Pengertian Hadhanah
Secara etimologi kata hadhanah (al-hadhanah) berarti “al-Janb” yang berarti di samping atau berada di bawah ketiak, atau bisa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Maksudnya adalah merawat dan mendidik seorang anak yang belum mumayyiz atau yang belum cakap bertindak hukum atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasannya), karena mereka belum bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.
Secara terminologi hadhanah menurut Zahabi adalah melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang tidak sanggup melakukannya sendiri.
Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia di mana anak belum dewasa dan tidak mampu mengurus diri mereka sendiri, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.
LANDASAN YURIDIS HADHANAH
Ada banyak landasan yuridis (hukum) hadhanah diantaranya adalah sebagai berikut:
1). Alquran ((Al-Baqarah : 233).
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2). Hadits
Seorang wanita datang menghadap kepada Rasulullah, SAW. bahwa ia telah diceraikan oleh suaminya dan mantan suaminya itu hendak menceraikan anaknya darinya. Rasululullah berkata kepada wanita tersebut : “Kaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (HR. Abu Daud dan al-Hakim).
3). Hukum Positip (Peraturan Perundang-undangan)
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (mengenai hadhanah) berbunyi:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pasal 45 UU No.1/1974 berbunyi:
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 26 ayat (1) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi :
1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
4). Istruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 77 ayat (3) KHI berbunyi:
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
Pasal 104 ayat (1) KHI berbunyi sebagai berikut :
Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
Pasal 105 KHI berbunyi sbb :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya.
b.Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 149 KHI huruf (d) sebagai berikut:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
Pasal 156 KHI sebagai berikut :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a.anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1.wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2.ayah;
3.wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4.saudara perempuan dari anak bersangkutan;
5.wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6.wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak;
b.anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c.apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d.semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
e.bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f.Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya;
PEMBAHASAN MENGENAI HAK HADHANAH DAN BATASAN UMUR MUMAYYIZ
Dalam pembahasan ini hanya di batasi mengenai Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan bahwa di dalam pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya”. Penulis berasumsi pasal ini masih multi tafsir terutama pada kata “Mumayyiz”, karena baik didalam alquran maupun hadits dan literatur-literatur fiqh tidak menyebutkan secara tegas berapa usia sebenarnya seseorang bisa dikatakan telah “Mumayyiz”. Disamping itu pasal tersebut memakai kata “atau”, hal ini bisa ditafsirkan adanya pilihan hukum mengenai batas usia seseorang dikatakan telah “Mumayyiz”. Kalaupun kata “Mumayyiz” dan “atau” dihilangkan dalam pasal tersebut sehingga menjadi “Pemeliharaan anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya”, apakah yang menjadi dasar hukumnya sehingga batas usia 12 (dua belas) tahun tersebut dikatakan seorang anak telah mumayyiz. Selanjutnya Pasal 105 KHI huruf (b) dinyatakan bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”. Pasal ini mempunyai korelasi dan tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 105 huruf (a) KHI, artinya seorang anak yang telah berusia minimal 12 tahun mempunyai hak khiyar (memilih) hadhanah apakah ingin diasuh dan/atau dipelihara oleh ayahnya atau ibunya. Begitu juga dalam Pasal 105 huruf (c) KHI disebutkan bahwa “biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya”, maksud dalam pasal ini kurang lebih adalah tidak menjadi persoalan apakah anak tersebut dalam huruf (a) dan (b) pasal 105 KHI tersebut dipelihara oleh ayah atau ibunya biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya sampai anak tersebut berumur 21 tahun atau telah menikah sebagaimana pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta pasal 149 huruf (d) dan pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
HAK HADHANAH
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh. Menurut Ibnu Rusyd hadhanah diatur tertibnya menurut konsep kedekatan dan kelemahlembutan, bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, shalat jenazah, wala’ dan warisan.
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa mengasuh, merawat dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan, karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anak, sedangkan laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga melindungi dan memberikan yang terbaik kepada anak secara fisik. Namun demikian Hanafiyah mensyaratkan bahwa perempuan yang melakukan hadhanah adalah perempuan yang merupakan kerabat dekat dari anak seperti bibi (khalah) dari pihak ibu atau dari pihak ayah (ammah/paman) atau nenek dari anak, karena biasanya mereka akan lebih serius dan telaten dalam mengasuh anak tersebut disebabkan mempunyai hubungan nasab dan kekerabatan dengan mereka, pendapat ini sejalan dengan pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya ditegaskan juga oleh Wahbah Zuhaily (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus Suriah) bahwa hak hadhanah merupakan hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh. Dalam pengertian diserahkan kepada anak untuk memilih siapa yang akan mengasuhnya. Pendapat ini dapat dipahami kepentingan anak adalah di atas segala-galanya, hal ini sejalan dengan pasal 41 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Oleh karena itu walaupun seorang anak belum mumayyiz atau berumur 12 tahun sebagaimana dalam pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, jika si anak menginginkan untuk tinggal bersama ayahnya karena sang anak merasa tidak betah dan nyaman untuk diasuh dan dipelihara oleh ibunya yang pemarah dan kurang peduli terhadap anaknya, apalagi jika ibunya telah meninggalkan anaknya sejak sang anak masih bayi. Jadi menurut penulis pasal 105 huruf (a) KHI tersebut tidak bersifat imperatif (mutlak) hak asuh jatuh ditangan ibunya terhadap anak yang belum mumayyiz (12 tahun), akan tetapi jika kepentingan anak menghendaki lain, maka hakim dapat mengesampingkan pasal tersebut dan menjatuhkan putusan sesuai dengan kepentingan anak tersebut asal sesuai dengan hati nurani seorang hakim dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
BATASAN UMUR MUMAYYIZ
Para fuqaha’ (ahli hukum Islam) telah sepakat bahwa tanggung jawab pengasuhan dimulai semenjak anak lahir sampai ia mumayyiz. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan batas berakhirnya hadhanah.
Menurut Ulama Mazhab Hanafi bahwa hak pengasuhan anak laki-laki berakhir apabila anak sudah mampu berdiri sendiri dalam mengurus keperluannya, seperti makan, minum, berpakaian, dan membersihkan diri, biasanya telah berumur 7 tahun. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW: “Suruh anakmu shalat apabila mereka telah berusia tujuh tahun” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud). Adapun untuk anak perempuan hak pengasuhannya akan berakhir apabila ia sudah baligh yang ditandai dengan haid.
Sedangkan menurut Ulama Mazhab Maliki, hak pengasuhan anak laki-laki berakhir apabila anak sudah baligh yang ditandai dengan keluarnya mani pertama dalam mimpi. Adapun untuk anak perempuan, hak pengasuhannya akan berakhir di saat memasuki jenjang perkawinan.
Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat, hak pengasuhan anak baik laki-laki maupun wanita akan berakhir apabila anak-anak itu telah mumayyiz atau berusia tujuh atau delapan tahun. Setelah itu anak-anak tersebut berhak memilih apakah akan tinggal dengan ibu atau ayahnya, jika keduanya telah bercerai.
Berdasarkan pendapat di atas, terdapat kontradiksi para ulama mazhab mengenai batasan umur seorang anak laki-laki dan perempuan sudah dikatakan telah mumayyiz. Berdasarkan argumentasi di atas, penulis berpendapat bahwa batasan anak laki-laki dan perempuan dikatakan telah mumayyiz sebaiknya disamakan saja menjadi telah mencapai usia 7 tahun bukan 12 tahun, sebagaimana pendapat ulama mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali di atas.