Pengertian Ham Dan Konsep Karâmah Dalam Islam
Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia itu memiliki martabat yang sama. Di samping itu, semua manusia memiliki hak-hak yang diperolehnya, selain kewajiban-kewajiban yang mesti dilaksanakan sebagai sebuah konsekuensi kehidupan. Hak-hak yang paling fundamental itu adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan setiap manusia merupakan amanat dan ide luhur dari Allah SWT, Yang Maha Pencipta yang menginginkan setiap manusia dapat tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya untuk menuju dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga dapat terus berkembang secara leluasa.[1]
Risalah Islamiyyah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW telah diyakini sebagai ajaran yang bersifat universal. Isi dan muatan ajarannya mengandung nuansa kasih sayang dan rahmat ilâhî untuk seluruh lapisan umat manusia di mana saja berada, yang akan mengantarkan kebahagiaan dan kesuksesan mereka hidup di dunia serta kebahagiaan dan keselamatan mereka hidup di akhirat. [2]
Di antara sekian ajarannya, berkait ajaran hak asasi manusia, yang batu pertamanya secara historis telah diletakkan sejak Islam itu lahir, tepatnya pada akhir abad ke-6 Masehi. Sejak abad ke-6 Masehi ini, Islam telah berusaha menggelorakan untuk menghapus perbudakan serta membina sendi-sendi hak-hak asasi manusia. Walaupun, pada masa permulaan Islam, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap (tadrîj) sehingga pembasmian terhadap perbudakan tidak dilakukan dengan sekaligus. Islam mengajarkan umatnya agar menghormati dan mengakui hak-hak hidup seseorang. Islam mengajarkan bahwa hidup dan mati adalah dalam kekuasaan Allah SWT Yang Maha Kuasa. Sehingga tidak dapat seorangpun mengganggu hak hidup orang lain. Disamping itu, Islampun mengajarkan bahwa selain setiap orang harus terjamin hak hidup dan kemerdekaannya, hendaklah hak jamaah (hak publik) lebih diutamakan atas hak perorangan.[3]
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa HAM dalam Islam sebenarnya bukan barang asing, karena wacana tentang HAM dalam Islam lebih awal jika dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya. Dengan kata lain, Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Sebagaimana telah dikemukakan oleh al-Maududi bahwa ajaran tentang HAM yang terkandung dalam Piagam Magna Charta baru muncul 600 tahun setelah kedatangan Islam. Selain itu, diperkuat oleh pandangan Weeramantry bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, ekonomi dan budaya telah jauh mendahului pemikiran Barat.[4] Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadis yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM, yaitu pada pendekatan Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).[5]
1. Pengertian HAM dalam Islam
Untuk memahami konsep dan hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang HAM. Dalam bahasa Arab, HAM dikenal dengan (Haqq al- Insânî al-Asâsî atau juga disebut Haqq al-Insânî ad-Darûrî), yang terdiri terdiri atas tiga kata, yaitu: a. kata hak (haqq) artinya: milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dan merupakan sesuatu yang harus diperoleh. b. kata manusia (al-insân) artinya: makhluk yang berakal budi, dan berfungsi sebagai subyek hukum. c. asasi (asâsî) artinya: bersifat dasar atau pokok.
Secara terminologis, HAM dalam persepsi Islam, Muhammad Khalfullah Ahmad telah memberikan pengertian bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu amanah dan anugerah Allah SWT yang harus dijaga, dihormati, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Bahkan Ibn Rusyd lebih menegaskan bahwa HAM dalam persepsi Islam telah memberikan format perlindungan, pengamanan, dan antisipasi terhadap berbagai hak asasi yang bersifat primair (darûriyyât) yang dimiliki oleh setiap insan. Perlindungan tersebut hadir dalam bentuk antisipasi terhadap berbagai hal yang akan mengancam eksistensi jiwa, eksistensi kehormatan dan keturunan, eksistensi harta benda material, eksistensi akal pikiran, serta eksistensi agama.[6]
Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM dalam konsep Islam ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh dan adanya keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dlaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Oleh sebab itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus disertai dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban Asasi Manusia), dan TAM (Tanggung jawab Asasi Manusia), dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan bernegara.[7] Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM itu adalah keterpaduan antara HAM, KAM, dan TAM yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Kesemuanya ini (HAM, KAM, dan TAM) merupakan nikmat dan anugerah sekaligus sebagai amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan ilahi Allah SWT Rabbul `alamin.
