Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pengertian pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
Menurut Herlina Rahman(2005:38) Pendapatan asli daerah Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Menurut Warsito (2001:128) Pendapatan Asli Daerah “Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah”.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004)
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 157, yaitu:
· Hasil pajak daerah
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah. Pengertian pajak secara umum telah diajukan oleh para ahli, misalnya Rochmad Sumitro yang merumuskannya “Pajak lokal atau pajak daerah ialah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti Provinsi, Kotapraja, Kabupaten, dan sebagainya”.
Sedangkan Siagin merumuskannya sebagai, “pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik”. Dengan demikian ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:
a) Pajak daerah berasal dan pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah;
b) Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang;
c) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum Lainnya;
d) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai perigeluaran daerah sebagai badan hukum publik;
· Hasil retribusi daerah;
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi daerah. Pengertian retribusi daerah dapat ditetusuri dan pendapat-pendapat para ahli, misalnya Panitia Nasrun merumuskan retribusi daerah (Josef Kaho Riwu, 2005:171) adalah pungutan daerah sebagal pembayaran pemakalan atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau mhlik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah balk Iangsung maupun tidak Iangsung”.
Dari pendapat tersebut di atas dapat diikhtisarkan ciri-ciri pokok retribusi daerah, yakni:
a) Retribusi dipungut oleh daerah;
b) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang Iangsung dapat ditunjuk;
c) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah;
· Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui anggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan sendiri.
Dalam hal ini hasil laba perusahaan daerah merupakan salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Maka sewajarnya daerah dapat pula mendirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk menambah penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk mempertinggi produksi, yang kesemua kegiatan usahanya dititkberatkan kearah pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya serta ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat professional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi. (Penjelasan atas UU No.5 Tahun 1962)
Berdasarkan ketentuan di atas maka walaupun perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya hagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dan perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit(keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum. Atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjainin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang memungkmnkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan dikotomis yang saling bertolak belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagal badan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan. (Josef Kaho Riwu, 2005:188)
DANA PERIMBANGAN
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Dana perimbangan terdiri dari :
Dana Bagi Hasil
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005:108) “Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.
Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan kekayaan daerah. Dimana menurut Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari pajak terdiri dari : “1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21”.
Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari “1) kehutanan, 2) pertambangan umum, 3) perikanan, 4) pertambangan minyak bumi, 5) pertambangan gas bumi, 6) pertambangan panas bumi ”.
Proporsi Dana Bagi Hasil menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:
a.) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah meliputi 16,2% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan 9% untuk biaya pemungutan.
Sedangkan 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebesar 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota, dan sebesar 35% dibagikan sebagai intensif kepada daerah Kabupaten dan Kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
b.) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTP)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTP sebesar 80 % dengan rincian 16 % untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64 % untuk daerah Kabupaten dan Kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten / Kota. Sedangkan 20 % bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTP dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten dan Kota.
c.) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 merupakan bagian daerah adalah sebesar 20% yang dibagi antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dimana 60% untuk Kabupaten/Kota dan 40% untuk Provinsi.
d.) Kehutanan
Penerimaan dari sektor Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan ( IHPH ) dan ketentuan Sumber Daya Hutan ( PSDH ) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20 % untuk Pemerintah dan 60 % untuk daerah. Sedangkan penerimaan yang berasal dari Dana reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60 % untuk Pemerintah dan 40 % untuk daerah.
e.) Pertambangan Umum
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.
f.) Perikanan
Dana Bagi Hasil dari penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk seluruh Kabupaten dan Kota.
g.) Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untu Pemerintah dan 15,5% untuk daerah.
Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah sebesar 15% dibagi dengan imbangan 3% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
h.) Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk daerah.
Dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah sebesar 30% dibagi dengan imbangan 6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi bersangkutan.
Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
i.) Pertambangan Panas Bumi
Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.
Dana bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan imbangan 16% untuk Provinsi yang bersangkutan, 32% untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 32% untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan.
