Pengertian Konsep Harta Dan Kepemilikan Menurut Ahli
a. Pengertian Harta Menurut Bahasa
Berdasarkan kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur, bahwa mal (
harta) berasal dari kata kerja mawwala, multa, tumalu, multa. Jadi mal dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dimiliki. Berkata Ibnu Atsir,
“Pada dasarnya, al-mal ialah barang milik seperti emas atau perak, tetapi kemudian kata al-mal itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi dan dimiliki.” Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-mal berarti apa saja yang dimiliki, kata tamawwalta berarti
harta kamu banyak karena orang lain, dan kata multahu berarti kamu memberikan uang kepada seseorang.
Maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki manusia tidak dapat disebut sebagai
harta secara bahasa, seperti: pepohonan yang berada di hutan belantara, ikan yang berada di air sungai, ataupun burung yang ada di angkasa
b. Pengertian Harta dalam al-Qur’an:
“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali Imron 3: 14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa
harta dalam pandangan al-Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an,
harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
c. Pengertian Harta menurut al-Sunnah
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-sebaiknya harta ialah yang berada pada orang salih”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai milik pribadi menjadi nikmat bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan kebaikan orang salih yang menggunakan
harta tersebut. Namun demikian, keberadaan
harta bukan menjadi tujuan hidup. Karenanya, pemilik
harta diharapkan tidak lupa mengabdi kepada Allah.
Pengertian Kepemilikan
Al-Milkiyah berasal dari kata al-milk bentukan dari kata malaka – yamliku – malkan wa mulkan wa milkan. Malaka artinya menguasai atau memiliki. Menurut Ibn Sayidih, al-malk, al-mulk atau al-milk adalah pemilikan (penguasaan) sesuatu dan kemampuan berbuat sesuai keinginan terhadap sesuatu itu. Al-Milkiyah dapat diartikan ownership. Di dalam ensiklopedia Wikipedia, ownership adalah fakta atau status dari pemilikan ekslusif atau kendali atas suatu kekayaan (property). Menurut Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa kata milkiyah bermakna al-ihtiwa dan al-qudrah yaitu memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas. Artinya hak seseorang dalam menguasai sesuatu dan dibolehkannya seseorang untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara’, dimana bagi orang lain tidak diperkenankanya mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan.
Hakekat Kepemilikan
Kepemilikan hakiki adalah milik Allah. Allahlah pemilik segala kekuasaan/kepemilikan (al-Mâlik al-mulk). Allah sendiri telah menyatakan bahwa
harta itu (hakikatnya) adalah milik-Nya:
“Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan (diberikan)-Nya kepada kalian.” (QS al-Nur: 33).
Hanya saja, Allah SWT telah memberikan kekuasaan atas harta kepada manusia sekaligus menjadikan
harta itu sebagai hak pemilikan manusia. Allah Swt. berfirman:
“Dan nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya”. (QS al-Hadid: 7).
Karenanya ketika menjelaskan asal kepemilikan, Allah menisbatkan harta kepada Diri-Nya: mal Allah (harta Allah). Lalu ketika menjelaskan perpindahan kepemilikan kepada manusia, Allah menisbatkan harta kepada manusia: amwalihim (harta mereka) (QS an-Nisa’: 6; QS at-Taubah: 103); amwalikum (harta kalian) (QS al-Baqarah: 279); maluhu (hartanya) (QS al-Lail: 11).
Setiap manusia berhak untuk memiliki suatu harta atau berhak mendapatkan pengalihan hak penguasaan/pemilikan atas suatu harta dari harta milik Allah. Dengan demikian kepemilikan tersebut merupakan hak pemilikan, bukan kepemilikan secara real.
Kepemilikan real sendiri harus dengan izin dari Allah sebagai Pemilik hakiki harta. Tanpa izin tersebut, penguasaan/pemilikan atas harta itu tidak sah. Dengan mendapatkan izin itu, seseorang atau satu pihak sah untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, kepemilikan itu tidak lain adalah izin dari Asy-Syari‘ untuk memanfaatkan suatu harta. Izin ini berlaku atas harta berupa barang atau jasa.