2. Konsep Karâmah dalam Islam
Secara etimologis, kata karâmah merupakan bentuk masdar dari kata karuma yang berarti: kemuliaan, kehormatan, wibawa, reputasi, dan martabat. Secara terminologis, karâmah adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT dalam bentuk wibawa, kemuliaan, kehormatan dan martabat yang dikaruniakan kepada setiap insan hamba-Nya. Islam telah memposisikan manusia sebagai makhluk-Nya yang mulia dan bermartabat[8]. Martabat dan kemuliaan bagi manusia merupakan sumber dari seluruh hak-hak asasi manusia (HAM), sebagai bukti nyata perbedaannya dengan makhluk lainnya. Martabat dan kemuliaan manusia inilah yang dapat menjinakan kebiasaan sikap kasar dan arogan mereka, sehingga dikehendaki untuk disusunnya norma-norma hukum yang diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya. Berdasarkan martabat inilah tegaknya tanggung jawab atau keperibadian manusia secara hukum, yang menjadikannya cakap dan layak untuk menikmati dan menggunakan hak asasi yang dimilikinya, yang diikuti dengan seperangkat kewajiban yang mesti dilakukannya.[9]
Allah SWT telah mengungkapkan secara langsung dalam beberapa teks ayat berkait dengan harkat dan martabat manusia yang merupakan anugerah Allah SWT, antara lain: a. QS. 17 (al-Isrâ): 70, yang artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. b. QS. 64 (at-Tagâbun):3, yang artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah kembali(mu). c. QS. 95 (at-Tin): 4, yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Di samping itu, kemuliaan dan kelebihan manusia ini ditambah lagi dengan dijadikannya oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi. Sementara semua makhluk dijadikan oleh-Nya tunduk kepada mereka. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Allah SWT, antara lain pada QS. 31 (Luqman):20, yang artinya: Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberikan penerangan. Demikian pula pada QS. 45 (al-Jâsiyah):13,
وَسَخَّرَ لَكُم مَّافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا مِّنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Berdasakan penjelasan di atas dapatlah dikatakan bahwa Islam begitu sangat menghormati dan memuliakan status dan eksistensi manusia, baik yang berkait dengan: a. kemuliaan yang bersifat individual (karâmah fardiyyah) yang memelihara kemuliaan lahir dan batin masing-masing individu manusia. b. kemuliaan yang bersifat masyarakat (karâmah ijtima`iyyah), pada status hubungan sosial antara sesama manusia sebagai makhluk sosial. c. kemuliaan secara politik (karâmah siyâsiyyah), dengan diberikan hak-hak politik kepada manusia untuk memilih atau dipilih bagi posisi-posisi politik, karena ia merupakan khalifah di muka bumi.[10]
A. HAM DAN TANGGUNG JAWAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1. Macam-Macam Hak-Hak Asasi Manusia
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa sosok manusia dalam perspektif Islam, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, mempunyai hak asasi pokok, semata-mata diistimewakan memang karena dirinya sebagai hamba Allah SWT. Di antara hak-hak asasi tersebut adalah:
1. Hak untuk hidup.
Hak asasi yang paling utama yang diusung oleh Islam adalah hak untuk hidup dan menghargai hidup manusia. Hal tersebut secara tegas telah dikemukakan oleh Allah SWT pada QS. 5 (al-Ma’idah):32, yang artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Ban Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Perbuatan menghilangkan nyawa karena alasan dendam atau untuk menebar kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Selama berlangsung peperangan perbuatan itu hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Pada setiap peristiwa itu, tidak ada satu individu pun yang memiliki hak untuk mengadili dengan main sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT pada QS. 6 (al-Anfal):151, yang artinya: Janganlah kamu bunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT untuk membunuhnya kecuali karena sebab yang dibenarkan oleh syari`ah. Dengan demikian pembunuhan dibedakan dari menghilangkan nyawa yang dilakukan demi melaksanakan keadilan.[11]
Allah SWT menganugerahkan hak hidup kepada seluruh insan hamba-Nya dengan tidak melihat ras, jenis kelamin, bangsa, maupun agama. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bersumber dari `Amr bin `Ash, yang artinya: Seseorang yang membunuh orang yang di bawah perjanjian (seorang warga negara non muslim dalam negara Islam) tidak akan mencium surga walau hanya mencium wanginya. Selain itu Rasululah SAW bersabda: Barang siapa yang membunuh seorang ahli zimmi, sungguh Allah haramkan dia dari surga-Nya.(HR. An-Nasa`i yang bersumber `Amr bin `Ash).
Menurut Syeikh Syaukat Husain, Islam memerintahkan umatnya untuk menghormati hak hidup ini, walaupun terhadap bayi yang masih di dalam rahim ibunya. Lebih dari itu, Islam tidak hanya memperhatikan kemuliaan dan martabat manusia ketika ia masih hidup, martabatnya tetap dimuliakan, sampai dengan wafatnya, dengan diurus jenazahnya, dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan dimakamkan dengan baik dan penuh ketulusan.[12]
Di samping itu, Islam telah mengajarkan bahwa ada banyak cara untuk menyelamatkan hidup manusia dari ancaman kematian. Apabila seseorang menderita sakit, atau menderita luka-luka atau terkena musibah, maka menjadi kewajiban bagi saudara yang lainnya untuk menolongnya memperoleh bantuan medis. Apabila ia hampir mati karena kelaparan, maka saudaranya berkewajiban untuk memberikan makanan. Apabila ia terancam tenggelam maka tugas saudaranya berusaha keras untuk menyelamatkannya.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa hak milik atas harta benda atau hak ekonomi dijamin oleh Islam bagi setiap manusia dengan tidak mengenal diskrimnasi.
2. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup atau hak ekonomi.
Berbicara tentang hak ekonomi, Islam telah mengajarkan kepada setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pribadinya dan keluarganya sesuai dengan prestasi hidup skill yang dimiliki. Namun, di balik harta yang dimilikinya itu, di dalamnya terkandung hak orang lain, khususnya kalangan dhua`fa dari golongan fakir miskin, yang dikeluarkan melalui zakat, infak, dana sedekah (ZIS). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT QS. 51 (adz-Dzariyat) : 19, yaitu:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقُّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ )الذّاريات 51:19)
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak-hak orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
Pesan ayat tersebut menyatakan dan menegaskan bahwa siapapun yang minta pertolongan dan siapapun yang menderita kesulitan mempunyai hak atas bagian harta benda dan kekayaan seorang muslim, tanpa melihat apakah ia berasal dari bangsa ini, atau itu, dari negara manapun dan dari ras manapun ia berasal.[13]
Selain itu, Islam memberikan jaminan perlindungan dan keamanan terhadap eksistensi harta kekayaan masing-masing individu, khususnya terhadap harta benda yang diperoleh secara legal dan sah menurut hukum. Termasuk di dalamnya hak-hak untuk dapat menikmati dan mengkonsumsi harta, hak untuk investasi dalam berbagai usaha, hak untuk mentransfer, serta hak perlindungan individu lain tinggal di atas tanah miliknya.[14]
Islam senantiasa melindungi hak milik bagi setiap individu, sebagaimana yang telah dipraktikan oleh Rasululah SAW dan juga diteruskan oleh para khulafa ar-Rasyidun. Sebagai contoh kasus yang terjadi pada perang Hunain, Rasulullah menemukan topi baja milik Sofwan bin Umayyah. Ketika beliau ditanya apakah topi-topi ini akan diambil tanpa konpensasi? Rasulullah menjawab: semua topi-topi baja yang hilang selama pertempuran akan diganti.[15]
3. Hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan.
Islam secara tegas melarang praktek perbudakan, dalam bentuk orang yang merdeka menjadi hamba sahaya, kemudian diperjualbelikannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibn Majah yang bersumber dari `Amr bin `Ash, yaitu: Ada tiga kategori manusia yang aku sendiri akan menggugatnya pada hari kiamat. Di antaranya adalah mereka yang menyebabkan seorang yang merdeka menjadi hamba sahaya, lalu menjualnya dan memakan uang hasil penjualannya.
Menurut Abu al-`A’ala al- Maududi, pernyataan hadis Rasululah SAW tersebut tidak hanya terbatas dan hanya berlaku bagi satu bangsa tertentu, atau ras tertentu, atau hanya berlaku bagi penganut agama tertentu saja. Akan tetapi, berlaku secara umum dan universal mencakup kepada seluruh lapisan manusia. Sehingga, Islam, menurut al-Maududi, berusaha secara maksimal untuk memecahkan persoalan perbudakan yang telah berlangsung di Arabia dan di seluruh dunia, denga mendesak para tuan (pemilik hamba sahaya) untuk membebaskan para budak. Membebaskan para hamba sahaya untuk kemudian menjadi seorang yang merdeka dikatakan sebagai sebuah perbuatan mulia, yaitu bahwa setiap organ tubuh orang yang membebaskan hamba sahaya akan dilindungi dari acaman siksa api neraka.[16]
Sebagai hasil dari kebijakan ini, masalah perbudakan di Arabia dapat dituntaskan dalam kurun waktu 40 tahun. Dimulai oleh Rasulullah SAW telah membebaskan sebanyak 63 hamba sahaya, `Aisyah RA telah membebaskan 67 orang, Abadullah bin Abbas membebaskan 70 orang , Abdullah bin `Umar telah memerdekakan sebanya 1000 orang, dan Abdurrahman ash-Shahra telah memerdekakan 30.000 orang. Selanjutnya diikuti oleh para sahabat yang lain yang telah membebaskan hamba sahaya dengan jumlah yang lebih banyak.[17]
