Pengertian Definisi Dan Manajemen Krisis
Ada perbedaan yang mendasar antara “Manajemen Krisis” dan “Krisis Manajemen”. Manajemen krisis merupakan suatu manajemen pengelolaan, penanggulangan atau pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan. Sedangkan krisis manajemen merupakan kegagalan dari peranan manajemen krisis dan persoalannya menjadi sulit untuk dipulihkan karena perusahaan yang bersangkutan dinyatakan “bubar” baik secara hukum maupun operasionalnya.
Pada umumnya, krisis dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak mempunyai implikasi negatif pada organisasi daripada sebaliknya.
K. Fearn-Banks mendefinisikan krisis sebagai “Suatu kejadian penting dengan hasil akhir cenderung negatif yang berdampak baik terhadap sebuah organisasi, perusahaan atau industri, maupun terhadap publik, produk, servis atau reputasinya”. Biasanya sebuah krisis mengganggu transaksi normal dan kadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan organisasi.
Krisis pada dasarnya adalah sebuah situasi yang tak terduga, artinya organisasi umumnya tidak dapat menduga bahwa akan muncul situasi yang dapat mengancam keberadaannya. Sebagai ancaman, ia harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali. Untuk itu, Holsti melihat krisis sebagai “situasi yang dikarakterisasikan oleh kejutan, ancaman besar terhadap nilai-nilai penting, serta waktu memutuskan yang sangat singkat”. Krisis membawa keterkejutan dan sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu yang singkat untuk mengambil keputusan.
Shrivastava & Mitroff mendefinisikan krisis perusahaan sebagai “peristiwa yang mengancam tujuan terpenting untuk bertahan dan mendapatkan keuntungan”. Krisis, menurut mereka diasosiasikan dengan kerusakan yang berskala luas terhadap kehidupan manusia, lingkungan alam dan institusi sosial dan politik.
Pauchant & Mitroff mengatakan bahwa krisis merupakan “sebuah gangguan yang secara fisik memberikan dampak pada suatu sistem sebagai suatu kesatuan serta mengancam asumsi dasarnya, kesadaran subjektif akan dirinya serta pusat keberadaannya”. Menurut mereka, krisis biasanya memiliki tiga dampak, yaitu ancaman terhadap legitimasi organisasi, adanya perlawanan terhadap misi organisasi serta terganggunya cara orang melihat dan menilai organisasi.
C.G. Linke melihat krisis sebagai ketidaknormalan dari konsekuensi negatif yang meng-ganggu operasi sehari-hari sebuah organisasi. Menurutnya, sebuah krisis akan berakibat pada adanya kematian, menurunnya kualitas kehidupan dan menurunnya reputasi perusahaan.
Bagi Laurence Barton (1993:2), sebuah krisis adalah peristiwa besar yang tak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap baik perusahaan maupun publik. Peristiwa ini mungkin secara cukup berarti merusak organisasi, karyawan, produk dan jasa yang dihasilkan organisasi, kondisi keuangan dan repuasi perusahaan.
Michael Regester & Judy Larkin (2003:131) mendefinisikan krisis sebagai sebagai sebuah peristiwa yang menyebabkan perusahaan menjadi subjek perhatian luas (cenderung tidak menyenangkan) dari media nasional dan internasional serta kelompok-kelompok seperti pelanggan, pemegang saham, karyawan & keluarga mereka, para politisi, serikat perdagangan serta kelompok-kelompok penekan yang, dengan suatu alasan atau lebih, memiliki kepentingan yang dibenarkan terhadap kegiatan-kegiatan organisasi.
Namun ada juga beberapa pakar yang melihat bahwa krisis tidak selalu menjadi penyebab perusahaan pada kebangkrutan. Contohnya Steven Fink yang melihat krisis sebagai “suatu waktu/keadaan yang tak stabil terhadap suatu masalah sehingga sebuah perubahan penting akan terjadi – baik perubahan dengan kemungkinan yang mudah dilihat akan hasil yang sangat tidak diharapkan atau perubahan dengan kemungkinan yang mudah dilihat akan hasil positif yang sangat diharapkan”.
