Pengertian Penyuluhan pertanian
Terminologi penyuluhan (extension), pertama kali dikenal pada pertengahan abad 19
oleh universitas Oxford dan Cambridge pada sekitar tahun 1850 (Swanson, 1997).
Dalam perjalanananya van den Ban (1985) mencatat beberapa istilah seperti di
Belanda disebut voorlichting yang berarti obor yang berfungsi untuk menerangi, di
Jerman lebih dikenal sebagai “advisory work” (beratung), vulgarization (Perancis),
dan capacitacion (Spanyol). Roling (1988) mengemukakan bahwa Freire (1973)
pernah melakukan protes terhadap kegiatan penyuluhan yang lebih bersifat top-down.
Karena itu, dia kemudian menawarkan beragam istilah pengganti extension seperti:
animation, mobilization, conscientisation. Di Malaysia, digunakan istil ah
perkembangan sebagai terjemahan dari extension, dan di Indonesia menggunakan
istilah penyuluhan sebagai terjemahan dari voorlichting (Adjid, 2001).
Diskusi tentang penggunaan istilah “penyuluhan” di Indonesia akhir-akhir ini
semakin semarak. Pemicunya adalah, karena penggunaan istilah penyuluhan dirasa
semakin kurang diminati atau kurang dihargai oleh masyarakat. Hal ini, disebabkan
karena penggunaan istilah penyuluhan yang kurang tepat, terutama oleh banyak
kalangan yang sebenarnya “tidak memahami” esensi makna yang terkandung dalam
istilah penyuluhan itu sendiri. Di lain pihak, seiring dengan perbaikan tingkat
pendidikan masyarakat dan kemajuan teknologi informasi, peran penyuluhan semakin
menurun dibanding sebelum dasawarsa delapan-puluhan.
Rahmat Pambudi, pada awal 1996 mulai melontarkan pentingnya istilah pengganti
penyuluhan, dan untuk iitu dia menawarkan penggu-naan istilah transfer teknologi
sebagaimana yang digunakan oleh Lionberger dan Gwin (1982). Pada tahun 1998,
Mardikanto mena-warkan penggunaan istilah edfikasi, yang merupakan akronim dari
fungsi-fungsi penyuluhan yang meliputi: edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi,
konsultasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi. Meskipun tidak ada keinginan untuk
mengganti istilah penyuluhan, Margono Slamet pada kesempatan seminar
penyuluhan pembangunan (2000) menekankan esensi penyuluhan sebagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang telah mulai lazim digunakan oleh banyak pihak sejak
Program Pengentasan Kemiskinan pada dasawar sa 1990-an.
Terkait dengan hal tersebut, dalam perjalanannya, kegiatan penyuluhan diartikan
dengan berbagai pemahaman, seperti:
- Penyebar-luasan (informasi)
- Penerangan/penjelasan
- Pendidikan non-formal (luar-sekolah)
- Perubahan perilaku
- Rekayasa sosial
- Pemasaran inovasi (teknis dan sosial)
- Perubahan sosial (perilaku individu, nilai-nilai, hubungan antar individu,
kelembagaan, dll)
- Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
- Penguatan komunitas (community strengthening)
1. Penyuluhan Sebagai Proses Penyebar-Luasan Informasi
Sebagai terjemahan dari kata “extension”, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses
penyebarluasan yang dalam hal ini, merupakan peyebarluasan informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam
praktek atau kegiatan praktis.
Implikasi dari pengertian ini adalah:
- Sebagai agen penyebaran informasi, penyuluh tidak boleh hanya menunggu aliran
informasi dari sumber-sumber informasi (peneliti, pusat informasi, institusi
pemerintah, dll) melainkan harus secara aktif berburu informasi yang bermanfaat dan
atau dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi kliennya. Dalam hubungan ini,
penyuluh harus mengoptimalkan peman-faatan segala sumberdaya yang dimiliki serta
segala media/ saluran informasi yang dapat digunakan (media-masa, internet, dll)
agar tidak ketinggalan dan tetap dipercaya sebagai sumber informasi “baru” oleh
kliennya.
