Pengertian Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan dalam beberapa kepustakaan disebut dengan nama atau istilah yang berbeda-beda. Sutisna (1983) menyebut dengan istilah personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan istilah sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut dengan istilah ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut dengan istilah personel, kemudian Makmun (1996) menyebut dengan istilah tenaga kependidikan, sedangkan kalau melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yang mengatur tentang tenaga kependidikan di Indonesia, dan Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya dengan istilah tenaga kependidikan.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan tenaga kependidikan tersebut secara konseptual dan teoritik semuanya memang benar dalam arti dapat diterima, lebih-lebih istilah tenaga kependidikan yang memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 tampaknya akan lebih tepat. Namun perlu diketahui bahwa dalam manajemen juga dikenal dan digunakan istilah secara lebih umum, yaitu istilah sumber daya manusia. Kemudian dalam kaitannya dengan tulisan di buku ini, maka istilah yang digunakan barangkali dan bisa jadi istilah-istilah tersebut akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya adalah sama saja.
Persoalannya yang muncul dan perlu dibahas adalah siapakah yang dimaksud dengan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan umum Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (5) tenaga kependidikan yang dimaksud adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tersebut juga dijelaskan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yang sesuai dengan kekhususannya, serta partisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Berdasarkan pada bunyi pasal 1 (5) dan (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tersebut dapatlah diketahui bahwa tenaga kependidikan tersebut adalah memiliki makna dan cakupan yang jauh lebih luas dari pendidik. Bisa jadi yang dimaksud termasuk dengan tenaga kependidikan tersebut di samping pendidik, seperti guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah juga termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, penguji dan yang lainnya.
Semua jenis sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan tersebut penting untuk dibahas dalam kajian ini karena sangat bermanfaat tidak saja untuk kepentingan dalam pengembangan keilmuan atau dalam bidang teoritik akademik, tetapi yang lebih penting adalah untuk kepentingan praktis dalam rangka dapat mengkontribusi pelaksanaan pengembangan tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah yang dianggap ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya manusia tersebut dalam segala fungsi dan perannya sangat penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya manusia yang dilandasi oleh suatu persepsi, kajian teori yang keliru, dan salah, yang dijadikan dasar dalam mengelola semua faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, dan fasilitas yang lengkap tersebut tidak akan menjadi signifikan dan determinan dalam mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya manusia akan sangat menentukan keberhasilanya, dan memang agak berbeda dengan mengelola material yang berupa mesin-mesin atau teknologi yang canggih dimana mesin-mesin tersebut walaupun juga menentukan keberhasilan suatu organisasi, tetapi mesin-mesin tersebut tidak akan bisa mengeluh, tidak bisa melawan perintah, tidak akan mangkir dalam melaksanakan tugas, tidak akan melaksanakan pemogokan, tidak akan terlibat dalam konflik-konflik seperti manusia, tidak akan bisa mengajukan tuntutan perbaikan nasib, dan perbuatan-perbuatan negatif yang lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tersebut, maka dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yang determinan dan menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan yang memiliki kualitas kemampuan yang profesional dan kinerja yang baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan, melainkan juga berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan berpengaruh pada kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Demikian juga untuk lebih dapat memahami kajian tentang profesi kependidikan ini secara konseptual dan teoritik, lebih empirik serta praktis, maka kajiannya akan difokuskan pada tenaga kependidikan tetentu saja, khususnya kepala sekolah saja, karena jabatan kepala sekolah tersebut adalah merupakan pengembangan jabatan dari guru. Kepala sekolah sebagai jabatan atau tugas tambahan dari guru cukup menarik untuk dibahas karena di dalam diri kepala sekolah tersebut di samping berfungsi sebagai pendidik juga disebutkan berfungsi sebagai manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator dan mativator, sehingga jabatan kepala sekolah tersebut sering diakronimkan menjadi Emaslim. Dengan mengkhu-suskan fokus kajiannya pada kepala sekolah juga akan lebih mudah dalam memberikan berbagai ilustrasi, contoh-contoh, pendalaman maupun dalam pengayaannya.
Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian dan penjelasan tentang pengertian tenaga kependidikan sudah dapat dimengerti secara jelas yang dimaksud dengan tenaga kependidikan tersebut adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, dan yang lainnya. Bahkan bisa jadi juga termasuk semua pengelola yayasan pada lembaga-lembaga pendidikan swasta, dan semua pengambil kebijakan di birokrasi dan stafnya di tingkat pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, tingkat keca-matan, dan di tingkat desa.
Kalau persoalan jenis-jenis tenaga kependidikan dan tenaga pendidikan sudah tampak dalam pembahasan teruraikan dengan sedikit lebih jelas, yang menjadi persoalan lebih lanjut adalah masalah bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan kepala sekolah tersebut. Secara teoritik serta mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi tenaga kependidikan tersebut dapat dibedakan menjadi tenaga pendidik, tenaga manajemen kependidikan, tenaga penunjang teknis kependidikan, tenaga penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas dari masing-masing kualifikasi tenaga kependidikan tersebut, dengan penjelasannya yang lebih difokuskan pada kualifikasi tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah.
Kualifikasi tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya secara langsung memberikan pelayanan teknis kependidikan kepada peserta didik. Sesungguhnya dalam hubungan ini alam telah melibatkan semua orang yang melaksanakan tugas pelayanan tersebut termasuk para orang tua di rumah, para guru/dosen, pembimbing dan pelatih di sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para instruktur atau fasilitator, pamong belajar pada pusat-pusat atau balai pelatihan dan kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada berbagai perkumpulan atau sanggar atau pedepokan serta organisasi yang melatih dan membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz dan pembina di pondok pesantren dan majelis-majelis taklim atau pengajian di surau dan langgar, para penyiar TV dan Radio yang mengasuh acara dan mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, buku bacaan, buku pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan di bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yang diselengarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tersebut dapat secara tatap muka secara langsung di kelas atau melalui TV, sistem belajar jarak jauh, secara korespondensi, dan berbagai bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa masalah kualifikasi akademik tenaga pendidik tersebut adalah diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, kalau diperhatikan pasal 9 undang-undang guru dapat diketahui bahwa kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu kalau diperhatikan pasal 42 (2) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan dihasilkan oleh perguruan tinggi. Demikian pula dalam PP No. 19 tahun 2005 dalam pasal 29 (2) disebutkan bahwa guru SD/MI/SDLB harus berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal yang sama ayat tiganya disebutkan bahwa guru SMP/MTs/ SMPLB harus berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dari bunyi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, tampaknya kualifikasi guru seperti menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seorang guru tersebut adalah sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Namun demikian jika makna bunyi pasal-pasal yang diatur dan terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang guru, dan PP No. 19 tahun 2005 dirunut dan disenergikan dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi guru di Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 dari program studi yang relevan, misalnya untuk menjadi guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang untuk dapat diangkat menjadi guru SD/MI/SDLB dipersyaratkan harus lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika SMP/MTS/ SMPLB atau SMA/MA/SMK/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi guru ini merupakan suatu lompatan yang cukup signifikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006).
Kualifikasi tenaga manajemen kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada tenaga teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, serta menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada semua jenjang tataran sistem pendidikan mulai tingkat struktural pusat, regional atau daerah, sampai pada tingkat operasional. Sehubungan fungsi tenaga manajemen tersebut, maka yang bisa dimasukkan sebagai tenaga manajemen kependidikan adalah: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural dari tingkat pusat sampai tingkat operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para kepala sekolah, penilik dan pengawas, penilai dan penguji pendidikan, para pembuat kebijakan atau keputusan.
