Pengertian Dasar Manajemen Mutu Terpadu
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan suatu konsep yang berupaya
melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu diperlukan
perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. Ada empat
prinsip utama dalam MMT :
1. Kepuasan pelanggan
Dalam MMT, konsep mengenai kualitas dan pelanggan mengalami perluasan.
Kualitas tidak lagi hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi tertentu,
tetapi kualitas tersebut ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan itu sendiri
meliputi pelanggan internal, pelanggan eksternal dan intermediate. Kebutuhan
pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek termasuk di
dalamnya harga, kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu.
2. Penghargaan terhadap setiap orang
Dalam organisasi kelas dunia, setiap karyawan dipandang sebagai individu
yang memiliki bakat dan kreativitas tersendiri yang unik. Dengan demikian
karyawan merupakan sumber daya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena
itu setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi
kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan.
3. Manajemen berdasarkan fakta
Organisasi kelas dunia berorientasi fakta. Maksudnya bahwa setiap keputusan
selalu didasarkan pada data dan informasi, bukan sekedar perasaan (Feeling).
Ada dua konsep pokok berkaitan dengan hat ini. Pertama, penjenjangan
prioritas (prioritization) yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat
dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat
keterbatasan sumber daya yang ada. Oleh karena itu, dengan menggunakan
data dan informasi maka manajemen dan tim dalam organisasi dapat
memfokuskan usahanya pada situasi tertentu yang vital. Konsep kedua, variasi
(variation) atau variabilitas kinerja manusia. Data statistik dapat
memberikan gambaran mengenai sistem organisasi, dengan demikian
manajemen dapat memprediksi hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang
dilakukan.
4. Perbaikan berkesinambungan
Agar dapat sukses, setiap organisasi perlu melakukan proses secara sistematis
dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Konsep yang berlaku
disini adalah siklus PDCA (plan-do-check-action), yang terdiri dari langkahlangkah
perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksaan hasil pelaksanaan
rencana, dan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh.
Definisi mengenai MMT mencakup dua komponen, yakni apa dan
bagaimana menjalankan MMT. Yang membedakan MMT dengan pendekatanpendekatan
lain dalam menjalankan usaha adalah komponen bagaimana tersebut.
Komponen ini memiliki sepuluh unsur utama (Goetsch dan Davis, 1994, pp. 14-
18) yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Fokus pada pelanggan
Dalam MMT, baik pelanggan internal, eksternal, maupun intermediate
merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa
yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan
besar dalam menentukan kualitas manusia, proses, dan lingkungan yang
berhubungan dengan produk atau jasa, pelanggan intermediate merupakan
penghubung kedua pelanggan tersebut.
2. Obsesi terhadap kualitas Dalam organisasi yang menerapkan MMT, penentu akhir kualitas adalah
pelanggan. Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi
untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan tersebut. Hal ini berarti
bahwa semua karyawan pada setiap jenjang berusaha melaksanakan setiap
aspek pekerjaannya berdasarkan perspektif "bagaimana kita dapat
melakukannya dengan lebih baik?". Bila suatu organisasi terobsesi dengan
kualitas, maka berlaku prinsip "good enough is never good enough ".
3. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan MMT, terutama untuk
merancang pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dirancang
tersebut. Dengan demikian data dan informasi diperlukan dan dipergunakan
dalam menyusun patok duga (benchmark), memantau prestasi dan
melaksanakan perbaikan.
4. Komitmen jangka panjang
MMT merupakan suatu paradigma baru dalam melaksanakan bisnis. Untuk
menerapkannya dibutuhkan budaya organisasi yang baru pula. Oleh karena
itu, komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan
budaya agar penerapan MMT dapat berjalan dengan sukses.
5. Kerja sama tim
Dalam organisasi yang dikelola secara tradisional, seringkali diciptakan
persaingan antar departemen yang ada dalam organisasi tersebut agar daya
saingnya terdongkrak. Akan tetapi persaingan internal tersebut cenderung
hanya menggunakan dan menghabiskan energi yang seharusnya dipusatkan
pada upaya perbaikan kualitas, yang pada gilirannya untuk meningkatkan
daya saing eksternal.
Sementara itu dalam organisasi yang menerapkan MMT, kerja sama tim, atau
kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina antar pelaku organisasi.
6. Perbaikan sistem secara berkesinambungan
Setiap produk dan/atau jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam suatu sistem/lingkungan. Oleh karena itu system yang ada
perlu diperbaiki secara terus menerus agar kualitas yang dihasilkan dapat
meningkat.
7. Pendidikan dan pelatihan
Dalam organisasi yang menerapkan MMT, pendidikan dan pelatihan
merupakan faktor yang fundamental. Setiap orang diharapkan dan didorong
untuk terns belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan
proses yang tiada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar,
setiap orang dalam organisasi dapat meningkatkan ketrampilan teknis dan
keahlian profesionalnya.
8. Kebebasan yang terkendali
Dalam MMT keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam mengambil
keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting.
Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan "rasa memiliki" dan
tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu,
unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu
keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak. Meskipun
demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan
tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana
dengan baik. Pengendalian itu sendiri dilakukan terhadap metode-metode
pelaksanaan setiap proses tertentu. Dalam hal ini karyawan melakukan
standarisasi proses dan mereka pula yang berusaha mencari cara untuk
meyakinkan setiap orang agar bersedia mengikuti prosedur standar tersebut.
9. Kesatuan tujuan
Supaya MMT dapat diterapkan dengan baik, maka organisasi harus memiliki
kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat diarahkan pada
tujuan yang sama. Akan tetapi kesatuan tujuan ini tidak berarti bahwa harus
selalu ada persetujuan/ kesepakatan antara pihak manajemen dan karyawan
mengenai upah dan kondisi kerja.
