Pengertian Auditing Menurut Para Ahli
Sebelum melakukan kegiatan audit hendaknya perlu mengetahui, serta memahami terlebih dahulu pengertian audit. Pemahaman tentang audit sangat penting untuk mendukung pelaksanaan proses audit, agar diperoleh hasil audit (pemeriksaan) yang terpercaya. Audit adalah jasa yang diberikan oleh akuntan publik yang diperlukan untuk memeriksa laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang telah diaudit lebih dipercaya pengguna-pengguna laporan keuangan.
Untuk mengetahui pengertian-pengertian audit secara lebih jelas, lebih rinci, lebih detail berikut ini beberapa definisi audit menurut para ahli, yaitu:
- Pendapat Bayangkara, IBK. (2008:2) “Audit manajemen (management audit) adalah pengevaluasian terhadap efisiensi dan efektifitas operasi perusahaan.”
- Berdasarkan Boynton et al. yang dialih bahasakan Rajoe et al. (2003:4) mendefinisikan auditing dengan pengertian yang berbeda, sebagai berikut: “Auditing adalah suatu proses yang sistematis dengan tujuan untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif dengan memperhatikan pernyataan mengenai kegiatan dan peristiwa ekonomi untuk meningkatkan tingkat penyesuaian antara pernyataan dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pemakai dan pihak yang berkepentingan.”
- Mengacu pada Soemantri, (2005:20) menggambarkan auditing sebagai “Bidang akuntansi yang berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan terhadap catatan hasil kegiatan akuntansi keuangan. Kegiatan akuntansi keuangan bersifat bebas (independent), dalam arti tidak berorientasi (berpihak) kepada kepentingan pihak-pihak tertentu sehingga hasil pemeriksaan akuntan dapat dijamin objektivitasnya.”
Dari beberapa uraian pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa auditing mempunyai tiga elemen fundamental, yaitu:
1. Auditor harus independen dan kompeten.
2. Auditor bekerja mengumpulkan bukti untuk mendukung pendapatnya.
3. Hasil akhir auditor adalah pengumpulan bukti audit yang harus disampaikan kepada para pemakai laporan keuangan yang berkepentingan.
Pengertian Sistem Pengendalian internal
Sistem pengendalian internal (Internal Control System) adalah aturan, prosedur, praktek dan struktur organisasional, yang dirancang untuk menyediakan jaminan yang memadai atas objektivitas bisnis dapat diterima dan kejadian yang tidak diinginkan dapat dicegah, atau dideteksi serta dikoreksi. Commmitte On Sponsoring Organization (COSO), pengendalian internal adalah sebuah proses yang dipengaruhi oleh sejumlah jajaran pimpinan, manajemen, karyawan serta personel lainnya, dirancang untuk menyediakan jaminan yang layak dalam hal pencapaian objektifitas dalam keefektifan serta efisiensi operasi untuk memperoleh kepercayaan laporan keuangan.
Sistem pengendalian internal merupakan sistem penting untuk diterapkan pada perusahaan dengan berskala besar maupun untuk perusahaan berskala menengah, maupun kecil. Sistem pengendalian internal yang diterapkan perusahaan sangat berguna untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Dapat juga digunakan untuk mendeteksi kesalahan, kecurangan yang mungkin terjadi sehingga dapat dicarikan solusinya agar kesalahan, kecurangan serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari.
Pengendalian internal adalah aturan, praktek, efisiensi, dan peralatan yang dirancang untuk:
a) Keamanan asset yang berhubungan dengan badan hukum
b) Meyakinkan akurasi dan kepercayaan perolehan data dan informasi produk
c) Mendapatkan efisiensi
d) Mengukur pemenuhan dangan aturan yang berhubungan dengan badan hukum mengukur dengan regulasi–regulasi
e) Mengatur kejadian–kejadian negatif dan pengaruh dari penyuapan, kejahatan, dan aktivitas pengerusakan.
Berikut ini beberapa definisi sistem pengendalian internal berdasarkan pendapat beberapa ahli, yaitu:
1. Pendapat Hasibuan (2006:241) yang dikutip dari buku manajemen (dasar, pengertian, dan masalah). Definisi pengendalian (controlling) oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1) Earl P. Strong
“Controlling is the process of regulating the various in an enterprise according to the requirement of its plans.” Artinya: “Pengendalian adalah suatu proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu perusahaan, agar pelaksanaanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam rencana.”