Dalam kamus Webster, krisis didefinisikan sebagai “suatu titik balik untuk menuju keadaan lebih baik atau lebih buruk”. Jadi dari suatu situasi ini, perusahaan dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk. Contoh perusahaan yang menjadi lebih baik setelah krisis adalah Johnson & Johnson yang berhasil mengatasi kasus racun sianida dalam Tylenol, salah satu produk obat sakit kepala unggulannya sehingga reputasi perusahaannya justru terangkat.
Apakah sebuah krisis akan menjadikan organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk sangat tergantung pada bagaimana pihak manajemen mempersepsi dan kemudian merespon situasi tersebut atau sangat tergantung pada pandangan, sikap dan tindakan yang diambil terhadap krisis tersebut. Sebuah krisis mungkin dapat ditangani dengan segera dengan melibatkan sedikit orang, tetapi krisis lain mungkin harus ditangani dengan mengerahkan sebagian besar sumber daya yang dimiliki organisasi
Krisis tidak pandang bulu dan bisa menimpa siapa saja. Seperti kata Barton (1993:3): “Krisis menyerang korporasi, organisasi non profit, badan-badan pemerintahan, servis, perusahaan hingga keluarga”. Setiap organisasi sangat punya peluang untuk mengalami krisis.
Pinsdorf menambahkan bahwa “tidak ada satu perusahaan pun yang kebal terhadap krisis, tetapi dengan riset, perencanaan dan pelatihan yang penuh kewaspadaan, biasanya krisis dapat dikelola dan dikurangi dampaknya.”
Penyebab Krisis
Mengenali jenis atau tipe krisis penting mengingat masalah penentuan siapa yang bersalah dan respon yang harus dibuat perusahaan yang sedang menghadapi krisis. Berikut ini adalah beberapa tipe krisis yang dikemukakan para pakar menggunakan berbagai dimensi (Putra, 1999:90-94):
- Sturges dkk
- Dimensi violent-non violent dan dimensi sengaja-tak sengaja.
- Shrivastava & Mitroff
- Dimensi kerusakan yang dihasilkan (berat/ringan) dan dimensi penyebab krisis dari segi teknis dan sosial.
- Marcus & Goodman
- Dimensi tingkat kemungkinan ditolak dan berdasarkan keadaan korban krisis.
- C.G. Linke
- Dimensi waktu kemunculan sebuah krisis.
Shrivastava & Mitroff membagi krisis ke dalam empat kategori berdasarkan penyebab krisis dikaitkan dengan tempat krisis. Penyebab krisis dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar: penyebab teknis dan ekonomis serta penyebab manusiawi, organisatoris dan sosial. Mereka juga mengkategorikan penyebab krisis dilihat dari sudut tempat asal atau kejadian apakah di dalam atau di luar organisasi.
Dengan demikian, penyebab krisis menurut mereka dapat dikategorikan menjadi:
- Karena kesalahan manusia (human error)
- Karena kegagalan teknologi
- Karena alasan sosial (kerusuhan, perang, sabotase, teroris)
- Karena berkaitan dengan bencana alam
- Karena ketidakbecusan manajemen
Sebuah krisis mungkin disebabkan hanya satu faktor, tetapi sangat sering terjadi krisis akibat kombinasi faktor-faktor di atas. Contohnya adalah kasus kecelakaan Bhopal di bulan Desember 1984. 40 ton gas beracun methyl isocyanate bocor dari tank penyimpan bawah tanah pada pabrik pestisida Union Carbide dan menewaskan 3000 orang serta ratusan ribu orang terkena radiasinya. Di sini, ada faktor kesalahan manusia karena membiarkan masuknya air ke dalam tank yang menyebabkan peledakan. Namun juga ada kegagalan teknologi akibat rancangan pabrik tersebut tidak memperhitungkan kemungkinan human error yang terjadi serta tidak berfungsinya mekanisme penyelamat. Faktor dominan penyebab ledakan tersebut adalah masalah manajerial berupa kurangnya prosedur penyelamatan serta kurangnya latihan operator. Secara sosial pun proyek ini kurang layak karena pemerintah India mengijinkan pabrik ini beroperasi di kawasan perkampungan yang padat.
