Kebutuhan Kedelai Indonesia Dan Kebijakan Perkedelaian Nasional
Produksi dan Produktivitas Kedelai di Indonesia
Kedelai merupakan salah satu sumber protein, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Kedelai adalah tanaman legum yang kaya akan protein nabati, karbohidrat, dan lemak. Biji kedelai itu sendiri mengandung fosfor, besi, kalsium, dan vitamin B, dengan komposisi asam amino yang lengkap, sehingga berpotensi untuk pertumbuhan tubuh manusia. Lebih lanjut, kedelai mengandung asam-asam tak jenuh, yang bermanfaat untuk mencegah timbulnya arteri sclerosis, atau pengerasan pembuluh nadi.
Di Indonesia, kedelai berperan penting sebagai sumber protein nabati utama dalam rangka pemenuhan dan peningkatan gizi masyarakat. Selain itu, berbagai macam produk olahan yang berasal dari kedelai dibuat sesuai dengan selera lidah masyarakat Indonesia. Berbagai hasil olahan dari bahan dasar kedelai akan selalu menjadi tumpuan untuk mendapatkan berbagai macam makanan yang dihasilkan dari biji tersebut adalah antara lain, seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack dan sebagainya.
Jika dilihat dari sejarahnya, menurut Menteri Pertanian Republik Indonesia, Suswono, industri kedelai di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan, meski bukanlah tanaman asli Indonesia. Sejarah penanaman kedelai di Indonesia meski tidak setua China pada dasarnya telah dilakukan jauh sebelum negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat, Brazil, Argentina, dan Australia. Pada tahun 1750, misalnya, petani di Jawa dan Bali telah banyak menanam kedelai, yang kemudian pada tahun 1892 kedelai juga termasuk dalam salah satu tanaman penting di samping padi, jagung, dan ubi.
Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Indonesia Tahun 1996-2003
Sumber: Diolah dari http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0, 2012.
Menurut data BPS, produksi kedelai dari tahun 1996 hingga 2003 mengalami penurunan signifikan, walaupun terlihat fluktuatif. Berdasarkan Tabel II.1, yang antara lain menunjukkan luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia dari tahun 1996-2003, terlihat bahwa produksi kedelai nasional mengalami penurunan, dari 1,5 juta ton pada tahun 1996 menjadi 1,30 juta ton tahun 1998, dengan rata-rata penurunan sebesar 9 % per tahun. Meski sempat mengalami kenaikan 5,9% atau sebesar 80 ribu ton pada tahun berikutnya, yakni tahun 1999, menjadi 1,38 juta ton, akan tetapi pada kurun waktu selanjutnya, yakni periode 2000-2003, produksi kedelai nasional kembali menurun dan terlihat cukup signifikan. Rata-rata penurunan pada kurun 2000-2003 adalah sebesar 15,9%, atau dari 1,01 juta ton pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 671 ribu ton pada tahun 2003. Sehingga, dalam kurun tujuh tahun, terlihat cukup jelas bahwa produksi kedelai pada tahun 1996 yang sebesar 1,5 juta ton menjadi hanya sekitar 600 ribu ton pada tahun 2003.
Merujuk kembali pada Tabel, luas areal panen juga mengalami hal yang sama dengan keadaan produksi dalam kurun waktu 1996 hingga 2003. Luas panen sejak 1996-1998 cenderung mengalami penurunan secara fluktuatif, dari 1,2 juta hektar tahun 1996 menjadi 1.09 juta hektar pada tahun 1998. Lebih lanjut, semenjak tahun 1999 hingga 2004, luas areal panen terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan, 1,5 juta hektar areal panen pada tahun 1999 menjadi 0,5 juta hektar pada tahun 2003.
Berdasarkan hasil penelitian Purnamasari tentang “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Dan Impor Kedelai di Indonesia”, penurunan luas areal tanam dan produksi tanaman kedelai nasional antara lain disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai dan adanya persaingan dengan komoditas tanaman lain, yaitu komoditas yang memiliki harga riil lebih tinggi dan segi pemeliharaan lebih tinggi. Lebih lanjut, Purnamasari menjelaskan bahwa pada kurun waktu 1996 hingga tahun 2003, penurunan harga riil kedelai dan harga riil komoditas jagung yang lebih tinggi secara bersama-sama menyebabkan penurunan areal tanam dan produksi kedelai. Hal ini dapat terlihat jelas dari Tabel berikut ini.