Selain itu, Islampun telah menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dipenjara, kecuali jika yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah oleh lembaga pengadilan dengan proses persidangan secara terbuka. Praktek pengadilan terbuka ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW pada kasus pembocoran rahasia negara berkait dengan persiapan fathu Makkah. Dimana seseorang, yang bernama Hatib, telah mengirim surat melalui seorang wanita yang isinya membocorkan kepada mereka tentang persiapan itu. Rasulullah SAW telah mencium akan hal itu melalui wahyu illahi. Kemudian beliau mengutus Ali dan Zubair, dengan seraya berkata: ”Pergilah kalian menuju Mekah dan pada suatu tempat tertentu kalian akan menjumpai seorang wanita membawa sebuah surat, dapatkanlah surat itu darinya dan serahkanlah kepadaku. Kemudian keduanya pergi dan menemukan kedua wanita itu. Mereka mengambi surat dari kedua wanita itu dan mengembalikannya kepada Rasululah SAW. Selanjutnya, Rasulullah memanggil Hatib untuk menghadap persidangan pengadilan terbuka, di mana dia diminta untuk menjelaskan posisinya dalam kasus ini. Dalam hal ini tidak ada pengadilan rahasia.[18]
Di samping itu, praktek pengadilan terbuka juga dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, dengan kharismatiknya dia tidak pernah ragu-ragu untuk mengadili para gubernur daerahnya dalam sidang terbuka, meskipun situasi pada saat itu kritis, karena daerah-daerah di bawah jabatan gubernur mereka baru saja ditaklukan sebelum sidang pengadilan tersebut berlangsung.[19]
4. Kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Islam menganugerahkan hak kebebasan untuk berfikir dan hak untuk mengungkapkan pendapat kepada seluruh umat manusia. Kebebasan berekspressi ini tidak hanya diberikan kepada warga negara ketika melawan tirani, namun juga bagi setiap individu untuk bebas mengeluarkan pendapat dan sekaligus mengekspressikannya berkait dengan berbagai masalah. Tentunya kebebasan berpendapat di sini berkait dengan upaya untuk mensosialisasikan perbuatan kebaikan dan kebajikan, dan berupaya untuk menghimbau dan mengantisipasi berbagai perbuatan kejahatan dan kezaliman.[20]
Rasulullah SAW selama hidupnya telah memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk mengungkapkan pendapat sekalipun berbeda dengan pendapat pribadi beliau. Rasululah SAW telah menempa kepribadian para sahabat sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengekspressikan perbedaan pendapat tanpa ragu-ragu. Sebagai contoh: ketika Rasulullah SAW meminta para sahabat untuk melawan musuh di dalam kota Madinah. Para sahabat berpendapat bahwa posisi para sahabat mesti di lokasi medan pertempuran Uhud. Pendapat para sahabat ini kemudian dipilih oleh Rasululah SAW bahwa posisi umat Islam dan Rasulullah dalam menghadapi musuh pada perang Uhud berada di lokasi jabal uhud bukan di dalam kota Madinah.[21]
Sebagai contoh kasus lain, Rasulullah mengajak bermusyawarah dan ber dialog dengan para sahabatnya berkait dengan perlakuan terhadap para tawanan perang Badar. Ketika itu, ada dua pendapat sahabat senior yang muncul, pendapat Abu Bakar Siddiq dan pendapat Umar bin Khattab. Abu Bakar mengajukan pendapatnya, untuk mengambil tebusan (fidyah) dari para tawanan itu. Sedangankan Umar bin Khattab berpendapat lebih tegas, bahwa para tawanan Badar itu harus dibunuh. Menyikapi dua pendapat tersebut, Rasulullah berijtihad, dengan memilih pendapat Abu Bakar Siddiq (menerima tebusan dari para tawanan perang Badar itu). Di samping itu, tradisi politik yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Siddiq dan Khalifah Umar bin Khattab biasa mengundang kaum muslimin untuk meminta kritik mereka terhadap berbagai kebijakannya tanpa ragu-ragu.[22]
5. Persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum.
Islam menegaskan dan menekankan adanya persamaan seluruh umat manusia di depan Allah SWT. Sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia telah diciptakan dari asal usul yang sama, nenek moyang yang sama, dan kepada-Nyalah mereka mesti taat dan patuh. Hal tersebut sesuai dengan QS. 4 (an-Nisa):1, yaitu:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ( النّسآء\ 4 : 1)
Artinya:Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan sillaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Demikian pula pada QS.49 (al-Hujurat) :13, yaitu:
يآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِل لِتَعَارَفُوُاَْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات 49 : 13)
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Rasulullah SAW telah mendeklarasikan asas persamaan (al-musâwah) di antara manusia ini tertuang dalam khutbah haji wada`nya: Orang Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang non Arab, demikian juga orang non Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang Arab. Demikian juga orang berkulit putih tidak mempunyai keunggulan atas orang yang berkulit hitam, atau orang yang berkulit hitam tidak mempunyai keunggulan atas orang yang berkulit putih. Semua manusia adalah anak keturunan Adam, dan Adam diciptakan dari tanah liat.[23]
Islam telah menghancurkan diskriminasi terhadap sistem kasta, keyakinan, perbedaan warna kulit, dan agama. Rasulullah SAW tidak hanya secara lisan menegakkan hak persamaan ini, namun juga telah memperhatikan pelaksanaannya selama hidup beliau. Pernah ada seorang wanita dari keluarga bangsawan ditangkap karena keterlibatannya dalam pencurian. Kasus ini dihadapkan kepada Rasulullah SAW dan diminta agar wanita itu bisa dimaafkan. Akan tetapi, Rasulullah SAW menjawab: Bangsa-bangsa yang hidup sebelum kamu telah dibinasakan oleh Allah SWT karena mereka menghukum orang-orang biasa dan rakyat jelata atas pencurian yang mereka lakukan, akan tetapi membiarkan bangsawan terkemuka dan berkedudukan tinggi tanpa dihukum atas pencurian yang mereka lakukan. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, andaikan Fatimah puteriku sendiri mencuri, maka aku akan memotong tangannya.[24]
6. Hak kebebasan untuk berserikat.
Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat untuk bebas berpolitik, berserikat dan membentuk organisasi-organisasi. Namun, hak berserikat ini dilakukan dengan motivasi untuk menyebarkan dan merealisir kemaslahatan dan kebaikan baik bagi individu, masyarakat dan bangsa, bukan untuk menyebarluaskan kejahatan dan kekacauan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak kebebasan berserikat tidak berlaku secara mutlak tanpa batas. Akan tetapi, ia dilakukan dengan dilandasi oleh semangat untuk menyebarluaskan amal-amal kebajikan dan kesalehan, serta menumpas kejahatan dan kemunkaran.[25] Hak untuk kebebasan untuk berserikat secara umum terkandung pada QS. 3(Ali `Imran):110),yaitu:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران\ 3 : 110)
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
7. Hak untuk mendapatkan keadilan.
Islam hadir ke muka bumi ini untuk menegakan keadilan. Sehingga setiap insan hamba Allah SWT mendapatkan hak keadilan yang sangat penting ini. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menegakan keadilan walaupun untuk dirinya sendiri. Hal tersebut secara tegas telah dijelaskan oleh Allah SWT pada QS. 42 (asy-Syura) :15, yaitu:
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنتُ بِمَآ أَنزَلَ اللهُ مِن كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَآأَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لاَحُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (الشورى\42 : 15)
Artinya: Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di atara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Alla mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).
Di samping itu, di dalam QS. 57 (al-Hadid) : 25, yaitu:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعَ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ (الحديد\ 57 : 25)
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bai manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasulnya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Selain itu, Allah SWT meminta kepada setiap hamba-Nya untuk dapat menegakkan keadilan itu walau terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT pada QS.4 (an-Nisa): 135, yaitu:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ للهِ وَلَوْ عَلى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَن تَعْدِلُوا وَإِن تَلْوُا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (النسآء\4 : 135)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah telah tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Inilah ketentuan al-Qur`an yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para Khulafa ar-Rasyidin, sehingga sistem peradilan yang baik dan sehat terwujud. Pada awal era kekhalifahan belum terdapat pemisahan antara badan eksekutif dan yudikatif. Namun, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau telah memisahkan lembaga peradilan secara keseluruhan dari institusi-institusi negara, serta pada saat itu ia membentuk kantor pengadilan di setiap wilaya. Pengadilan yang diselenggarakan bebas biaya bagi para pencari keadilan. Khalifah Umar tidak segan-segan membawa para gubernurnya ke meja pengadilan para gubernurnya terhadap kasus gugatan dan pengaduan yang diajukan rakyatnya.[26]
Selain itu, upaya penegakan keadilan yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah ketika Umar bin Khattab menyelengarakan sebuah pertemuan besar yang dihadiri oleh pejabat dan rakyatnya di kota Madinah al-Munawwaroh seraya ia berpidato: Para pejabat ditunjuk untuk tidak menganiaya atau merampas harta bendamu, melainkan mereka ditunjuk untuk untuk melindungimu dan mengayomimu, sesuai dengan ajaran al-Qur`an dan Sunnah Raulullah SAW. Oleh karena itu, jika ada pejabat yang berlaku zalim, maka beritahukanlah kepadaku sehingga aku dapat memperbaikinya.[27]