Dalam buku Rosady Ruslan (1999:99-100) diberikan beberapa contoh peristiwa yang berpotensi menjadi krisis sebagai berikut:
- Masalah pemogokan atau perselisihan perburuhan.
- Produk kedapatan tercemar/terkontaminasi menjadi racun yang membahayakan masyarakat sebagai konsumennya.
- Desas-desus atau rumor dan meluasnya berita yang bersifat negatif atau terciptanya opini publik yang kurang menguntungkan.
- Masalah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dan alam yang disebabkan ulah manusia, serta kecelakaan industri.
- Kredit macet, issue kalah kliring, likuidasi dan deposito akan dikonversikan menjadi obligasi di bank-bank pemerintah atau swasta yang pada akhirnya dapat terjadi rush sehingga menurun-kan kepercayaan dan citra perbankan nasional, krisis moneter serta berakibat resesi ekonomi.
- Kecelakaan industri atau jatuhnya sebuah pesawat yang mengakibatkann kerugian harta benda dan korban jiwa, serta menimbulkan peristiwa traumatik atas jasa perusahaan penerbangan bersangkutan.
- Perubahan peraturan perundangan-undangan atau kebijakan pemerintah yang menyebabkan pihak perusahaan mengalami kerugian atau kebangkrutan bisnis.
- Peristiwa menakutkan yang diakibatkan oleh serangan teroris, masalah sara, krisis moneter, sosial dan politik, sehingga menimbulkan kasus penjarahan, pembakaran, dan sebagainya yang berkait dengan masalah sensitif atau timbulnya kasus-kasus sangat peka lainnya di masyarakat.
- Kegagalan dari suatu kampanye, promosi periklanan atau publikasi menimbulkan dampak negatif; seperti adanya unsur penipuan, pelecehan dan penghinaan sehingga terjadi protes atau kecaman dari masyarakat luas.
Maria Wongsonagoro (1995:1) menambahkan beberapa sebab terjadinya krisis (yang beberapa di antaranya sudah disebutkan di atas):
- Krisis persepsi masyarakat, yakni negatifnya opini publik terhadap perusahaan.
- Krisis akibat pergeseran pasar yang terjadi dengan tiba-tiba dan perusahaan dapat kehilangan pangsa.
- Krisis yang menyangkut produk, entah itu akibat salah satu produksi atau produk terkena issue sehingga citranya jatuh, dan sebagainya.
- Krisis yang diakibatkan oleh pergeseran pimpinan.
- Krisis yang ditimbulkan oleh masalah keuangan.
- Krisis yang menyangkut hubungan industri, apakah itu urusan tenaga kerja, keselamatan kerja, lingkungan dan sebagainya.
- Krisis yang diakibatkan pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain dalam suasana permusuhan atau hostile takeover.
- Krisis yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa internasional yang berdampak negatif terhadap perusahaan.
- Krisis yang disebabkan oleh peraturan-peraturan baru yang digariskan oleh pemerintah atau deregulasi.
Bila perusahaan kita bergerak dalam bidang manufaktur (terutama jika ada produk-produk yang berhubungan dengan lingkungan dan medis), transportasi, produk makanan, penginapan dan konstruksi, resiko mengalami krisis sangat tinggi. Karena itu, bagi mereka yang bekerja pada perusahaan-perusahaan di atas harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terjadinya krisis.
Akibat dari Krisis
Dalam Rosady Ruslan (1999:73), disebutkan situasi krisis pada suatu perusahaan atau organisasi akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
- Meningkatkan intensitas masalah
- Menjadi sorotan publik, baik melalui liputan media massa, informasi yang disebarkan melalui mulut ke mulut.
- Mengganggu kelancaran kegiatan dan aktivitas bisnis sehari-hari serta mengganggu nama baik serta citra perusahaan.
- Merusak sistem kerja, etos kerja dan mengacaukan sendi-sendi perusahaan secara total yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan.
- Membuat masyarakat ikut-ikutan panik.
- Mengundang campur tangan pemerintah, yang mau tidak mau harus turut mengatasi masalah yang timbul.