Tabel Perbandingan Harga Riil Kedelai, Jagung dan Kedelai Impor
Sumber: Diolah dari Puslitbang Tanaman Pangan 2005 dalam Purnamasari, “Analisis Faktor-Faktor.” 2006.
Berdasarkan data pada Tabel, dapat diketahui bahwa harga riil kedelai impor mengakibatkan penurunan produksi kedelai lokal, sehingga menyebabkan kedelai impor lebih dipilih pasar dan dalam jangka panjang pasti menyebabkan penurunan harga riil kedelai lokal. Hal ini pada akhirnya juga berimplikasi pada keengganan petani untuk menanam kedelai, terutama jika Pemerintah Indonesia tidak segera berupaya untuk menanggulangi penurunan produksi kedelai untuk menjamin kebutuhan dalam negeri Indonesia.
Penurunan areal tanam dan produksi juga berpengaruh terhadap penurunan produktivitas kedelai di Indonesia. Rata-rata, produktivitas petani kedelai Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,2 ton per hektar. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas negara-negara penghasil kedelai lainnya seperti Brazil dan Argentinya, yang mampu menghasilkan di atas 2 juta ton per hektar kedelai. Penurunan produktivitas kedelai tersebut sebagai kenyataan akan ketidakmampuan petani untuk menghasilakan kedelai dengan areal tanam yang ada.
Purnamasari dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa rendahnya produktivitas pertanian kedelai disebabkan oleh belum populernya penggunaan benih kedelai bermutu dan bersertifikat unggul oleh kebanyakan petani. Kedelai di Indonesia hanya sebagai tanaman palawija, sehingga jika harga tidak menarik maka tidak akan ditanam. Dengan alasan seperti itu, apabila harga benih bersertifikat senilai Rp. 3000/kg hingga mencapai Rp. 3.500/kg, sedangkan harga benih biasa adalah Rp. 1.400/kg, dapat dipastikan petani enggan menggunakan benih berkualitas karena perbedaan harga yang tinggi. Selain faktor tersebut, faktor lain seperti ketersediaan air di setiap areal tanam karena jika terjadi kekeringan, produktivitas kedelai bisa turun hingga 40%. Faktor selanjutnya adalah pengendalian hama penyakit yang belum baik, hingga faktor penggunaan teknologi pertanian yang belum sempurna.
Kebutuhan Kedelai Nasional dan Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Memenuhi Kebutuhan Kedelai
Seperti yang telah dijelaskan di atas, di Indonesia, sebagian besar kebutuhan kedelai banyak digunakan untuk kebutuhan konsumsi bahan pangan bagi manusia dalam bentuk olahan seperti tahu, tempe, kecap, tauco dan susu kedelai. Sementara itu, selebihnya adalah untuk kebutuhan non pangan, seperti industri pakan ternak, benih, manufaktur dan banyak yang tidak terpakai. Jika dibandingkan, kebutuhan untuk pemenuhan bahan makanan sebesar 78,73%, sementara untuk bahan non pangan sebesar 0,36, untuk industri pakan ternak, 1,43% untuk pembenihan, 14,47 untuk dijadikan manufaktur dan 5,01% untuk kedelai yang tersisa. Persentase kebutuhan akan kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Gambar II.1 di bawah ini.
Gambar Persentase Permintaan Kedelai Berdasarkan Penggunaannya tahun 1998
Sumber: Diolah dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian 2009 dalam Dinar Frihastika Sari, “Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia,” 2011.
Besarnya kebutuhan nasional akan kedelai dapat dilihat dari dua pendekatan. Yang pertama adalah dengan menggunakan nilai konsumsi kedelai perkapita pertahun. Berdasarkan Badan Pangan Dunia (FAO), selama kurun waktu 1996 hingga 2003, konsumsi kedelai perkapita Indonesia rata-rata adalah 10,2 kg/kapita/tahun. Secara umum, dalam kurun waktu tersebut, terjadi penurunan konsumsi sebesar 11.39 kg/kapita tahun 1996 menjadi 10,53 kg/kapita pada tahun 2003, dengan laju penurunan sebesar 1,57% setiap tahun. Penurunan tersebut mengalami kecenderungan fluktuatif karena dalam kurun waktu tersebut sempat juga terjadi kenaikan konsumsi sebesar 11,39 kg/kapita/tahun, pada tahun 1999.
