Pengertian Tri Hita Karana
Pada dasarnya, konsep Tri Hita Karana (THK) merupakan sebuah landasan yang bersumber dari agama Hindu. Namun sejatinya konsep ini adalah konsep universal yang eksis dalam kehidupan setiap umat beragama di dunia. Disebut eksis karena THK pada intinya mengedepankan harmoni dan prinsip-prinsip kebersamaan dalam kehidupan umat manusia (Windia dan Dewi, 2006 dalam Lestari, 2014).
Secara terminalogis Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas kata Tri+Hita+Karana yang berarti tiga hal yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan atau kebahagiaan. Namun secara leksikal Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga hubungan harmonis, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam (palemahan). Hal inilah yang harus dan wajib dilakukan oleh manusia, karena manusialah yang paling utama mendapatkan manfaat jika THK itu teraplikasi dengan baik. Oleh sebab itu, berhasil atau gagalnya penerapan ajaran THK tergantung pada manusia (Windia, 2005 dalam Dewi, 2014).
Implementasi Tri Hita Karana dalam subak
THK merupakan suatu model pengetahuan yang mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dan adaptif dengan lingkungannya dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bersifat universal demi kesejahteraan hidup manusia dan jagat raya.
THK ini juga merupakan landasan falsafah yang menjadi dasar kehidupan subak di Bali. Adapun implementasi THK dalam subak sebagai berikut.
Aspek parhyangan
Aspek parhyangan merupakan hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam subak, aspek parhyangan dapat ditelusuri dari fungsi subak sebagai berikut.
1. Pelaksanaan kegiatan ritual.
Berbagai kegiatan ritual yang dilakukan secara kronologis oleh subak dalam satu siklus tanam padi merupakan kegiatan khas subak. Kegiatan ritual tersebut tidak ditemukan pada semua sistem irigasi yang ada di dunia. Tidak ada satu subak tanpa Pura dan kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam subak berfungsi sebagai penguat organisasi subak, sedangkan Pura dianggap sebagai pengawas atau kontrol sosial secara niskala (alam gaib) (Sudarta dan Dharma, 2013).
2. Pelestari kebudayaan Bali dan agraris
Kebudayaan Bali berasal dari kebudayaan agraris, dimana subak merupakan wahana tumbuh dan berkembangnya kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, melestarikan subak berarti sekaligus melestarikan kebudayaan agraris dan kebudayaan Bali itu sendiri dan subak memegang peranan penting dalam hal ini sebagai penjaga dan pelestarinya.
3. Penyangga nilai-nilai tradisional
THK sebagai landasan dan falsafah utama subak sangat mempengaruhi perilaku subak dan anggotanya dalam berkreativitas dan beraktivitas dalam pembangunan pertanian di lahan sawah. THK mengandung nilai-nilai tradisional yang sejalan dengan perkembangan ataupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai-nilai tradisional tersebut diantaranya kepercayaan dengan beragam ritual yang bersumber dari Agama Hindu, nilai kerjasama (gotong-royong dan tolong menolong), nilai musyawarah mufakat berasaskan kekeluargaan, nilai dalam awig-awig dan pararem, nilai keadilan, nilai tentang hari baik (dewase) (Sudarta dan Dharma, 2013).
Aspek pawongan
Pawongan merupakan sebuah konsep yang menginginkan adanya keharmonisan antara manusia dengan sesamanya. Dalam kegiatan subak, haruslah disadari bahwa anggota subak pada hakekatnya merupakan sosok manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak berbeda dengan sesama manusia lainnya. Secara internal, harus menjaga harmoni dalam berorganisasi maupun bekerja. Harmoni juga harus dilakukan dengan sesamanya secara eksternal, agar tidak terjadi konflik dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Konflik akan menyebabkan kegiatan subak tidak berlanjut (Windia dan Dewi, 2011).
Implementasi prinsip-prinsip pawongan dalam subak sebagai berikut.
1. Pendistribusian air irigasi secara adil kepada semua anggota
Prinsipnya, pembagian air irigasi dilakukan secara adil kepada semua anggotanya dengan sistem tektek. Jika kondisi air irigasi tidak mencukupi maka diterapkan pembagian air secara bergilir, pinjam meminjam air irigasi dan pelampias yakni tambahan air irigasi untuk sawah petani yang berada di hilir atau jauh dari sumber air irigasi dan saluran air irigasi (Sudarta dan Dharma, 2013).
2. Penanganan konflik
THK dalam subak selalu mengajarkan harmoni dan kerjasama antar anggota subak tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik dan pertikaian baik diantara anggota, anggota subak dengan tempek/subak, antar tempek, atau tempek dengan subak induknya bahkan subak dengan pihak luar subak. Konflik umumnya dipicu melalui keterbatasan air irigasi, terjadinya alih fungsi lahan sehingga aliran air terganggu ke subak, pencurian air, hewan peliharaan yang merusak tanaman atau merusak lahan persawahan, dan pelanggaran terhadap jadwal pola tanam. Umumnya konflik yang terjadi diusahakan terselesaikan secara kekeluargaan, baik antar pihak yang berkonflik maupun oleh pekaseh sebagai mediator. Jarang sekali ada konflik internal subak yang dimohonkan penyelesaiannya kepada pihak luar (Sudarta dan Dharma, 2013).
Aspek palemahan
Pada aspek palemahan mencakup prinsip-prinsip keharmonisan dalam hubungannya dengan lingkungan alam semesta di subak. Hal tersebut dapat di implementasikan dalam beragam manifestasi sebagai berikut.
1. Pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan fisik lainnya
Pemeliharaan jaringan irigasi seperti terowongan, saluran irigasi dan bangunan bagi umumnya dilakukan oleh subak secara rutin pada setiap menjelang musim tanam berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar aliran air irigasi berjalan lancar menuju lahan persawahan petani. Kegiatan ini dilakukan secara gotong royong, setelah upacara mendak toya (menjemput air) di Pura Empelan (Pura Bendung).
Pemeliharaan bangunan fisik lainnya seperti Pura, balai subak dan balai timbang umumnya dipelihara secara insidental atau kalau dipandang perlu dapat dilakukan secara gotong royong atau diupahkan dengan biaya yang ditanggung secara bersama.
2. Penyangga dan pendukung ketahanan pangan
Subak berfungsi sebagai pendukung ketahanan pangan, baik di tingkat keluarga atau rumah tangga serta daerah. Ketahanan pangan akan terancam apabila tidak ada subak dan sebaliknya apabila subak tetap lestari maka akan menjadi pendukung ketahanan pangan.
3. Pelestari lingkungan alam
Secara fisik, subak merupakan areal sawah beririgasi yang berfungsi sebagai pengendali banjir, erosi, kebersihan udara melalui penyerapan zat-zat beracun oleh tanaman dan pengendali siklus nitrogen yang diserap oleh tanaman padi. Sawah di wilayah subak juga sebagai habitat beragam jenis flora dan fauna sehingga subak juga berfungsi sebagai pemelihara keanekaragaman hayati.
4. Penunjang pembangunan pertanian dan pedesaan
Subak mempunyai fungsi penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan seperti pelaksana kegiatan intensifikasi pertanian, bimas dan insus merupakan program-program pemerintah yang dapat terlaksana melalui subak. Pembangunan pertanian yang dijalankan oleh subak tersebut sekaligus merupakan bagian integral dari pembangunan pedesaan secara lebih luas dimana sebagian besar masyarakat pedesaan di Bali adalah masyarakat petani.