Pengertian, Karakteristik, dan Ruang Lingkup Sosiologi
Secara terminologi ‘sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’
dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’.
Sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian
secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Spencer dan
Inkeles, 1982:4; Abdulsyani, 1987: 1). Oleh karena itu sosiologi sebagai disiplin ilmu yang
mengkaji tentang masyarakat maka cakupannya sangat luas, dan cukup sulit untuk
merumuskan suatu definisi yang mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat
yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Dengan kata lain suatu definisi hanya
dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja.
Untuk sekedar pegangan sementara
tersebut, di bawah ini diberikan beberapa definisi sosiologi, sebagai berikut:
- Pertama; Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah
suatu ilmu tentang: (a) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejalagejala
sosial (contoh: antara gejala ekonomi dengan non-ekonomi seperti agama, gejala
keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan sebagainya.
- Kedua; William Ogburn dan Meyer F Nimkoff (1959: 12-13) berpendapat bahwa
sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu
organisasi sosial.
- Ketiga; Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi adalah
ilmu tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompoknya.
- Keempat; J.A.A. van
Doorn dan C.J. Lammers (1964: 24) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu tentang strukturstruktur
dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
- Kelima; Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa sosiologi
ilmu tentang kelompok hidup manusia.
- Keenam; David Popenoe (1983:107-108)
berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi manusia dalam masyarakat
sebagai suatu keseluruhan.
- Ketujuh; Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14)
menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut mereka bahwa struktur sosial
keseluruhan jalinan abtara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial
(norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan sosial.
Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan
bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidupan politik, kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya.
Dengan demikian dalam buku ini sosiologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu
tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur
sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial.
Pada umumnya sosiologi berkonsentrasi pada pemecahan masalah, tetapi
kemunculan ilmu sosial ini dimaksudkan untuk membuat manusia sebagai mahluk rasional
ikut aktif ambil bagian dalam gerakan sejarah, suatu gerakan yang diyakini memperlihatkan
arah dan logika yang belum diungkapkan oleh manusia. Karena itu sosiologi dapat membuat
manusia merasa seperti di rumah sendiri di dunia yang asing lebih mampu mengendalikan
diri mereka sendiri dan secara kolektif dan tidak langsung kondisi tempat mereka harus
beraktivitas. Dengan kata lain sosiologi diharapkan akan menemukan kecenderungan
histories dari masyarakat modern, dan memodifikasinya. Sosiologi membantu
perkembangan dan mengatur proses pemahaman yang mendasar dan spontan. Juga sejak
dari awal sosiologi mengasumsikan bahwa tidak semua transformasi modern itu bermanfaat
atau diharapkan. Karena itu sosiologi harus memberi peringatan kepada publik di semua lapisan, khususnya di tingkat pembuat kebijakan, tentang adanya bahaya yang tersembunyi
di balik proses yang tidak terkendali. Sosiologi juga harus memberikan jalan keluar untuk
mencegah terjadinya proses yang tidak diinginkan tersebut, atau mengusulkan cara untuk
memperbaiki kerusakan.
Para pendiri dan penerus disiplin ilmu yang baru ini setuju dengan pandangan
tersebut di atas, walaupun mungkin mereka berbeda dalam penafsiran tentang ciri-ciri
krusial dan faktor-faktor utama dari trend historis yang harus dipahami. Auguste Comte
(1798-1857) mengidentifikasi kekuatan penggerak sejarah dalam kemajuan pengetahuan
ilmiah dalam “semangat positivisme”. Herbert Spencer (1820-1903) membayangkan
perjalanan masyarakat menuju tahap “industri” yang damai, di mana tersedia banyak hasil
produksi untuk didistribusikan. Ia meramalkan kemajuan yang berkelanjutan menuju
masyarakat yang semakin kompleks, bersamaan dengan bangkitnyaotonomi dan diferensiasi
individu. Karl Marx (1818-1883) memperkirakan pada akhirnya muncul kontrol progresif
terhadap alam di dalam emansipasi penuh dari masyarakat untuk menghindari
kesengsaraan dan perselisihan (konflik) yang akan mengakhiri alienasi produk dari
produsennya serta mengakhiri transformasi produk-produk tersebut menjadi modal yang
dipakai untuk memperbudak dan mengambil alih produsen, dan pada akhirnya akan
terselsaikan semua bentuk eksploitasi.