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting
dalam penerapan MMT. Usaha untuk melibatkan karyawan membawa dua
manfaat utama. Pertama, hal ini akan meningkatkan kemungkinan
dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang lebih baik, atau perbaikan
yang lebih efektif karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari
pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua,
keterlibatan karyawan juga meningkatkan "rasa memiliki" dan tanggung
jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus
melaksanakannya. Pemberdayaan bukan sekedar berarti melibatkan karyawan
tetapi juga melibatkan mereka dengan memberikan pengaruh yang
sungguh-sungguh berarti. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan menyusun pekerjaan yang memungkinkan para karyawan untuk
mengambil keputusan mengenai perbaikan proses pekerjaannya dalam
parameter yang ditetapkan dengan jelas.
Faktor-faktor Penyebab Kegagalan
Apabila suatu organisasi menerapkan MMT dengan cara sebagaimana
mereka melaksanakan inovasi manajemen lainnya, atau bahkan bila mereka
menganggap MMT sebagai "obat ajaib" atau alat penyembuh yang cepat, maka
usaha tersebut telah gagal semenjak awal. MMT merupakan suatu pendekatan
baru dan menyeluruh yang membutuhkan perubahan total atas
paradigma manajemen tradisional, komitmen jangka panjang, kesatuan
tujuan da pelatihan-pelatihan khusus.
Selain dikarenakan usaha pelaksanaan yang setengah hati dan harapanharapan
yang tidak realistis, ada pula beberapa kesalahan yang secara umum
dilakukan pada saat organisasi memulai inisiatif perbaikan kualitas.
Beberapa
kesalahan yang sering dilakukan antara lain :
a. Delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari manajemen senior Inisiatif
upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan sepatutnya dimulai dari
7
pihak manajemen di mana mereka hares terlibat secara langsung dalam
pelaksanaannya. Bila tanggung jawab tersebut didelegasikan kepada pihak
lain (misalnya kepada pakar yang digaji) maka peluang terjadinya kegagalan
sangat besar.
b. Team mania
Organisasi perlu membentuk beberapa tim yang melibatkan semua karyawan.
Untuk menunjang dan menumbuhkan kerja sama dalam tim, paling tidak ada dua
hal yang perlu diperhatikan. Pertama, baik penyelia maupun karyawan harus
memiliki pemahaman yang baik t erhadap perannya masing-masing.
Penyelia perlu mempelajari cara menjadi pelatih yang efektif, sedangkan
karyawan perlu mempelajari cara menjadi anggota tim yang baik. Kedua,
organisasi harus melakukan perubahan budaya supaya kerja sama tim tersebut
dapat berhasil. Apabila kedua hal tersebut tidak dilakukan sebelum pembentukan
tim, maka hanya akan timbul masalah, bukannya pemecahan masalah.
c. Proses penyebarluasan (deployment)
Ada organisasi yang mengembangkan inisiatif kualitas tanpa secara
berbarengan mengembangkan rencana untuk menyatukannya ke dalam seluruh
elemen organisasi (misalnya operasi, pemasaran, dan lain-lain). Seharusnya
pengembangan inisiatif tersebut juga melibatkan para manajer, serikat pekerja,
pemasok, dan bidang produksi lainnya, karena usaha itu meliputi pemikiran
mengenai struktur, penghargaan, pengembangan ketrampilan, pendidikan dan
kesadaran.
d. Menggunakan pendekatan yang terbatas dan dogmatis
Adapula organisasi yang hanya menggunakan pendekatan Deming,
pendekatan Juran, atau pendekatan Crosby dan hanya menerapkan prinsipprinsip
yang ditentukan disitu. Padahal tidak ada satu pun pendekatan yang disarankan
oleh ketiga pakar tersebut maupun pakar-pakar kualitas lainnya yang merupakan
satu pendekatan yang cocok untuk segala situasi. Bahkan para pakar kualitas
mendorong organisasi untuk menyesuaikan programprogram kualitas
dengan kebutuhan mereka masing-masing.
e. Harapan yang terlalu berlebihan dan tidak realistis
Bila hanya mengirim karyawan untuk mengikuti suatu pelatihan selama
beberapa hari, bukan berarti telah membentuk keterampilan mereka. Masih
dibutuhkan waktu untuk mendidik, mengilhami dan membuat para karyawan
sadar akan pentingnya kualitas. Selain itu dibutuhkan waktu yang cukup lama pula
untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan proses baru, bahkan sering kali
perubahan tersebut memakan waktu yang sangat lama untuk sampai terasa
pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas dan daya saing organisasi.
f. Pemberdayaan (empowerment) yang bersifat prematur
Banyak organisasi yang kurang memahami makna dari pemberdayaan atau
empowerment kepada para karyawan. Mereka mengira bahwa bila karyawan telah
dilatih dan diberi wewenang baru dalam mengambil suatu tindakan, maka para
karyawan tersebut akan dapat menjadi self-directed dan memberikan hasil-hasil
positif.
Seringkali dalam praktik, karyawan tidak tahu apa yang harus
dikerjakan setelah suatu pekerjaan diselesaikan. Oleh karena itu, sebenarnya
mereka membutuhkan sasaran dan tujuan yang jelas sehingga tidak salah dalam
melakukan sesuatu.
Masih banyak kesalahan lain yang sering dilakukan berkaitan dengan
program MMT dalam suatu organisasi. Apabila organisasi benar-benar memahami
konsep MMT sebelum mencoba menerapkannya. maka kesalahan-kesalahan
tersebut dapat dihindari.