2) Harold Koontz
“Control is the measurement and correction of the performance of subordinates in order to make sure that enterprise objective and the plans devise to abtain then are accomplished.” Artinya: “Pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan kerja dari bawahan, agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan perusahaan dapat terselenggara.”
Prinsip kegiatan pengendalian internal
Menurut Weygandt et al. (2011: 300-307) terdapat 6 prinsip dalam melakukan pengendalian internal:
1. Establishment of responsibility (Pembentukan Tanggung Jawab)
“An essential principle of internal control is to assign responsibility to specific employees. Control is most effective when only person its responsible for a given task.”
Satu prinsip penting dari pengendali internal adalah dengan memberikan tanggungjawab kepada karyawan tertentu. Kontrol/Pengendali adalah yang paling efektif ketika seseorang bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan
Pembentukan tanggung jawab seringkali membutuhkan akses batasan hanya untuk mengotorisasi personil, dan kemudian mengidentifikasi para personil tersebut. Misalnya, system otomatis yang digunakan oleh banyak perusahaan memiliki mekanisme, seperti code password yang hanya akan mendeteksi orang yang mengentry jurnal, orang yang membuat batas atas penjualan, atau orang yang memasuki gudang inventory pada waktu tertentu
2. Segregation of duties (Pemisahan tugas)
Gambar Pemisahan tugas (Segregation of Duties)
“Segregation of duties is indispensable in an internal control system.”
Terdapat 2 cara umum didalam prinsip ini:
a) Individu yang berbeda harus bertanggung jawab atas kegiatan yang saling berhubungan
b) Tanggung jawab pencatatan pembukuan atas asset harus dipisahkan dari penyimpanan secara fisik (physical custody) atas asset tersebut
Rasionalisasi dari pemisahan tugas ini yaitu: pekerjaan dari seorang karyawan sebaiknya tanpa ada niatan yang lain (kepentingan), menyediakan data sebenarnya untuk mengevaluasi pekerjaan dari karyawan yang lain
Terdapat 2 macam pemisahan tugas:
a) Pemisahan berdasarkan kegiatan yang berhubungan
Membuat satu individu bertanggung jawab atas kegiatan yang terkait dengan meningkatnya potensi eror dan penyimpangan
b) Pemisahan pencatatan pembukuan dari penyimpanan secara fisik (physical custody)
Penyimpanan asset tidaklah seperti mengkonvert asset ke penggunaan pribadi ketika seorang karyawan menyimpan catatan atas asset, dan karyawan yang lain menyimpan fisik (physical custody) asset.
3. Documentation procedures (Prosedur dokumentasi)
Gambar Prosedur Dokumentasi (Documentation Procedures)
“Companies should establish procedures for documents.”
Perusahaan sebaiknya membuat prosedur-prosedur atas dokumen-dokumen. Pertama, ketika memungkinkan, perusahaan harus menggunakan dokumen bernomor urut cetak-running numbers (prenumberes documents), dan semua dokumen harus diperhitungkan. Penomoran (running number) membantu untuk mencegah sebuah transaksi dari pencatatan yang lebih dari sekali. Kedua, sistem pengendali membutuhkan karyawan untuk menyiapkan dokumen sumber yang tepat untuk menginput transaksi keuangan pada bagian keuangan. Pengukur kendali ini membantu untuk memastikan ketepatan waktu pencatatan transaksi dan mengkontribusikan secara langsung dengan akurat dan nyata dalam pencatatan keuangan
4. Physical controls (Pengendali fisik)
Gambar Pengendali Fisik (Physical Controls)
“Physical controls relate to the safeguarding of assets and enhance the accuracy and reliability of the accounting records.”
Pengendali fisik (physical control) berhubungan dengan pengamanan asset dan meningkatkan keakuratan dan ketepatan pencatatan akuntansi
5. Independent internal verification (Verifikasi internal independen)
Perbandingan pemisahan tugas dengan verifikasi internal independen (Comparison of segregation of duties principle with independent internal verification principle)
“Most internal control systems provide for independent internal verification.”