Dana Alokasi Umum
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005:108) “Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”
Dana Alokasi Umum merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan peranannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah. Sony Yuwono, Dwi Cahyono Utomo, Suheiry Zein, dan Azrafiany A.R (2008) Dana Alokasi Umum digunakan untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah, proporsi yang diberikan kepada daerah minimal sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari penerimaan dalam negeri neto. Sedangkan H.A.W Wijaya (2007) mengungkapkan bahwa dana alokasi umum menekankan aspek pemerataan dan keadilan dimana formula dan perhitungannya ditentukan oleh undang-undang.
Penggunaan Dana Alokasi Umum ditetapkan oleh daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap pada kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan.
Dana Alokasi Khusus
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah ( 2005:107 ) " Dana Alokasi Khusus ( DAK ) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional ". Sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah
- Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer.
- Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Menurut H.A.W Wijaya (2007) menyatakan bahwa biaya administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya perjalanan pegawai daerah, dan lain-lain biaya umum yang sejenis tidak dapat dibiayai oleh dana alokasi umum.
PINJAMAN DAERAH
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.. kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Pinjaman Daerah yang dananya tidak berasal dari penerusan Pinjaman Dalam Negeri atau penerusan Pinjaman Luar Negeri.
DASAR HUKUM
a. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
b. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
c. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
d. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
e. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
f. PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
g. PP Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;
h. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 005/M.PPN/06/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;
i. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah;
j. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri; dan
k. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
PRINSIP DASAR PINJAMAN DAERAH
Pinjaman Daerah adalah salah satu alternatif sumber pembiayaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, termasuk untuk menutup kekurangan arus kas. Pinjaman Daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya berasal dari luar negeri (On-Lending). Tidak melebihi Batas Defisit APBD dan Batas Kumulatif Pinjaman Daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERSYARATAN PINJAMAN
Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (DSCR) paling sedikit 2,5. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah. Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang dilakukan dengan persetujuan DPRD.
SUMBER PINJAMAN
1. Pemerintah;
a. Pendapatan Dalam Negeri (Rekening Pembangunan
Daerah);
b. Pinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement (SLA)/
on-lending)
2. Pemerintah daerah lain;
3. Lembaga Keuangan Bank;
4. Lembaga Keuangan bukan Bank; dan
5. Masyarakat.
Pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan melalui Menteri Keuangan, sedangkan pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat berupa Obligasi Daerah diterbitkan melalui pasar modal.
JENIS DAN JANGKA WAKTU PINJAMAN
- Pinjaman Jangka Pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
- Pinjaman Jangka Menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
- Pinjaman Jangka Panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkuta
PENGGUNAAN PINJAMAN
a. Pinjaman Jangka pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.
b. Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan.
c. Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.*)
*) yang dimaksud dengan “proyek investasi menghasilkan penerimaan” adalah proyek prasarana dan atau sarana yang menghasilkan pendapatan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan atau sarana tersebut.
PROSEDUR PINJAMAN
Prosedur pinjaman daerah dapat dibedakan berdasarkan sumbernya*), yaitu :
1. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari Pinjaman Luar Negeri;
2. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber selain dari Pinjaman Luar Negeri;
3. Pinjaman Daerah dari sumber selain Pemerintah baik pinjaman jangka pendek maupun pinjaman jangka panjang. Pinjaman ini dapat dilakukan sepanjang tidak melampau batas kumulatif Pinjaman Pemerintah dan Pemda.
LARANGAN PENJAMINAN
Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan. Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN
Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan negara yang menjadi hak daerah tersebut.
PELAPORAN PINJAMAN
Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Dalam hal daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat menunda penyaluran Dana Perimbangan.
PENERIMAAN PEMBAYAAN
Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang diberikan pada fihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnnya, dan pencairan dana cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Daerah. Akuntansi penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azas bruto,yaitu dengan membukukan penerimaan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Pencairan dana cadangan mengurangi dana cadangan yang bersangkutan.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
Sisa lebih perhitungan anggarantahun anggaran sebelumnya (SiLPA),
SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran dicatat dalam pos SiLPA. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun berlum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
Pencairan dana cadangan.
Dana cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana cadangan dibentuk untuk suatu tujuan tertentu secara spesifik. Pembentukan dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus /sepenuhnya dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan, dan dan tahun anggaran pelaksanaan dana cadangan. Rancangan peraturan daerah tentang APBD. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan ditetapkan oleh kepala daerah bersamaan dengan penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD.pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran yang berkenaan.