- Penyuluh harus aktif untuk menyaring informasi yang diberikan atau yang
diperoleh kliennya dari sumber-sumber yang lain, baik yang menyangkut kebijakan,
produk, metoda, nilai-nilai perilaku, dll. Hal ini penting, karena di samping dari
penyuluh, masyarakat seringkali juga memperoleh informasi/inovasi dari sumbersumber
lain (aparat pemerintah, produsen/ pelaku bisnis, media masa, LSM) yang
tidak selalu “benar” dan bermanfaat/ mengun-tungkan masyarakat/kliennya. Sebab,
dari pengalaman menunjukkan, informasi yang datang dari “luar” seringkali lebih
berorientasi kepada “kepentingan luar” dibanding keberpihakannya kepada
kepentingan masyarakat yang menjadi kliennya.
- Penyuluh perlu lebih memperhatikan informasi dari “dalam” baik yang berupa
“kearifan tradisional” maupun “endegenuous technology”. Hal ini penting, karena
informasi yang berasal dari dalam, di samping telah teruji oleh waktu, seringkali juga
lebih sesuai dengan kondisi setempat, baik ditinjau dari kondisi fisik, teknis,
ekonomis, sosial/budaya, maupun kesesuainnya dengan kebutuh-an pengembangan
komunitas setempat.
- Pentingnya informasi yang menyangkut hak-hak politik masyarakat, di samping:
inovasi teknologi, kebijakan, manajemen, dll.
Hal ini penting, karena yang untuk
pelaksanaan kegiatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seringkali sangat
tergan-tung kepada kemauan dan keputusan politik. Sebagai contoh, program
intensifikasi padi terbukti tidak banyak memberikan perbaikan kesejahteraan petani.
Demikian juga yang terjadi kaitannya dengan kebijakan impor beras, gula, daging,
dll.
2. Penyuluhan Sebagai Proses Penerangan/Pemberian Penjelasan
Penyuluhan yang berasal dari kata dasar “suluh” atau obor, sekaligus
sebagai terjemahan dari kata “voorlichting” dapat diartikan sebagai kegiatan
penerangan atau memberikan terang bagi yang dalam ke-gelapan. Sehingga,
penyuluhan juga sering diartikan sebagai kegiatan penerangan. Sebagai proses
penerangan, kegiatan penyuluhan tidak saja terbatas pada memberikan penerangan,
tetapi juga menjelaskan mengenai segala informasi yang ingin disampaikan kepada
kelompok-sasaran yang akan menerima manfaat penyuluhan (beneficiaries), sehingga
mereka benar-benar memahaminya seperti yang dimaksudkan oleh penyuluh atau
juru-penerangnya.
Terkait dengan istilah penerangan, ppenyuluhan yang dilakukan
oleh penyuluh tidak boleh hanya bersifat “searah” melainkan harus diupa-yakan
berlangsungnya komunikasi “timbal-balik” yang memusat (convergence) sehingga
penyuluh juga dapat memahami aspirasi masyarakat, manakala mereka menolak atau
belum siap menerima informasi yang diberikan.
Hal ini penting, agar penyuluhan yang dilakukan tidak bersifat “pemaksaan
kehendak” (indoktrinasi, agitasi, dll) melainkan tetap menjamin hubungan yang
harmonis antara penyuluh dan mnasyarakat kliennya secara berkelanjutan.
3. Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Perilaku
Dalam perkembangannya, pengertian tentang penyuluhan tidak sekadar diartikan
sebagai kegiatan penerangan, yang bersifat searah (one way) dan pasif. Tetapi,
penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara penyuluh dan yang
disuluh agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan
perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan seseorang yang dapat diamati
oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh,
dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya).
Dengan kata
lain, kegiatan penyuluhan tidak berhenti pada “penyebar-luasan informasi/inovasi”,
dan “memberikan penerangan”, tetapi merupakan proses yang dilakukan secara terusmenerus,
sekuat-tenaga dan pikiran, memakan waktu dan melelahkan, sampai
terjadinya perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh penerima manfaat penyuluhan
(beneficiaries) yang menjadi “klien” penyuluhan”.
Sebagai contoh: Pada penyuluhan penggunaan pupuk terhadap tanaman tertentu,,
kegiatan penyuluhan tidak boleh hanya berhenti pada pemberian penerangan atau
penjelasan kepada petani, tetapi harus dilakukan terus-menerus sampai petani tersebut
mau menggunakan, bahkan secara mandiri mau berswadaya untuk membeli pupuk
tersebut.