Sistem pengendali internal pada umumnya menyediakan verifikasi internal yang independent. Prinsip ini termasuk me-review data yang disiapkan oleh karyawan. Untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dari verifikasi internal independent:
a. Perusahaan sebaiknya memverifikasi pencatatan secara berkala atau dengan cara mendadak
b. Seorang karyawan yang bertanggung jawab secara independen terhadap informasi sebaiknya melakukan verifikasi
c. Perbedaan dan pengecualian seharusnya dilaporkan kepada level manajemen yang bisa mengambill keputusan korektif yang tepat
“Independent internal verification is especially useful in comparing recorded accountability with existing assets”
Verifikasi internal independent utamanya sangat berguna didalam membandingkan catatan akuntansi dengan asset yang ada.
6. Human resource controls (Pengendali Sumber Daya Manusia)
Human resource control activities include the following:
a. Bond employees who handle cash. Obligasi karyawan yang menangani kas. Obligasi (bonding) yang diperoleh dengan melibatkan proteksi asuransi dari pencurian yang dilakukan oleh karyawan. Hal ini melibatkan pengamanan kas dengan menggunakan 2 (dua) cara: pertama, perusahaan asuransi mengamati secara hati-hati seluruh individu sebelum menambahkan mereka sebagai pemegang polis dan mungkin juga menolak aplikasi yang beresiko. Kedua, karyawan yang terikat mengetahui bahwa perusahaan asuransi akan menuntut langsung semua pelaku.
b. Rotate employees’ duties and require employees to take vacations. Pertukaran tugas karyawan dan membolehkan karyawan untuk mengambil cuti/liburan. Langkah-langkah ini mencegah karyawan dari melakukan pencurian yang dikarenakan mereka tidak bisa menyembunyikan perilaku yang salah secara permanen
c. Conduct thorough background checks. Melakukan pengecekan terhadap latar belakang (background) yang dimiliki oleh karyawan. Banyak yang meyakini bahwa alat ukur yang paling penting dan tidak mahal untuk bisnis apapun dapat menurunkan pencurian dan kecurangan oleh karyawan, bagi Divisi HRD (SDM) adalah untuk mencari tahu dengan melakukan pengecekan terhadap latar belakang (background) karyawan
Komponen Sistem Pengendalian Internal
Menurut pendapat Weygandt et al. (2011:300) “Internal control consists of all the related methods and measures adopted within an organization to safeguard its assets, enhance the reliability of its accounting records, increase efficiency of operations and ensure compliance with laws and regulations.”
Internal kontrol terdiri dari semua metode yang terkait dan tindakan yang diambil dalam sebuah perusahaan untuk menyelamatkan asset-assetnya, meningkatkan catatan pembukuan yang terpercaya, meningkatkan efisiensi operasi dan memastikan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan.
Ada lima komponen utama dalam sistem pengendalian internal
1. A control environment (pengendalian lingkungan biasanya disebut Tone at the top)
Merupakan tanggung jawab pimpinan managemen untuk memperjelas bahwa integritas nilai perusahaan dan kegiatan yang tidak etis tidak dapat ditoleransi.
2. Risk assessment (Penilaian resiko)
Perusahaan mengidentifikasi, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan resiko bagi bisnis dan harus ditemukan bagaimana mengelola resiko
3. Control activities (kegiatan pengendalian)
Managemen harus membuat kebijaksanaan dan prosedur untuk menangani resiko khusus yang dihadapi perusahaan.
4. Information and Communication (Informasi dan Komunikasi)
Sistem pengendali internal harus menangkap dan mengkomunikasikan seluruh informasi yang berhubungan dengan naik turunnya kinerja perusahaan, sebaik mengkomunikasikan informasi bagi pihak eksternal dengan tepat
5. Monitoring (pengawasan)
Sistem pengendali internal harus diawasi secara berkala untuk kelengkapan. Kekurangan yang signifikan perlu untuk dilaporkan kepada pimpinan managemen dan/atau Jajaran direksi (BOD)
Tujuan Sistem pengendalian internal
Berdasarkan Sutabri (2004), suatu sistem pengendalian internal yang baik akan berguna untuk:
1. Menjaga keamanan harta milik suatu organisasi,
2. Memeriksa ketelitian dan kebenaran data akuntansi,
3. Memajukan efisiensi dalam operasi,
4. Membantu menjaga agar tidak ada hal yang menyimpang dari kebijaksanaan manajemen yang telah ditetapkan lebih dahulu.
Bedasarkan tujuannya Sistem pengendalian internal dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Pengendalian internal akuntansi (internal accounting control), merupakan bagian dari Sistem pengendalian internal, meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan terutama untuk menjaga kekayaan organisasi dan mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi.