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan. Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.
Penggunaan atas dana cadangan yang dicairkan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dianggarkan dalam belanja langsung SKPD pengguna dana cadangan berkenaan, kecuali diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan rumah tangga daerah yang relatif cukup besar, maka kepada daerah juga diberikan sumber-sumber pendapatan berupa hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004. Pengelolaan kekayaan daerah tersebutberasal dari perusahaan daerah yang didirikan berdasarkan Undang-Undang yang modal seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Penerimaan pinjaman daerah,
Pinjaman daerah adalah penerimaan daerah yang bersumber dari dana pihak ketiga (kreditur) yang harus dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara pemda dengan kreditur dan akan menambah utang daerah. Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah termasuk penerimaan atas penerbitan obligasi daerahyang akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan, dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara bab V mengenai Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, serta Pemerintah/Lembaga Asing disebutkan bahwa selain mengalokasikan Dana Perimbangan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pinjaman daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pinjaman Daerah bersumber dari:
- Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri;
- Pemerintah Daerah lain;
- Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
- Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.
· Penerimaan kembali pemberian pinjaman
Penerimaan kembalipemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
· Penerimaan piutang daerah
Penerimaan piutang daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari pelunasan piutang pihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang daerah dari pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bukan bank dan penerimaan piutang lainnya.
PENDAPATAN DARAH LAIN-LAIN YANG SAH
Bertujuan untuk memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan pinjaman daerah. Pendapatan lain-lain yang sah terdiri dari dana hibah dab dana darurat.
DANA HIBAH
Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
Hibah yang diberikan kepada daerah adalah sebagai salah satu bentuk hubungan keuangan antara Pemerintah dan Daerah untuk mendukung pelaksanaan kegiatan daerah dan dikelompokkan sebagai salah satu komponen lain-lain pendapatan dalam APBD. Penerimaan ini bersifat tidak mengikat karena tidak harus dibayar kembali oleh daerah.
SUMBER HIBAH
Hibah kepada pemerintah daerah dapat bersumber dari :
a. Pemerintah;
b. Pemerintah daerah lain;
c. Badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri; dan
d. Kelompok masyarakat/perorangan dalam negeri.
Hibah dari Pemerintah dapat bersumber dari:
a. Pendapatan APBN;
b. Pinjaman Luar Negeri;dan/atau
c. Hibah Luar Negeri.
Hibah dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah Luar Negeri dapat bersumber dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional dan/atau donor lainnya.
PRINSIP DASAR PEMBERIAN HIBAH KE DAERAH
- Hibah kepada kepada pemerintah daerah bersifat bantuan untuk menunjang program pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebijakan Pemerintah serta merupakan urusan daerah.
- Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan dalam negeri, kegiatannya merupakan kebijakan Pemerintah atau dapat diusulkan oleh kementerian negara/lembaga.
- Dalam hal Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri, kegiatannya telah diusulkan oleh kementerian negara/lembaga.
- Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari hibah luar negeri, kegiatannya dapat diusulkan oleh kementerian negara/lembaga dan/atau pemerintah daerah.
- Hibah diberikan kepada pemerintah daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan menteri pada kementerian negara/pimpinan lembaga terkait.
- Hibah yang bersumber dari dalam negeri (Pemerintah, pemerintah daerah lain, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, dan kelompok masyarakat/perorangan) dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara pemerintah daerah dan pemberi hibah.
- Hibah yang bersumber dari luar negeri (bilateral, multilateral, dan sumber lainnya) dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri (NPHLN) antara Pemerintah dan Pemberi Hibah Luar Negeri dan hibah tersebut dapat diteruskan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dan dituangkan dalam Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dengan pemerintah daerah.
- Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri diprioritaskan untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah.
