Pengertian Kemandirian
Kehidupan manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan
kompleks. Keadaan ini menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan
permasalahan yang dihadapi tanpa harus tergantung dengan orang lain dan berani
menentukan sikap yang tepat. Salah satu aspek penting yang diperlukan adalah
mandiri dalam bersikap dan bertindak.
Walgito (1993) menyatakan bahwa perkembangan sifat mandiri adalah
satu hal penting dalam perkembangan anak remaja yang dipengaruhi oleh
pembentukan kepercayaan diri.
Kepercayaan diri ini selanjutnya merupakan dasar
bagi perkembangan sikap yang lain seperti halnya sikap kreatif dan tanggung
jawab. Sejalan dengan pernyataan ini adalah pendapat Misiak dan Sexton
(Hadipranata dkk., 2000) bahwa hal-hal yang ikut mendukung seseorang disebut
mandiri adalah mereka yang mempunyai kepercayaan diri, yakin akan
kemampuannya dan tidak suka meminta bantuan pada pihak lain.
Menurut Basri (1995) kemandirian berasal dari kata "mandiri", yang
dalam bahasa Jawa berarti berdiri sendiri. Basri (1995) menyatakan bahwa dalam
arti psikologi, kemandirian mempunyai pengertian sebagai keadaan seseorang
dalam kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengeijakan sesuatu tanpa
bantuan orang lain.
Kemampuan tersebut hanya akan diperoleh jika seseorang
mampu untuk memikirkan secara seksama tentang sesuatu yang dikeijakannya
dan diputuskannya, baik dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya.
Siswoyo (Zakiyah, 2000) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu
karakteristik individu yang mengaktualisasikan dirinya, menjadi dirinya seoptimal
murtgkin, dan ketergantungan pada tingkat yang relatif kecil. Orang-orang yang
demikian relatif bebas dari lingkungan fisik dan sosialnya. Meskipun mereka
tergantung pada lingkungan untuk memuaskan kebutuhan dasar, sekali kebutuhan
terpenuhi mereka bebas untuk melakukan caranya sendiri dan mengembangkan
potensinya.
Widjaja (Hadipranata, 2000) menyatakan bahwa ada hubungan negatif
dan bermakna antara kepercayaan diri dengan mencari bantuan kepada pihak lain.
Jadi, seseorang yang berkepribadian diri kuat berarti tinggi tingkat
kemandiriannya dan sebaliknya, seseorang yang berkepribadian diri lemah, berarti
tingkat kemandiriannya rendah. Penjelasan lebih lanjut mengenai pendapat ini
adalah uraian dari beberapa tokoh psikologi pertumbuhan, seperti Maslow,
Rogers, Allport (1995) dan beberapa tokoh dalam psikologi kepribadian, seperti
Murray dan Adler (1993).
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa seseorang yang berkepribadian diri kuat mempunyai
beberapa ciri, yaitu :
- Mempunyai keinginan untuk berprestasi,
- Mempunyai
keinginan untuk bebas dan mandiri,
- Mempunyai keinginan untuk berafiliasi,
- Mampu berempati dengan baik, dan
- Mempunyai rasa tanggung jawab.
Sedangkan seseorang yang berkepribadian diri lemah mempunyai ciri-ciri yang
berlawanan atau kualitas yang lebih rendah dari ciri-ciri yang tersebut diatas.
Setiap manusia mempunyai bentuk dan kualitas kepribadian yang
berbeda. Schaefer (1996) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya kepribadian dapat dibagi menjadi dua, yaitu hereditas (nature) dan
alam sekitar (nurture). Anak yang dilahirkan sudah mempunyai hereditas tertentu,
selanjutnya alam sekitar, termasuk disini adalah orang tua dan masyarakat yang
secara langsung atau tidak akan berperan mempengaruhi pembentukan
kepribadian.
Bigner (Hadipranata, 2000) mengungkapkan bahwa faktor hubungan
anak dengan orang tua mempunyai peran penting sebagai peletak dasar bagi
pembentukan kepribadian, termasuk kemandirian, percaya diri dan beberapa yang
lain.