2. Pengendalian internal administrasi (internal administrative control), meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan terutama untuk mendorong efisiensi dan dipatuhinya kebijakan manajemen.
Batasan-Batasan Sistem Pengendalian internal
Sistem pengendalian internal tidak dianggap sebagai alat pengendalian yang paling sempurna karena terdapat beberapa keterbatasan yang dapat terjadi.
Perusahaan pada umumnya mendesign sistem pengendali internal mereka untuk membuat jaminan yang wajar (reasonable assurance) atas ketepatan pengamanan asset dan keandalan pencatatan akuntansi. Konsep jaminan yang wajar (reasonable assurance) terletak pada premis dimana biaya prosedur pengendali pembangunan sebaiknya tidak melebihi keuntungan yang diharapkan.
Elemen Manusia (human element) merupakan suatu faktor penting disetiap sistem pengendali internal. System yang baik dapat menjadi tidak efektif sebagai akibat dari lelahnya karyawan, kecerobohan atau ketidakpedulian.
Ukuran bisnis juga mungkin mempengaruhi batasan dari pengendali internal. Misalnya sebuah perusahaan yang kecil mungkin akan menemukan kesulitan dalam memisahkan tugas atau menyediakan verifikasi internal independent
Pendapat Boyton et al. (2002:376) mengidentifikasikan batasan yang melekat (inherent limitations) pada pengendalian internal, yaitu:
1. Kesalahan dalam mempertimbangkan (Poor Judgement)
Terkadang manajemen dan personel lainnya dapat melakukan pertimbangan yang buruk dalam membuat keputusan bisnis atau dalam melaksanakan tugas rutin karena informasi yang tidak mencukupi, keterbatasan waktu atau prosedur lainnya.
2. Gangguan (Breakdown)
Gangguan dalam melaksanakan pengendalian dapat terjadi ketika personel salah memahami instruksi atau yang akhirnya mengakibatkan suatu kecerobohan, kebingungan, atau kelelahan. Perubahan sementara atau permanen dalam personel atau dalam sistem atau prosedur juga dapat berkontribusi pada terjadinya gangguan.
3. Kolusi (Collusion)
Individu yang bertindak sama, seperti karyawan yang melaksanakan suatu pengendalian penting bertindak bersama dengan karyawan yang lain, konsumen atau pemasok, dapat melakukan sekaligus menutupi kecurangan sehingga tidak dideteksi oleh pengendalian internal.
4. Pengabaian oleh Manajemen (Management Override)
Manajemen dapat mengakibatkan kebijakan atau prosedur tertulis tujuan tidak sah seperti keuntungan pribadi atau status ketaatan. Praktek pengabaian termasuk membuat penyajian yang salah dengan sengaja kepada auditor dan lainnya, seperti menerbitkan dokumen palsu untuk mendukung pencatatan transaksi penjualan fiktif.
5. Biaya lawan manfaat (Cost versus Benefit)
Biaya pengendalian internal suatu entitas seharusnya tidak melebihi manfaat yang diharapkan untuk diperoleh. Pengukuran yang tepat baik dari biaya dan manfaat biasanya tidak memungkinkan, manajemen harus mengestimasi sendiri baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam mengevaluasi hubungan antara biaya dan manfaat.
Pihak yang Bertanggung jawab terhadap Pengendalian Internal
Berdasarkan Mulyadi (2002). Pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pengendalian internal adalah sebagai berikut:
1. Manajemen
Manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan dan menyelenggarakan secara efektif pengendalian internal organisasinya.
2. Dewan komisaris dan komite audit
Dewan komisaris bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen telah memenuhi (tugas serta) tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian internal.
Fungsi komite audit yang berdampak secara langsung terhadap auditor yaitu:
a. Menunjukkan auditor yang melaksanakan audit tahunan terhadap laporan keuangan.
b. Membicarakan lingkup audit dengan auditor.
c. Meminta auditor melakukan komunikasi langsung mengenai masalah-masalah besar yang ditemukan oleh auditor dalam auditnya.
d. Mereview laporan keuangan dan laporan audit pada saat audit selesai dilakukan.