- Dampak atau efek dari krisis tersebut, tidak saja merugikan perusahaan yang bersangkutan, tetapi juga masyarakat tertentu atau lainnya ikut merasakan akibatnya.
HUBUNGAN ANTARA ISSUE, OPINI PUBLIK DAN KRISIS
Di bahasan sebelumnya, kita membaca bahwa salah satu peristiwa yang berpotensi menjadi krisis adalah opini publik yang kurang menguntungkan. Sebelum kita melihat hubungan hubungan antara issue, opini publik dan krisis, tentu saja kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan opini publik (setelah kita mengetahui pengertian issue dan krisis).
Menurut Scott Cutlip, Allen Center & Glen Broom, opini publik “mencerminkan sebuah konsensus, yang muncul setelah beberapa saat, dari seluruh pandangan yang ditujukan terhadap suatu permasalahan dalam diskusi, dan konsensus tersebut memiliki kekuatan”.
Opini publik bekerja dalam dua cara, yaitu sebagai sebab dan sekaligus sebagai akibat dari kegiatan PR. Opini publik yang dipegang teguh akan mempengaruhi keputusan manajemen. Sebaliknya, tujuan program PR adalah untuk mempengaruhi opini publik.
Sebagian besar masyarakat memiliki opini terhadap berbagai hal. Dan bila opini mereka digabungkan serta difokuskan oleh media massa, maka opini perorangan atau kelompok tersebut dapat menjadi sebuah opini publik. Media tidak mendikte apa yang masyarakat pikirkan, namun mereka menyediakan sarana untuk membahas permasalahan-permasalahan dan memperkuat pandangan ‘publik’ jika suatu masalah menjadi sorotan.
Bila kita kembali kepada pengertian dari issue sebagai “suatu masalah yang belum terpecahkan namun siap diambil keputusannya”, mulai terlihat benang merah dalam hubungan antara issue, opini publik dan krisis. Seperti sudah dibahas dalam materi sebelumnya, sebuah issue yang timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang. Bila issue yang muncul tersebut tidak dikendalikan dan dikelola dengan baik, maka potensinya untuk menjadi krisis sangat besar. Suatu issue bisa berasal dari sebagian kecil populasi. Namun jika mereka tertarik terhadap masalah tersebut dan bersama-sama bergabung menjadi kelompok yang besar serta dibantu oleh media massa dalam memfokuskan masalahnya, maka issue tersebut akan berkembang, meluas di masyarakat sehingga menjadi issue publik yang dapat mempengaruhi kinerja atau target suatu bisnis.
Contohnya adalah kasus pencemaran teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Issue muncul dari luar perusahaan dan dari suatu populasi kecil, yakni penyakit gatal-gatal yang diderita oleh masyarakat sekitar teluk tersebut. Adanya LSM (WALHI) yang mengadakan penelitian pada teluk Buyat dan menemukan kandungan merkuri mencemari teluk tersebut dan menuding PT. NMR bertanggungjawab dalam kasus pencemaran lingkungan ini. Dibantu dengan LBH Kesehatan yang “mengompori” masyarakat sekitar PT. NMR dengan mengklaim bahwa penyakit gatal-gatal yang diderita oleh mereka berasal dari pencemaran teluk Buyat, maka masyarakat sekitar PT. NMR ini bersama-sama dengan LBH Kesehatan dan WALHI menuntut pertanggunganjawaban PT. NMR dalam masalah tersebut. Media massa mulai mengangkat issue tersebut sehingga liputan kasus ini semakin meluas. Ketidaksiapan PT. NMR dalam mengendalikan dan mengelola issue menyebabkan issue berubah menjadi krisis. Pemerintah sebagai otoritas kekuasaan perundangan tertinggi mulai terlibat dan pada akhirnya meminta PT. NMR menghentikan kegiatan operasionalnya agar issue mereda. Kasus ini jelas sekali memperlihatkan hubungan antara issue, opini publik dan krisis.
KOMITMEN SEMUA MANAJEMEN DALAM PENANGANAN KRISIS
Sama seperti issue, krisis dapat dikendalikan dan dikelola. Namun hal yang lebih penting lagi dilakukan oleh manajemen adalah mencegah terjadinya krisis.