Tabel Kebutuhan Kedelai Nasional
Sumber: Diolah dari Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2008, dalam Roni, “Dampak Penghapusan Tarif Impor,” 2008.
Pendekatan kedua adalah dengan melihat kebutuhan konsumsi kedelai dari penjumlahan antara tingkat produksi dan impor tiap tahun yang sama. Perbandingan antara produksi, yang tersedia pada Tabel, dan impor, pada Tabel, menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahun cenderung berfluktuasi tergantung pada ketersediaan variabel hasil produksi dalam negeri dan variabel impor. Pada kurun waktu tahun 1996-2003, kebutuhan kedelai mengalami penurunan dari tahun 1996 hingga tahun 1998. Meski sempat mengalami peningkatan drastis pada tahun 1999, akan tetapi terjadi penurunan kembali dari tahun 2000 sampai pada tahun 2003. Sehingga, penurunan kebutuhan masyarakat akan kedelai di Indonesia tergolong masih rendah apabila dibandingkan dengan penurunan produksi kedelai.
Secara keseluruhan, laju kebutuhan kedelai di Indonesia pada tahun 1996-2003, baik untuk pangan maupun untuk kebutuhan non pangan, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan penurunan produktivitas. Dari data yang ada, terlihat bahwa rata-rata penurunan kebutuhan adalah 0,8%, sedangkan produktivitas sebesar 10,3%. Defisit kebutuhan nasional terhadap hasil panen kedelai dalam negeri menjadikan pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas kedelai untuk mencukupi banyaknya permintaan kedelai nasional.
Pemerintah pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya dan usaha dalam berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan kedelai nasional, terkait adanya perbedaan kondisi antara produksi dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, sejak 1980-an, Pemerintah Indonesia mengimplementasikan berbagai macam kebijakan untuk meningkatkan produktivitas kedelai, antara lain adalah pada tahun 1986 menerapkan program Supra Insus, Inmun dan program Operasi Khusus (Opsus) kedelai. Kemudian, pada tahun 2001 penerapan program Gema Palagung yaitu melalui salah satu cara dengan peningkatan index penanaman. Dan terakhir pada tahun 2004 diadakan Program Bangkit Kedelai.
Secara keseluruhan, dengan adanya program-progam yang dilakukan diharapkan Indonesia mampu mencapai swasembada kedelai pada tahun 2008 dengan produktivitas 2,5 ton per hektar. Akan tetapi, pada periode 1994 hingga 1999, misalnya, yang terjadi adalah program-program sektor petanian kedelai tersebut belum mampu mengimbangi laju peningkatan kebutuhan kedelai nasional sehingga pemerintah melakukan impor kedelai untuk menutupi kekurangan produksi terhadap kebutuhan, yang jumlah maupun nilainya semakin meningkat setiap tahun, meski produksi kedelai pada tahun 1974-1999 terjadi beberapa peningkatan produksi secara fluktuaif. Bahkan, sejak tahun 1999 hingga 2004, penurunan areal panen kedelai semakin drastis, di mana pemerintah tidak lagi memberikan intesif kepada para petani untuk berproduksi, rendahnya harga riil kedelai lokal dengan tanaman pangan lainnya, hingga kalah bersaing dengan kedelai impor.
Impor Kedelai sebagai Salah Satu Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Memenuhi Kebutuhan Pasar
Produktivitas kedelai yang masih belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, disertai dengan banyaknya kegagalan daripada usaha-usaha pemerintah dalam sektor ini, mendorong Pemerintah Indonesia untuk kembali mencari cara agar kebutuhan masyarakat akan kedelai dapat terus dipenuhi. Seperti yang telah dijelaskan seelumnya, pada kurun waktu 1996-2003, misalnya, hasil panen kedelai nasional tidak lagi mampu mengimbangi peningkatan laju kebutuhan masyarakat akan kedelai. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang Pemeritah Indonesia untuk memasukkan kedelai dari pasar internasional, guna memasok kekurangan kebutuhan dalam negeri.