Ferdinand Tonnies (1855-1936) memperkirakan pergantian sejarah, di mana
Gemainschaft jaringan ikatan parsial, impersonal, mempunyai tujuan tertentu, dan
kontraktual. Emile Durkheim (1855-1917) memfokuskan analisisnya pada trend historis atas
pembagian progresif dari tenaga kerja, dan karena itu akan bertambahnya kompleksitas
sosial secara keseluruhan. Ia mengajukan sebuah model masyarakat yang diintegrasikan,
pertama melalui solidaritas “mekanik” dari segmen yang sama kemudian melalui solidaritas
“organik” dari kelas dan golongan yang berbeda-beda namun saling ketergantungan satu
sama lain. Max Weber (1864-1920) menghadirkan modernitas terutama dari sudut pandang
rasionalisasi semua bidang kehidupan sosial, pikiran dan kebudayaan. Dan semakin
banyaknya tindakan yang dilakukan berdasarkan kalkulasi rencana serta mengabaikan
tindakan irasional maupun berdasarkan aturan adat-istiadat. George Simmel (1859-1918)
menekankan pergerakan dari hubungan kualitatif dan terdiferensiasi kearah hubungan
kuantitatif yang seragam. Menggarisbawahi peran baru yang semakin meningkat yang
dimainkan oleh kekuatan yang semakin universal dan mandiri. Contohnya yang paling baik
adalah institusi keuangan dan aliran pemikiran kategoris abstrak (Bauman, 2000: 1028).
Apabila dahulu sosiologi terutama berhubungan dengan semua aspek stabilitas,
repoduksi diri dan perulangan, di mana dengan jalan atau cara mengamankan semua aspek
tersebut (perhatian utama dari “teori sistem” Talcot Parsons yang pernah dominan dan
menarik perhatian dari fungsionalisme struktural), maka kini perhatian beralih kepada studi
inovasi. Dipahami bahwa setiap tindakan adalah semacam kerja kreatif, meskipun
pemahaman ini selalu mengambil penjelasan dari pola-pola yang telah ada dan bermakna.
Penekanan juga telah jauh bergeser dari penelitian hukum dan keteraturan lainnya ke
tindakan yang lebih dinamis. Tindakan tidak lagi dianggap sebagai kepastian, tetapi lebih
sebagai kemungkinan, setiap tindakan adalah kreasi yang unik, dan karena itu sebenarnya
tidak dapat diprediksi. Keraguan juga ditujukan kepada nilai prediktif dari statistik. Diakui
bahwa sebagian besar fenomena yang sering terjadi tidak selalu merepresentasikan trend
masa depan. Akibatnya, tampak tidaknya ada kriteria yang jelas untuk mengantisipasi
konsekuensi dari kejadian, dampak dan durabitlitasnya. Oleh karena itu untuk menilai
signifikansinya, hal ini pada gilirannya mengakibatkan erosi obyek atau daerah studi
sosiologi yang pernah menjadi pusat perhatian dan bersifat khusus. Karena sosiologi tidak
lagi berhubungan dengan “konflik dasar”, “hubungan utama”, atau “proses yang
mengarahkan”, maka tidak jelas mengapa beberapa topik tertentu, aktor atau peristiwa harus
diberikan prioritas oleh para sosiolog.
Perhatian para sosiolog bergeser dari ruang kendali (dari isu-isu seperti dampak
negara, dominasi kelas, dan sebagainya), ke interaksi sehari-hari dan mendasar, ke tingkat
akar rumput dari realitas, ke apa yang aktor lakukan satu sama lain dan kepada mereka
sendiri, di dalam konteks interaksi langsung. Di bawah pengaruh argumen Alfred Schutz yang menyatakan bahwa “dunia di dalam jangkauan” memberikan arketip untuk para aktor
suatu model dari semua “kesemestaan makna” yang lain (Schutz, 1982), diasumsikan bahwa
keahlian dan pengetahuan yang esensial secara reflektif atau tidak, yang disebabkan oleh
para aktor di dalam kehidupan sehari-hari mereka, pada akhirnya bertanggung-jawab atas
apa yang dianggap trend global dan impersonal atau bertahannya struktur obyektif (Bauman,
2000:1030).