3. Auditor internal
Bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengevaluasi memadai atau tidaknya pengendalian internal entitas dan membuat rekomendasi peningkatannya.
4. Personel lain entitas
Peran dan tanggung jawab semua personel lain yang menyediakan informasi atau menggunakan informasi yang dihasilkan oleh pengendalian internal harus tetap dikomunikasikan dengan baik.
5. Auditor independen
Sebagian besar dari prosedur audit terhadap laporan keuangan, auditor dapat menemukan kelemahan Sistem pengendalian internal klien, sehingga ia dapat mengkomunikasikan temuan tersebut kepada manajemen, komite audit, atau dewan komisaris.
6. Pihak luar lain
Pihak luar lain yang bertanggung jawab atas pengendalian internal adalah badan pengatur, seperti Bank Indonesia dan Bapepam.”
Pengendalian Kas Keluar (Cash Disbursement Controls)
Aplikasi dari pengendalian internal untuk pengeluaran kas (Application of internal control principles to cash disbursements)
“Companies disburse cash for a variety of reasons, such as to pay expenses and liabilities or to purchase assets.”
Kas pengeluaran perusahaan digunakan untuk berbagai macam alasan seperti untuk membayar biaya-biaya dan kewajiban (liabilities) atau untuk membeli asset. Umumnya, pengendali internal atas kas pengeluaran lebih efektif ketika perusahaan membayar dengan menggunakan cek daripada tunai. Satu pengecualian bagi jumlah tertentu yang dibayarkan untuk kas kecil (petty cash).
a. Voucher system controls (Pengendali sistem voucher)
“A voucher system is a network of approvals by authorized individuals, acting independently, to ensure that all disbursement by check are proper.”
Sistem voucher membutuhkan persetujuan seseorang yang ditunjuk (yang bertanggung jawab), bertindak secara independent, hal ini memastikan bahwa semua pengeluaran dengan menggunakan cek dikeluarkan dengan tepat. Sebuah voucher merupakan suatu form otorisasi yang disiapkan untuk setiap pengeluaran.
Kegunaan sistem voucher dapat meningkatkan pengendalian internal atas kas pengeluaran. Pertama, proses otorisasi melekat dengan sistem voucher yang dibuat secara bertanggung jawab. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk me-review asal dokumentasi untuk meyakinkan bahwa semua nya telah benar. Selain itu, system voucher menyimpan dokumen yang mendukung setiap transaksi. Dengan menyimpan dokumen ini didalam satu tempat, seorang supervisor dapat secara independent memverifikasi ke aslian setiap transaksi
b. Petty cash fund control (Pengendali dana kas kecil)
Cara yang umum didalam mengatur pembayaran dengan nilai kecil (keperluan surat menyurat, makan siang, pembayaran taxi, dll) untuk menjaga kepuasan yaitu dengan menggunakan dana kas kecil (untuk membayar pengeluaran dengan jumlah yang relative sedikit). Cara kerja dana kas kecil, sering disebut system persekot (imprest), terdapat tiga langkah:
1) Establishing the fund (Mengalokasikan dana)
Didalam membuat suatu dana kas kecil, perusahaan menunjuk petugas (custodian) kas kecil yang akan bertanggung jawab atas dana tersebut. Selanjutnya diputuskan besarnya dana. Biasanya, sebuah perusahaan memperkirakan jumlah dana untuk mengcover antisipasi pengeluaran selama periode tiga-empat minggu
2) Making payments from the fund (Melakukan pembayaran dari dana)
Petugas dana kas kecil memiliki otoritas untuk membuat pembayaran dari dana yang dipergunakan sebagai kebijakan manajemen. Biasanya, manajemen membatasi nilai/besarnya pengeluaran yang berasal dari kas kecil. Begitu juga sebaliknya, kas kecil tidak boleh dipergunakan untuk transaksi tipe tertentu (misalnya untuk pinjaman jangka pendek karyawan)
3) Replenishing the fund (pengisian dana)
Ketika dana kas kecil mulai menipis, perusahaan mengisi ulang dana tersebut. Petugas kas kecil berinisiatif untuk meminta ganti (mengisi ulang). Dia menyiapkan jadwal (rangkuman) pembayaran yang telah dibuat dan dipergunakan sebagai jadwal yang didukung dengan kuitansi kas kecil dan dokumentasi lain kepada bendahara kantor. Seseorang yang berposisi sebagai bendahara kantor meneliti kuitansi-kuitansi dan dokumen-dokumen pendukung untuk memverifikasi bahwa dana kas kecil telah dipergunakan untuk pembayaran yang semestinya. Bendahara kemudian mengesahkan permintaan dan membuat cek untuk mengisi ulang dana sesuai dengan nilai sebelumnya. Pada waktu yang sama, semua dokumentasi pendukung diberi tanda “lunas” sehingga tidak akan bisa diserahkan kembali untuk pembayaran.
