Pengertian Dan Tujuan Pendidikan Akhlak
Pengertian Pendidikan Akhlak
Dalam bahasa Arab istilah pendidikan digunakan untuk berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta’lim, ta'dib, siyasat, mawa’izh, 'ada ta'awwud dan tadrib. Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib dan ta'dib sering diartikan pendidikan. Ta'lim diartikan pengajaran, siyasat diartikan siasat, pemerintahan, politik atau pengaturan. Muwa'izh diartikan pengajaran atau peringan. 'Ada ta'awwud diartikan pembiasaan dan tadrib diartikan pelatihan.
Di antara mereka yang menjadikan istilah-istilah di atas untuk tujuan pendidikan yakni Ibn Miskawaih dalam bukunya berjudul tahzibul akhlak, Ibn Sina memberi judul salah satu bukunya kitab al siyasat, Ibn al-Jazzar al-Qairawani membuat judul salah satu bukunya berjudul siyasat al-shibyan wa tadribuhum, dan Burhan al-Islam al-Zarnuji memberikan judul salah satu karyanya Ta'lim al-Mula'allim tharik at-ta'alum. Walau terjadi berbagai perbedaan, namun para ahli tidak mempersoalkan penggunaan istilah di atas. Karena, pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih baik.
Memang secara fakta bahwa istilah “pendidikan” telah menempati banyak tempat dan didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pakar, yang banyak dipengaruhi pandangan dunia masing-masing. Para pakar sependapat bahwa Pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran. Kalau pengajaran dapat dikatakan sebagai "suatu proses transfer ilmu belaka", namun pendidikan merupakan "transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya". Dengan demikian, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan "tukang-tukang" atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis. Artinya, perbedaan pendidikan dengan pengajaran terletak pada “penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran clan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian” (Azra 2000, hlm. 3-4).
Mengambil makna dari pandangan Azra di atas, artinya pendidikan secara umum memuat sebuah usaha dan cara-cara yang dipersiapkan oleh pelaku pendidikan (Baca ; guru, pendidik) dengan persiapan yang matang dan penekanan-penekanan menuju ke arah proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian yang sesungguhnya tidak mudah dilaksanakan.
Jika kita melihat sejarah, “pendidikan” secara istilah, seperti yang lazim dipahami sekarang belum dikenal pada zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Orang Arab Mekkah yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar dan sombong maka dengan usaha dan kegiatan Nabi mengislamkan mereka, lalu tingkah laku mereka berubah menjadi menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa, mukmin, muslim, lemah lembut dan hormat pada orang lain.
Dari kegigihan usaha Rasulullah SAW tersebut, mereka telah berkepribadian muslim sebagaimana yang dicita-citakan oleh ajaran Islam dengan itu berarti Nabi telah mendidik, membentuk kepribadian yaitu kepribadian muslim dan sekaligus berarti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendidik yang berhasil. Sehingga jelaslah kegigihan tersebut mencerminkan upaya menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia (Arifin 1993, hlm. ix), yaitu potensi untuk selalu cenderung kepada kebaikan dan ridha Allah SWT sebagai jalan yang dapat membahagiakan kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Al-Attas mendefinisikan pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Suatu proses “penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap “sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan itu (Al-Attas 1994, hlm. 35).
Istilah yang dikemukakan di atas mengandung tiga unsur dasar yang membentuk pendidikan, yaitu proses, kandungan, dan penerima. Tetapi semuanya itu belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur tersebut masih begitu saja dibiarkan tidak jelas. Lagi pula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk dikembangkan menjadi suatu definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa yang ditonjolkan adalah prosesnya (Al-Attas 1994, hlm. 35-36). Jadi dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam manusia.
