Pengertian, Asumsi Dasar Andragogi Dan Implikasinya Pada Pembelajaran Orang Dewasa
Andragogi (Andragogy) berasal dari kata Yunani ”andr” atau ”aner” yang berarti orang dewasa, dan agogi (agogy) yang juga berasal dari kata Yunani ”agogus” berarti ”memimpin/membimbing”. Agogi berarti ”aktivitas memimpin/membimbing” atau ”seni dan ilmu mempengaruhi orang lain”.
Paedagogi (Pedagogy) berasal dari kata Yunani ”paid” (berarti anak) dan ”agogus” (berarti ”memimpin”). Paedagogi berarti ”seni dan ilmu mengajar anak-anak”.
Malcolm S. Knowles semula mendefinisikan andaragogi sebagai ”seni dan ilmu membantu orang dewasa belajar”. Namun dalam perkembangan berikutnya, setelah Knowles melihat banyak guru yang menerapkan konsep andragogi pada pendidikan anak-anak muda dan menemukan bahwa dalam situasi tertentu memberikan hasil lebih baik, kemudia Knowles menyatakan bahwa andragogi sebenarnya merupakan model asumsi lain mengenai pelajar yang dapat digunakan disamping model asumsi paedagogi. Ia juga menyatakan bahwa model-model itu (paedagogi dan andragogi) mungkin paling berguna apabila tidak dilihat sebagai dikotomi, tapi sebagai dua ujung dari suatu spektrum, atau terletak pada suatu garis (kontinum), dimana suatu situasi berbeda di antara dua ujung tersebut.
Asumsi-asumsi Paedagogi dan Andragogi, dan Implikasinya
Menurut Malcolm S. Knowles ada empat konsep dasar (asumsi) yang membedakan paedagogfi dan andragogi yaitu :
Paedagogi
|
Andragogi
|
- Konsep diri
Anak ialah pribadi yang
tergantung.
Hubungan pelajar dengan
pengejara merupakan hubungan yang bersifat pengarahan.
- Pengalaman
Pengalaman pelajar sangat terbatas,
karena itu dinilai kecil dalam proses pendidikan.
- Kesiapan belajar
Guru menentukan apa yang
akan dipelajari, bagaimana dan kapan belajar.
- Orientasi Terhadap Belajar
Anak-anak cenderung
mempunyai perspektif untuk menunda aplikasi apa yang ia pelajari (digunakan
di masa yad.)
Pendekatannya ”berpusat
kepada mata pelajaran” (Subject Centered)
|
Si pelajar bukan pribadi yang tergantung, tapi
pribadi yang telah masak secara psikologis.
Hubungan pelajar dengan pengajar merupakan
hubungan saling membantu yang timbal balik.
Pengalaman pelajar orang dewasa dinilai sebagai
sumber belajar yang kaya.
Pelajar menentukan apa yang mereka perlu
pelajari berdasarkan pada persepsi mereka sendiri terhadap tuntutan situasi
sosial mereka.
Pelajar cenderung mempunyai perspektif untuk
kecepatannya mengaplikasikan apa yang mereka pelajari.
Pendekatannya ”berpusat kepada masalah” (Problem
Centered)
|
Implikasi dari masing-masing asumsi di atas terhadap pendidikan orang dewasa
1. Implikasi dari asumsi tentang konsep diri
- Iklim belajar, perlu diciptakan sesuai dengan keadaan orang dewasa. à ruangan, peralatan, kerja sama yang saling menghargai.
- Peserta diikutsertakan dalam mendiagnosis kebutuhan belajarnya.
- Peserta dilibatkan dalam proses perencanaan belajarnya.
- Evaluasi belajar dalam proses belajar secara andragogik menenkankan kepada cara evaluasi diri sendiri.
- Implikasi dari asumsi tentang pengalaman proses belajar ditekankan kepada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman, seperti diskusi, metode kasus, simulasi, latihan praktek, metode proyek, demonstrasi, bimbingan dan seminar.
- Penekanan dalam proses belajar pada aplikasi praktis.
- Penekanan dalam proses belajar adalah belajar dari pengalaman.