Macam-macam Kepemilikan
1. Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah izin dari Asy-Syari’ kepada individu untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa. Karena merupakan izin dari Asy-Syari’, kepemilikan hanya ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Asy-Syari’.
- Pertama, ketetapan tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menyifati sesuatu dengan halal dan haram.
- Kedua, ketetapan tentang tatacara perolehan harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: sebab-sebab kepemilikan harta dan sebab-sebab pengembangan harta.
Kepemilikan pribadi dalam Islam merupakan suatu hal yang sudah dikenal. banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an menggunakan lafadz “amwalikum, amwalihim, mal al-yatim, atau buyutikum”. Sebagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat dan infaq hal lafadz ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemilik harta. Begitu juga ayat-ayat kewarisan menunjukkan diakuinya kepemilikan pribadi.
2. Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syâri‘ kepada komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepimilikan umum menyangkut tiga jenis:
- 1) Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari,
- harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya;
- Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas.
3. Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh kaum Muslim. Wewenang pengelolaannya diserahkan kepada Khalifah sesuai dengan pandangan-nya. Harta milik negara ini mencakup jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, warisan yang tidak ada ahli warisnya, khumûs rikaz dan luqathah, harta orang murtad, harta ghulul penguasa dan pegawai negara, dan denda sanksi pidana; juga termasuk harta milik negara berupa padang pasir, gunung, pantai dan tanah mati yang belum ada pemiliknya, ash-shawafi, marafiq, dan semua bangunan yang didirikan oleh negara dengan menggunakan harta baitul mal.
Pembagian Mal dari segi Tujuannya
Di kalangan ulama fiqih membagi
harta dari segi tujuannya menjadi dua bagian, yaitu:
- Mal yang tujuan awalnya untuk muamalah, yaitu keberadaannya sebagai harga untuk semua barang (uang).yaitu yang digunakan untuk pertukaran antara barang dan jasa pelayanan, yang mana uang disini sebagai harta dan nilai. Uang di sini dibagi menjadi dua macam: mata uang murni (emas dan perak) dan mata uang muqayyad (uang-uang kertas, logam, dan sejenisnya).
- Mal yang tujuan awalnya untuk diambil manfaatnya, yaitu keberadaannya untuk dimanfaatkan (barang-barang). yaitu yang diambil manfaatnya sesuai dengan fungsi barang-barang itu. Barang ini dibagi menjadi dua macam:
- Barang-barang milik, yaitu yang dimiliki untuk diambil manfaatnya dengan cara menggunakan untuk membantu bermacam-macam proses aktivitas dan kadang-kadang dimiliki untuk tujuan konsumsi, seperti hewan-hewan yang mempunyai susu, hewan-hewan yang bisa berkembang biak, dan bangunan-bangunan yang disewakan.
- Barang-barang dagang yaitu, barang-barang yang disediakan untuk jual beli atau tukar menukar atau barang-barang yang dibeli atau diproduksi untuk perdagangan.
Pembagian Mal dari Segi Pemakaiannya
dari segi pemakaiannya, ulama-ulama fiqih membagi mal itu menjadi mal untuk muamalah dan mal untuk intifa (diambil manfaatnya). Yang dimaksud dengan mal untuk muamalah ialah semua harta yang tujuannya untuk digunakan dalam muamalah antar manusia dan juga alat untuk tukar-menukar, artinya keberadaannya sebagai harta untuk barang-barang, yang dimaksud dengan mal untuk intifa’ ialah semua harta yang ditujukan untuk dimiliki dan dipergunakan (bukan untuk diperdagangkan). Jenis ini menjadi harta milik dan harta barang dagangan seperti yang telah diterangkan di atas.