Kalau saja dahulu ketika para aktor dianggap mempunyai banyak pengetahuan dan
dalam prinsipnya mudah untuk memonitor diri sendiri, maka tugas utama investigasi
sosiologis berubah menjadi rekonstruksi pengetahuan mereka. Hal ini secara dramatis
mengubah peran yang selama ini dianggap masuk akal di dalam diskursus sosiologi, yang
pada awalnya dianggap interpretasi alternatif yang lemah informasinya, dan secara esensial
keliru khususnya terhadap realitas sosial kini menjadi sumber utama bagi interpretasi
sosilogi. Ilmu sosiologi sampai pada derajat yang belum pernah terjadi sebelumnya, kini
menerima pandangan hermeneutika (Gadamer, 1960; Ricoeur: 1981) seperti yang digagas
oleh Dilthey dan Weber dengan konsep verstehen-nya menekankan bahwa realitas sosial
secara intrinsik adalah bermakna (diberi makna oleh aktor yang memproduksinya), dan
bahwa untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang
diberikan oleh aktor tersebut. Hal ini tidak selalu berarti bahwa para sosiolog harus berusaha
sampai empati untuk menemukan apa yang sedang dipikirkan para aktor. Para ahli sosiologi
masih cenderung menyangkal bahwa para aktor selalu merupakan penilai interpretasi
sosiologis yang paling baik. Namun demikian pendekatan hermeneutika bukan berarti bahwa
penjelasan atau penafsiran realitas sosial harus memperlakukan aktor sebagai pengendali
makna dan pencipta makna, daripada sebagai orang yang didorong dan ditarik oleh desakan
dan kekuatan yang secara obyektif dapat digambarkan.
Kecenderungan lain yang berhubungan erat adalah perpindahan dalam keterkaitan
dari koersi dan desakan eksternal ke konstruksi diri dan definisi diri dari aktor. Tindakan
menjadi bermakna, aktor mempunyai pengetahuan secara konstan merefleksikan identitas
dan motif-motif tindakan mereka. Dapat dikatakan bahwa jika manusia dipandang oleh
sosiologi ortodoks terutama dikendalikan oleh kebutuhan dan sasaran dari kekuatan sosial,
maka mereka kini cenderung lebih sering ditafsirkan adanya pengendalian oleh identitas
subyek yang termotivasi dan mempunyai pilihan sendiri.
Trend yang paling umum adalah mengesampingkan organisasi-organisasi sosial
untuk mencari pemicu tindakan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian ahli sosiologi
kontemporer lebih memberikan perhatian kepada komunitas (community) dengan
mengorbankan masyarakat (society) demi tujuan praktis, identik dengan negara bangsa.
Dalam selang waktu yang cukup lama, para sosiolog percaya bahwa komunitas adalah
peninggalan dari masa pramodern, yang ditakdirkan lenyap seiring dengan berjalannya
modernisasi. Kini posisinya dikembalikan ke posisi utama dalam analisis sosiologis, dan
dianggap sebagai sumber tertinggi dari makna yang dipunyai aktor serta dari realitas sosial
sendiri. Komunitas tersebut dianggap sebagai penyangga tradisi yang dipertahankan dan
diciptakan kembali oleh tindakan-tindakan dari para anggotanya; menjadi sumber utama
dari semua komunitas umum (commonality) yang dijumpai dalam makna para aktor. Di
mana mereka menjadi point referensi dalam proses para aktor mendefinisikan diri mereka
sendiri serta membentuk identitasnya. Berbeda dengan “masyarakat” yang diidentikan
dengan negara-bangsa, komunitas tidak memiliki batas-batas obyektif batas-batas yang
dijaga oleh kekuatan koersif. Sebab komunitas adalah cair, begitu-pun kekuatan yang
mencengkram para anggotanya mungkin juga beragam bentuknya (cengkraman itu tidak lain
adalah intensitas dari identifikasi emosional para aktor dengan apa yang mereka rasakan,
atau bayangkan, sebagai komunitas).
