Pengertian Agresi
Secara umum, agresi merupakan segala bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis (Berkowitz, 1993).
Senada dengan pandangan diatas, Brigham (1991) mengatakan bahwa agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti orang yang tidak ingin disakiti, baik secara fisik maupun psikologis.
Hal senada juga disampaikan oleh Baron dan Byrne (1994) bahwa perilaku agresif adalah perilaku individu yang bertujuan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.
Lebih lanjut Baron dan Byrne (dalam Koeswara, 1988) merumuskan empat faktor yang mendukung definisi di atas yaitu :
- Individu yang menjadi pelaku dan individu.
- Tingkah laku individu pelaku.
- Tujuan untuk melukai atau mencelakakan(termasuk membunuh ataumematikan).
- Ketidakinginan korban untuk menerima perilaku pelaku.
Sears dan kawan-kawan (1994) mengemukakan bahwa agresi adalah suatu tindakan yang melukai orang lain dan memang dimaksudkan untuk itu.
Berbeda dengan beberapa pengertian di atas Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988) menjelaskan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek.Serupa dengan pengertian di atas, Herbert (dalam Praditya, 1999) mengatakan bahwaagresi adalah bentuk tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial, yang mungkin menyebabkan luka fisik atau psikis kepada orang lain, atau merusak benda-benda. Dari dua pendapat ini terlihat bahwa perilaku agresi tidak hanya dilakukan terhadap makhluk hidup, tetapi juga terhadap benda-benda atau objek lainnya seperti benda mati.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku manusia yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti manusia lain ataupun terhadap objek benda, baik itu secara fisik maupun secara non fisik.
Macam-Macam Agresi
Terdapat banyak teori yang dikemukakan mengenai macan agresivitas antara lain oleh Brigham, Sears dan kawan-kawan, Berkowitz, Moyer serta Buss dan Perry.
Dalam penelitian ini aspek-aspek agresi diambil dari ragam agresi sebagaimana yang diungkapkan Buss dan Perry (1992) karena menurut penulis pendapat ini lebih komprehensif dibandingkan yang lainya.
Buss dan Perry (1992) mengatakan bahwa ada empat macam agresi, yaitu:
- Agresi fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Hal ini termasuk memukul, menendang, menusuk, membakar, dan sebagainya.
- Agresi verbal adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal. Bila seorang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek, dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi verbal.
- Kemarahan hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Contoh seseorang dapat dikatakan marah apabila apabila dia sedang merasa frustrasi atau tersinggung
- Kebencian adalah sikap yang negatif terhadap orang lain karena penilaian sendiri yang negatif
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Agresivitas
Banyak faktor yang mempengaruhi agresivitas, salah satunya adalah intensitas komunikasi interpersonal. Pada sub bagian ini akan diungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas secara umum.
Baron dan Byrne (1994) mengelompokkan agresi menjadi tiga pendekatan dalam menerangkan penyebab dasar perilaku agresi, yaitu : biologis, faktor eksternal, dan belajar.
a. Faktor Biologis
Menurut pendekatan ini agresi pada manusia seperti telah diprogramkan untuk kekerasan dari pembawaan biologis secara alami. Berdasarkan instinct theory seseorang menjadi agresif karena hal itu merupakan bagian alami dari reaksi mereka. Sigmund Freud yang merupakan pelopor teori ini, mengatakan bahwa hal ini (agresif) muncul dari naluri atau instinct keinginan untuk mati yang kuat (thanatos) yang diproses oleh setiap individu (Baron & Byrne, 1994).
Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Konrad Lorenz (dalamBaron & Byrne, 1994), yaitu agresi muncul dari fighting instinct atau naluri untuk berkelahi yang ditujukan kepada anggota-anggota spesies yang lain. Lorenz lebih lanjut menyampaikan agresi bukan sesuatu yang buruk, tetapi juga berfiingsi untuk menyelamatkan spesies dan individu tersebut. Jika dilihat lebih lanjut pada fungsinya maka agresi merupakan alat seleksi alam yang sangat efektif. Lorenz mengatakan bahwa fungsi agresi adalah tiga hal, yaitu :
- Membagi atau menyebarkan anggota spesies ke tempat yang lebih luas.
- Alat seleksi alam yang efektif sehingga meningkatkan kemampuan bertahan hidup suatu spesies.
- Membentuk suatu urutan sosial sehingga menstabilkan interaksi dalam kelompok spesies tersebut.
Hal yang negatif baru akan terjadi bila organisme tersebut tidak dapat mengendalikan nalurinya sehingga agresi sama saja dengan pembunuhan (dalam Praditya, 1999).
Pandangan yang disampaikan oleh Barash (dalam Baron & Byrne, 1994) adalah perilaku sosial termasuk agresi dapat dimengerti dalam syarat evolusi. Secara singkat tingklah laku yang menolong individu untuk meneruskan gen mereka kepada generasi selanjutnya akanmeningkat secara lazim pada populasi spesiesnya. Begitu juga halnya dengan agresi yang kemudian akan semakin meningkat levelnya dari waktu ke waktu.
b. Faktor Eksternal
Hal lain yang dipandang penting dalam pembentukan perilaku agresi adalah faktor eksternal. Menurut Dollard (dalam Praditya, 1999), frustrasi, yangdiakibatkan dari percobaan-percobaan yang tidak berhasil untuk memuaskan kebutuhan, akan mengakibatkan perilaku agresif. Frustrasi akan teijadi jika keinginan atau tujuan tertentu dihalangi.