Pembagian Mal dari Segi Penilaiannya
Sebagian ulama fiqih membagi harta/mal dari segi nilainya menjadi harta yang mengandung nilai dengan harta yang tidak mengandung nilai. Harta yang mengandung nilai adalah harta yang telah ditentukan dan dapat dimanfaatkan serta dikelola secara bebas, seperti uang, barang dagangan, tanah, binatang, ternak, makanan, dan lain-lain dan orang-orang yang merusaknya harus memberikan jaminan pengganti. Karenanya, khamer, daging babi, dan bangkai tidak termasuk harta yang bernilai dalam Islam, hal ini juga pemiliknya seorang muslim, namun jika pemiliknya bukan seorang muslim, orang yang merusak harta tersebut harus mengganti nilai dan harganya. Yang dimaksud dengan harta yang tidak bernilai adalah harta yang tidak dikhususkan dan tidak boleh dimanfaatkan kecuali dalam keadaan darurat. Jadi, udara, cahaya, bulan, panas matahari adalah termasuk hal-hal yang tidak mungkin dimiliki, karenanya, ia tidak termasuk harta. Demikian juga khmer, bangkai, daging babi, dan darah adalah tidak termasuk harta yang bernilai jika pemiliknya adalah seorang muslim. Syarat-syarat harta yang mengandung nilai adalah: a) boleh dimanfaatkan secara syar’i. b) boleh dimiliki dengan jelas.
Etika Memperoleh Harta (Sebab Meperoleh Harta)
Maknanya adalah tatacara seseorang untuk memperoleh harta yang sebelumnya belum ia miliki. Dalam hal ini, Allah, misalnya, melarang sebab-sebab atau tata cara perolehan harta tertentu dengan cara riba, menimbun, perjudian, ghasab, penipuan, pencurian, pelacuran, menjual barang-barang yang dilarang syara’, dsb.
Sebaliknya, Allah mengizinkan sebab-sebab pemilikan harta tertentu seperti dengan jual-beli, sewa-menyewa, pinjaman yang syar‘i; hibah dan hadiah; berburu; dsb.
Dalam Islam, sebab-sebab kepemilikan itu adalah melalui:
- Bekerja: meliputi aktivitas menghidupkan tanah mati, menggali kandungan bumi, berburu, makelar, menjadi pesero dengan andil tenaga atau menjadi mudharib, musaqah (mengairi lahan), dan menjadi ajir (pekerja) dalam akad ijarah.
- Pewarisan.
- Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
- Pemberian negara kepada rakyat (i‘tha’ al-dawlah).
- Perolehan seseorang atas harta tanpa mengeluarkan harta atau tenaga.
Sebab kepemilikan yang kelima ini meliputi: harta yang diperoleh karena hubungan pribadi seperti hibah dan hadiah atau wasiat; harta yang diperoleh sebagai ganti rugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang seperti diyat; mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah; luqathah (barang temuan di jalan).
Sebab-sebab Pengembangan Harta.
Maknanya adalah tata cara seseorang mengembangkan
harta yang sudah dia miliki. Pengembangan harta itu bisa terjadi melalui tiga mekanisme: dengan mengembangkan tanah melalui aktivitas pertanian; dengan mempertukarkan harta melalui aktivitas perdagangan; atau dengan aktivitas industri, yaitu mengubah bentuk harta yang dimiliki ke bentuk lain. Di sinilah syariah menjelaskan hukum-hukum tentang pertanian meliputi status dan hukum tanah, aktivitas menghidupkan tanah mati, dan hak pengelolaan tanah. Syariah juga menjelaskan hukum-hukum tentang industri, menetapkan status industri mengikuti produk yang dihasilkan, di samping menjelaskan hukum tentang kontrak kerja.
Berkaitan dengan hukum-hukum perdagangan (jual-beli), syariah pun telah menjelaskan tentang akad jual-beli biasa, jual-beli secara pesanan (bay’ as-salam/as-salaf atau al-istishna’) termasuk di dalamnya bay’ al-’irbun, dan jual-beli kredit (bay’ bi ad-dayn wa at-taqsith) berikut ketentuan masing-masingnya. Sebaliknya, syariah telah melarang seseorang menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi miliknya, melarang bay‘ al-gharar, ijon, jual-beli buah yang masih dipohon dan belum mulai matang, jual-beli ikan yang masih di dalam air.
