Pengertian Nilai Tukar (Exchange Rate)
Pengertian nilai tukar (exchange rate) adalah harga satu mata uang yang diekspresikan terhadap mata uang lainnya (M.Faisal, 2001, p20). Kurs dapat diekspresikan sebagai sejumlah mata uang asing disebut direct quote atau sebaliknya sejumlah mata uang lokal disebut indirect quotes.
Berdasarkan pendapat David K. Eiteman, dkk (2003, p103) nilai tukar (exchange rate) valuta asing adalah harga salah satu mata uang yang dinyatakan menurut mata uang lainnya.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tukar (exchange rate) adalah nilai tukar yang menunjukkan jumlah unit mata uang tertentu yang dapat ditukar dengan satu mata uang lain.
Perkembangan Sistem Kurs Valas (Forex Rate)
Berdasarkan perkembangan sistem moneter internasional sejak berlakunya Bretton Woods System tahun 1947, dikenal 3 macam sistem penetapan kurs (forex rate) yaitu:
1. Sistem Kurs Tetap atau Stabil (Fixed Exchange Rate System)
Sistem ini mulai diterapkan pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan digelarnya konferensi internasional mengenai sistem nilai tukar yang diadakan di Bretton Woods. New Hampshire Amerika Serikat pada tahun 1944.
2. Sistem Kurs Mengambang atau Berubah (Floating Exchange Rate System)
Setelah runtuhnya Fixed Exchange Rate System maka timbul konsep baru yaitu Floating Exchange Rate System. Dalam konsep ini nilai tukar dibiarkan bergerak bebas. Nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran valuta tersebut di pasar. Dalam prakteknya terdapat dua jenis floating exchange rate system yaitu:
a. Free Floting Exchange Rate System.
Dalam sistem ini nilai tukar dibiarkan bergerak bebas. Pergerakan sepenuhnya tergantung dari kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Bank sentral tidak melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi nilai tukar mata uangnya. Pada sistem ini perubahan nilai tukar tidak akan mempengaruhi cadangan devisa negara, itu karena begitu ada perubahaan penawaran atau permintaan akan berdampak langsung pada naik–turunnya nilai tukar valuta.
b. Managed (Dirty) Floting Exchange Rate System.
Berbeda dengan sistem diatas maka pada sistem ini bank sentral dapat melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi pergerakan nilai tukar valuta. Bank sentral melakukan intervensi ini biasanya disebabkan karena ada pergerakan kurs valas yang dipandang tidak menguntungkan bagi perekonomian negara tersebut sehingga perlu dilakukan intervensi untuk mencegah akibat yang lebih buruk lagi. Pada sistem ini naik turunnya cadangan devisa ditentukan oleh ada tidaknya intervensi bank sentral ke pasar.
3. Sistem Kurs Terikat (Pegged Exchange Rate System)
Sistem nilai tukar ini diterapkan dengan cara mengaitkan nilai tukar mata uang suatu negara dengan nilai tukar mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu.
Salah satu variasi dari pegged system dikenal sebagai CBS (Currency Board System) atau Sistem Dewan Mata Uang sebagai pengganti sistem bank sentral yang diterapkan oleh beberapa negara yanga mengalami kesulitan moneter seperti Argentina dan Rumania serta Hong Kong yang masih menggunakan CBS yang dilaksanakan dengan cara mengikatkan dan menetapkan nilai tukar tetap antara mata uangnya dengan hard currency tertentu didasarkan kepada jumlah uangnya yang beredar dan cadangan devisa yang dimilikinya.
Beberapa persyaratan yang perlu dimiliki oleh suatu negara untuk dapat menjalankan CBS (Currency Board System) ini antara lain:
a. Jumlah uang yang beredar harus dapat dikendalikan atau dapat dikontrol.
b. Cadangan devisa harus dapat mencukupi dan dapat ditingkatkan untuk dapat mempertahankan nilai yang dikaitkan/di- pegged.
c. Utang luar negeri tidak banyak
d. Tidak ada intervensi asing
Kesulitan moneter terakhir ini dialami pula oleh negara dikawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia sejak Juli 1997. keadaan ini tampaknya merupakan suatu rangkaian dari kesulitan moneter yang dialami oleh beberapa anggota IMF khususnya negara sedang berkembang semenjak dihapusnya kurs tetap (fixed exchange rate) berdasarkan Bretton Woods System atau yang dikenal sebagai “krisis moneter internasional” pada tahun 1971.
Secara teoritis menurut teori Irving Fisher (Hamdy Hady, 2006, p29), nilai tukar mata uang suatu negara akan dapat stabil bila terdapat keseimbangan perkembangan antara sektor moneter (MV) dan secara sektor rill (PT) atau dengan kata lain:
M x V = P x T
Keterangan:
M = Money Supply atau jumlah uang yang beredar
V = Veloci atau kecepatan beredar setiap Rp dalam setahun
P = Unit Price atau harga barang yang beredar
T = Volume of Trade atau jumlah barang
Krisis moneter di suatu negara biasanya akan muncul karena pemerintah di negara sedang berkembang, lebih banyak dan mudah untuk menggunakan kebijakan instrument sektor moneter dari pada kebijkan instrument sektor rill.
Penggunaan instrument sektor moneter yang sifatnya lebih instant antar lain dengan:
1. Merubah jumah uang yang beredar dengan mencetak uang
2. Merubah tingkat bunga diskonto atau bunga bank sentral.
3. Merubah reserve requirement ratio.
Sedangkan sektor rill sifat perubahannya lebih lambat karena:
1. Memerlukan waktu proses produksi untuk dapat menghasilkan barang atau jasa.
2. Biasanya bersifat kaku karena adanya kebijakan monopoli yang dijalankan pemerintah.
Hal ini sering menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan perkembangan/pertumbuhan antara sektor moneter yang relatif cepat dan sektor rill yang umumnya lambat sehingga akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga atau inflasi yang merupakan penyakit utama sektor ekonomi moneter.