Pengertian Kecurangan
Untuk mengetahui pengertian-pengertian audit secara lebih jelas, lebih rinci, serta lebih detail, berikut beberapa definisi kecurangan menurut para ahli:
1. Pengertian kecurangan menurut Weygandt et a.l (2011: 298-299) “Fraud is a dishonest act by an employee that results in a personal benefit to the employee at a cost to the employer”. Yang dapat diartikan, kecurangan merupakan perilaku tidak jujur yang dilakukan oleh seorang pegawai dimana memberikan suatu keuntungan personal bagi pegawai yang dibebankan kepada majikan.
2. Berdasarkan Jack Bologna, et. al yang dikutip Amin Widjaja (2005:1) adalah: “Fraud is criminal intended of financially the drivers”
3. Berdasarkan Sunarto (2006:57), “Kecurangan dalam pelaporan keuangan yang dinyatakan untuk menyajikan laporan keuangan disesuaikan dengan (keinginan manajemen), seringkali disebut kecurangan manajemen (management fraud).”
Faktor-faktor Kecurangan
Berdasarkan Edwin H. Sutherland et. al (2006) Fraud Examiners Manual faktor kecurangan (fraud) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Penelitian Donald R. Cressey dengan judul Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement, Cressey menyebut embezzlers yang disebutnya “trust violators” atau pelanggar kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Ia secara khusus tertarik pada hal-hal yang menyebabkan mereka menyerah kepada godaan, tidak menyertakan mereka yang memang mencari pekerjaan dengan tujuan mencuri. Hipotesanya:
Trusted persons become trust violators when conceive of themselves as having a financial problem which is non-shareable, are aware this problem can be secretly resolved by violation of the position of financial trust, and are able to apply to their own conduct in that situation verbalizations which enable them to adjust their conceptions of themselves as trusted person with their conceptions of themselves as users of the entrusted funds or property
Di terjemahkan oleh Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya “Akuntansi Forensik & Audit Investigatif” (2010:206-207):
Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan (cara) menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang kepercayaan dibidang keuangan, dan tindak tanduk sehari-hari memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan.
Berdasarkan Jack Bologna et. al (2006) faktor kecurangan (fraud) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Segitiga Kecurangan (Triangle Fraud)
2. GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure)
a. Greed
Keserakahan biasanya dianggap sebagai sumber utama dari kejahatan yang merupakan akar penyebab untuk mencuri, menimbun, menjarah, dan pengkhianatan. Namun, keserakahan biasanaya dianggap sebagai akumulasi kekayaan untuk kepuasan pribadi.
b. Opportunity
Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan.
c. Need
Merupakan aspek psikologis dalam melakukan aktivitas dan menjadi alasan berusaha untuk melakukan kecurangan.
d. Exposure
Tindakan pengungkapan agar tidak terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap.