Sedangkan kata "Akhlak" dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan akhlak, moral, etika, watak, budi pekerti, tingkah laku, perangai dan kesusilaan. Akhlak jamak dari khuluq yang berarti adat kebiasaan (al-'adat), perangi, tabi'at (at-jiyyat), watak (at-thab), adab atau sopan santun (al-muru’at), dan agama (al-din). Istilah-istilah akhlak juga sering disetarakan dengan istilah etika. Sedangkan kata yang dekat dengan etika adalah moral.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat: 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul: "Sesungguhnya engkau [Muhammad] berada di atas budi pekerti yang agung" (QS. Al-Qalam [68]: 4). Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi SAW, dan salah satunya yang paling populer adalah : “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keanekaragaman tersebut, dalam al-Qur'an : “Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam” (QS. Al-Lail [92]: 4). Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
Sedangkan kata etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan (Bertens, 2004, him. 4). Kata yang dekat dengan etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya mores yang berarti kebiasaan atau adat. Jadi menurut Bertens kata "etika" sama dengan etimologi "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaaan. Hanya bedanya "etika" dari bahasa Yunani dan "moral" dari bahasa Latin. Dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia kata etika dan moral sangat berdekatan dengan istilah akhlak dari bahasa Arab.
Terkait masalah istilah dalam bahasa Indonesia dikenal istilah "etika dan etiket”. Etika disini berati moral. Etiket berarti sopan santun. Etiket juga berarti secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang. Jika dari asal usulnya, kedua istilah ini tidak ada hubungannya. Etika dalam bahasa Inggris adalah ethics sedangkan etika adalah etiquette. Kedua istilah ini memiki persamaan dan perbedaan. Dari segi persamaan. Pertama, sama-sama menyangkut perilaku manusia. Kedua, sama-sama mengatur perilaku manusia secara normatif.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti 1) Ilmu tentang yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut para ahli masa lalu (al-qudama). Akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik dan buruk.
Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku atau perangai ('ilm al-suluk), atau tahzib alakhlaq (falsafat akhlak) atau al hikmah al-amaliyat atau al hikmat al khuluqiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya.
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan lebih lama” (Mahyuddin 1996, hlm. 4). Sedangkan Asmaran cenderung melihat akhlak merupakan bawahan sejak lahir yang tertanam di dalam jiwa manusia. Asmaran (1994), mendefinisikan "akhlak itu adalah sifat-sifat yang dibawah manusia sejak lahir, yang tertanam di dalam jiwanya dan selalu ada pada dirinya. Sifat itu dapat dilihat dari perbuatannya. Perbuatannya yang baik disebut akhlak mulia, dan perbuatan yang buruk disebut akhlak yang buruk atau tercela. Baik atau buruknya suatu akhlak tergantung pda pembinaannya" (Asmaran 1994, hlm.1).
Ditinjau dari segi sifatnya, akhlak terbagi dua macam, yakni akhlak yang baik, disebut akhlaqul mahmudah; dan akhlak yang tercela, disebut akhlaqul mazmumah (Barmawie 2001, hlm.22). Kemudian dilihat dari segi sasarannya, akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada lingkungan. Akhlaqul mahmudah juga terbagi lagi beberapa macam, diantaranya adalah:
1. Al-Amanah, artinya jujur
2. Al-Afwu, artinya pema’af
3. Al-khusu’, artinya menghormati tamu
4. Al-Hilmu, artinya tidak melakukan maksiat
5. Al-Adli, artinya bersifat adil
6. Al-Hifafah, artinya memelihara kesucian
7. Al-Hifafah, artinya memelihara kesucian
8. Ar-Rahman, artinya bersifat belas kasih
9. At-Ta’awun, artinya suka menolong (Barmawie 2001, hlm.23).
Dari pengertian di atas, pada hakikatnya akhlak menurut al-Ghazali harus mencakup dua syarat, yaitu: Pertama, Perbuatan itu harus konstan yaitu dilakukan berulang kali (kontinu) dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang meresap dalam jiwa. Kedua, Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran yaitu bukan karena adanya tekanan-tekanan atau paksaan dan pengaruh dari orang lain.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa akhlak merupakan suatu cerminan atau tolak ukur terhadap setiap sikap, tindakan, cara berbicara atau pola tingkah laku seseorang itu baik atau buruk, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, terhadap sesama manusia, akhlak terhadap Allah Swt, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi akhlak merupakan fondasi atau dasar yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya, agar setiap umat Islam mempunyai budi pekerti yang baik (berakhlak mulia), bertingkah laku dan berperangai yang baik sesuai dengan ajaran Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas dalam penelitian ini arti kata akhlak bisa disamakan dengan kata etika, moral dan etiket. Namun hanya kata akhlak dan etika yang mempunyai maksud sama ketika menyangkut perilaku lahir dan batin manusia. Karena, itu dalam penelitian ini, akhlak yang dimaksud adalah "pengetahuan menyangkut perilaku lahir dan batin manusia".