Implikasi dari penegertian perubahan perilaku ini adalah:
- Harus diingat bahwa, perubahan perilaku yang diharapkan tidak hanya terbatas
pada masyarakat/klien yang menjadi “sasaran utama” penyuluhan, tetapi penyuluhan
harus mampu mengubah perilaku semua stakeholders pembangunan, terutama aparat
pemerintah selaku pengambil keputusan, pakar, peneliti, pelaku bisnis, aktiivis LSM,
tokoh masyarakat dan stakeholders pemba-ngunan yang lainnya.
- Perubahan perilaku yang terjadi, tidak terbatas atau berhenti setelah
masyarakat/klien mangadopsi (menerima, menerapkan, mengikuti) informasi/inovasi
yang disampaikan, tetapi juga ter-masuk untuk selalu siap melakukan perubahanperubahan
terha-dap inovasi yang sudah diyakininya, manakala ada informasi/
inovasi/kebijakan baru yang lebih bermanfaat bagi perbaikan kesejahteraannya.
- Dari contoh penyuluhan pemupukan di atas, kegiatan penyuluhan tidak berhenti
sampai pada tumbuhnya swadaya masyarakat untuk menggunakan dan membeli
pupuk, tetapi juga kesiapannya untuk menerima “pupuk baru” sebagai pengganti
pupuk yang disuluhkan itu.
- Perubahan perilaku yang dimaksudkan tidak terbatas pada kesediaanya untuk
menerapkan/menggunakan inovasi yang ditawarkan, tetapi yang lebih penting dari
kese-muanya itu adalah kesediaannya untuk terus belajar sepanjang kehidupannya
secara berkelanjutan (life long education).
4. Penyuluhan Sebagai Proses Belajar/Proses Belajar
Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan
penyebar-luasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang
terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau
kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran
tersebut berlangsung melalui proses belajar. Hal ini penting untuk dipahami, karena
perubahan perilaku dapat dilakukan melalui beragam cara, seperti: pembujukan,
pemberian insentif/hadiah, atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan pemaksaan (baik
melalui penciptaan kondisi ling-kungan fisik maupun social-ekonomi, maupun
pemaksaan melalui aturan dan ancaman-ancaman).
Berbeda dengan perubahan perilaku yang dilakukan bukan melalui pendidikan,
perubahan perilaku melalui proses belajar biasanya berlangsung lebih lambat, tetapi
perubah-annya relatif lebih kekal. Perubahan seperti itu, baru akan meluntur kembali,
manakala ada pengganti atau sesuatu yang dapat menggantikannya, yang memiliki
keunggulan-keung-gulan “baru” yang diyakininya memiliki manfaat lebih, baik
secara ekonomi maupun non-ekonomi.
Lain halnya dengan perubahan perilaku yang
terjadi karena bujukan/hadiah atau pemaksaan, perubahan tersebut biasanya dapat
terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tetapi lebih cepat pula meluntur, yaitu jika
bujukan/hadiah/pemaksaan tersebut dihentikan, berhenti atau tidak mampu lagi
melanggengkan kegiatannya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, dalam konsep “akademik” dapat mudah
dimaklumi, tetapi dalam prektek kegiatan, perlu dijelas-kan lebih lanjut. Sebab
pendidikan yang dimaksud di sini tidak ber-langsung vertikal yang lebih bersifat
“menggurui” tetapi merupakan pendidikan orang-dewasa yang berlangsung
horizontal dan lateral yang lebih bersifat “partisipatif”.
Dalam kaitan ini, keberhasilan
penyuluhan tidak diukur dari seberapa banyak ajaran yang disampaikan, tetapi
seberapa jauh terjadi proses belajar bersama yang dialogis, yang mampu
menumbuhkan kesadar-an (sikap), pengetahuan, dan ketrampilan “baru” yang mampu
meng-ubah perilaku kelompok-sasarannya ke arah kegiatan dan kehidupan yang lebih
menyejahterakan setiap individu, keluarga, dan masyara-katnya. Jadi, pendidikan
dalam penyuluhan adalah proses belajar bersama.
5. Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Sosial
SDC (1995)
Menyatakan bahwa, penyuluhan tidak sekadar merupa-kan proses
perubahan perilaku pada diri seseorang, tetapi merupakan proses perubahan sosial,
yang mencakup banyak aspek, termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka panjang secara bertahap mampu diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk
memper-baiki kehidupan masyarakatnya .
