Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional
Salah satu ciri budaya masyarakat di negara berkembang adalah masih dominannya unsur-unsur tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini didukung oleh keanekaragaman hayati yang terhimpun dalam berbagai tipe ekosistem yang pemanfaatannya telah mengalami sejarah panjang sebagai bagian dari kebudayaan. Salah satu aktivitas tersebut adalah penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat oleh berbagai suku bangsa atau sekelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman. Tradisi pengobatan suatu masyarakat tidak terlepas dari kaitan budaya setempat. Persepsi mengenai konsep sakit, sehat, dan keragaman jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional terbentuk melalui suatu proses sosialisasi yang secara turun temurun dipercaya dan diyakini kebenarannya. Pengobatan tradisional adalah semua upaya pengobatan dengan cara lain di luar ilmu kedokteran berdasarkan pengetahuan yang berakar pada tradisi tertentu (Sosrokusumo, 1989). Hubungan antara manusia dengan lingkungannya ditentukan oleh kebudayaan setempat sebagai pengetahuan yang diyakini serta menjadi sumber sistem nilai (Tax, 1953). Sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara tradisi merupakan salah satu bagian dari kebudayaan suku bangsa asli dan petani pedesaan (Brush, 1994).
Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di jazirah tenggara propinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini dihuni oleh beberapa kelompok sosial masyarakat, dan kelompok masyarakat asli yang dikenal dengan sebutan etnis/suku Wawonii. Sekitar tahun 1985 lahan di beberapa kawasan pulau ini dibuka untuk areal perkebunan coklat, namun setelah pembukaan hutan dan kayu hasil penebangan diangkut ke luar pulau, rencana tersebut hingga saat ini tidak direalisasikan (Kendari Express, 21/02/2000). Proses modernisasi yang masuk ke pulau ini dan munculnya beberapa masalah seperti tekanan ekonomi, pertambahan penduduk, sosial budaya dan peraturan baru, memacu terjadinya kerusakan atau hilangnya sumberdaya hayati yang belum terkaji.
Keanekaragaman dan potensi sumberdaya hayati serta pengetahuan lokal masyarakat setempat belum pernah diteliti. Waluyo (1991) mengemukakan bahwa modernisasi dengan mudah telah menggeser sejumlah pengetahuan asli suku bangsa di luar pulau Jawa. Dari uraian di atas dikhawatirkan akan terjadi kerusakan atau hilangnya sumberdaya hayati maupun pengetahuan tradisional suku Wawonii, salah satu suku asli di Indonesia. Kenyataan membuktikan bahwa pengetahuan lokal telah teruji secara turun temurun dan tidak sedikit sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penelitian pemanfaatan tetumbuhan antara lain sebagai obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat lokal di pulau Wawonii perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tumbuhan obat Indonesia dan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya seperti fitokimia, fisiologi perbanyakan dan lain-lain serta dapat memberi masukan kepada instansi terkait dalam pengelolaan lingkungan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian pemanfaatan tumbuhan obat tradisional oleh masyarakat Wawonii dilakukan di desa Wawolaa dan Lampeapi, Kecamatan Wawonii, Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan dalam dua kali kunjungan pada bulan April-Mei 2003 dan bulan April-Mei 2004. Setiap kunjungan berlangsung selama dua minggu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey eksloratif yaitu wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Wawancara ditujukan terhadap pemuka adat, sando/tabib, serta masyarakat pengguna atau mengenal tumbuhan obat. Setiap tumbuhan berkhasiat obat dicatat nama lokalnya, bagian yang digunakan, serta cara penggunaan dan kegunaannya. Jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya, diambil contohnya, dibuat herbarium untuk diidentifikasi di Herbarium Bogoriense guna mengetahui nama ilmiahnya.
Keadaan umum lokasi penelitian
Desa Wawolaa dan Lampeapi merupakan dua di antara delapan desa di Kcamatan Wawonii (Pulau Wawonii), Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Pulau ini terdiri dari empat kecamatan yaitu: Wawonii, Waworete, Wawonii Selatan, dan Wawonii Timur. Kata wawonii berasal dari dua kata, yaitu: “wawo” yang berari di atas atau daratan, dan “nii” berarti kelapa. Secara harfiah kata wawonii artinya daratan/pulau yang ditumbuhi pohon kelapa, sesuai dengan kenyataan bahwa di sepanjang tepi pantai sekeliling pulau ini didominasi tanaman kelapa.