Pengembangan harta itu di samping dilakukan secara sendiri, juga sering dilakukan bekerjasama dengan orang lain dalam sebuah perseroan. Karena itu, syariah menetapkan dan menjelaskan ketentuan perseroan yang boleh meliputi perseroan ‘abdan, mudharabah, mufawadhah, wujuh dan ‘inan. Disamping itu, syariah melarang tatacara pengembangan harta tertentu, seperti riba, perjudian, manipulasi harga memanfaatkan ketidaktahuan salah satu pihak atas harga pasar, manipulasi produk yang diperjualbelikan, penimbunan dan pematokan harga.
Keabsahan kepemilikan harta oleh seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu :
- Harta yang dimiliki itu harus halal zatnya.
- Harta itu harus diperoleh dengan tatacara perolehan yang dibenarkan syariah. Jika keduanya terpenuhi maka kepemilikan harta itu sah.
Aturan Syariat Menangani Masalah Harta
Syariat Islam dalam menangani masalah harta diarahkan dalam berbagai bentuk:
Pertama penanganan harta dalam bidang ibadah
Penanganan syariat terhadap harta dalam bidang ibadah ini adalah dengan diwajibkan zakat. Kewajiban zakat ini merupakan ibadah maliyah, dimana Islam menuntut orang kaya untuk memberikan hartanya agar kebutuhan fakir dapat terpenuhi, sehingga akan tercapai maslahah kehidupan masyarakat.
Kedua, penaganan harta dalam Ahwal al-Syahsiyah (hukum keluarga)
Syariat Islam menangani harta dalam keluarga adalah dengan mengatur masalah waris, wasiat, diaturnya mahar untuk istri, nafkah bagi istri yang dicerai, upah radla’ah (upah menyusukan bayi) dll.
Ketiga, penanganan harta dalam bidang muamalat
Syariat Islam menangani harta dalam hubungan muamalah yaitu dengan membuat peraturan yang pada intinya bahwa seseorang tidak boleh mengambil hak orang lain ataupun membuat orang lain rugi. Sehingga terciptalah kedamaian dan terpenuhinya hak-hak manusia, terjalin saling tolong menolong diantara manusia. Oleh karena itu syariat Islam menerapkan aturan dan cara-cara menghasilkan
harta, menginfaqkan dan menjaga harta, antara lain :
a) yariat menganjurkan manusia untuk bekerja menghasilkan harta dan berusaha mencari rizki yang halal.
Allah berfirman: “Maka apabila telah selesai mengerjakan shalat maka bertebarannlah di muka bumi dan carilah anugerah Allah” (QS. al-Jumuat: 10). Bahkan Rasulullah SAW sangat menekankan kepada umatnya untuk berusaha mencari rizki yang halal, tidak boleh berhenti, bermalas-malasan dalam mencari rizki serta memerintahkan menjauhkan dari yang haram.
Demikian juga sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Zubair bin al-Awam bahwa Rasulullah bersabda: “sungguh seorang yang membawa tali untuk mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dan nafkah untuk dirinya adalah lebih baik daripada meminta-minta manusia kemudian memberinya atau menolaknya”. (HR. Muslim dan al-Trmidzi) . Maksudnya adalah andaipun seorang tidak mempunyai pekerjaan kecuali hanya mencari kayu bakar dengan susah payah adalah lebih baik daripada meminta manusia.
b) Dorongan untuk membelanjakan
harta
Allah SWT telah menjelaskan bahwa membelanjakan harta sesuai yang diarahkannya adalah merupakan tujuan utama syariat dalam masalah harta, karena harta diciptakan bukan untuk membuat kesulitan dalam memperolehnya kecuali untuk diinfaqkan demi memenuhi kebutuhan manusia baik yang bersifat dharuri, haji, maupun tahsini, baik untuk masa sekarang ataupun masa yang akan datang. Oleh karena itu syariat Islam dengan dalil-dalilnya membuat kaidah-kaidah dan dasar-dasar yang menunujukkan aturan-aturan membelanjakan
harta.
