membantu Johor untuk menyerang Malaka Portugis yang juga berakhir dengan kegagalan. Pada tahun 1574 Jepara sekali lagi mengirimkan ekspedisinya mengepunga Malaka Portugis selama tiga bula. Namun juga tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Portugis di kota pelabuhan itu.
Kegagalan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara untuk merebut Malaka pada dasarnya karena kekuatan Islam di kepulauan Nusantara tidak mau bersatu melawan Portugis maupun Belanda (VOC). Bahkan di antara mereka juga saling mencurigai. Malaka sendiri akhirnya jatuh oleh serangan gabungan antara Johor-VOC.
Eksistensi kerajaan-kerajaan maritim Jawa dengan kekecualian Banten, tidak bertahan lama. Kebesaran mereka sebagai kekuatan maritim terus merosot bukan karena dikalahkan oleh kekuatan Portugis atau pun VOC, melainkan oleh kekuatan baru yang muncul di pedalaman Jawa, yaitu Mataram. Kerajaan ini yang berdiri sejak tahun 1575 terus menerus melakukan ofensif terhadap kerajaan-kerajaan maritim, khususnya di pantai utara Jawa, bahkan sampai ke Batavia. Bayangan kejatuhan Majapahit yang menghantui para penguasa di Mataram membuat mereka berupaya mematikan sumber-sumber pendukung politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan tersebut, yang secara tidak langsung mematikan perdagangan laut mereka.
Kedatangan pedagang baru, termasuk VOC dan EIC (Inggris) seringkali mendatangkan harapan-harapan baru bagi raja-raja di Nusantara. Demikian pula sewaktu Belanda dan Inggris datang di akhir abad ke-16 disambut dengan baik. Banten misalnya mengijinkan VOC dan EIC membuka kantor dagangnya di kota pelabuhannya. Demikian pula Pangeran Jayakarta mengundang masuk VOC untuk
membuka kantor dagangnya di kotanya. Namun politik monopoli yang dikembangkan VOC membuat penguasa Jayakarta merasa dirugikan. Lalu Pangeran Jayakarta bersekutu dengan EIC yang juga merasa dirugikan oleh VOC, untuk bersama-sama mengusir VOC. Di saat-saat kritis bagi kekuatan VOC di Jayakarta tertolong oleh tindakan raja Banten yang curiga atas tindakan Pangeran Jayakarta.
Raja Banten menilai tindakan Pangeran Jayakarta membahayakan kedudukan Banten. Oleh karena itu Banten menangkapnya dan mengusir EIC dari Jayakarta. Dalam saat kekuatan Jayakarta kosong, armada VOC yang didatangkan dari Maluku datang menyerang Jayakarta. Kota itupun jatuh ke tangan VOC dan diubah namanya menjadi Batavia.
Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke Batavia. Namun untuk menguasai seluruh perdagangan di Nusantara, VOC harus menunggu waktu yang relatif lama. Di sebelah barat, Banten tampil sebagai salah satu kekuatan maritim di Jawa sekaligus sebagai saingan berat dalam perdagangan yang terus menerus menentang VOC seperti halnya Aceh terhadap Malaka-Portugis. Sementara tantangan dari kekuatan maritim di sebelah timur seperti, Surabaya, Pacitan, Pasuruan, Kudus, dan Demak relatif tidak ada karena kerajaan-kerajaan tersebut sedang menghadapi kekuatan Mataram.