Beberapa peristiwa krisis yang mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar seperti Union Carbide di Bhopal dan kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl memperlihatkan kekurang-siapan manajemen dalam mencegah terjadinya krisis. Mereka tidak mempunyai program khusus untuk mengantisipasi atau menghadapi suatu krisis.
Namun dengan terjadinya berbagai peristiwa tersebut, setiap investasi industri atau pabrik mulai menempatkan manajemen krisis dalam prioritas. Penerapan manajemen krisis ini tentu saja membutuhkan komitmen dari semua manajemen untuk terlibat dalam menangani krisis, tidak bisa hanya dilimpahkan pada departemen PR saja.
Pihak manajemen di luar departemen PR juga harus terlibat dalam tim-tim khusus yang dibentuk untuk mencegah terjadinya krisis maupun untuk menghadapi krisis bila sudah terlanjur menyerang perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus menyiapkan anggaran khusus untuk membentuk tim-tim khusus ini serta menyediakan peralatan dan perlengkapan yang mereka butuhkan, seperti “Ruang Pusat Krisis”.
Pimpinan perusahaan juga harus terlibat langsung dalam tim khusus tersebut karena ia akan menjadi orang yang paling sering ditanyakan oleh seluruh pihak yang terlibat jika terjadi krisis di perusahaannya.
Dan juga yang tak kalah penting adalah pemberian pemahaman tentang manajemen krisis kepada seluruh karyawan, terutama mereka yang berada di lapisan paling bawah agar mereka tidak cepat terprovokasi dan panik ketika krisis menyerang perusahaan.
Bila seluruh manajemen sudah terlibat dalam penanganan krisis, maka krisis akan lebih mudah dicegah, dikendalikan dan dikelola.
TAHAPAN KRISIS
Steven Fink, pakar dan konsultan krisis dari Amerika Serikat mengembangkan konsep anatomi krisis menggunakan terminologi kedokteran yang biasa dipakai untuk melihat stadium suatu krisis yang menyerang manusia. Empat tahap perkembangannya adalah sebagai berikut (Kasali, 2003:225-230):
- Tahap Prodromal
- Tahap Akut
- Tahap Kronik
- Tahap Resolusi (penyembuhan)
Masing-masing tahap itu saling berhubungan dan membentuk siklus. Lamanya masing-masing tahap itu sangat tergantung pada sejumlah variabel, sama seperti ketika seorang dokter menangani pasiennya. Kadang-kadang keempat fase berlangsung singkat, seperti seseorang yang terjangkit flu ringan sembuh setelah beristirahat sehari penuh. Namun adapula yang harus beristirahat hingga satu bulan. Juga ada yang langsung meninggal dunia ketika flu berat menyerang saat kondisi fisiknya sangat lemah. Hal yang sama bisa menimpa perusahaan bila terjadi krisis, yakni dari hanya terganggunya kinerja perusahaan hingga pembubaran perusahaan.
1. Tahap pertama – Periode Krisis Prodromal
Suatu krisis besar biasanya bermula dari krisis kecil sebagai pertanda atau gejala awal yang akan menjadi suatu krisis sebenarnya yang bakal muncul di masa yang akan datang. Tahap ini disebut warning stage karena ia memberi tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang harus segera diatasi.
Mengacu pada definisi krisis, tahap ini juga merupakan bagian dari ‘titik balik’ (turning point). Manajemen yang gagal menangkap sinyal akan membuat krisis memasuki tahap yang lebih serius, yakni krisis akut. Oleh karen itu, tahap ini disebut juga sebagai tahap prakrisis (precrisis). Tahap prodromal biasanya muncul dalam salah satu dari tiga bentuk ini:
- Jelas sekali. Gejala-gejala awal terlihat jelas. Misalnya ketika karyawan datang ke manajemen untuk meminta kenaikan gaji, perbedaan pendapat di antara direksi, kerusakan alat di pabrik (internal); selebaran gelap di masyarakat (eksternal).
- Samar-samar. Gejala yang muncul tampak samar-samar karena sulit menginterpretasikan dan menduga luasnya suatu kejadian. Misalnya deregulasi, munculnya pesaing baru, ucapan pembentuk opini kadang-kadang tidak langsung terasa dampaknya pada perusahaan, namun dapat menjadi masalah besar di kemudian hari.