Kualifikasi tenaga penunjang teknis kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan sarana dan fasilitas teknis kependidikan berikut memberikan pelayanan teknis pemanfaatannya dalam menjamin kelangsungan dan kelancaran proses pendidikan. Sehubungan dengan fungsi tenaga penunjang teknis yang dimaksudkan adalah mencakup seperti teknisi sumber belajar di bengkel atau workshop, laboran di laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi sumber belajar di studio, teknisi sumber belajar di PSB, dan sebagainya.
Kualifikasi tenaga penunjang administrasi kependidikan, tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya mengadakan dan menyiapkan sarana dan prasarana kependidikan serta memberikan layanan jasa administratif kepada pihak tenaga manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, dan tenaga teknis fungsional, serta penunjang teknis kependidikan sesuai dengan kepentingannya. Siapa yang dimaksudkan dengan tenaga penunjang admistratif kependidikan ini, antara lain dapat disebut seperti tenaga admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.
Kualifikasi tenaga peneliti, pengembang, dan konsultan kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya tidak terlibat secara langsung dalam teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, dan kepada tenaga penunjang administratif kependidikan, tetapi hanya menyiapkan berbagai perangkat informasi dan data yang relevan dan dapat dipertanggung jawabkan serta memberikan jasa pelayanan informal dan konsultansi kepada semua pihak yang berkepentingan dengan kependidikan, khususnya mereka yang bertugas dan bertang-gunjawab serta terlibat dengan penyelengaraan, pengelolaan dan pembuatan keputusan tentang kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada semua jenjang tataran sistem kependidikan khususnya di perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya pada suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang menangani bidang kependidikan memiliki berbagai pusat penelitian, berbagai pusat pengembangan, maupun berbagai pusat atau unit konsultansi.
Berdasarkan pada uraian tentang berbagai jenis kualifikasi tenaga kependidikan tersebut jelas kepala sekolah adalah termasuk tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi sebagai tenaga manajemen pendidik, karena secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada tenaga teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, serta menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Sehingga di dalam Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, untuk dapat seorang guru diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah adalah seorang guru apabila telah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi khusus kepala sekolah. Persyaratan kualifikasi umum yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: (a) memiliki kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) pada waktu diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) memiliki penga-laman mengajar sekuarang-kurangnya lima tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya tiga tahun di TK/RA, dan (d) memiliki pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh seorang guru untuk dapat diangkat menjadi kepala sekolah tersebut sangan tergantung pada jenis dan jenjang persekolahan tersebut, maka barangkali sebagai contoh dapat dikutifkan persyaratan kualifikasi khusus Kepala Sekolah Menengah Atas/Madrsah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut: (1) bersetatus sebagai guru SMA/MA, (2) memiliki sertifikat pendidik sebagai guru SMA/MA, dan (3) memiliki sertifikat kepla sekolah SMA/MA yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan kepala sekolah merupakan tugas tambahan dari guru, maka secara fungsional tugas kepala sekolah masih tetap sebagai tenaga kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara langsung juga memberikan pelayanan teknis kependidikan kepada peserta didik, dan sebagai tenaga manajemen pendidikan melakukan layanan secara tidak langsung kepada tenaga teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, serta menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Jadi dalam jabatan kepala sekolah tersebut termasuk dua kualifikasi yaitu sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik. Untuk kepala sekolah sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan kepala sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih dalam, dan lebih luas dalam pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah sebagai kualifikasi tenaga pendidik akan dibahas dalam uraian selanjutnya.
Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di dalam uraian tentang jenis dan kualifikasi tenaga kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah merupakan jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik maupun fungsional kepala sekolah juga disebutkan termasuk tenaga pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem pendidikan Nasional dalam pasal 39 (2) berbunyi pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembim-bingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Kemudian dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 1 (1) berbunyi guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi kepala sekolah sebagai tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka kepala sekolah juga melaksanakan tugas sebagai pendidik, yaitu mendidik. Mendidik menurut Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecer-dasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Demikian juga dalam perkembangan selanjutnya kata pendidikan dipersamakan dengan kata-kata pengajaran.
Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa proses pendidikan di samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, dapat juga diselenggarakan di luar sekolah, yaitu keluarga dan masyarakat. Lebih jauh dapat juga dipahami bahwa seorang pendidik tersebut harus benar-benar mengetahui teori-teori dan metode dalam pendidikan tersebut. Kepala sekolah sebagai seorang pendidik harus mampu menanamkan, memajukan dan meningkatkan paling tidak empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yang berkaitan dengan sikap bathin dan watak manusia, (2) nilai moral yang berkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan.
Kepala sekolah sebagai pendidik juga harus memperhatikan dua permasalahan pokok, yaitu pertama adalah sasarannya, dan yang kedua adalah cara dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik.
Ada tiga kelompok yang menjadi sasaran dari kepala sekolah dalam melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama adalah peserta didik atau murid, yang kedua adalah pegawai administrasi, dan yang ketiga adalah guru-guru. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran dalam pendidikan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat prinsip, yang secara umum dapat dicermati dalam berbagai gejala dan perilaku yang ditunjukannya seperti misalnya dalam tingkat kematangannya, latar belakang sosial yang berbeda, motivasi yang berbeda, tingkat kesadaran dalam bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Konsekwensi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut adalah kepala sekolah di dalam melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yang berkaitan dengan sikap bathin dan watak manusia, (2) nilai moral yang brkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan, juga seharusnya dengan menggunakan cara atau pendekatan yang berbeda-beda terhadap setiap sasaran didiknya, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan dan strategi yang sama.
Berbagai pendekatan yang bisa digunakan oleh kepala sekolah terhadap kelompok sasaran dalam melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, dan guru-gurunya. Pertama dengan menggunakan pendekatan atau strategi persuasi. Persuasi yang dimaksudkan di sini adalah mampu meyakinkan secara halus sehingga para siswa, staf pegawai administrasi dan guru-guru yakin akan kebenaran, merasa perlu dan menganggap penting nilai-nilai yang terkandung dalam nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, dan estetika ke dalam kehidupan mereka. Persuasi dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok.
Kedua dengan pendekatan dan setrategi keteladanan, adalah hal yang patut, baik dan perlu untuk dicontoh yang disampaikan oleh kepala sekolah melalui sikap, perbuatan, perilaku termasuk penampilan kerja dan penampilan fisik.
Sudah tentunya kepala sekolah dalam menggunakan pendekatan dan strategi persuasi dan keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, dan guru-guru tersebut harus tetap berpijak dan menghormati norma-norma dan etika-etika yang berlaku dimasyarakat khususnya di dunia pendidikan. Secara lebih spesifik bagaimana kepala sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya harus memahami bahwa pengertian pendidikan tersebut tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi juga adalah sebagai bimbingan, dan yang lebih penting juga adalah bagaimana dalam mengaplikasikannya proses bimbingan tersebut. Tampaknya dalam hubungan dengan pemaknaan terhadap bimbingan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengertian pembimbingan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut adalah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat tersebut mempunyai arti bahwa pendidikan harus dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai kepala sekolah harus mampu menciptakan dan menum-buhkan kodisi yang kondusif yang dapat memberi dan membiarkan anak didiknya menuruti bakat dan kondratnya sementara kepala sekolah memperhatikannya, dan mem-pengaruhinya dalam arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti dalam bersikap menentukan ke arah pembentukan kemana anak didik mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-guru dan pegawai administrasi lainnya dalam melaksanakan tugasnya untuk pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu untuk dapat kerjasama, mam-pu untuk memberi arahan, dan memberi petunjuk, kepala sekolah diharapkan juga mampu menerima berbagai masukkan, dan kritik dari guru-guru. Kepala sekolah juga mampu membina, mendidik, melatih semua guru dan pesonil sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dalam usaha tambahan pengetahuan keterampilan dan pengalaman maupun perubahan sikap yang lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.