Yang dimaksud dengan perubahan sosial di sini adalah, tidak saja perubahan
(perilaku) yang berlangsung pada diri seseorang, tetapi juga perubahan-perubahan
hubungan antar individu dalam masyara-kat, termasuk struktur, nilai-nilai, dan
pranata sosialnya, seperti: demokratisasi, transparansi, supremasi hukum, dll.
6. Penyuluhan Sebagai Proses Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Sejalan dengan pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses perubahan sosial yang
dikemukakan di atas, penyuluhan juga sering disebut sebagai proses rekayasa sosial
(social engineering) atau segala upaya yang dilakukan untuk menyiapkan sumberdaya
manusia agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing.
Karena kegiatan
rekayasa-sosial dilakukan oleh ”pihak luar”, maka relayasa sosial bertujuan untuk
terwujudnya proses perubahan sosial demi terciptanya kondisi sosial yang diinginkan
oleh pihak-luar (perekayasa). Pemahaman seperti itu tidak salah, tetapi tidak dapat
sepenuhnya dapat diterima. Sebab, rekayasa-sosial yang pada dasar-nya dimaksudkan
untuk memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan kelompok-sasarannya,
seringkali dapat berakibat negatip, manakala hanya mengacu kepada kepentingan
perekayasa, sementara masyara-kat dijadikan korban pemenuhan kehendak
perekayasa.
Sebagai contoh: Upaya menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan memang diperlukan, tetapi jika dalam proses untuk berpartisipasi
tersebut masyarakat dituntut kesediaannya untuk banyak berkorban termasuk
mengorbankan hak-hak normatifnya sebagai warga negara (harus tunduk, tidak boleh
membantah, dll) maka proses reklayasa sosial seperti itu bukanlah perubahan-sosial
sebagaimana yang dimaksud dan dikehendaki oleh kegiatan penyu-luhan.
Penyuluhan Sebagai Proses Pemasaran Sosial (Social Marketing).
Yang dimaksud dengan “pemasaran sosial” adalah penerapan konsep dan atau teoriteori
pemasaran dalam proses perubahan sosial. Berbeda dengan rekayasa-sosial yang
lebih berkonotasi untuk “membentuk” (to do to) atau menjadikan masyarakat menjadi
sesuatu yang “baru” sesuai yang dikehendaki oleh perekayasa, proses pemasaran
sosial dimaksudkan untuk “menawarkan” (to do for) sesuatu kepada masyarakat. Jika
dalam rekayasa-sosial proses pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan
perekayasa, pengambilan keputusandalam pemasaran sosial sepenuhnya berada di
tangan masyarakat itu sendiri.
Termasuk dalam pengertian “menawarkan” di sini adalah penggunaan konsep-konsep
pemasaran dalam upaya menumbuhkan, menggerak-kan dan mengembangkan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang ditawarkan dan akan
dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan. Perbedaan hakiki di sini
adalah, masyarakat berhak menawar bahkan menolak segala sesuatu yang dinilai
tidak bermanfaat, akan merugi-kan, atau membawa konsekuensi pada keharusan
masyarakat untuk berkorban dan atau mengorbankan sesuatu yang lebih besar
dibanding manfaat yang akan diterimanya.
7. Penyuluhan Sebagai Proses Pemberdayaan Masyarakat (Community
Empowerment)
Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyu-luhan adalah
untuk memberdayakan masyarakat. Memberdayakan berarti memberi daya kepada
yang tidak berdaya dan atau mengem-bangkan daya yang sudah dimiliki menjadi
sesuatu yang lebih ber-manfaat bagi masyarakat yang bersangkutan.
Dalam konsep
pember-dayaan tersebut, terkandung pema-haman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan mandiri dalam
pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri.
Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat kemam-puan (capacity
strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpar-tisipasi secara aktif dalam
keseluruahn proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh
penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll)
8. Penyuluhan Sebagai Proses Penguatan Kapasitas (Capacity Strenghtening)
Yang dimaksud dengan penguatan kapasitas di sini, adalah penguatan kemampuan
yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun
hubungan atau jejaring antar individu, kelom-pok organisasi sosial, serta pihak lain di
luar sistem masyarakatnya sampai di aras global. Kemampuan atau kapasitas
masyarakat, diartikan sebagai daya atau kekuatan yang dimiliki oleh setiap indiividu
dan masyarakatnya untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumber-daya yang
dimiliki secara lebih berhasil-guna (efektif) dan berdaya-guna (efisien) secara
berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu
dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus
dikembangkan/dikuatkan untuk “memproduksi” atau meng-hasilkan sesuatu yang
lebih bermanfaat.