- Sama sekali tidak terlihat. Gejala-gejala krisis bisa tak terlihat sama sekali. Misalnya kerugian yang dialami salah satu produk atau salah satu lini yang dirasakan wajar oleh sebuah perusahaan. Namun yang terpikirkan oleh perusahaan tersebut adalah seberapa jauh kerugian itu dapat menjadi kanibal seperti kasus Bank Summa yang menelan saham keluarga Suryadjaya pada PT. Astra Internasional.
Meskipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting karena masalahnya masih mudah ditangani dan belum menimbulkan komplikasi.
2. Tahap kedua – Periode Krisis Akut
Bila prakrisis tidak terdeteksi dan tidak segera diambil tindakan yang tepat, maka akan timbul masalah yang lebih fatal. Di tahap ini orang mengatakan “telah terjadi krisis”. Meski bukan di sini awal mulanya krisis, orang menganggap suatu krisis dimulai di sini karena gejala yang samar-samar atau sama sekali tidak jelas tadi mulai terlihat jelas.
Contoh kasus krisis pusat reaktor nuklir Three Mile Island di Pennsylvania, AS. Pers menyebut krisis mulai muncul tanggal 28 Maret 1979 ketika reaktor tersebut mengalami kebocoran yang menimbulkan efek radiasi. Tetapi sebenarnya krisis sudah muncul 13 bulan sebelumnya ketika para karyawan menemukan kebocoran kecil yang dapat diatasi saat itu. Tanggal di atas adalah ketika krisis sudah memasuki tahap akut.
Tahap ini sering disebut the point of no return. Artinya, jika sinyal-sinyal yang muncul pada tahap prodromal tidak digubris, maka ia akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, issue menyebar luas.
Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis pada tahap akut adalah intensitas dan kecepatan serangan yang akan datang dari berbagai pihak yang menyertai tahap ini. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
Tahap akut adalah tahap antara, yang paling pendek waktunya dibanding dengan tahap-tahap lainnya, tetapi merupakan masa yang cukup menegangkan dan paling melelahkan bagi tim yang menangani masalah krisis tersebut. Bila ia lewat, maka umumnya akan segera memasuki tahap kronis.
3. Tahap ketiga – Periode Krisis Kronis
Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah pembersihan sehingga tahap ini juga sering disebut sebagai fase pembersihan. Peristiwa pun sudah diberitakan dengan jelas di media massa.
Tahap ini juga merupakan masa pemulihan citra dan upaya meraih kembali kepercayaan dari masyarakat, di samping juga merupakan masa untuk mengadakan “introspeksi” ke dalam dan keluar mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi (recovery & self analysis).
Masa ini berlangsung cukup panjang, tergantung pada jenis dan bentuk krisisnya. Namun diharapkan seorang crisis manager dapat memperpendek tahap ini karena semua orang yang terlibat sudah letih dan pers mulai bosan memberitakan kasus tersebut.
Masa ini juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya perusahaan melewati masa krisis: keguncangan manajemen dan kebangkrutan perusahaan atau kepulihan manajemen dan perusahaan seperti sedia kala. Contohnya adalah Bank Duta. Begitu selesai mengatasi masa krisis, perbaikan struktur manajemen atau organisasi, rekapitalisasi dan operasinya, bank tersebut tumbuh dan berhasil pulih kembali dalam khazanah dunia perbankan.
4. Tahap keempat – Periode Resolusi Krisis
Merupakan tahap penyembuhan (pulih kembali). Perusahaan yang terkena krisis dapat bangkit kembali setelah melalui proses dan pemulihan sistem produksi, pelayanan jasa, strukturalisasi manajemen, rekapitalisasi dan operasinya. Setelah itu baru memikirkan pemulihan citra tahap berikutnya untuk mengangkat nama perusahaan di mata khalayaknya dan masyarakat luas.