Sejalan dengan hal tersebut adalah hasil penelitian dari Thomas dan Chess
(Masrun dkk., 1986), bahwa temperamen dasar anak-anak dapat terbentuk dari
pola interaksi dengan orang tua dan keluarganya. Hal ini selanjutnya akan
berpengaruh juga pada perkembangan kepribadian anak.
Seorang tokoh psikologi perkembangan, Havighurst (1992) menguraikan
tentang tugas-tugas perkembangan remaja yang dapat dikatakan bersifat universal. Alasannya adalah dialami oleh setiap individu dalam tahap-tahap
perkembangannya.
Tugas-tugas perkembangan remaja tersebut lebih banyak
mengandung aspek-aspek kemandirian. Aspek-aspek tersebut adalah :
- Percaya
pada diri sendiri,
- Tidak mudah terpengaruh,
- Tegas dalam bertindak,
- Menentukan sikap sendiri, dan
- Gigih dalam menghadapi dan menyelesaikan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan
bahwa kemandirian adalah salah satu hal yang dituju dalam perkembangan hidup
manusia. Kemandirian didefinisikan sebagai keinginan untuk merasa bebas,
berbuat sesuatu atas dorongan sendiri, merasa yakin akan kemampuannya, mampu
mengatasi masalah, memutuskan atau mengeijakan sesuatu tanpa bantuan orang
lain. Sikap mandiri ini dapat terbentuk dari pola interaksi anak dengan orang tua
dan keluarganya, sebagai pondasi awal. Sikap mandiri ini perlu diarahkan pada
hal-hal yang positif, misalnya untuk melaksanakan tugas sehari-hari, baik dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat.
2. Ciri-ciri Kemandirian
Danuri (Zakiyah, 2000) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mandiri
apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dan berinisiatif, mampu
bersikap dan berpendapat.
- Adanya tendensi untuk percaya diri dan tidak tergantung pada orang
lain.
- Adanya sikap original (keaslian) yang bukan sekedar menerima orang
lain.
- Tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain.
- Adanya tendensi untuk mencoba segala sesuatunya sendiri
Suyoto dkk.
(Zakiyah, 2000) mengungkapkan bahwa anak dikatakan
mandiri apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Menemukan dirinya atau identitas dirinya.
- Memiliki inisiatif.
- Bertanggung jawab atas tindakannya.
- Mencukupi kebutuhan dirinya.
- Mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu.
- Membuat pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam bertindak.
- Mampu mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan
memilih.
Kemandirian sebagai salah satu unsur dalam kepribadian, menurut
Masrun (Zakiyah, 2000) dapat dicirikan sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri:
- Bebas,
- Progresif dan ulet,
- Inisiatif,
- Pengendalian dari dalam (internal
locus of control), dan
- Kemantapan diri.
Kemandirian ini oleh Zakiyah (2000) dicirikan sebagai pribadi yang
mempunyai beberapa ciri, yaitu :
- Memiliki kebebasan untuk berinisiatif.
Mempunyai kebebasan untuk berpendapat dan menuangkan ide-ide
baru serta mencoba sesuatu hal baru yang mungkin belum dilakukan
orang lain.
- Memiliki rasa percaya diri.
Memiliki kepercayaan diri bahwa segala masalah yang dihadapi
mampu untuk diatasi dan tidak mempunyai perasaan ragu-ragu
dalam mempertimbangkan sesuatu.
- Mampu mengambil keputusan.
Berusaha mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi masalah
yang dihadapi tanpa bergantung orang lain.
- Mampu bertanggung jawab.
Segala hal yang dikeijakan dapat dipertanggungjawabkan pada diri
sendiri dan orang lain.
- Mampu mengendalikan diri.