8. Hak untuk medapatkan tempat tinggal.
Islam memandang bahwa bertempat tinggal merupakan hak asasi dalam kehidupan manusia yang sangat urgen. Sehingga seseorang dapat beristirahat di rumah kediamannya yang akan mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi dirinya, anak-isterinya, dan para keluarganya. Ibn Hazm berpendapat : jika seseorang tidak mempunyai rumah kediaman dan tempat tinggal yang jelas, maka menjadi sebuah kewajiban bagi pihak yang kaya (agniya) untuk membangunkan tempat pemukiman mereka yang dhu`afa (yang lemah ekonomi). Bahkan menurut Ibn Hazam sebagai juga yang dikemukakan oleh Ibrahim al-Lubban, keduanya berpendapat: kewajiban bagi negara untuk mengadakan tempat pemukiman bagi warga negaranya yang miskin, dengan tidak membedakan suku, bangsa, ras san agama.[28]
Beberapa argumen yang diajukan, adalah QS. 17 (al-Isra):26, yaitu:
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَي حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَتُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (الإسرآء\17 :26)
Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Selain itu, secara khusus Allah SWT memberikan perlakuan khusus terhadap kelompok orang-orang miskin untuk dibantu dan disantuni oleh kalangan yang mampu, sehingga status sosialnya terangkat. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Allah SWT pada QS.4 (an-Nisa) :36, yaitu:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا (النّسآء\4 : 36)
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibn sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Di samping itu, secara tegas Allah SWT mengancam terhadap orang kaya yang tidak peduli dan acuh tak acuh kepada nasib kelompok orang miskin, baik yang berkait dengan perhatian kepada sandang, pangan dan tempat tinggalnya. Sebagaimana telah dikemukakan pada QS.74 (al-Mudatstsir):42-44, yaitu:
مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44). (المذثّر\42 – 44)
Artinya: (42). Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? (43). Mereka menjawab: ”Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. (44). Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.
Selain itu, Rasulullah SAW memperkuat dalam sabdanya yang bersumber dari Anas bin Malik: Barang siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi oleh Allah SWT (HR. Abu Daud dan an-Nasa`i.[29]
2. Essensi HAM dan Tanggung Jawab Asasi Manusia.
Secara essensial, dari beberapa macam Hak-Hak Asasi Manusia berdasarkan perspektif Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, semuanya berpulang kepada lima konsep Hak-Hak Asasi manusia yang dikenal dengan term ”dharuriyyat al-khams” (lima hak asasi yang paling dominan) yang akan mengayomi dan melindungi kehidupan manusia, dan sekaligus akan diminta pertanggungjawaban pendayagunaannya.Kelima prinsip tersebut adalah:
Kesatu: Hak Perlindungan terhadap Jiwa atau Hak Hidup.
Perlindungan terhadap jiwa merupakan hak yang tidak bisa ditawar. Pemaknaan yang paling elementer dari hak hidup ini dituangkan dalam sistem hukum, yang salah satunya melalui metode hukum qisas. Sebab, kehidupan (al-hayât) merupakan sesuatu hal yang sangat niscaya dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Oleh sebab itu, barang siapa yang dengan sengaja melanggar kehidupan orang lain, maka yang bersangkutan mesti dihukum dengan hukuman yang sepadan dan setimpal, agar orang tesebut tidak mengulanginya kembali perbuatan yang sama pada waktu dan kesempatan yang akan datang.[30]
Kedua: Perlindungan terhadap keyakinan
Perlindungan terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing individu mendapatkan posisi dan perhatian yang sangat tinggi dari ajaran Islam. Secara universal, Islam memberikan kepada setiap individu untuk memilih dan memilah agama yang akan dianutnya. Walaupun, Islam memang menawarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk dipahami, dikaji, dan dianalisa. Sehingga pemahaman dan kesadaran dari masing-masing individulah yang sangat diutamakan dengan melihat konsep untuk memeluk agama Islam dengan penuh ketulusan, dan nilai-nilai positif yang akan didapatkan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT pada QS.2 (al-Baqarah) : 256, yaitu:
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ( البقرة\2 : 256)
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Di samping itu, pada QS. 18 (al-Kahfi):29 Allah SWT kembali menegaskan bahwa diberikan kebebasan kepada manusia hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya atau sebaliknya tidak beriman. Walaupun, di sisi lain, Allah menegaskan bahwa kebenaran itu datangnya dan bersumber dari Tuhanmu, yaitu Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَآءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا (الكهف\18 : 29)
Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Di samping itu, Allah SWT juga menyatakan bahwa toleransi antara umat beragama itu hidup secara berdampingan dapat dilakukan dengan pernyataan-Nya yang tegas pada QS 109 (al-Kafirun) : 6, yaitu:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ( الكافرون\ 109 :6)
Artinya: Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.