Meski bencana besar telah berlalu, manajemen tetap perlu berhati-hati karena terdapat kemungkinan krisis kembali ke keadaan semula (tahap prodromal). Khususnya departemen humas, harus lebih siap dengan “strategi manajemen krisis” untuk mengantisipasi hal serupa di kemudian hari, baik untuk krisis yang sama maupun untuk krisis yang lain.
LANGKAH-LANGKAH PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN KRISIS
Pada saat krisis melanda perusahaan atau organisasi, sebagai tindakan korektif ada beberapa tahapan langkah strategi atau kiat penanggulangan krisis (Rosady Ruslan, 1999:76-78), yaitu:
1) Mengidentifikasi krisis
2) Menganalisis krisis
3) Mengatasi krisis
4) Mengevaluasi krisis
1. Mengidentifikasi Krisis
Langkah ini merupakan penetapan untuk mengetahui (mengidentifikasi) suatu masalah krisis. Ini penting untuk melihat secara jelas faktor penyebab (factfinding) timbulnya krisis.
Mengidentifikasi suatu faktor penyebab terjadinya krisis berfungsi untuk mengetahui, apakah public relations atau perusahaan dapat menangani krisis yang terjadi itu segera atau tidak. Seperti seorang dokter mendiagnosis suatu penyakit pada pasiennya, untuk mengetahui apakah bisa disembuhkan, dikurangi penyakitnya atau sama sekali tidak bisa disembuhkan.
Bila krisis tersebut sulit untuk diatasi, membuang waktu, tenaga, dan biaya maka PR melihat segi lain dari krisis tersebut yang persoalannya tidak terbayangkan sebelumnya, yakni biasanya suatu perusahaan yang terkena krisis atau musibah disertai kemunculan masalah lain yang tidak diduga sebelumnya.
Oleh karena itu, faktor utama penyebab krisis yang signifikan tersebut harus terlebih dahulu diidentifikasikan, untuk diambil tindakan atau langkah-langkah penanggulangan atau jalan keluarnya secara tepat, cepat dan benar.
2. Menganalisis Krisis
Mungkin perlu pengembangan dalam menggunakan formula 5W + 1H untuk mengung-kapkan dan menganalisis secara mendalam sistematis, informatif dan deskriptif krisis yang terjadi melalui suatu laporan yang mendalam (in-depth reporting).
Pada saat prakrisis atau masa akut krisis, bisa dianalisis melalui beberapa pertanyaan yang diajukan untuk menetapkan penanggulangan suatu krisis, yakni:
a) What - Apa penyebab terjadinya krisis itu
b) Why – Kenapa krisis itu bisa terjadi
c) Where and when – Dimana dan kapan krisis tersebut mulai
d) How far – Sejauh mana krisis tersebut berkembang
e) How – Bagaimana krisis itu terjadi
f) Who – Siapa-siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut, apa perlu dibentuk suatu tim penanggulangan krisis
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah untuk menganalisis penyebab, mengapa dan bagaimana, sejauh mana perkembangan krisis itu terjadi, di mana mulai terjadi hingga siapa-siapa personel yang mampu diajak untukn mengatasi krisis tersebut. Langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mengatasinya melalui analisis lapangan secara logis, informatif dan deskriptif.
Setelah itu, PR beserta “team work yang solid” menarik suatu kesimpulan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif selanjutnya mengambil rencana tindakan (action plan) berikutnya baik dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Dalam jangka pendek, misalnya pada kasus biskuit beracun yang terjadi di pasar dan beberapa anggota keluarga konsumen tercatat sebagai korbannya. Tindakan pertama (main action) dari pihak perusahaan adalah penarikan segera semua biskuit (product recall) di pasar, baik yang tercemar maupun tidak tercemar racun, untuk menghindarkan jatuhnya korban baru secara cepat dan tepat. Tindakan ini diambil bukan untuk melihat penyebab, tetapi menangani langsung dengan menarik produknya.
Tahap berikutnya, baru diidentifikasi awal terjadinya mulai dari mana (where) dan kapan (when) diketemukannya malapetaka tersebut. Lalu, sejauh mana perkembangan krisis tersebut di mata masyarakat dan pers. Sebaiknya tindakan pertama dan sekaligus cukup efektif, pihak perusahaan langsung menyantuni para korban. Cara tersebut merupakan salah satu peredam pendapat yang kontroversial dan mengurangi tekanan dan sorotan masyarakat yang berlebihan melalui tindakan simpatik.