KRITERIA PEMBERIAN HIBAH
Kriteria pemberian hibah dapat digolongkan berdasarkan sumber sebagai berikut :
o Hibah yang bersumber dari pendapatan APBN, diberikan kepada Pemerintah Daerah dengan kriteria sebagai berikut:
- Untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah atau untuk kegiatan peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur Pemerintah Daerah
- Untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan Pemerintah yang berskala nasional/ internasional oleh Pemerintah Daerah
- Untuk melaksanakan kegiatan lainnya sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan penambahan beban pada APBD
- Untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang diatur secara khusus dalam peraturan perundangan.
o Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri, diberikan kepada Pemerintah Daerah dengan kriteria sebagai berikut:
- Untuk melaksanakan kegiatan yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dalam rangka pencapaian sasaran program dan prioritas pembangunan nasional sesuai dengan peraturan perundangan
- Diprioritaskan untuk pemerintah daerah dengan kapasitas fiscal rendah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
o Hibah yang bersumber dari hibah luar negeri, diberikan kepada Pemerintah Daerah dengan kriteria sebagai berikut:
- Untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan pemerintah daerah atau untuk kegiatan peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur pemerintah daerah
- Untuk mendukung pelestarian sumber daya alam, lingkungan hidup dan budaya
- Untuk mendukung riset dan teknologi
- Untuk bantuan kemanusiaan.
DANA DARURAT
Dana Darurat adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa. Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat kepada Daerah yang mengalami Bencana Nasional dan/atau Peristiwa Luar Biasa dan tidak dapat ditanggulangi dengan APBD. Dana Darurat dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek keadilan dan kepatutan.
PENGGUNAAN DANA DARURAT
Dana Darurat digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap pasca bencana yang menjadi kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana ini tidak dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang telah didanai dari sumber lainnya dalam APBN. Dalam hal kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana untuk pemulihan fungsi Pelayanan Publik yang dilakukan badan usaha milik daerah, Dana Darurat dapat diteruskan oleh Pemerintah Daerah kepada badan usaha milik daerah yang melaksanakan fungsi Pelayanan Publik.
Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami Bencana Nasional dan/atau Peristiwa Luar Biasa dapat mengajukan permintaan Dana Darurat kepada Menteri dengan melampirkan paling sedikit Kerangka Acuan Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana beserta Rencana Anggaran Biaya.
BELANJA DAERAH
Selain melaksanakan hak-haknya, daerah juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya kepada publik. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai pelayanan kebutuhan dan kepentingan publik. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa pembangunan berbagai fasilitas publik dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Belanja di sektor publik terkait dengan penganggaran, yaitu menunjukkan jumlah uang yang telah dikeluarkan selama satu tahun anggaran.
Menurut UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan menurut Abdul Halim (2002:73) mengemukakan bahwa : Belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada peserta ekuitas dana.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu unsur penerimaan, belanja rutin dan belanja pembangunan. Ketiga komponen itu meskipun disusun hampir secara bersamaan, akan tetapi proses penyusunannya berada di lembaga yang berbeda. Proses penyusunan APBD secara keseluruhan berasa di tangan Sekretaris Daerah yang bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan APBD. Sedangkan proses penyusunan belanja rutin disusun oleh Bagian Keuangan Pemda, proses penyususnan penerimaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja pembangunan disusun oleh Bappeda (Bagian Penyusunan program dan bagian keuangan). (Dedi Haryadi,2001) Dan menurut Permendagri No.59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah, yaitu “belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagaian pengurang nilai kekayaan bersih” Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada suato periode anggaran yang berupa arus kas aktiva keluar, deplesi aktiva atau timbulnya utang yang bukan disebabkan oleh pembagian kepada milik ekuitas dana (rakyat).