Allah memerintahkan manusia untuk memakan rizki yang baik dengan firmannya: “Wahai manusia makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal dan baik dan janganlah kamu mengikuti jejak langkah setan. Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. al-Baqarah: 168).
c) Syariat mengatur muamalah maliyah sehingga terjamin kemaslahatan individual dan sosial
Sebagaimana Islam menerangkan tentang harta dalam segi nilainya, cara memperolehnya, menjaganya serta berusaha menghasilkannya dengan cara syar’i dan melarang menganggur dan meminta-minta demikian juga menerangkan dari sisi lain yang berhubungan dengan maslahah harta dan muamalahnya yang merupakan sisi aturan yang menjadi dasar dalam bertransaksi harta di dalamnya terdapat aturan hukum jual beli sewa menyewa, apa yang boleh dan yang tidak boleh dalam jual beli dan sewa menyewa dan hukum-hukum perjanjian. hutang piutang dan lain sebagainya yang berlaku dan dibutuhkan manusia dalam bermuamalah, sehingga terjaga hak-haknya. Adapun dasar-dasar bermuamalah dalam harta adalah komitmen terhadap janji, memenuhi dan menjaga hak-hak orang lain, serta tidak mengambil harta manusia dengan batil.
Kedudukan Harta Dalam Syariat Islam
Harta merupakan nikmat Allah yang diberikan untuk hamba-hambanya sebagai penyangga kehidupan manusia sebagaimana dijadikannya harta sebagai penyangga bagi komoditas barang-barang sehingga berjalanlah roda kehidupan manusia dengan mudah. Oleh karena itu Islam memandang harta dengan pandangan memulyakan, karena Allah SWT menjadikan
harta sebagai hartanya dan Ia menghendaki bagi siapa saja yang di limpahi harta agar membelanjakannya di jalan Allah karena ia merupakan orang yang dikusakan kepadanya
harta namun bukan pemiliknya. Allah SWT berfirman:
“ dan nafkahkanlah sebagian harta yang mana Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (QS. al-Hadid: 7) dalam ayat lain Allah berfirman:
“dan berikanlah mereka dari harta Allah yang telah diberikan kepadamu” (QS. al-Nur: 33).
Dua ayat ini menguatkan bahwa sesungguhnya harta hanyalah milik Allah, dan Dia mengkuasakan harta kepada hambanya, manusia hanyalah wakil-wakil dari pemilik harta oleh karenanya manusia harus menjalankan akad wakalah ini sesuai dengan ketentuan-ketemtuan Nya, maka bagi manusia yang diberi harta tetapi tidak melaksanakan sesuai dengan perintahnya mereka akan dimintai pertanggung jawabannya.
Oleh karena pemilik
harta yang hakiki adalah Allah, maka manusia sebagai orang yang diberi amanat harta dalam mengelolanya ada aturan mempergunakannya adapun aturan-aturan tersebut antara lain:
- Dalam mempergunakan harta tidak boleh israf (boros) dan tabdzir (menyia-nyiakan harta)
- Dilarang menimbun harta
- Diwajibkan menginfaqkan harta baik orang yang kaya maupun miskin sesuai dengan kemampuannya
- Deharusan untuk memutarkan kekayaan, agar kekayaan dan harta ini tidak beredar hanya ditangan segelintir orang saja.
Etika Membelanjakan Harta Dalam Islam
Islam mempunyai konsep-konsep tersendiri dalam membelanjakan harta agar harta ini selalu berputar tidak berhenti di tangan segelintir orang saja, aturan membelanjakan tersebut dikemas dalam suatu bentuk ibadah, baik infaq yang termasuk wajib maupun infaq yang dianggap sunnah.
1) Infaq Wajib
a. Zakat
Zakat merupakan merupakan salah satu rukun Islam, yang mana Islam tidak bisa tegak dengan sempurna kecuali bila kelima rukun tersebut terpenuhi. Zakat terbagi menjadi dua: Zakat Mal dan zakat Fitrah. Allah telah memerintahkan hambanya untuk menunaikan zakat. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (QS. Al-Nur: 56)
Ayat ini Allah disamping mewajibkan Shalat Dia juga mewajibkan zakat yang harus dilakukan bagi setiap orang yang sudah memenuhi ketentuan-ketentuan zakat.