Sebaliknya, para sosiolog beranggapan bahwa komunitas adalah imagined (yang
dibayangakan). Sebagaimana pandangan dalam sosiolog kontemporer, komunitas adalah
seauatu yang dipostulatkan postulat tersebut menjadi kenyataan ketika tindakan
dilakukan seolah-olah tindakan tersebut adalah realitas. Karena itu ada sifat saling
mempengaruhi yang konstan antara aktor dan komunitas “mereka” yang tidak diberi
prioritas di dalam analisis sosiologi (Bauman, 2000: 1030). Sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan
meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis /suku
bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya,
bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4).
Sosiologi juga mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul
pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para
anggotanya. Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia
yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari
hubungan manusia dalam masyarakat.
Kemudian jika ditelaah lebih lanjut, tentang karakteristik sosiologi itu menurut
Soekanto (1986: 17) mencakup:
- Pertama; sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial,
bukan merupakan bagian ilmu pengetahuan alam maupun ilmu kerokhanian. Pembedaan
tersebut bukan semata-mata perbedaan metode, namun menyangkut pembedaan substansi,
yang kegunaannya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut
dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejalagejala
kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari
astronomi, fisika, geologi, biologi dan lain-lain ilmu pengetahuan alam yang kita kenal.
Selain itu juga dapat dipahami karena kajian sosiologi sangat luas yakni tentang masyarakat
(interaksi sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun
perubahan sosial).
- Kedua; sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif, melainkan suatu disiplin
yang bersifat kategoris; artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini,
dan bukan mengenai apa yang semestinya terjadi atau seharusnya terjadi. Dengan demikian
sosiologi dapat dikategorikan sebagai ”ilmu murni” (pure science), dan bukan merupakan
ilmu terapan (applied science). Sebagai ”ilmu murni” (pure science) sosiologi bukan disiplin
yang normatif. Artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, serta
bukan mengenai apa yang terjadi seharusnya terjadi. Di sini berarti sosiiologi tidak
menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan
petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan
bersama tersebut. Dengan demikian dalam sosiologi tidak menilai apa yang buruk dan apa
yang baik, apa yang benar dan apa yang salah. Tentu saja berbeda dengan ”ilmu terapan”
(applied science) yang bertujuan untuk mempergunakan dan menetapkan ilmu pengetahuan
tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat, contohnya
ilmu pendidikan.
- Ketiga; sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola
umum (nomotetik). Berbeda dengan sejarah misalnya (lebih banyak meneliti dan mencari
pola-pola khusus atau ideografik) yang menekankan tentang keunikan sesuatu yang dikaji.
Dalam arti bahwa sosiologi mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum
umum dari interaksi antar manusia individu maupun kelompok dan perihal sifat hakikat,
bentuk, isi serta struktur maupun proses dari masyarakat manusia, dan;
- Keempat: Sosiologi
merupakan ilmu sosial yang empiris, faktual, dan rasional. Dakam istilah Spencer dan
Inkeles (1982: 4) dan Popenoe (1983: 5) mereka menyebutnya “the science of the obvious”
atau “jelas nyata”.
- Kelima; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan tentang ilmu
pengetahuan yang konkrit. Artinya bahwa bahan kajian yang diperhatikan dalam sosiologi
adalah bentuk-bentuk dan pola-pola peristiwa-peristiwa dalam masyarakat, dan bukan
wujudnya tentang masyarakat yang konkrit.
- Keenam; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menghasilkan pengertianpengertian
dan pola-pola umum. Karena dalam sosiologi meneliti dan mencari apa yang
menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum daripada interaksi antar manusia dan
juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur dari masyarakat. Sebagai ilmu
pengetahuan yang umum, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, maka
dalam sosiologi mempelajari gejala umum yang ada pada interaksi manusia.
Sosiologi sebagai ilmu yang memfokuskan pada kajian pola-pola interaksi manusia,
dalam perkembangannya seringkali lebih banyak dihubungkan dengan kebangkitan modernitas. Menurut Zygmunt Bauman (2000: 1023) keterkaitan tersebut didasarkan
beberapa alasan:
- Pertama, mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab
pemikiran dan strategi riset yang mengklaim mengandung sumber sosiologis adalah
fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat mengambil salah satu dari dua bentuk.