Penjelasan di atas menggiring pemahaman bahwa istilah pendidikan akhlak dimaksud dalam penelitian ini adalah "suatu kegiatan pendidikan yang disengaja untuk perilaku lahir dan batin manusia menuju arah tertentu yang dikehendaki".
Tujuan Pendidikan Akhlak
Berbicara masalah tujuan pendidikan akhlak sama dengan berbicara tentang pembentukan akhlak, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam (al-Abrasyi 1974, hlm. 15). Demikian pula Ahmad D Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah yakni hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk Islam (Marimba 1980, hlm.48-49).
Akan tetapi, sebelum kita lanjutkan tentang tujuan pendidikan akhlak ada masalah yang perlu kita jawab terlebih dahulu dengan seksama, yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak?. Menurut sebagian ahli mengatakan bahwa akhlak itu tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah instinct (Gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir (Mansyur 1961, hlm. 91). Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak adalah gambaran bathin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan bathin. Orang yang bakatnya pendek tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya, demikian pula sebaliknya (Al Ghazali t.t., hlm. 54).
Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh (Al Ghazali t.t., hlm. 90). Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cenderung kepada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk pada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).
Imam al-Ghazali misalnya mengatakan bahwa: “Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan. Dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian” (Al Ghazali t.t., hlm. 54). Pada kenyataannya di lapangan usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang peril dibina dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-NYa, hormat kepada ibu bapak, saying kepada makhluk Tuhan dan seterusnya.
Akan tetapi keadaan sebaliknya juga menyatakan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan, dan pendidikan, terntaya menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela, dan seterusnya. Ini semua menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina agar akhlak generasi penerus kedepan menjadi lebih baik dan terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan.
Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai sebagai dampak dari kemajuan teknologi. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia ini, baik itu berupa yang baik atau pun yang buruk, karena adanya alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televis, internet, faximile, dan seterusnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan adegan maksiat jujga banyak. Demikian pula dengan obat-obat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistic dan hedonistik semakin menggejola. Semua itu jelas membutuhkan pembinaan akhlak (Nata 2002).
Jadi untuk membina agar anak mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja, akan tetapi memerlukan membiasakannya melakukan perbuatan yang baik, dan diharakan nantinya dia mempunyai sifat-sifat tersebut dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan latihan itulah yang membuat ia cenderung kepada melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Pembinaan moral, pembentukan sikap dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau Pembina pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak sewaktu kecilnya, akan merupakan unsur pentingdalam pribadinya. Sikap anak terhadap agamanya dibentuk pertama kali oleh orang tuanya, kemudian disempurnakan atau diperbaiki oleh guru di sekolah.
Latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, doa, membaca al-quran, sembahyang berjamaah di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga akan tumbuh rasa senang melakukanibadah tersebut. Latihan keagamaan, yang menyangkut akhlak dan ibadah sosial atau hubungan dengan sesama manusia sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting daripada hanya sekedar kata-kata.
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada 3 (tiga) aliran yang sangat popular, yaitu aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi (Abudin Nata, 2002). Menurut aliran nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi baik.
Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan di atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan.
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan social termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak lebih percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
Sementara aliran konvergensi berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu factor pembawaan anak dan factor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui berbagai metode (Arifin 1991, hlm. 13).
Aliran ketiga ini sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah dalam al-quran yang berbunyi: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini juga sesuai dengan yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim terhadap anak-anaknya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anak-anaknya di waktu ia memberika pelajaran kepadanya. `hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKU dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-KUlah kembalimu (QS : Luqman :13-14).
Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Lukman Hakim, juga berisi materi pelajaran yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak.
Kesesuaian teori konvergensi di atas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadits tersebut di atas jelas sekali bahwa pelaksanaan utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya orang tua terutaman ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsung kegiatan pendidikan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor yang paling dominan terhadap pembentukan akhlak anak didik adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah) yang dibawa anak dari sejak lahir, sementara faktor eksternal yang dalam hal ini adalah dipengaruhi kedua orang tua, guru di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat. Melalui kerja sama yang baik antara 3 lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif (pengetahuan), apektif (penghayatan), dan psikomotorik (pengalaman) ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak.
Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan seperti yang disinggung dalam al-Qur’an yaitu membina manusia baik secara pribadi kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah maupun sebagai hamba Allah. Tugas khalifah sendiri harus memenuhi empat sisi yang saling berkaitan yaitu pemberi tugas (Allah), penerima tugas (manusia), tempat atau lingkungan di mana manusia berada, dan materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan. Dan keempat hal ini saling berkaitan, itulah sebabnya sering terjadi perbedaan dan tujuan pendidikan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, karena mereka harus memperhatikan faktor lingkungan di mana manusia itu berada (Mahmudah, tt., hlm. 56).
Berdasarkan penjelasan di atas, wajar kiranya Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyatakan bahwa dasar pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadits, pemikiran yang serupa juga dianut oleh para pemikir pendidikan Islam, atas dasar pemikiran tersebut maka para ahli pendidikan dan pemuka pendidikan Muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam dengan merujuk kedua sumber utama ini (Jalaluddin 2001, hlm. 8).
Secara teoritis pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik tolak dari urgensi akhlak dalam kehidupan. Tokoh yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar Bakry, menurutnya “ilmu akhlak akan menjadikan seseorang lebih sadar lagi dalam tindak tanduknya. Mengerti dan memaklumi dengan sempurna faedah berlaku baik dan bahaya berbuat salah" (Bakry 1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak setidaknya dapat menjadikan orang baik. Kemudian dapat berjuang di jalan Allah demi agama, bangsa dan negara. Berbudi pekerti yang mulia dan terhindar dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.
Tokoh lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan menggunakan kata adab atau ta'dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta'dib. Al-Attas menganggap bahwa proses pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79). Penjelasan al-Attas ini menggambarkan bahwa potensi akhlak berada pada Realitas Tertinggi yang merupakan titik sentral dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia itulah, maka mengatakan Ibn Miskawaih bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan atau bernilai baik (Badawi 1963, hlm. 478). , sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh sa'adat (kebahagiaan sejati/kebahagiaan yang sempurna). Pendapatan ini beralasan bahwa kebaikan itu merupakan tujuan setiap orang, factor anugerah Allah yang dapat mencapai kebaikan, disamping adanya kesungguhan berusaha dan berkelakuan baik (Miskawaih 1982, hlm. 41-45). Seperti yang disimpulkan oleh Suwito bahwa tujuan pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibn Miskawaih adalah terciptanya manusia berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan (Suwito 1992, hlm. 157).
Rumusan tujuan pendidikan akhlak seperti ini hakekatnya dapat dilakukan melalui membangun motivasi pribadi dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi. Artinya, bahwa berbagai aktivitas kehidupannya selalu melakukan sesuatu dengan mengikuti akhlak nabi, baik dalam rangka pembentukan sebagai seorang pribadi maupun terhadap orang lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi".
Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Pembicaraan tentang pendidikan akhlak harus diakui banyak sekali persoalan yang akan muncul ketika masalah ini diangkat dan dikaji. Karena memang banyak hal yang dapat mempengaruhi proses pendidikan akhlak. Diantaranya adalah menyangkut jumlah dan nama sumber karya tulis mengenai pendidikan akhlak. Prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi akan sangat berbeda jika ditinjau dari sudut pandang situasi sosial pada saat Risale-i Nur ditulis. Juga akan sangat berbeda kalau konsep itu berdasarkan kontekstualisasi pemahaman nilai-nilai keimanan atau ketauhidan yang menjadi filosofi dalam membentuk karekteristik insan manusia secara intergratif, universal dan kekinian.