Klasifikasi Belanja Daerah
Belanja daerah diklasifikasikan menjadi seperti di bawah ini :
1. Belanja Rutin
Dengan telah diberikannya wewenang untuk mengelola keuangan daerah, maka Belanja Rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin perangkat daerah, termasuk perangkat Kanwil/Kandep yang telah dan akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Selain itu, perlu diupayakan penghematan untuk Belanja Rutin non Pegawai dengan cara memprioritaskan pembiayaan terhadap belanja yang benar-benar urgen disertai dengan peningkatan disiplin anggaran. (Abdul Halim, 2002)
2. Belanja Pembangunan
Belanja Pembangunan disusun atas dasar kebutuhan nyata masyarakat sesuai dengan tuntutan dan dinamika yang berkembang untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Dalam pembangunan daerah, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses perencanaannya, sehingga kebutuhan mereka dapat dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan berdasarkan prioritas dan kemampuan daerah. (Abdul Halim, 2002) Selain itu menurut Pambudi (2007) belanja juga dapat dikategorikan menurut karateristiknya menjadi dua bagian, yaitu : (1) Belanja selain modal (Belanja administrasi umum; Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana publik; Belanja transfer; Belanja tak terduga). (2) Belanja modal. Secara umum belanja dalam APBD dikelompokan menjadi lima kelompok, yaitu :
a. Belanja adminstrasi umum
Belanja ini merupakan semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja administrasi umum terdiri atas empat jenis, yaitu :
- Belanja pegawai merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk orang/personal yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai.
- Belanja barang merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
- Belanja perjalanan dinas merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang ridak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.
- Belanja pemeliharaan merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secaralangsung dengan pelayanan publik.
b. Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana publik merupakan semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja ini meliputi:
- Belanja Pegawai (kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk orang/personal yang berhubungan langsung dengan suatu aktivitas atau dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel.
- Belanja barang (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya penyediaan barang dan jasa yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
- Belanja perjalanan (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
- Belanja pemeliharaan (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
c. Belanja modal merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja modal dibagi menjadi:
1. Belanja publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum
2. Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan langsung oleh aparatur.
d. Belanja transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan maupun keuntungan dari pengalihan keuangan tersebut. Kelompok belanja ini terdiri atas pembayaran:
a. Angsuran pinjaman
b. Dana bantuan
c. Dana cadangan
d. Belanja tak tersangka adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah.
Daerah utnuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa. Menurut Nurlan (2008) menyatakan bahwa belanja tidak terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengeloaan Keuangan Daerah jugadisebutkan bahwa “keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalamrangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut” Sedangkan Abdul Halim (2007: 24) menyatakan “Pengelolaan keuangan daerah adalah segala sesuatu yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah”.
Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah
Adapun siklus pengelolaan keuangan daerah menurut Mahmudi padadasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu
1. Tahap Perencanaan
Tahap perencaan merupakan tahap yang sangat krusial. Peran DPRD dan masayarakat dalam tahap perencanaan ini sangat besar. Kualitas hasil (outcome) dari pengelolaan keuangan daerah sangat dipengaruhi oleh seberapa bagus perencanaan dibuat. “ Input dalam tahap perencanaan ini berupa dokumen perencanaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah” (Mahmudi, 2006 : 15). Perencanaan ini sendiri pada dasarnya juga terdapat proses yang harus dilakukan sehingga menghasilkan output perencanaan berupa dokumen perencanaan daerah. Dokumen perencanaan daerah dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu:
- Dokumen perencanaan pembangunan daerah berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Darah (Renstra RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan, kebijakan, strategi, program, dan kegiatan.
- Dokumen perencanaan keuangan daerah berupa Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan RAPBD. Perencanaan pembangunan daerah disusun berdasarkan jangka waktu perencanaan, yaitu dua puluh tahun untuk RPJPD, lima tahun untuk RPJMD, dan satu tahun untuk RKPD. Sedangkan untuk rencana keuangan daerah yaitu berupa RAPBD baerlaku satu tahun.
2. Tahap Pelaksanaan
Output dari tahap perencanaan adalah berupa RAPBD yang telah disahkan oleh DPRD menjadi APBD. Output dari tahap perencanaan tersebut akan menjadi input bagi tahap pelaksanaan, yaitu implementasi anggaran. Dalam tahap pelaksanaan anggaran terdapat suatu proses berupa Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD). SAPD ini sangat penting, karena bagaimana pun bagusnya perencanaan anggaran apabila dalam tahap implementasi tidak terdapat SAPD yang memadai, maka banyak hal yang direncanakan tidak mencapai hasil yang diinginkan. SAPD yang buruk akan memicu terjadinya kebocoran inefisiensi, dan ketidakakuratan laporan keuangan.