Dan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).” (QS. al-A’la: 14)
Ayat ini menurut ulama diturunkan berkenaan dengan zakat fitrah, zakat ini diwajibkan bagi setiap muslim, baik lak-laki atau perempuan, merdeka maupun budak, anak kecil ataupun dewasa.
b. Nafkah
Nafkah ini wajib atas dirinya sendiri dan keluarganya. Nabi SAW telah menyusun urutan orang yang wajib diberi nafkah yaitu pertama dirinya sendiri, kemudian keluarganya, kemudian kerabatnya, kemudian fuqara dan masakin.
c. Waris
Waris merupakan berpindahnya
harta dari mayit kepada ahli warisnya. pewarisan ini ditunaikan setelah dilaksanakan wasiat mayit, membayar hutangnya. Aturan waris ini dalam Islam sangat sempurna tidak ada agama yang mengatur masalah waris sedetail waris dalam Islam, dimana Islam membagi waris tidak hanya pada segelintir orang tetapi waris dibagi kesemua anggota ahli waris sesuai dengan urutan derajat kedekatannya kepada mayit.
e. Wasiat
Wasiat di sini adalah pesan dari mayit untuk memberikan sebagian hartanya, maksimal 1/3 dari seluruh hartanya yang wajib ditunaikan oleh ahli warisnya setelah meninggalnya mayit. Hal ini sangat membantu bagi kemaslahatan orang lain.
f. Kaffarat
Kaffarat merupakan suatu bentuk tindakan untuk melebur dosa yang telah diperbuat. Kaffarat ini wajib bagi setiap muslim yang melakukan pelanggarang seperti tidak puasa di bulan Ramadhan, melanggar sumpah, melanggar larangan ihram, membunuh dengan tidak sengaja, mengucapkan kata-kata dhihar dsb. Kaffarat ini berbentuk tindakan sosial dengan memberikan harta atau makanan kepada orang lain.
g. Qurban dan Aqiqah
Qurban merupakan nafkah yang difardlukan menurut ulama’ yang mewajibkannya dan menurut ulama yang lain menggap sebagai sunnah muakkadah. Menurut Hanafiyah merupakan sunnah ain muakkadah yang diberi pahala bagi pelakunya dan tetapi tidak disiksa bagi yang tidak melakukannya, namun ia akan tercegah mendapatkan syafaat Nabi SAW. Hikmah disyariatkannya qurban dan aqiqah adalah bahwa keduanya merupakan suatu bentuk kepedulian sosial dengan memberikan nafkah makanan baik kepada keluarga maupun kepada masayarakat disekitarnya dan merupakan suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah.
2) Infaq Sunnah
Bentuk-bentuk dari infaq sunnah ini banyak sekali dan tidak terbatas, infaq ini merupakan bentuk anjuran fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah). Adapun bentuknya antara lain:
- Shadaqah sunnah
- Wakaf
- Hibah, hadiah, nadzar, memberi hutang, memerdekakan budak dsb
Akad Pemindahan Hak
Tanpa kompensasi: Seperti hadiah, hibah, wasiat.
Dengan kompensasi, ini terbagi menjadi dua: Jual beli dan sewa-menyewa. Yang pertama secara umum antara uang dengan barang, sedangkan yang kedua antara uang dengan jasa. Selama obyek akad adalah sesuatu yang halal dan tidak ada manipulasi dalam akad, maka akadnya shahih dan mengakibatkan hukum yang shahih pula, yaitu kepemilikan yang shahih.
Dengan kompensasi pelanggaran, seperti seseorang membunuh orang lain, keluarga korban tidak menuntut qishash tetapi diyat, maka pembunuh membayar 100 ekor unta dan keluarga korban menerima harta tersebut sebagai harta yang halal atau kedua belah pihak berdamai dengan pembayaran dalam jumlah tertentu, maka ia pun halal.