Beberapa sosilog mengambil pembahasan mengenai struktur dan proses yang dapat
dianggap sebagai atribut “totalitas”. Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang
dibuat untuk kondisi dan perilaku individu dan kelompok individu berdasarkan fakta bahwa
mereka ini membentuk bagian dari totalitas tersebut yang dinamakan “masyarakat”. Tetapi
masyarakat yang dipahami sebagai wadah supra-individu dan mendorong atau membatasi
tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung, merupakan ciptaan zaman modern
yang berbeda dengan mayrakat masa lalu. Di dalam masyarakat modern, tindakan
cenderung mengambil bentuk mode perilaku yang terkondisikan dan karena itu ada
kemungkinan untuk diprediksi. Tetapi karena masyarakat adalah the rule of nobody, tanpa
alamat yang pasti, maka mekanisme-mekanisme yang mendasari pengkondisian ini menjadi
sulit untuk dibuktikan Mekanisme-mekanisme tersebut tidak terwakili dalam kesadaran
aktor yang perilakunya dibentuk oleh mekanisme itu sendiri. Untuk memahaminya maka
mekanisme tersebut harus ditemukan terlebih dahulu. Baru setelah statistika berkembang
dalam sosiologi, hal ini dimungkinkan untuk memisahkan masyarakat sebagai obyek studi
otonom, sebagai entitas yang berbeda dari individu, tindakan yang termotivasi, karena
statistik dapat memberikan represntasi tunggal dari tindakan massa (Bauman, 2000: 1025).
- Kedua, fenomena modern lainnya yang khas adalah ketegangan konstan antar
manusia yang muncul dari latar belakang tradisional dan komunal, yang berubah menjadi
“individu: dan menjadi subyek tindakan otonom, serta “masyarakat” yang dialami sebagai
batasan sehari-hari terhadap tindakan dari keinginan individu. Paradoksnya adalah bahwa
individu modern tidak dapat sepenuhnya merasa nyaman dan betah tinggal dengan
masyarakat, sedangkan ia sebagai individu juga tidak dapat berada di luar masyarakat.
Akibatnya studi tentang masyarakat dan ketegangan antar kapasitasnya, baik itu untuk
menghalangi atau memberdayakan, telah didorong oleh dua kepentingan yang meskipun
berkaitan namun berbeda satu sama lain, dan pada prinsipnya bertentangan satu sama lain
dalam aplikasi praktis serta konsekuensinya. Di satu pihak ia ada kepentingan untuk
memanipulasi kondisi sosial sedemikian rupa guna mendapatkan perilaku yang lebih
seragam seperti yang dinginkan oleh pihak yang berkuasa. Persoalan utama di sini adalah
masalah “disiplin”, yaitu memaksa agar berperilaku dalam cara tertentu meskipun mereka
tidak sepakat, atau bahkan menolak terhadap pihak-pihak pemegang kendali. Di pihak lain,
ia ada kepentingan untuk memahami mekanaisme regulasi sosial sehingga secara ideal,
kapasitas pemberdayaan mereka dapat digunakan maupun ditolak dalam upaya
penyeragaman tersebut.
Ambivalensi yang melekat dalam kondisi manusia modern, kondisi ini bisa
membatasi atau memberdayakan secara simultan, direfleksikan dalam definisi diri sosiologi
sebagai studi ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan manusia yang diambil
dari
“kehidupan di dalam masyarakat”. Model teoretis dari masyarakat yang dibentuk oleh
sosiologi seringkali menghadirkan pandangan dari atas, seolah-olah sosiologi berada di
ruang kendali. Masyarakat dianggap sebagai obyek rekayasa sosial sedangkan
“problem
sosial” digambarkan sebagai masalah administrasi belaka, yang mesti diselesaikan dengan
aturan hukum dan penyebaran kembali sumber-sumber daya. Di pihak lain, sosiologi mau
tak mau harus merespon
”kemarahan” karena penindasan yang terkandung di dalam
rekayasa sosial. Inilah mengapa di sepanjang sejarahnya sosiologi telah menimbulkan kritik
dari kedua belah pihak yang bertentangan dalam politik. Pemegang kekuasaan akan
menuduh sosiologi merelatifkan tatanan yang mereka janjikan akan ditingkatkan dan
dipertahankan, dan karena itu melemahkan kekuasaan mereka serta memicu kerusuhan dan
subversi. Sedangkan rakyat yang mempertahankan cara hidup mereka atau cita-cita mereka,
akan menuduh bahwa sosiologi bertindak sebagai penasihat dari lawan mereka. Intensitas
dari tuduhan-tuduhan tersebut tidak banyak merefleksikan pernyataan-pernyataan sosiologi
sebagai pernyataan konflik sosial di mana berdasarkan hakikat kerjanya sosiologi tidak
mungkin lepas dari masalah tersebut.