Penguatan masyarakat disini, memiliki makna-ganda yang bersifat timbal-balik.
Di
satu pihak, penguatan diarahkan untuk melebih mampukan indiividu agar lebih
mampu ber-peran di dalam kelompok dan masyarakat global, di tengah-tengah
ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi, kelompok dan masyarakat
global. Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan untuk melihat peluang yang
berkem-bang di lingkungan kelompok dan masyarakat global agar dapat
16
dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelom-pok, dan masyarakat global (
UNDP, 1998)
9. Penyuluhan Sebagai Proses Komunikasi Pembangunan
Sebagai proses komunikasi pembangunan, penyuluh-an tidak sekadar upaya untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah,
untuk menumbuh-kembangkan partisi-pasi masyarakat dalam pembangunan
(Mardikanto, 1987).
Di dalam pengertian “menumbuh-kembangkan”, terkandung
upaya-upaya untuk:
- Menyadarkan masyarakat agar mau berpartisipasi secara sukarela, bukan karena
paksaan atau ancaman-ancaman
- Meningkatkan kemampuan masyarakat agar mampu (fisik, mental, intelegensia,
ekonomis dan non-ekonomis)
- Menunjukkan adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi.
Sedang yang dimaskud dengan “partisipasi” tidak hanya terbatas pada kesediaan
untuk berkorban, tetapi berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, sejak:
pengambilan keputusan tentang pentingnya pembangunan, perencanaan kegiatan,
pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan pemanfaatan hasil-hasil
pembangunan.
10. Redefinisi Penyuluhan Pertanian
Dalam kepustakaan yang selama ini dapat dijumpai, dapat disimpul-kan bahwa
penyuluhan pertanian diartikan sebagai pendidikan luar-sekolah yang ditujukan
kepada petani dan keluarganya agar dapat bertanii lebih baik, berusahatani yang lebih
menguntungkan, demi terwujudnya kehidupan yang lebih sejahtera bagi keluarga dan masya-rakatnya (Wiriatmadja, 1976; Totok Mardikanto dan Sri Sutarni, 1981;
Mardikanto, 1993)
Pemahaman tersebut tidak seluruhnya salah, tetapi seiring dengan terjadinya
perubahan-perubahan kehidupan masyarakat global dan tuntutan pembangunan
pertanian, baik yang menyangkut kontek dan kontennya, oleh Saragih (2002) dinilai
penting untuk melakukan “redefinisi” yang menyangkut penger-tian “penyuluhan
pertanian” Perubahan-perubahan tersebut telah melanda semua “stakeholder”
pembangunan pertanian, yang membawa konsekuensi-konsekuensi terhadap
perubahan perilaku masing -masing (Gambar).
Meskipun demikian, dalam UU No 16 Tahun 2006, rumusan tentang pengertian
penyuluhan pertanian adalah:
Proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan
mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan
kesadar-an dalam pelestarian fungsilingkungan hidup.
Terhadap berbagai pengertian tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu
dikritisi, yaitu:
- Penyuluhan pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembangunan/pengembangan masyarakat dalam arti luas.
- Dalam praktek, pendidikan selalu dikonotasikan sebagai kegiatan pengajaran yang
bersifat “menggurui” yang membedakan status antara guru/pendidik yang selalu
“lebih pintar” dengan murid/ peserta didik yang harus menerima apa saja yang
diajarkan oleh guru/pendidikny.
- Pemangku kepentingan (stakeholders) agribisnis tidak terbatas hanya petani dan
keluarganya.
- Penyuluhan pertanian bukanlah kegiatan karitatif (bantuan cuma-cuma atas dasar
belas-kasihan) yang menciptakan kete rgantungan
- Pembangunan pertanian harus selalu dapat memperbaiki produk-tivitas,
pendapatan dan kehidupan petani secara berkelanjutan.
Telaahan beragam pengertian yang terkandung dalam istilah “penyu-luhan”
sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan pemahaman bahwa penyuluhan dapat
diartikan sebagai:
proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk member-dayakan dan
memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang
partisipatip, agar terjadi per-ubahan perilaku pada diri semua stakeholders (indiividu,
kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pemba-ngunan, demi
terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatip yang
semakin sejahtera secara berkelanjutan.