Akan tetapi, secara internal, setelah seseorang memilih Islam, yang bersangkutan diminta untuk secara konsisten mengikuti ajaran yang telah dianutnya. Allah SWT melarang keras tindakan riddah atau murtad, dan memasukkannya sebagai salah satu bentuk tindak pidana. Sebagaimana firman Allah SWT pada QS. 2 (al-Baqarah) : 217, dengan tegas menyatakan:
... وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ( البقرة\2 : 217)
Artinya: … barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Berdasarkan teks ayat tersebut didifinisikan bahwa murtad itu adalah keluar atau mundurnya seorang muslim yang telah berakal dan balig, dari agama Islam menuju kekafiran, dengan kehendaknya senidiri tanpa ada paksaan dari siapapun. Sebagai cirinya adalah mengingkari adanya Allah SWT, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, menolak hukum-hukum syari`ah, dan yang lainnya.[31]
Ketiga: Hak Perlindungan Terhadap Akal Pikiran.
Hak perlindungan terhadap eksistensi akal pikiran ini diterjemahkan dalam perangkat hukum yang sangat elementer yakni tentang haramnya makan dan minum, serta mengkonsumsi sesuatu yang bisa merusak akal pikiran. Barang siapa yang melanggar hal itu (merusak sistem kesadaran akal) hukumnya cukup keras. Hukuman yang keras dan tegas ini dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap akal pikiran. Sesungguhnya, dari penjelasan yang bersifat elementer ini bisa dipahami lebih dalam lagi, yaitu dengan akal pikiran yang sehat akan dimasukkan juga hak pendidikan, dan hak kebebasan berpendapat.
Keempat: Perlindungan Terhadap Hak Milik.
Perlindungan ini diimplementasikan dalam bentuk diharamkannya mencuri, merampok, dan yang sejenis yang akan mengancam eksistensi hak milik. Selain itu, memang disertai dengan ancaman yang keras bagi pelaku pencurian. Jika diterjemahkan lebih jauh hak ini lebih dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang lebih layak.
Kelima: Hak Berkeluarga atau Hak Memperoleh Keturunan.
Hak Berkeluarga atau hak memperoleh keturunan ini merupakan hak untuk mempertahankan eksistensi nama baik. Hal tersebut diimplementasikan dalam benuk diharamkannya tindakan perbuatan zina. Namun, dalam membuktikan delik perzinaan tersebut mesti didukung oleh kesaksian yang valid, yaitu empat orang saksi lelaki. Jika tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan, maka pihak tertuduh zina akan terbebaskan dari ancaman hukuman. Sebaliknya pihak penuduhlah yang akan terkena ancaman yang berat.
B. Hak Allah dan Hak Manusia
Menurut al-Maududi , HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia yang tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang telah diberikan oleh Allah SWT tersebut bersifat permanen, tidak boleh diubah atau dimodifikasi. Dalam persepsi hukum Islam telah dikenal dua konsep hak, yakni hak manusia (haq al-insân atau juga disebut dengan haq al-`ibâd). Setiap hak itu saling melandasi satu dengan yang lainnya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut.
1. Hak Allah.
Hak Allah adalah hak yang kembali dan berpulang kepada kemaslahatan dan eksistensi kepentingan umum secara kolektif bukan untuk kepentingan pribadi secara individual. Shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat dan haji yang merupakan ibadah vertikal murni (`ibâdah mahdhah) yang merupakan bangunan dasar agama Islam yang bertujuan untuk kemaslahatan, kedamaian yang dapat dirasakan oleh semua manusia, diharapkan dengannya akan terbentuk kesalihan individual dan kesalihan sosial. Pelaksanaan hak Allah ini mesti dibangun dan dilandasi oleh semangat lillhi Ta`âla.[32]
2. Hak Manusia
Hak manusia (haq al-`ibâd atau juga disebut haq adamî, adalah hak yang berkait dengan kepentingan individual seorang hamba Allah SWT, sehingga berpulang kemaslahatannya kepada orang yang bersangkutan. Hal tersebut dapat saja berkait dengan hak milik, transaksi hutang-piutang, wasiat, kewarisan, dan yang lainnya. Hak pribadi inipun berkait dengan individu lain secara horizontal, sehingga masing-masing pihak dapat mendapatkan hak dari pihak lain, dan secara otomatis menjadi kewajiban yan perlu dipenuhinya sebagai perimbangan atas hak yang diperolehnya.[33]
Sementara itu, dalam hak manusia seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Namun demikian, pada hak manusia itu ada hak Allah yang mendasarinya. Konsekwensinya adalah meskipun seseorang berhak untuk mendayagunakan hak miliknya, tetapi tidak boleh menggunakan hak miliknya itu untuk tujuan dan motivasi yang bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan bertentangan dengan semangat lillahi Ta`ala. Jadi, sebagai pemilik hak, diakui dan dilindungi dalam penggunaan haknya, namun tidak boleh melanggar hak yang mutlak (hak Allah). Kepemilikan hak pada manusia bersifat relatif, sementara pemilik hak yang absolut hanyalah Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
- A.A. Maududi, Human Right in Islam, (Aligharh: 1978).
- Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,(al-Qahirah: Dar al-Kuwaitiyyah, 1942)
- Abd Wahab `Abd al-`Aziz asy-Syisyani, Huqûq al-Insân wa Hurriyyâtihî al-Asâsiyyah fî an-Nizhâm al-Islâm wa an-Nuzhum li al-Mu`ashirah, (Riyad: Jami`ah al-Imam Muhammad bin Sa`ud al-Islamiyyah, 1980).
- Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Cairo: Dar al-Fikr al-`Arabi, t.th.).
- Bambang Cipto dkk, Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban, (Yogyakarta: 2003).
- Mahmud Syaltut, al-Islâm `Aqîdah wa Syarî`ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1972).
- Masdar F. Mas`udi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, dalam E. Sobirin Nadj dan Naning Mardiyah, Diseminasi HAM dalam Perspektif dan Aksi, (Jakarta:Cesda LPES).
- Muhammad Muhammad adh-Dahahham, Huquq al-Insan fi al-Islam wa Ri`ayatihi li al-Qayyim wa al-Ma`ani al-Insaniyyah, (Cairo: Syirkah al-Misriyyah, 1971).
- Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1972), Jilid II.
- Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
- Tim ICC UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: The Asia Foundation, 2000).
- TM. Hasbi As-Siddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
- Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Kuwait: Maktabah al-Falah 1982).
- Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillauhu, Juz I, (Siria: Dar al-Fikr,1984).
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
[1] `Abd Wahab `Abd al-`Aziz asy-Syisyani, Huqûq al-Insân wa Hurriyyâtihî al-Asâsiyyah fî an-Nizhâm al-Islâm wa an-Nuzhum li al-Mu`ashirah, (Riyad: Jami`ah al-Imam Muhammad bin Sa`ud al-Islamiyyah, 1980), h. 45. Lihat pula: A.A. Maududi, Human Right in Islam, (Aligharh: 1978), h. 9-10.
[2] Lihat: QS. 34 (Saba`): 28, dan QS. 21 (al-Anbiya): 107. Lihat pula: Mahmud Syaltut, al-Islâm `Aqîdah wa Syarî`ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1972), h. 9.
[3]Muhammad Muhammad adh-Dahahham, Huquq al-Insan fi al-Islam wa Ri`ayatihi li al-Qayyim wa al-Ma`ani al-Insaniyyah, (Cairo: Syirkah al-Misriyyah, 1971), h.13.
[4]Bambang Cipto dkk, Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban, (Yogyakarta: 2003), h. 120. Lihat pula: Tim ICC UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: The Asia Foundation, 2000), h. 220-221.
[5]Ibid.
[6]A.A. Maududi, Op. Cit., h. 10. Lihat pula: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillauhu, Juz I, (Siria: Dar al-Fikr,1984), h. 18-19.
[7]Muhammad Muhammad adh-Dhahham, Op. Cit., h. 45-46.
[8]Masdar F. Mas`udi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, dalam E. Sobirin Nadj dan Naning Mardiyah, Diseminasi HAM dalam Perspektif dan Aksi, (Jakarta:Cesda LPES), h. 66.
[9]Ibid.
[10]Ibid., h. 9
[11]A.A. Maududi, Op. Cit., h. 12. Lihat pula : `Abd Wahab `Abd al-`Aziz asy-Syisyani, Op Cit., h. 312.
[12]Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 60.
[13]Ibid., h. 15.
[14] Syeikh Syaukat Husain, Op. Cit., h. 62.
[15] Ibid
[16]A.A. Maududi, Op. Cit., h. 26-27.
[17]Syeikh Syaukat Husain, Op. Cit., h. 67-68.
[18] A.A. Maududi, Op. Cit., h. 18-19.
[19] Syeikh Syaukat Husain, Op. Cit., h. 87-88.
[20] A.A. Maududi, Op. Cit., h. 30-31.
[21] Syeikh Syaukat Husain, Op. Cit., h. 71-72.
[22]Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Kuwait: Maktabah al-Falah 1982), h. 80-81. Lihat pula: TM. Hasbi As-Siddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) h. 22.
[23] Syeikh Syaukat Husain, Op. Cit., h. 86-87.
[24]Ibid., h. 87-88.
[25]Ibid., h. 84-85.
[26]Ibid., h. 90-91.
[27]Ibid., h. 91-92.
[28]`Abd Wahab `Abd al-`Aziz asy-Syisyani, Op. Cit., h. 42-43.
[29] Ibid., h. 43.
[30]Masdar F. Mas`udi, Op. Cit. h. 66-67.
[31]Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1972), Jilid II, h. 381.
[32] Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,(al-Qahirah: Dar al-Kuwaitiyyah, 1942), h. 210-212. Lihat pula: Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Cairo: Dar al-Fikr al-`Arabi, t.th.), h. 257.
[33]Ibid., h. 257.