Berkowitz (1993) mengatakan bahwa frustrasi menyebabkan sikap siaga untuk bertindak secara agresif karena kehadiran kemarahan {anger) yangdisebabkan oleh frustrasi itu sendiri. Apakah individu bertindak secara agrsif maupun tidak tergantung dari kehadiran isyarat agresif (aggressive cue) yang memicu kejadian aktual agresi tersebut. Jadi perilaku agresif mempunyai bermacam-macam penyebab, di mana frustrasi hanyalah salah satunya.Sears dan kawan-kawan (1994) menambahkan bahwa meskipun frustrasi sering menimbulkan kemarahan, dalam kondisi tertentu hal tersebut tidak terjadi. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peningkatan frustrasi tidak otomatis menimbulkan perilaku agresi, melainkan ada beberapa faktor lain yang dapat mencetusnya.
Menurut Baron dan Byrne (1994), kondisi tiinbulnya perilaku agresif,yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal.
Kondisi internal terdiri dari :
- Kepribadian ;
- Hubungan interpersonal yang salah satunya adalah komunikasi;
- Kemampuan.
Kondisi eksternal terdiri dari :
- Frustrasi ;
- Provokasilangsung yang bersifat verbal ataupun fisik yang mengenai kondisi pribadi;
- Model yang kurang baik dalam lingkungan.
Penelitian mengenai faktor eksternal sebagai penyebab agresi diteruskan oleh Anderson dan Anderson (dalam Praditya, 1999) yang menemukan bahwapanas matahari dapat meningkatkan kecenderungan agresi individu. Mereka berpendapat bahwa agresi manusia naik bersamaan dengan naiknya suhu udara.
c. Faktor belajar
Pendekatan belajar adalah pendekatan lain yang lebih kompleks dalam menerangkan agresi. Ahli-ahli dalam aliran ini meyakini bahwa agresi merupakantingkah laku yang dipelajari dan melibatkan faktor-faktor eksternal (stimulus)sebagai determinan pembentuk agresi tersebut.
Pendekatan ini dikembangkan lagi oleh ahli-ahli lain yang percaya bahwa proses belajar berlangsung dalam lingkup yang lebih luas di samping melibatkan faktor-faktor eksternal dan internal (Koeswara, 1988). Faktor tersebut adalahfaktor sosial atau situasional.
Aplikasi dan perkembangan pendekatan ini ke dalam perilaku agresif dipelopori oleh Arnold Buss dan Albert Bandura (dalam Praditya, 1999). TeoriBuss berfokus pada faktor-faktor sosial dan kepribadian sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku agresif Bandura menekankan bagaimana individu mempelajari perilaku agresif dengan mengamati orang lain dan memelopori penelitian mengenai efek-efek melihat kekerasan dimedia masa.Menurut Bandura dan kawan-kawan (dalam Koeswara, 1988), agresi dapat dipelajari dan terbentuk melalui perilaku meniru atau mencontoh perilaku agresi yang dilakukan oleh individu lain yang dianggap sebagai suatu contoh atau model
.
Dalam hal ini, individu dapat mengendalikan perilaku yang ditirunya dan menentukan serta memilih obyek imitasinya. Proses ini disebut proses imitasi.
Sears dan kawan-kawan (1994) memperjelasnya dengan menambahkansebuah mekanisme penting dalam proses belajar. Proses tersebut adalah proses penguatan. Proses penguatan adalah proses penyerta yang akan menentukan apakah perilaku imitasi sebelumnya akan diinternalisasi atau tidak. Jika suatu perilaku mendapatkan penguatan {reinforcement) atau terasa menyenangkan,maka timbul keinginan untuk mengulanginya. Sebaliknya, jika perilaku tersebut mengakibatkan individu dihukum atau merasa tidak menyenangkan, individu enderung untuk tidak mengulanginya.
Brigham (1991) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi agresi,yaitu:
- Proses belajar adalah mekanisme utama yang menetukan perilaku agresif pada manusia. Contohnya adalah pada bayi yang baru lahir yang selalu menampakan agresivitas yang sangat impulsif. Perilaku ini akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia, yang berarti bayi tersebut melakukan proses belajar untuk menyalurkan agresivitasnya hanya pada saat-saat tertentu saja (Sears dkk, 1994). Proses belajar ini termasuk belajar daripengalaman, trial and error, pengajaran moral, menerima instruksi, dan pengamatan terhadap perilaku orang lain.
- Individu akan cenderung mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut memberikan efeek yang menyenangkan. Hal ini disebut sebagai penguatanataureinforcement. Sebaliknya apabila memberikan efek yang tidak menyenangkan, makaperilaku tersebut cenderung tidak akan diulangi.
- Proses imitasi adalah proses peniruan tingkah laku seorang model. Proses ini disebut juga proses modeling. Proses ini dapat diaplikasikan pada semua jenis perilaku, termasuk perilaku agresif. Setiap individu, terutama anak-anak, memiliki kecenderungan yang kuat untuk berimitasi. Proses ini tidak dilakukan terhadap semua orang tetapi terhadap figur-figur tertentu seperti orang-orang terkenal, memiliki kekuasaan, sukses, atau orang yang sering ditemui mereka. Figur yang biasanya menjadi model tersebut adalah orang tua anak itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku agresif anak-anak sangat tergantung pada cara orang tua memperlakukan mereka dan diri mereka sendiri (Sears dkk, 1994).
Pada pendekatan belajar ini terlihat lebih optimis karena adanya kemungkinan untuk mencegah atau mengontrol perilaku agresi seseorang. Jika perilaku agresi merupakan bentuk belajar, maka bukanlah tidak mungkin untuk merubah atau memodifikasinya.