3. Tahap Pelaporan, Pengawasan, dan Pengendalian
Output dari tahap pelaksanaan berupa laporan pelaksanaan anggaran akan menjadi input untuk tahap pelaporan. Input tersebut akan diproses lebih lanjut untuk menghasilkan output nerupa laporan keuangan yang akan dipublikasikan. Proses pelaporan tersebut dilakukan dengan mengacu SAPD yang telah ditetapkan. Setelah disesuaikan dengan Standar Akuntasi Pemerintahan, maka laporan keuangan tersebut siap diaudit oleh auditor independent. Selanjutnya setelah diaudit dapat didistribusikan kepada DPRD dan dipublikasikan kepada masyarakat, sebagai bahan evaluasi kinerja dan memberikan umpan balik bagi perencanaan periode berikutnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )
Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang dilakukan organisasi di masa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang. Anggaran menurut Mardiasmo (2004:61) adalah “Pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penanggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Lebih jelas lagi Mardiasmo (2004:64) juga menyebutkan bahwa anggaran sektor publik dapat didefinisikan sebagai berikut : Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1) Berapa biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja), dan 2) Berapa banyak dan bagaimana caranya uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). Di dalam ruang lingkup sektor publik terutama dalam pemerintahan daerah, anggaran merupakan salah satu alat yang penting bagi pengelolaan keuangan daerah. Pada sektor pemerintahan daerah, anggaran yang disusun disebut dengan APBD. Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 dijelaskan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama olehpemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah”.
APBD adalah “rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, dimana di satu pihak menggambarkan perkiraan keuangan setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud (Memesah dalam Widyawati, 2009:13)
Dari berbagai definisi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan dalam jangka waktu tertentu yang terdiri dari penerimaan dan pengeluaran serta penerimaan yang sesungguhnya terjadi yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk angka rupiah dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
PEMBIAYAAN DAERAH
Penerimaan pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan yang terdapat pada rekening kas umum daerah. Kelompok penerimaan pembiayaan terdiri atas jenis pembiayaan berikut:
- Sisa lebih anggaran tahun lalu. Merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari sisa anggaran tahun laluyang mencakup ppenghematan belanja, kewajiban pada pihak ketiga yang sampai pada akhir tahun belum terselesaikan, sisa dana kegiatan lanjutan, dan semua pelampauan atas peneriman daerah.
- Pencarian dana cadangan. Merupakan sumber pembiayaan yang bersumber dari penyisihan atas peneriaan daerah, kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman daerah atau penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi oleh pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.
- Penerimaan pinjaman daerah. Merupakan sumber pembiayaan berasal dari kegiatan meminjam dana termasuk menerbitkan obligasi.
- Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah. Merupakan sumber pembiayan yang didapat dari diterimanya kembali sejumlah pinjaman yang telah diberikan kepada pemerintah pusat atau pemda lainnya.
- Penerimaan piutang daerah. Merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari pelunasan piutang pihak ketiga seperti penerimaan piutang daerah, pemerintah pusat , pemda lainnya, lembaga keuangan bukan bank atau bank, serta penerimaan piutang lainnya.
- Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari penjualan perusahaan milik derah/BUMD, dan penjualan aset milik pemda yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga atau hasil divestasi penyertaan modal pemda.
jenis pembiayaan yang ada meliputi pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemda, dan pembayaran pokok utang. Pengeluaran daerah adalah sumber pembiayaan yang ditujukan untuk mengalokasikan sueplus anggaran. Kelompok pembiayaan pengeluaran daerah terdiri atas jenis pembiayaan berikut:
- Pembentukan dana cadangan. Dana cadangan adalah dana yang disishkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.
- Penyertaan modal (investasi pemda). Merupakan sumber pembiayaan yang berupa kegiatan penyertaan modal (investasi)
- Pembayaran pokok utang. Akun pembayaran pokok utang digunakan untuk menggambarkan menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Pembantukan Dana cadangan
Dana cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Keterbatasan-keterbatasan dalam keuangan daerah pasca-otonomi daerah membuka ruang bagi pembuatan diskresi oleh Pemda terkait pembiayaan program yang membutuhkan dana relatif besar. Selain itu, faktor periode anggaran yang “terlalu singkat”, yakni satu tahun fiskal (1 Januari – 31 Desember) menimbulkan persoalan atas kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) daerah.