Dapat dipahami jika pertentangan semacam itu dapat menjatuhkan legitimasi
validitas pengetahuan sosiologi dan menolak otoritas ilmiahnya. Tuduhan semacam ini
membuat para sosiolog sangat sensitif mengenai status ilmiah mereka. Karena itulah mereka
mencoba memperbaharui usaha mereka, meskipun tidak pernah sempurna, untuk
meyakinkan baik itu opini akademik maupun publik, bahwa pengetahuan yang diberikan
oleh sosiolog lebih unggul daripada opini popular publik yang tanpa bantuan metode
pengetahuan ilmiah (Bauman, 2000: 1025).
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan banyak cabang
yang dipersatukan meskipun tidak terlalu kuat oleh strategi hermeneutika dan ambisi untuk
mengoreksi kepercayaan umum. Garis batas bidang tersebut mengikuti divisi fungsional
serta melembaga di dalam organisasi masyarakat yang menjawab tuntutan efektif dari
bidang manajemen yang telah mapan.
Jadi spesialisasi bentuk pengetahuan terakumulasi dengan fokus pada
penyimpangan dan kebijakan korektif atau hukuman, politik dan istitusi
politik, ras dan etnis, perkawinan dan keluarga,
pendidikan dan media kultural, teknologi informasi, agama dan institusi
agama, industri dan pekerjaan, kehidupan urban dan persoalanpersoalannya,
kesehatan dan kedokteran (Bauman, 2000: 1032).
Walaupun demikian tidak semua penelitian spesifik tersebut dapat dilakukan tanpa
ambiguitas yang dihubungkan tuntutan administratif. Ambiguitas yang selalu ada dalam
sosiologi yang dapat dilacak dari respons ambivalen para sosiolog terdahulu terhadap proyek
rasionalitas modernitas. Hal ini mengejawantahkan dirinya sendiri dalam kelangsungan
bidang studi yang tidak mengandung aplikasi administrasi langsung. Jelasnya perbedaan
antara stabilisasi dan destabilisasi, tujuan yang tampak maupun tersembunyi, melintasi
divisi tematik dan tak satupun dari bidang studi spesialisasi tersebut dapat terbebas dari
ambivalensi. Namun beberapa bidang pemikiran sosiologi tertentu membahas tentang
penolakan individu terhadap manipulasi manajerial dan usaha-usaha untuk mengendalikan
kehidupan mereka dengan lebih jelas daripada pemikiran lainnya. Bidang studi yang relevan
di antaranya adalah kesenjangan sosial (baik berdasarkan kelas, gender, maupun ras),
pembentukan identitas, interaksi dalam kehidupan sehari-hari, keintiman dan
depersonalisasi, dan lain-lain. Berlawanan dengan bidang studi yang berorientasi
manajemen, ada kecenderungan yang jelas ke arah percampuran, meminjam pandangan,
dan membongkar batas-batas antara bidang keahlian. Hal ini sesuai dengan tujuan strategis
keseluruhan dari pemulihan keutuhan kepribadian dan kehidupan, yang terpisah dan
terfragmentasi oleh pembagian yang dilembagakan (Bauman, 2000: 1032).
Secara tematis ruang lingkup, sosilogi dapat dibedakan menjadi beberapa subdisiplin
sosiologi, seperti:
- Soiologi pedesaan (rural sociology);
- Sosilogi industri
(industrial sociology);
- Sosiologi perkotaan (urban sociology);
- Sosiologi medis
(medical socilogy);
- Sosiologi perempaun (woman sociology);
- Sosiologi militer
(military socilogy);
- Sosiologi keluarga (family socilogy);
- Sosiologi pendidikan
(educational sociology);
- Sosilogi medis (medical sociology),
- Sosiologi seni (sociology
of art).