Kemudian perbedaan juga akan muncul bila pendidikan akhlak ditinjau dari segi pelaksanaannya, seperti efektifitas pendidikan akhlak yang dilakukan dengan pendekatan monolitik (diajarkan sebagai suatu bidang studi tersendiri) dengan pendekatan integratif (terintegrasi dengan bidang studi) pada lembaga pendidikan. Jika pendekatan integratif, maka masih ada pertanyaan yakni bidang studi manakah yang sesuai dengan pengintegrasian?. Di samping itu, yang dapat berpengaruh pada konsep pendidikan akhlak adalah cara mengevaluasi pendidikan akhlak, dari kurikulumnya, alat dan atau media yang digunakan. Faktor lain seperti lingkungan, jenis kelamin, tingkat kecerdasan anak didik, teologi pendidik, dan sebagainya, dapat pula berpengaruh terhadap hasil penelusuran konsep seseorang mengenai pendidikan akhlak.
Beberapa identifikasi di atas merupakan berbagai persoalan yang akan muncul dalam dinamika pemikiran mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak. Dalam penelitian ini selain tujuan teknis yang diarahkan menjawab persoalan pokok maka dirumuskan tujuan pendidikan akhlak menurut pandangan Said Nursi yang dapat dipahami dari Risale-i Nur bahwa tujuan pendidikan akhlak diarahkan terciptanya manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi.
Maka dapat dipahami bahwa pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik yang harus menjadi mata pelajaran atau lembaga, melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga. Akhlak dalam dasar-dasar pendidikan selalu berawal dari upaya prinsip menguatkan iman dan mengkokohkan akidah secara integratif yang pembahasannya akan mempengaruhi terbentuknya doktin-doktrin akhlak secara aplikatif.
Selain itu, menurut Ibn Miskawaih akhlak merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau pertimbangan secara mendalam. Keadaan seperti ini dapat disebut sebagai karekter. Menurutnya keadaan ini ada dua jenis. Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Berdasarkan kedua jenis keadaan ini cendikiawan klasik sering berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa karakter dimiliki oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berpendapat karakter itu dimiliki oleh jiwa berpikir (rasional).
Berdasarkan kedua jenis karakter dan kedua pendapat di atas Ibn Miskawaih menegaskan bahwa akhlak yang alamiah dan sudah menjadi watak dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat mulia. Karena menurutnya pendapat pertama menyebabkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk norma dan bimbingan, kecenderungan orang kepada kekejaman dan kelalaian serta banyak remaja dan anak-anak berkembang liar tanpa nasehat dan pendidikan. Ini tentu saja sangat negatif (Ibn Miskawaih 1997, hlm. 56-57). Berdasarkan inilah Ibn Miskawaih menganggap perlu adanya pembinaan jiwa secara intentif dengan daya-daya akal. Pembinaan inilah yang dapat dikatakan sebagai (tahzih al-Akhlaq) pendidikan akhlak.
Menurut Suwito yang mengutip pendapat M. Amin Abdullah bahwa kalau dibandingkan dengan mahzab pemikiran di bidang pendidikan akhlak maka secara umum pendidikan akhlak dapat dibagi dua, pendidikan akhlak mistik dan pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak kepada mistik dan rasional bukannya tidak memiliki konsekuensi. Sebagaimana dalam teologi rasional, akhlak rasional dapat membawa konsekuensi bagi pertumbuhan kreatifitas dan inisiatif, sedangkan akhlak mistik kurung mendorong manusia untuk dinamis (Suwito 1995, hlm.10).
Oleh sebab itulah, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada pendidikan daya pikir (rasio) manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya rasa pada diri manusia. Distingsi ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan. Konsekuensi pada pendidikan akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh dari pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia yang dinamis.