Segitiga Kecurangan (Triangle Fraud)
Fraud Triangle (segitiga kecurangan)
Menurut Weygandt et al. (2011: 299), terdapat 3 faktor yang menyebabkan munculnya kecurangan yang disebut dengan segitiga kecurangan:
1. Kesempatan (Opportunity)
2. Tekanan keuangan (Financial Pressure)
3. Rasionalisasi (Rationalization)
Menurut pendapat Theodorus M. Tuanakotta (hal. 207-214: 2010). Berikut keterangan untuk lebih jelas tentang segitiga kecurangan (Triangle Fraud):
a. Pressure
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure) yang menghimpitnya. Pressure adalah tekanan yang menghimpit hidup seseorang (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing) dengan orang lain. Hal ini dalam bahasa Inggris disebut perceived non-shareable financial need
Berdasarkan pendapat Theodorus M. Tuanakotta (hal. 208-211:2010), Enam kelompok atas situasi yang timbul berdasarkan non-shareable problems:
a. Violation of ascribed obligation
Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau majikannya. Disamping harus jujur, ia dianggap perlu memilki perilaku tertentu. Orang dalam jabatan seperti itu merasa wajib menghindari perbuatan seperti berjudi, mabuk, menggunakan narkoba dan perbuatan lain yang merendahkan martabatnya. Inilah kewajiban yang terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, ini adalah ascribed obligation baginya. Kalau ia menghadapi situasi yang melanggar kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak dapat diungkapkannya kepada orang lain
b. Problems resulting from personal failure
Kegagalan pribadi merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahannya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggung jawab pribadinya. Seseorang yang takut kehilangan statusnya sebagai orang yang dipercaya dalam bidang keuangan mengakibatkan seseorang tersebut takut untuk mengakui kegagalannya, sekalipun kepada orang-orang yang dapat membantunya sehingga ia memilih untuk mencuri.
c. Business reversals
Kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi yang mengarah kepada non-shareable problem. Masalah status mengakibatkan seseorang memiliki kebutuhan untuk memberi kesan terhadap orang lain bahwa ia tetap sukses.
d. Physical isolation
Situasi yang terjadi karena keterpurukan dalam kesendirian. Dalam situasi ini, seseorang bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain, melainkan lebih karena ia tidak mempunyai orang lain sebagai tempat berkeluh kesah dan mengungkapkan masalahnya.
e. Status gaining
Situasi yang muncul karena seseorang yang tidak mau kalah dari “tetangga”. Hal ini mengakibatkan seseorang tersebut terus berusaha untuk meningkatkan statusnya. Situasi ini termasuk non-shareable karena orang tersebut menyadari bahwa ia tidak mampu secara financial untuk naik ke status tersebut.
f. Employer-employee relations
Situasi yang mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang. Kekesalan itu bisa terjadi karena ia merasa gaji atau imbalan lainnya tidak layak dengan pekerjaan atau kedudukannya, atau ia merasa beban pekerjaannya teramat banyak, atau ia merasa kurang mendapat penghargaan batiniah (pujian). Situasi ini menjadi tergolong non-shareable karena kekhawatiran akan terancamnya status dalam organisasi apabila ia mengusulkan solusi untuk masalah yang dihadapinya
b. Perceived Opportunity
Fraud tidak akan muncul hanya dengan adanya non-shareable financial problem saja. Fraud bisa terjadi jika ketiga unsur yang digambarkan dalam fraud triangle terpenuhi. Non-shareable financial problem menciptakan motif bagi terjadinya kejahatan. Akan tetapi, pelaku kejahatan harus mempunyai persepsi bahwa ada peluang bagi si pelaku untuk melakukan kejahatan tanpa diketahui orang lain. Persepsi ini disebut dengan perceived opportunity. Dua komponen yang mengakibatkan munculnya peluang akan terjadinya perceived opportunity, yaitu:
a) General information
Komponen ini merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang ia dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan tidak ketahuan atau tidak dihukum atau terkena sangsi
b) Technical skil
Keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Hal ini biasanya merupakan keahlian atau ketrampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat kedudukan tersebut.
c. Rationalization
Rationalization adalah mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Mencari pembenaran sebenarnya merupakan bagian yang harus ada dari kejahatan. Rationalization diperlukan agar si oknum pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya.
Metode Untuk Mendeteksi Kecurangan (The Proactive Method of Fraud Detection)
Menurut Albrecht et al. (2011 : 165 - 168) terdapat enam langkah untuk mendeteksi kecurangan, yaitu :
Step 1 : Understand the Business (Memahami Perusahaan)
“Examiners must have a good understanding of the business processes and procedures.” Deteksi kecurangan secara umum merupakan sebuah proses analitikal. Peneliti harus memiliki pemahaman yang baik terhadap proses dan prosedural bisnis. Metode yang proaktif adalah suatu pendekatan analitikal yang membutuhkan pemikiran analitikal sebagai bagian dari investigator. Peneliti harus mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang masing-masing perusahaan dan proses-prosesnya secara spesifik. Memiliki pemahaman yang mendetail yang mendasari seluruh strategi atas proses pendeteksian kecurangan. Memahami proses-proses didalam suatu perusahaan atau unit sama dengan kegiatan yang diambil ketika melakukan rekayasa ulang proses bisnis.