Mampu untuk mengendalikan diri dalam melakukan suatu tindakan
dan apabila melakukan suatu kesalahan akan cepat menyadarinya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan
mengenai rincian aspek-aspek kemandirian, yaitu :
- Kemampuan mengambil
inisiatif,
- Kemampuan mengeijakan sendiri tugas-tugas rutin,
- Kemampuan
mengatasi rintangan dari lingkungan,
- Kemampuan mendapatkan kepuasan dari
bekeija,
- Kemampuan mengarahkan tingkah laku menuju kesempurnaan, dan
- Kemampuan menetapkan sendiri keinginan dan tujuannya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Terbentuknya kemandirian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktorfaktor
tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor kodrati dan faktor dari
lingkungan (Masrun dkk., 1986).
a. Faktor-faktor Kodrati
1). Urutan Kelahiran
Pengaruh dari urutan kelahiran ini, sebenaraya lebih pada perbedaan
perlakuan orang tua dan saudara yang diterima oleh masing-masing anak,
demikian pula harapan-harapan yang diberikan terhadap mereka (Hurlock,
1999).
Posisi kelahiran sebagai anak pertama memungkinkan baginya untuk
mempunyai hubungan dengan orang tua yang lebih dekat dibandingkan
saudara-saudara yang lahir kemudian (Hurlock Susilowati, 1988). Penyebab
dari kondisi ini dapat dijelaskan dengan teori Adler (1993) tentang urutan
kelahiran (birth order), bahwa anak tertua dengan posisi bertahan, anak
nomor dua dan seterusnya dengan tuntutan untuk dapat menduduki posisi
kakaknya, sedangkan anak bungsu dihadapkan pada masalah bagaimana ia
memperoleh perhatian orang tua disaat peluangnya lebih kecil dibandingkan
dengan kakak-kakaknya. Sebagai akibatnya, bagi anak sulung yang berhasil
menyesuaikan dirinya sebagai kakak, ia akan tumbuh sebagai pribadi yang
mandiri, sedangkan apabila gagal akan cenderung tumbuh menjadi pribadi
yang kurang mandiri.
2). Jenis Kelamin
Sebenarnya, sejak masih bayi anak tidak mendapatkan perlakuan yang
berbeda dalam hal latihan kemandirian, antara bayi laki-laki dan perempuan.
Conger (Susilowati, 1988) menyatakan bahwa saat menginjak usia 4-5 tahun
dan berlanjut hingga masa remaja, terdapat suatu pola yang menuntut anak
wanita lebih berlaku merawat dan patuh, sedangkan anak laki-laki dituntut
untuk lebih percaya diri dan lebih mengutamakan prestasi Monks
(Susilowati, 1988) menyatakan bahwa dalam hasil penelitiannya disebutkan,
untuk situasi di Indonesia, terutama di Jawa, anak wanita diharapkan untuk
lebih mencintai rumah dan keluarganya. Agama Islam, dalam hal ini telah
menerangkan bahwa pada dasarnya Allah memberikan potensi yang sama
pada manusia, baik laki-laki maupun perempuan (Ulwan, 1988). Selanjutnya
potensi ini akan berkembang karena pengaruh peran yang berbeda antara lakilaki
dengan perempuan. Ulwan (1988) menyatakan bahwa sosok laki-laki
adalah penanggung jawab utama dalam pemenuhan nafkah keluarga,
sehingga ia dituntut dari awal perkembangannya untuk tumbuh menjadi sosok
yang mampu berdiri sendiri untuk kesiapan melaksanakan perannya nanti.
Berbeda halnya dengan sosok wanita, dengan perangainya yang lembut,
nantinya bertanggung jawab terhadap anak dan urusan rumah tangga dituntut
untuk pandai merawat rumah dan patuh pada suaminya. Untuk pemenuhan
nafkah, peran wanita (istri) hanya sebagai penambah nafkah ketika kondisi
memang menuntutnya. Hal ini tidak menuntut kemungkinan seorang wanita
untuk tetap belajar mengembangkan sikap mandiri dalam segala aspek
kehidupannya.
3). Umur
Sutton (dalam Susilowati, 1988) menyebutkan bahwa dengan
bertambahnya umur serta lewat proses belajar orang semakin tidak tergantung
dan mampu secara mandiri menentukan hidupnya. Hal ini teijadi karena
anak-anak yang muda lebih tunduk pada pengawasan orang tua dan
pengawasan ini akan berangsur-angsur berkurang sejalan dengan
bertambahnya usia. Menurut Jung (Lina dan Rosyid, 1997) locus of control
internal dicirikan dengan seseorang yang mempunyai keyakinan bahwa
individu sendirilah yang bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalan
yang dialaminya. Karakteristik ini sejalan dengan indikasi orang yang
mandiri, yaitu yakin akan kemampuan dirinya untuk menghadapi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi.