3. Mengatasi dan Menanggulangi Krisis
Dalam hal ini perlu untuk mengetahui bagaimana dan siapa-siapa personel yang mampu diikutsertakan dalam suatu tim penanggulangan krisis. Mengatasi krisis dalam jangka pendek sudah disebutkan di atas, maka dalam jangka panjang, yaitu untuk selanjutnya bagaimana krisis tersebut tidak berkembang dan dicegah agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Terjadinya malapetaka biskuit beracun tersebut, misalnya karena adanya pencampuran tidak sengaja antara karung bekas “potas” yang diisi tepung untuk bahan biskuit.
Informasi mengenai adanya ketidaksengajaan pencampuran antara bekas karung bubuk racun (potas) dengan tepung (contamination), perlu diungkapkan secara jelas kepada pihak masyarakat, khususnya pihak pers agar bisa memberitakan secara objektif dan jangan menutup-nutupi informasi yang sebenarnya (not to kill the information), akibatnya bisa fatal dan masalah pokoknya tidak akan selesai dengan tuntas.
Hal di atas tidak hanya akan merugikan nama, produk dan citra perusahaan bersangkutan, tetapi akan berdampak negatif ke perusahaan lainnya yang tidak bersalah sama sekali, melalui contagious mentality dari mulut ke mulut. Untuk mengatasinya, selain memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, juga perlu diajak pihak ketiga, pejabat pemerintah yang berwenang dalam hal ini, tokoh masyarakat dan lainnya sebagai upaya menetralisasi terhadap tanggapan negatif dan kontroversial. Karena dianggap sebagai kekuatan, pihak ketiga berfungsi mengukuhkan perbaikan situasi dan kondisi krisis (the third party endorsement), secara tepat dan benar.
Kemudian, tindakan lainnya secara preventif dan antisipatif adalah memperbaiki sistem pengamanan agar lebih ketat dan terjamin dalam proses atau rangkaian produksi, mulai dari bahan baku, pengolahan hingga barang jadi untuk menghindarkan kejadian serupa di kemudian hari.
4. Mengevaluasi Krisis
Tindakan terakhir adalah mengevaluasi krisis yang terjadi. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana perkembangan krisis itu di dalam masyarakat. Apakah perkembangan krisis tersebut berjalan cukup lamban atau cepat, meningkat secara kuantitas maupun kualitas serta bagaimana jenis dan bentuk krisis yang terjadi?
Kasus yang terjadi cukup menarik perhatian pihak ketiga, seperti tanggapan, kritikan, bahkan kecaman dari sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, politik, pengamat dan pihak pers. Khususnya pihak pers, bila terjadi suatu persoalan krisis yang muncul (prakrisis) dan kemudian meledak menjadi krisis akbar, menjadi perhatian utama dengan pemberitaan yang gencar mengenai krisis itu akan cepat menarik perhatian dan sorotan masyarakat. Persoalan tidak akan selesai dan tuntas, tetapi malah menjadi beban perusahaan yang bersangkutan karena persoalan krisis yang sebenarnya tersamar dan menyeret persoalan lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah pokok krisis.
Berita krisis tersebar luas tanpa kendali, dengan berbagai tanggapan dan pendapat yang tidak didukung oleh fakta yang objektif, kadangkala didramatisasi sedemikian rupa sehingga menarik perhatian (sensasional) bagi semua pihak. Untuk itu perlu tindakan pencegahan dan pengisolasian krisis, agar tidak meluas tanpa kendali dengan teknik PR dengan tujuan untuk mengantisipasi krisis yang terjadi.
DAFTAR REFERENSI
- Barton, Laurence. Crisis in Organizations: Managing and Comunicating in the Heat of Chaos. Cincinnati: South-Western Publishing, 1993.
- Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.
- Cutlip, Scott M., Allen H. Center & Glen M. Broom, Ph.D. Effective Public Relations. Eight Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 2000
- Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Terjemahan Dewi Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
- Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.
- Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.
- Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.
- Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.
- Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of Public Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995.