Implikasi dari kondisi tersebut adalah diberikannya kewenangan kepada Pemda untuk membentuk dana cadangan. Secara eksplisit, pasal 122 PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pasal 63 Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa Pemerintah Daerah dapat membentuk Dana Cadangan.
· Tujuan Pembentukan Dana Cadangan
Dana Cadangan dibentuk untuk mendanai program/kegiatan yang direncanakan dan memerlukan anggaran yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Artinya, pembentukan dana cadangan dikarenakan alasan “ketidakcukupan” (besaran) anggaran semata, bukan substansi program/kegiatan.
Nama program/kegiatan yang akan didanai tidak berbeda dengan yang didanai dari dana yang tidak dinyatakan secara spesifik seperti halnya dana cadangan. Secara teknis, daftar nama program/kegiatan “diatur” dalam Lampiran A.VII Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, Permendagri No.59/2007, yakni revisi “formal” secara parsial atas Permendagri No.13/2006, menyatakan bahwa Pemda dapat menambah rekening (kode dan nama, termasuk program/kegiatan), sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
Oleh karena itu, dana cadangan boleh saja digunakan untuk membiayai program/kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran A.VII tersebut. Karakteristik dan persyaratan sebuah program/kegiatan yang akan didanai dari dana cadangan terlebih dahulu harus diatur dalam Perda tentang Pembentukan Dana Cadangan, sehingga tidak terjadi persoalan antar-generasi apabila nanti terjadi pergantian kepala daerah dan anggota DPRD.
· Sumber Pendanaan Dana Cadangan
Pembentukan Dana Cadangan Daerah bersumber dari kontribusi tahunan penerimaan APBD, kecuali dari Dana Alokasi Khusus, Pinjaman Daerah dan Dana Darurat yang berasal dari Pemerintah. Dengan demikian, pemenuhannya bersumber dari Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak.
Sumber pendanaan ini sama dengan sumber pendanaan untuk belanja operasional (recurrent expenditures) sehingga menimbulkan terjadinya persaingan yang lebih ketat dalam mengalokasikan sumberdaya yang terbatas. Pemda belum diberikan kewenangan untuk menggunakan “kebijakan fiskal” seperti kebijakan pajak dan retribusi untuk mendanai program/kegiatan tertentu seperti halnya di negara2 maju. Secara faktual, kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) masih ditangani oleh Pusat, meskipun sesungguhnya sangat potensial bagi pembangunan daerah.
Harus pula dipahami bahwa dana cadangan tidak boleh dibentuk dari pinjaman daerah. Hal ini tersirat dari pengertian dan tujuan ditariknya pinjaman daerah, yakni untuk mendanai program dan kegiatan berupa investasi yang menghasilkan aliran kas masuk (cash inflow) dan digunakan nantinya untuk pelayanan publik. Aliran kas masuk ini nantinya digunakan untuk mendanai pembayaran pokok pinjaman dan bunga dari pinjaman yang bersangkutan.
· Pengelolaan Dana Cadangan
Dana cadangan haruslah dikelola dengan baik, sehingga selama masa “penumpukkan” sampai saat dinilai cukup untuk digunakan dapat lebih produktif. Dalam hal ini, kebijakan harus diarahkan pada upaya memberdayakan “idle money” dalam bentuk dana cadangan. Batasan tegas untuk pengelolaan dana cadangan ini adalah bahwa dana tersebut tidak boleh digunakan untuk tujuan selain yang telah ditetapkan dalam Perda tentang Pembentukan Dana Cadangan. Pengertian dari kata “digunakan” adalah dijadikan sebagai input (masukan) untuk aktifitas di SKPD/SKPKD Pemda.
Jika dana cadangan belum digunakan maka dapat “diberdayakan” untuk memperoleh hasil (return) berupa bunga atau dividen. Misalnya, diinvestasikan dalam bentuk deposito, SBI, atau SUN. Namun, hasil yang diperoleh haruslah dimasukkan ke dalam rekening dana cadangan sebagai penambah dana cadangan tersebut.