Faktor-faktor dari Lingkungan
1). Tingkat Demokratik Orang Tua
Blair dan Burton (Masrun dkk., 1986) menyatakan bahwa peran
keluarga, terutama orang tua yang demokratik akan memberi kesempatan
kepada anak-anaknya untuk bergabung dengan aktivitas sebayanya, tanpa
kehilangan rasa aman dan teijamin di rumahnya. Hal ini akan mendukung
terbentuknya anak yang mandiri.
Sebuah penelitian yang dilaksanakan oleh Mulyati (1997)
memperoleh beberapa hasil, diantaranya adalah pola asuh demokratik mampu
memberikan sumbangan terhadap kompetensi interpersonal anak. Kompetensi
interpersonal ini oleh Buhrmester dkk. (Mulyati, 1997) dibagi menjadi lima
aspek, yaitu : inisiatif, keterbukaan (self-disclosure), asertivitas, dukungan
emosional (emosional support) dan pengatasan konflik. Kelima aspek ini
diharapkan dapat berfiingsi secara aktif dan mendukung individu untuk
mandiri.
2). Kebudayaan
Lingkungan budaya seseorang berpengaruh terhadap tingkat
kemandiriannya. Menurut Nuryoto (1992) lingkungan budaya diartikan
sebagai lingkungan tempat hidup sehari-hari, dengan tradisi, kebiasaan,
gaya hidup tertentu dan beragam untuk tiap daerah. Dicontohkan oleh
Nuryoto (1992) dengan gambaran yang berbeda antara kehidupan remaja di
kota yang lebih kompleks, lebih dinamis dan mobilitasnya lebih tinggi
dibandingkan remaja di desa yang bersifat agraris, tenang dan mobilitas
penduduk tidak terlalu tinggi. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa
gaya hidup dan kebutuhan hidup remaja di kota dengan di desa berbeda. Hal
ini adalah gambaran tentang perbedaan budaya yang akan mempengaruhi
tingkah laku anggota masyarakatnya dan akan berpengaruh juga pada
tingkat kemandirian individu. Menurut Monks (Susilowati, 1988),
lingkungan budaya ini selanjutnya akan memberikan pola-pola latihan
kemandirian yang tertentu, yang akhirnya ikut berperan membentuk
generasi berikutnya.
3). Pendidikan
Pendidikan yang dimaksud adalah lingkungan pendidikan seseorang,
baik di sekolah sebagai pendidikan formal, maupun di keluarga sebagai
pendidikan non formal (Wahjuningsih, 1994). Faktor pendidikan ini
mengandung pengertian bahwa penting sekali peran serta yang aktif dari
guru dan orang tua dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai pada
seseorang. Nilai-nilai, menurut Schaefer (1996) akan membantu membentuk
kepribadian seseorang. Termasuk didalamnya adalah sikap kreatif, peduli,
menghargai dan juga mandiri.
Pelaksanaan pendidikan di keluarga ini berkaitan erat dengan berbagai
kemungkinan yang dihadapi, misalnya keberadaan keluarga dengan satu
orang tua dan keluarga dengan orang tua lengkap. Faktor pendidikan ini
yang kemudian digunakan sebagai salah satu faktor yang ikut
mempengaruhi terbentuknya sikap mandiri seseorang.
4). Pekeijaan
Flippo (Masrun dkk., 1986) menyatakan bahwa orang cenderung tidak
mandiri bila dihadapkan pada situasi keija yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dirinya, maka ia cenderung akan mencari pekeijaan lain yang
lebih ada kebebasan dan kemandirian. Centers (Masrun dkk., 1986)
menyatakan bahwa yang membuat orang puas dengan pekerjaannya antara
lain adalah kesesuaian dengan minatnya, prestis yang melekat pada
pekeijaan, kreativitas yang dituntut dalam keijanya, serta kebebasan dan
kemandirian.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah terlihat
begitu pentingnya peran kemandirian bagi seseorang, terutama dalam
menghadapi kehidupan yang semakin kompleks.Terbentuknya kemandirian
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Masrun dkk. (1986) membagi faktorfaktor
tersebut menjadi dua, yaitu faktor kodrati dan faktor lingkungan.