Namun, pendidikan akhlak tidak masuk dalam kategori institusi sebagaimana di atas, karena hakekat pendidikan akhlak adalah inti semua jenis pendidikan. Jadi pada dasarnya ruang lingkup Pendidikan akhlak yang dimaksud pada penelitian ini yaitu ; mengarah pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu mata pelajaran atau lembaga melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga.
Signifikansi Pendidikan Akhlak
Adapun di antara alasan pentingnya pemikiran Said Nursi di bidang pendidikan akhlak dapat diungkapkan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
Pertama, Risale-i Nur karya Said Nursi merupakan tafsir a]-Qur'an yang secara konsisten membicarakan penguatan iman dan al-Qur'an dengan jalan ikhlas, takwa dan sedekah. Karya ini juga membahas secara mendalam mengenai akhlak Rasulullah dalam berbagai tulisannya Risale-i Nur yang berorientasi kepada perubahan pola pikir dan laku untuk memahami dan mengimani secara mendalam tanda-tanda hari kiamat dan keberadaan hari kiamat.
Kedua, masalah etika secara khusus dibahas pads Simpusium Internasional di Turki yang ke-6 tahun 2002 yang dikoordinir oleh The Istanbul Foundation for Sciance and Culture. Di samping itu dalam sepanjang pelaksanaan Simposium dan diskusi panel oleh The Istanbul Foundation for Sciance and Culture ini selalu menyertakan tema etika. Satu buku kumpulan Simposium Internasional yang ke-6 mendorong perlunya membahas mengenai akhlak dan juga tulisan Faris Kaya yang mengungkapkan mengenai etika dalam Risalei-Nur. Etika yang dimaksud oleh Faris Kaya mengungkapkan bahwa akhlak dalam sejarah dunia memang sangat penting. (Faris, 2004, him. 8-10).
Ketiga, diasumsikan bahwa pemikiran akhlak Said Nursi memberikan peranan signifikan dalam aktivitas kehidupannya. Pemikiran semacam ini merupakan hasil refleksi dan pemahaman terhadap suatu teologi yang mendalam mengenai Asma Allah dan sifat-sifat-Nya yang membentuk kerangka pikir dan sikap perilaku. Diyakini bahwa Said Nursi adalah sosok pemikir sekaligus sufi yang memadukan konteks teologi dan realitas kehidupan. Paham ini diilhami kemutlakan Tuhan dalam diri manusia dengan catatan bahwa akal memiliki peran penting dalam refleksi untuk menyempurnakan keyakinan dari refleksi hati. Artinya paham yang dianut Said Nursi berdekatan dengan upaya ma'rifatullah dalam perspektif yang luas. Sementara itu dapat diasumsikan bahwa teologi Said Nursi adalah rasional-spritual. Maka, dalam konteks pendidikan akhlak selalu memadukan akal dan hati untuk melakukan pendekatan ajaran Islam secara universal.
Keempat, perkembangan ilmu dan teknologi. Yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan zaman saat ini adalah perkembangan ilmu, teknologi, komunikasi dan informasi. Kebutuhan-kebutuhan ini yang menyebabkan dunia semakin global. Selain berdampak positif juga berdampak negatif. Di antara dampak negatif globalisasi ini antara lain adalah semakin banyaknya alternatif bagi ukuran akhlak manusia yang cenderung bermuatan materialistik dan intelektualistik semata. Akibatnya, hal-hal yang bersifat spritualistik cenderung diabaikan. Dengan demikian, kemampuan memilih berbagai alternatif secara kritis melalui pemahaman, teologi rasional dan spritual semakin dinilai penting dan mendesak.
Kelima, tanda-tanda akhir zaman, pentingnya pengkajian ini juga disebabkan titik nadir masyarakat global berdasarkan paham keagamaan menunjukkan tanda-tanda akhir zaman. Dalam konteks itulah sebagai makhluk beragama harus mewaspadai itu dan berupaya mengantisipasi dan merubah pola pandangan hidup. Karena persoalan "krisis moral" merupakan entry point dari munculnya pembaharu (mujadid) untuk menyelamatkan umat dari "melupakan" Tuhan.