· Pembiayaan neto
Pembiayaan neto adalah selisih antara penerimaan daerah setelah dikurangi pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu. Selisih lebih atau kurang antara penerimaan pembiayaan setelah dikurangi pengeluaran pembiayaan dalam periode pelaporan dicatat dalam pos pembiayaan neto.
· Definsi, pengakuan, dan pengukuran
Pembiayaan adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah,baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali , yang dalam penganggarannya oleh pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan daerah diakui pada saat diterima pada rekening kas umum daerah. Pengeluaran daerah diakui pada saat dikeluarkan dari rekening kas umum daerah.
Pengukuran pembiayaan menggunakan mata uang rupiah berdasarkan nilai sekarang kas yang diterima atau yang akan diterima dan nilai sekarang kas yang dikeluarkan atau akan dikeluarkan. Pembiayaan yang diukur dengan mata uang asing dikonversi ke mata uang rupiah berdasarkan nilai tukar (kurs tengah bank Indonesia) pada tanggal pengakuan pembiayaan.
· Akuntansi surplus/defisit
Surplus adalah selisih lebih antara pendapatan dan belanja selama satu periode pelaporan. Defisit adalah selisih kurang antara pendapatan dan belanja selama satu periode pelaporan. Apabila terjadi surplus, diutamakan untuk pembayaran pokok utang, penyertaan modal daerah, pemberiaan pinjaman kepada pemerintah pusat/pemda lainnya dan atau untuk pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial.
· Akuntansi aset
a. Kodifikasi
Setiap jenis aset dirinci menurut objek aset dan setiap objek aset dirinci menurut rincian objek aset. Kode rekening aset selengkapnya dapat diamati pada bagian lampiran.
b. Aset jangka pendek
Suatu aset diklasifikasikan sebagai aset jangka pendek jika diharapkan segera untuk direalisasikan, dipakai, atau dimiliki untuk dijual dalam waktu dua belas bulan sejak tanggal pelaporan,atau berupa kas dan setara kas. Kelompok aset jangka pendek meliputi aset berikut:
1. Kas daerah
2. Kas di bendahara penerimaan
3. Kas di bendahara pengeluaran
4. Investasi dalam saham
5. Investasi dalam obligasi
6. Piutang pajak
7. Piutang retribusi
8. Piutang dana bagi hasil
9. Piutang dana alokasi umum
10. Piutang dana alokasi khusus
11. Piutang bagian jangka pendek penjualan angsuran
12. Piutang ganti rugi ataskekayaan daerah
13. Piutang hasil penjualan barang milik daerah
14. Piutang dividen
15. Piutang bagi hasil laba usaha perusahaan daerah
16. Piutang fasilitas sosial dan umum
17. Persediaan alat tulis kantor
18. Persediaan alat listrik
19. Persediaan material/bahan
20. Persediaan benda pos
21. Persediaan bahan bakar
22. Persediaan bahan makanan pokok
c. Investasi jangka panjang
Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki selama lebih dari dua belas bulan. Investasi jangka panjang antara lain terdiri atas:
1. Investasi nonpermanen, yaitu investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan, meliputi: pembelian surat utang negara, penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga, investasi non permanen lainnya.
2. Investasi permanen, yaitu investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara berkelanjutan, meliputi: penyertaan modal pemerintah pada perusahaan negara/ perusahaan daerah, lembaga keuangan negara, badan hukum milik negara, badan international dan badan hukum lainnya bukan milik negara.
Kelompok ini terdiri dari aset berikut:
1. Pinjaman pada perusahan negara
2. Pinjaman pada perusahaan daerah
3. Pinjaman pada pemda lainnya
4. Investasi dalam surat utang negara
5. Investasi nonpermanen lainnya
6. Penyertaan modal pemda
7. Penyertaan modal dalam proyek pembangunan
8. Penyertaan modal perusahaan patungan
9. Investasi permanen lainnya
d. Aset tetap
Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap terdiri atas:
1. Tanah
2. Peralatan dan mesin
3. Gedung dan bangunan
4. Jalan, jaringan, dan instalasi
5. Aset tetap lainnya
6. Konstruksi dalam pengerjaan
7. Akumulasi penyusutan