Faktor-faktor kodrati dapat diuraikan menjadi tiga, yaitu : urutan kelahiran,
jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor-faktor dari lingkungan dapat
diuraikan menjadi empat, yaitu : tingkat demokratik orang tua, kebudayaan,
pendidikan dan pekeijaan.
Pendidikan, sebagai salah satu faktor yang berasal dari lingkungan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal (dari sekolah) dan
pendidikan non formal (keluarga dan masyarakat). Ghozali (2001)
menganggap penting arti keluarga sebagai pendidikan non formal dan ikut
mempengaruhi terbentuk dan berkembangnya kemandirian ini. Alasannya
adalah keluarga sebagai peletak dasar terbentuknya kepribadian anak yang
kemudian akan dipengaruhi juga dengan berbagai kemungkinan peristiwa
atau pengalaman hidup yang teijadi didalamnya akan ikut mewarnai
kepribadian ini, seperti pernyataan Robinson dan Shaver (Masrun dkk.,
1986).
Achir (1992) menyatakan bahwa berbagai kemungkinan peristiwa
atau pengalaman hidup dapat bersifat positif, negatif, menyenangkan atau
menyedihkan. Dalam tiap keluarga berbagai kemungkinan ini dapat
bervariasi bentuknya.
Contohnya adalah kematian, kelahiran, sakit,
perceraian, perpisahan, pertemuan dan lain sebagainya. Kelengkapan orang
tua yang akan diteliti lebih lanjut adalah keluarga dengan satu orang tua dan
keluarga dengan orang tua lengkap. Pengertian keluarga dengan satu orang
tua, oleh Scaar (Indati, 1996) dan Helmi (2000) adalah keluarga yang
pengasuhan anak-anaknya dilakukan oleh salah satu orang tua, ayah atau
ibu, atau saudara lainnya. Sedangkan pengertian keluarga dengan orang tua
lengkap adalah keluarga yang pengasuhan anak-anaknya dilakukan oleh
kedua orang tua.
4. Perkembangan Kemandirian
Berdiri diatas kaki sendiri; otonom; mandiri oleh Schaefer (1996)
didefinisikan sebagai keinginan untuk menguasai dan mengendalikan tindakan-
tindakan sendiri dan bebas dari pengendalian luar. Schaefer (1996) menyebutkan
tujuan dari sikap mandiri yaitu untuk menjadi seorang manusia yang dapat
mengatur diri sendiri, dapat mengambil inisiatif, dan mengatasi permasalahannya.
Tujuan tersebut dapat dicapai jika seorang anak diberi makin banyak kesempatan
menjelajahi dan mencoba berbagai hal dalam batas-batas tertentu sesuai dengan
kemampuannya.
Menurut Schaefer (1996), proses otonom yang bertahap ini disebut juga
"hukum struktur yang berkurang". Mengacu dari diagram di atas dan dari hukum
tersebut dapat dijelaskan bahwa :
- Dalam keadaan seorang anak tumbuh makin besar, orang tua semakin
sedikit mewajibkan aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan.
- Pendekatan yang lebih layak dilakukan adalah memperbesar tingkat
mandiri anak-anak dengan bertahap, dengan tetap memberi
kebebasan dan ketidaktergantungan yang lebih besar.
Sebagai contoh,
anak haruslah secara normal diberikan kebebasan yang bertahap
sesuai dengan umur untuk mengurus dan mengatasi masalah mereka
sendiri, umpamanya mengurus barang pribadinya, menggunakan
waktu luangnya, cara berpakaian dan lain sebagainya.
Menurut Rheingold dan Eckerman (Masrun dkk., 1986) perkembangan
kemandirian ini diawali dengan kemampuan bayi untuk bergerak dan memisahkan
dirinya dengan ibunya.