Jika diamati, menurut salah seorang pakar tempe dari Inggris bernama Jonathan Agranoff, Indonesia pada dasarnya memiliki kualitas kedelai yang baik, jika dibandingkan dengan produk-produk yang diimpor. Menurut Agranoff, ada sedikitnya empat belas jenis kedelai lokal berkualitas dari Indonesia, antara lain Wilis, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Kaba, Tanggamus, Sinabung, Panderman, Detam-1, Detam-2, Grobogan, Gepak Ijo, Gepak Kuning, SHR/Wil-60. Ia beranggapan bahwa, secara ekonomi, penggunaan kedelai lokal lebih menguntungkan dibandingkan kedelai impor. Dia mencontohkan satu kilogram kedelai Anjasmoro bisa menghasilkan 1,74 kilogram tempe. Sementara itu, satu kilogram kedelai impor hanya menghasilkan 1,59 kilogram. Namun, langkanya kedelai lokal pada akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk menggantungkan diri pada produk impor.
Impor kedelai di Indonesia meningkat mengikuti kenaikan deret hitung yang terjadi di negara tersebut. Berdasarkan pada perbandingan data antara perkembangan konsumsi dan produksi kedelai pada sub-bab sebelumnya, dapat diketahui jumlah impor yang dibutuhkan oleh Indonesia. Selama hasil pengamatan dalam kurun waktu 1996 hingga 2003, perkembangan impor kedelai di Indonesia cenderung mengalami kenaikan seiring dengan signifikansi penurunan produksi pada kurun tahun tersebut. Selama periode tersebut, laju impor meningkat hingga sebesar 30,6 % pertahun.
Tabel Impor Kedelai Indonesia
Sumber: Diolah dari Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2008, dalam Roni, “Dampak Penghapusan Tarif Impor,” 2008.
Berdasarkan Tabel di atas, terlihat bahwa impor kedelai pada tahun 1996 yang pada awalnya sebesar 0,7 juta ton, meningkat menjadi 1,3 juta ton pada tahun 2003. Meski demikian, peningkatan tersebut cenderung fluktuatif, mengingat pada tahun 1998 terjadi penurunan impor kedelai sebesar 44%, atau sekitar 0,3 juta ton. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut tejadi krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1999 yang merupakan peningkatan terbesar perdagangan kedelai impor di Indonesia, yang mencapai 27,8 % atau sekitar 957 ribu ton jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 1998. Di Indonesia sendiri, pasokan kedelai impor antara lain diperoleh dari beberapa negara seperti yang dapat dilihat pada Grafik di bawah ini:
Grafik Share Perdagangan Kedelai Impor di Pasar Indonesia
Sumber: Diolah dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Internaional, Deptan, 2004.
Secara umum, sebagian besar kedelai yang diimpor Indonesia berasal dari Amerika Serikat (AS), Argentina, Brazil, Malaysia dan India, dengan kedelai AS yang masih mendominasi. Produktivitas pertanian AS yang tumbuh lebih cepat dari pangan domestik mendorong petani AS dan perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengantungkan diri pada pasar ekspor untuk mempertahankan harga dan pendapatannya. Dengan keunggulan komparatif dalam banyak produk, perdagangan pertanian merupakan memberi kontribusi yang signifikan bagi perekonomian AS secara keseluruhan serta seluruh ekonomi dunia. Meskipun pangsa ekspor berbagai macam produk-produk pertanian dunia telah jatuh dari waktu ke waktu, yakni dari 17% pada tahun 1980 menjadi 10% pada tahun 2007, AS tetap menjadi eksportir terkemuka dan importir tunggal negara terbesar produk pertanian di dunia.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedelai merupakan salah satu kebutuhan pokok di Indonesia. Meski demikian, banyaknya permintaan nasional akan kedelai tidak diiringi dengan produksi kedelai yang baik, sehingga kebutuhan akan kedelai tidak tercukupi. Hal tersebut pada akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengambil berbagai kebijakan guna memenuhi kebutuhan kedelai nasional, salah satunya dengan melakukan impor kedelai dari berbagai negara. Dari banyaknya negara yang mengekspor kedelai ke Indonesia, AS adalah negara yang paling konsisten. Jumlah yang diekspor oleh AS ke Indonesia juga tergolong besar, bahkan kedelai impor di Indonesia didominasi oleh negara tersebut.