2. Implikasi dari asumsi tentang kesiapan belajar
- Urutan kurikulum dalam proses belajar orang dewasa disusun berdasarkan tugas perkembangannya dan bukan disusun berdasarkan urutan logik mata pelajaran atau berdasarkan kebutuhan kelembagaan.
- Adanya konsep mengenai tugas-tugas perkembangan pada orang dewasa akan memberikan petunjuk dalam belajar secara kelompok.
3. Implikasi dari asumsi tentang orientasi terhadap belajar
- Para pendidik orang dewasa bukanlah berperan sebagai seorang guru yang mengajar mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
- Kurikulum dalam pendidikan untuk orang bdewasa tidak diorientasikan kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasi kepada masalah.
- Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi pada masalah maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula kepada masalah atau perhatian yang ada pada benak mereka.
Beberapa Asumsi Mengenai Belajar Dan Pembelajaran
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai asumsi tentang belajar dan pembelajaran, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa andragogi didasdarkan pada sedikitnya empat asumsi tentang karakteristik warga belajar yang berbeda dari asumsi yang didasari paedagogik.
Asumsi ini ialah bahwa ketika individu menjadi dewasa :
1. Konsep diri mereka bergerak dari seseorang dengan pribadi yang tergantung kepada orang lain kearah menjadi seseorang yang mampu mengarahkan diri sendiri.
2. Mereka telah mengumpulkan segudang pengalaman yang selalu bertambah yang menjadi sumber belajar yang semakin kaya.
3. Kesiapan belajar mereka menjadi semakin berorientasi kepada t8ugas-tugas perkembangan dari peranan sosial mereka. Menurut Robert J. Havigust peranan sosial pada masa dewasa adalah sebagai pekerja, kawan, orang tua, kepala rumah tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga negara, organisasi, kawan sekerja, agam keagamaan dan pemakai waktu luang.
4. Perspektif waktu mereka berubah dari penerapan yang tidak seketika dari pengalaman yang mereka peroleh kepada penerapan yang segera, dan sesuai dengan itu orientasi belajar merkea bergeser dari yang berpusat pada mata pelajaran kepada yang berpusat pada masalah.
Asumsi Mengenai Belajar dan Pembelajaran
Menurut Knowles, pendekatan yang bersifat andragogi dalam proses belajar mengajar, didasarkan kepada tiga tambahan asumsi sebagai berikut :
Adults can learn (Orang dewasa dapat belajar)
Semula ada anggapan yang didasarkan pada laporan Thorndike yang menyatakan bahwa kemampuan untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun. Tetapi hasil studi yang dikemukakan oleh Irving Lorge menyatakan bahwa menurunnya itu hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan inteleknya.
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa dasar kemampuan untuk belajar masih tetap ada sepanjang hidup orang tersebut, dan oleh karena itu apabila sesorang tidak menamplikan kemampuan belajar yang sebenarnya, hal ini disebabkan karena berbagai faktor seperti orang tersebut sudah lama meninggalkan cara belajar yang sistematik atau karena adanya perubahan-perubahan faktor fisiologik seperti menurunnya pendengaran, penglihatan dan tenaganya.
Learning is an internal process (Belajar adalan suatu proses dari dalam)
Ada pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai informasi yang dirtransmisikan dan melihat belajar sebagai suatu proses intelektual dalam menyimpan fakta-fakta. Asumsi yang tersembunyi dari pandangan ini adalah bahwa belajar dipandang sebagai proses yang bersifat ekstrenal, dalam arti peserta didik terutama ditentukan oleh kekuatan-kakuatan dari luar. Seperti guru yang terampil dan bahan bacaan yang bagus.
Pandangan di atas tidak seluruhnya benar. Pandangan baru menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dari dalam yang dikontrol langsung oleh peserta sendiri serta melibatkan dirinya, termasuk fungsi intelek , emosi dan fisiknya. Belajar secara psikologis dipandang sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan dan tujuan. Ini berarti peserta merasakan adanya kebutuhan untuk melihat tujuan pribadi akan dapat tercapai dengan bantuan belajar.