Pemisahan ini sebagai suatu peristiwa psikologis yang
sangat penting, sebab memberikan kesempatan luas bagi bayi untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Hal tersebut adalah suatu gambaran yang secara alami
teijadi. Apabila hal ini beijalan dengan tidak alami, akan menimbulkan
kecemasan yang diakibatkan oleh pemisahan tersebut (.separation anxiety).
Johnson dan Medinnus (Susilowati, 1988) menyebutkan bahwa
kemandirian seorang anak merupakan tanda rasa aman yang ia miliki. Anak yang
kekurangan kehangatan dan afeksi yang cukup memuaskan dari orangtuanya
membuat anak kurang mampu membangun kemandirian emosi (emotional
independency).
Martin dan Stedler (Masrun dkk., 1986) menyebutkan bahwa kebutuhan
akan persetujuan dari orang tua {parental approval) akan memotivasi sebagian
anak untuk bertingkah laku mandiri. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan
seorang bayi yang bisa memegang botol sendiri, kemudian orang tuanya
memberikan reward berupa pujian, seperti " wah, sekarang Adik pintar ya, dapat
memegang botol sendiri !". Ungkapan ini dapat menyebabkan anak tersebut
berkeinginan untuk mengulanginya lagi.
Memasuki usia 2-3 tahun anak biasanya menunjukkan perilaku
menentang.
Menurut Watson dan Lindgren (Masrun dkk., 1986) perilaku
menentang tersebut menunjukkan bahwa anak mulai sadar akan "aku" nya,
kemudian ia akan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya atau dengan
kata lain ia mulai belajar mandiri. Pada umur ini anak juga mulai belajar untuk
menyesuaikan ketergantungannya dan kemandiriannya.
Heather (Susilowati, 1988) menyatakan bahwa tahap demi tahap dilalui,
hingga anak memasuki masa remaja.
Pada masa ini mereka dituntut untuk dapat
melaksanakan beberapa tugas perkembangan, diantaranya adalah dapat
membangun hubungan dengan teman sebaya dan dapat melaksanakan peran
jenisnya. Pada tahap ini anak sudah bersikap mandiri dalam perlindungan orang
tuanya, dimana sikap mandiri ini merupakan salah satu tugas pokok yang harus
dipenuhi dalam tahap perkembangan remaja. Sikap mandiri ini akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Hurlock (Masrun dkk., 1986)
berpendapat bahwa keinginan untuk mandiri yang tampak ringan pada masa
kanak-kanak akan berubah menjadi suatu minat pribadi (personal interest) yang
mendesak dan akan berlanjut hingga masa remaja akhir. Hal ini didukung oleh
pernyataan Nuryoto (1992), bahwa kemandirian merupakan salah satu
kemampuan psikologis yang seharusnya sudah dimiliki sempurna oleh remaja
akhir.
Kemandirian remaja, menurut Nuryoto (1992) akan tercapai bila terlihat
adanya sikap lepas dari orang tua, bebas menentukan sendiri sikapnya, tidak
mudah terpengaruh, konsekuen terhadap kata-kata dan tindakannya serta tidak
kekanak-kanakan.
Manifestasi dari keinginan untuk mandiri kadang berbentuk menentang
dan radikal (Blair dan Burto Susilowati, 1988). Bentuk manifestasi dari keinginan
untuk mandiri yang kadang menentang dan radikal ini banyak terlihat dalam
fenomena sekarang. Contohnya adalah beberapa remaja yang belum berhak
menggunakan sepeda motor atau belum berumur 17 tahun keatas kadang nekad
melanggarnya dan sebagai akibatnya ada yang sampai terkena tilang dan bahkan
ketika nasib buruk teijadi, kecelakaan misalnya, maka mereka dapat disalahkan
dan membuat repot orang tuanya.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian
adalah salah satu aspek kepribadian yang penting artinya untuk mendukung
keberhasilan individu dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Setiap individu
mengalami perkembangan kemandirian ini secara bertahap, sejak lahir dan
diharapkan terbentuk sempurna pada masa remaja akhir.