Step 2 : Identify possible frauds that could exist (Mengidentifikasi kemungkinan akan munculnya kecurangan)
“The second step is to identify what possible fraud might exist or could occur in the operation being examined.” Langkah kedua adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan atas kecurangan yang mungkin ada atau bisa terjadi di dalam suatu operasi yang sedang diteliti. Langkah penilaian resiko ini membutuhkan suatu pemahaman dari kecurangan yang berbeda-beda, bagaimana kecurangan tersebut bisa terjadi dan gejala-gejala apakah yang menunjukkan kecurangan. Proses identifikasi kecurangan dimulai secara konseptual membagi unit usaha kedalam fungsi individu atau siklus. Tim deteksi kecurangan harus mem-brainstorm kecurangan-kecurangan potensial berdasarkan tipe dan pelaku. Kemungkinan terjadinya berbagai kecurangan harus di perhitungkan, dan pada akhirnya daftar kecurangan yang akan diteliti harus berkembang.
Step 3 : catalog possible fraud symptoms (Mendata kemungkinan gejala kecurangan)
“Identifying red flags or fraud symptoms is often the best, and often the only, practical method of proactive fraud detection.” Mengidentifikasi red flags atau gejala-gejala kecurangan seringkali menjadi yang terbaik, dan hanya seringkali, metode yang praktis dari deteksi kecurangan yang proaktif. Data yang didapat dengan menggunakan pendekatan adalah murni analitikal. Tidak ada data yang dikumpulkan, data hasilnya belum dianalisa. Strategi pendekatan ini menghasilkan suatu pemahaman dan analisa yang berdasarkan nol (tidak ada) dari tipe-tipe spesifik kecurangan yang mungkin muncul dalam berbagai badan usaha. Pada langkah ini, peneliti kecurangan harus secara hati-hati mempertimbangkan apa yang menjadi tipe dari gejala-gejala(red flags) yang mungkin muncul pada kecurangan-kecurangan yang potensial. Suatu matrik, diagram pohon, atau peta brainstorming dapat dibuat untuk menghubungkan gejala-gejala spesifik dengan kecurangan-kecurangan tertentu.
Step 4 : Use technology to gather data about symptoms (Menggunakan teknologi untuk mengumpulkan data-data atas gejala-gejala)
“A set of data that matches the symptoms identified in the previous step.” Satu set data yang sesuai dengan gejala-gejala yang diidentifikasi dari langkah-langkah sebelumnya. Karena sumber-sumber data asli berantakan (berarti terdapat kesalahan-kesalahan dari berbagai sumber), mencari gejala-gejala kecurangan seringkali menjadi sebuah proses yang berulang. Hal ini perlu untuk menganalisis data agar menemukan trend dan kasus-kasus lain yang tidak merupakan kecurangan. Setelah inspeksi, peneliti kecurangan biasanya memodifikasi dan mengulang analisa untuk menggolongkan hasil-hasil non kecurangan. Berikutnya menggolongkan dan menjalankan yang selanjutnya akan mengasah hasil-hasil sampai satu set indicator yang dikelola ditemukan.
Step 5 : Analyze results (menganalisis hasil-hasil)
“When anomalies are refined and determined by the examiners to be likely indications of fraud, they are analyzed using either traditional or technology-based methods.” Ketika anomalis diperhalus dan ditentukan oleh peneliti untuk menjadi indikasi kecurangan, anomali ini kemudian dianalisa baik secara sederhana atau dengan metode yang berdasarkan tehnologi. Setiap usaha harus dibuat untuk menampilkan hasil dengan menggunakan perhitungan computer.
Satu keuntungan dari pendekatan deduktif adalah potensi penggunaan kembali. Analisa seringkali bisa secara otomatis dan terintegrasi secara langsung ke dalam system perusahaan dengan cara melengkapi analisa waktu yang sesungguhnya dan mendeteksi kecurangan serta mencegah tipe-tipe kecurangan yang diketahui.
Step 6: investigate symptoms (Menginvestigasi gejala-gejala)
“Investigate into the most promising indicators.” Menginvestigasi indikator merupakan hal yang paling memungkin. Keuntungan utama dari pendekatan untuk mendapatkan adalah investigator turut serta langsung didalam proses investigasi kecurangan.