Implikasi dari belajar mengajar orang dewasa dengan melihat belajar jadi proses dari dalam adalah metode atau teknik belajar yang melibatkan peserta secara mendalam akan menghasilkan belajar yang paling kuat. Prinsip pelibatan peserta secara aktif (partisipatif) dalam proses belajar merupakan inti dalam proses andragogik.
Conditions of learning and principles of teaching (Kondisi-kondisi belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran)
Ada beberapa kondisi belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang perlu dianut dalam proses pembelajaran yang bersifat andragogik. Kondisi belajar dan prinsip pembelajaran tersebut oleh Knowles dalam tabel berikut :
Kondisi-kondisi
Belajar
|
Prinsip-prinsip
Pembelajaran
|
Peserta merasakan kebutuhan untuk belajar.
|
1. Fasilitator memperlihatkan kepada
peserta kemungkinan-kemungkinan baru untuk pemenuhan kebutuhan diri.
2. Fasilitator membantu setiap peserta
untuk meperjelas aspirasinya untuk peningkatan diri.
3. Fasilitator membantu peserta mendiagnosa
jarak antara aspirasinya dengan tingkat penampilan sekarang.
4. Fasilitator membantu peserta
mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mjereka alami karena
kekurangan-kekurangan dalam kelengkapan-kelengkapan pribadi mereka.
|
Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik
yang menyenangkan, saling percaya dan menghormati, saling membantu, kebebasan
mengemukakan pendapat dan penerimaan adanya perbedaan.
|
5. fasilitator menyiapkan kondisi fisik
yang nyaman (seperti tempat duduk,tempat suhu, ventilasi,
pencahayaan, dekorasi), dan kondusif untuk interaksi (sebaiknya tidak
seorangpun duudk di belakang orang lain).
6. Fasilitator memandang bahwa setiap
peserta sebagai pribadi yang dihargai dan menghormati perasaan dan
gagasan-gagasannya.
7. Fasilitator berusaha membangun hubungan
saling percaya dan membantu diantara peserta dengan mengembangkan
kegiatan-kegiatan kerja sama.
8. Fasilitator menyatakan
perasaan-perasaannya dan menyumbangkan sumber pengetahuannya selaku sejawat
peserta dalam semangat saling belajar.
|
Peserta memandang tujuan-tujuan suatu pengalaman
belajar sebagai tujuan mereka sendiri.
|
9. Fasilitator melibatkan peserta dalam
suatu proses merumuskan tujuan belajar dimana kebutuhan pesert6a, lembaga,
pengajar dan masyarakat dipertimbangkan.
|
Peserta dapat menyetujui untuk saling urun
tanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan suatu pengalaman belajar
dan karenanya dan memiliki keterkaitan terhadapanya.
|
10. Fasilitator ikut urun pemikirannya dalam
merancang pengalaman-pengalaman belajar dan pemilihan bahan-bahan dan metode,
serta melibatkan peserta dalam menentukan dalam setiap keputusan
bersama-sama.
|
Peserta berpartisipasi secara aktif dalam proses
belajar.
|
11. Fasilitator membantu peserta
mengorganisir diri (misal kelompok proyek, tim belajar mengajar dan
lain-lain) untuk urun tanggung jawab dalam proses belajar bersama.
|
Proses belajar dikaitkandan memanfaatkan
pengalaman peserta.
|
12. Fasilitator membantu peserta menggunakan
pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui pengunaan
teknik-teknik seperti diskusi, bermain peran, kasus dan sejenisnya.
13. Fasilitator mengaitkan penyajian dari
bahan pengetahuan dari dirinya terhadap tingkat pengalaman peserta.
14. Fasilitator membantu peserta untuk
mengaplikasikan kegiatan belajar barunya pada pengalaman mereka, dengan
demikian membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.
|
Peserta merasakan adanya kemajuan kearah
tujuan-tujuan mereka
|
15. Fasilitator melibatkan peserta dalam
mengembangkan kriteria dan metode untuk mengukur kemajuan-kemajuan terhadap
tujuan belajar.
16. Fasilitator membantu peserta
mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur untuk mengevaluasi diri sendiri
berdasarkan kriteria itu.
|