Kedua desa di atas dapat dapat dicapai dengan kapal kayu atau ferri dari kota Kendari (ibukota propinsi Sulawesi Tenggara) menuju ke Langara (ibukota kecamatan Wawonii) dengan waktu tempuh berkisar 3 jam, dilanjutkan dengan kendaraan roda dua selama 30 menit (Wawolaa) dan 1 jam (Lampeapi). Desa Wawolaa merupakan hasil pemekaran dari desa Waworope dan secara resmi terbentuk pada tahun 1971. Desa ini terletak pada ketinggian sekitar 100-250 m dpl., terdiri dari 3 dusun dengan jumlah penduduk 743 jiwa dari 54 kepala keluarga (KK). Kelompok sosial masyarakat yang menghuni desa ini terdiri dari 9 suku bangsa dan sebagian besar berasal dari suku Wawonii (etnik asli, 60%). Desa Lampeapi merupakan desa tua dan pelabuhan ferri pertama sebelum Langara.
Desa ini terletak pada ketinggian sekitar 10-150 m dpl terdiri dari 3 dusun dan dihuni oleh 220 KK. Penduduknya sebagaian besar etnik asli (suku Wawonii, 90%) serta pendatang dari Bugis, Flores, dan Jawa. Pemukiman penduduk terkonsentrasi di sepanjang jalan utama desa. Sumber utama mata pencaharian penduduk kedua desa ini adalah bertani dengan sistem ladang berpindah yang ditanami palawija dan sayuran; kebun yang menetap diusahakan untuk tanaman tahunan (kelapa, coklat, jambu mete, dan lada). Mata pencaharian tambahan masyarakat adalah mengambil hasil hutan berupa kayu (untuk perahu), rotan, dan madu. Dalam mengambil hasil hutan ini, masyarakat setempat belum mengikuti peraturan pelestarian. Fasilitas kesehatan terdapat di kedua desa ini seperti Puskesmas di desa Lampeapi dan Puskesmas pembantu di desa Wawolaa yang ditangani oleh mantra kesehatan dan bidan. Fasilitas kesehatan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat setempat dalam memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengurangi peranan pengobatan tradisional setempat.
Masyarakat Wawonii dan status pengetahuannya tentang tumbuhan obat Suku Wawonii merupakan salah satu etnis asli di Sulawesi Tenggara. Etnis ini umumnya berdiam dalam wilayah kabupaten Kendari (Konawe), khususnya di pulau Wawonii yang terletak berseberangan dengan ujung tenggara jazirah Sulawesi Tenggara. Sebagian dari masyarakat ini berdiam pula di bagian utara pulau Buton (Melalatoa, 1995). Seperti halnya masyarakat pedalaman lainnya di Indonesia, masyarakat Wawonii juga memiliki sistem pengetahuan tentang pengelolaan keanekaragaman sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya. Salah satu sistem pengetahuan tersebut adalah pemanfaatan tetumbuhan untuk pemenuhan kehidupan sehari-harinya, antara lain sebagai bahan obat tradisional. Dalam penelitian ini, tumbuhan obat adalah semua jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagaian ramuan obat, baik secara tunggal maupun campuran yang dianggap dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan.
Tidak semua masyarakat Wawonii di lokasi penelitian memiliki tingkat pengetahuan yang sama dalam memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut sangat terkait dengan ilmu pengetahuan seseorang. Umumnya kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing orang.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacam-macam, ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. Oleh karena itu para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat
Fasilitas kesehatan modern terdapat di lokasi penelitian, namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan paska persalinan. Tercatat 73 jenis tumbuhan, terdiri dari 70 marga dan 43 suku, yang digunakan oleh masyarakat setempat sebagai obat tradisional (Tabel). Dari 73 jenis tetumbuhan tersebut 68 jenis digunakan untuk pengobatan penyakit dan 16 jenis digunakan untuk perawatan persalinan. Beberapa jenis di antaranya mempunyai manfaat ganda. Masyarakat setempat memberikan nama lokal tumbuhan dengan cara yang tergolong sederhana, misalnya untuk jenis-jenis benalu diberi nama susuan tomi, jenis tumbuhan liana berbatang kuning disebut oyong kuni, jenis tumbuhan yang menempel pada tumbuhan/pohon lain namun bukan parasit disebut apa-apa, tumbuhan yang berkhasiat sebagai penutup luka dengan urat putus disebut umpu iya dan lain-lain.
Tumbuhan obat ini umumnya merupakan tumbuhan liar di semak-semak belukar, atau gulma di pekarangan dan pada lahan pertanian. Di hutan primer kura eya jarang sekali ditemukan tumbuhan berkhasiat obat, melainkan untuk bahan bangunan/rumah. Menurut sando, jenis-jenis tumbuhan obat yang umum ditemukan di hutan primer antara lain kompanga (Alstonia scholaris (L.) R.Br.), kayu cina (Leptospermum amboinense Blume), oyong kuni (Arcangelisia flava (L.) Merr. dan Fibraurea tinctoria Lour.
Besar kemungkinan jenis-jenis tumbuhan obat tersebut akan tersingkir demi peningkatan produktivitas lahan pertanian, oleh karena itu perlu adanya upaya pembudidayaan/konservasi untuk menanggulangi erosi sumberdaya tumbuhan berguna ini.
Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam perawatan paska persalinan tergolong sedikit dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia, misalnya Lombok, Nusa Tenggara Barat tercatat 44 jenis (Rahayu dkk. 2002) atau di Ciomas, Jawa Barat tercatat 37 jenis (Setyowati-Indarto dan Siagian, 1992). Hal ini kemungkinan disebabkan cukup seringnya kunjungan (sekali dalam seminggu) dan pemberian obat dan vitamin oleh bidan. Dari hasil wawancara dengan sando di desa Wawolaa diketahui ibu yang baru melahirkan dianjurkan untuk meminum air rendaman abu panas hasil pembakaran di dapur. Menurut mereka air abu ini lebih berkhasiat daripada air rebusan ramuan/racikan jamu. Selama mengkonsumsi air abu ini, ibu tersebut harus berpantang untuk minum dan makan hidangan yang panas. Untuk mempercepat pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan, sando di desa Lampeapi mengurung ibu tersebut dalam tikar yang dilingkarkan. Dalam kurungan tersebut diletakkan pula abu panas yang dapat juga ditambahkan akar loiya le (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf) dan buah lasi daru (Amomum compactum Soland. ex Maton). Untuk membuktikan keabsahan tradisi tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Penggunaan daun kapupu (Crinum asiaticum L.) dalam perawatan paska persalinan bertujuan untuk merapatkan atau mengecilkan kembali vagina. Cara penggunaannya yaitu daun yang telah dicuci bersih, dipanaskan di bara api (dilayukan), kemudian ditapelkan ke bagian vagina. Umbi tumbuhan ini digunakan juga oleh masyarakat Saluan (Sulawesi Tengah) sebagai penutup luka, bahkan diperdagangkan sebagai bahan campuran bedak untuk menghilangkan noda-noda pada wajah (Rahayu dkk., 1999).
Hoinu (Abelmoschus esculentus (L.) Moench.) juga merupakan salah satu tumbuhan yang digunakan dalam perawatan paska persalinan yaitu dengan cara mengkonsumsi sayuran dari daun dan buahnya. Tanaman ini bukan tumbuhan asli Indonesia, diduga berasal dari Asia Tenggara (Siemonsma, 1994), namun telah beradaptasi dengan kondisi alam pulau Wawonii dan diperkirakan telah dibudidayakan oleh masyarakat setempat lebih dari 100 tahun yang lalu. Diduga bibit atau biji jenis tumbuhan ini dibawa masuk oleh saudagar-saudagar dari luar ke Pulau Wawonii melalui Pulau Buton (Bau-Bau) yang merupakan pintu gerbang perdagangan rempah-rempah untuk kawasan Indonesia bagian timur. Penanaman tumbuhan ini umumnya bersamaan dengan penanaman padi ladang, pemanenan pertama dilakukan setelah 3-4 bulan masa tanam. Pemanfaatan lain tumbuhan ini sebagai obat yaitu untuk obat penurun panas/demam dengan cara menumbuk daun tua kemudian ditapelkan di dahi.
Penggunaan daun daru (Costus speciosus (Koenig) J.E. Smith) sebagai pencegah kehamilan (KB) dan perawatan paska persalinan (untuk mempercepat keluarnya darah nifas) perlu mendapat perhatian serius. Di Indonesia tumbuhan ini dapat ditemukan hampir di seluruh daerah dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Komponen aktif yang berperan dalam mencegah terjadinya proses kehamilan/kontrasepsi adalah diosgenin (Lubis dkk., 1980) .
Di India, rimpangnya dimakan dan digunakan juga sebagai obat rhematik, radang paru-paru, dan demam (Burkill, 1935). Di daerah lain di Indonesia, air tangkai batangnya digunakan sebagai obat luar untuk radang mata (van Steenis-Kruseman, 1953) dan rimpangnya untuk obat penyakit kelamin atau sipilis, sedangkan air sari batangnya untuk obat disentri (Burkill, 1935). Potensi jenis ini sebagai obat alami cukup besar, sehingga perlu ditindak lanjuti.
Daun ombu (Blumea balsamifera (L.) DC.), rimpang kuni (Curcuma domestica Valeton.) dan daun lewe sena (Piper betle L) digunakan dalam perawatan paska persalinan, sebagaimana dilakukan juga oleh masyarakat lokal lain di Indonesia (Rahayu dkk., 2002; Sunarti dan Rahayu, 1997; Siagian dkk., 1994). Daun muda dan buah malaka (Psidium guajava L.) digunakan untuk obat diare. Daun palan singa (Senna alata L.) untuk obat penyakit kulit (panu) dan batang oyong kuni (A. flava) untuk obat sakit kuning. Hal ini tampaknya juga umum digunakan masyarakat lokal lain di Indonesia (Sastroamidjojo, 1988; Heyne, 1987).
Dari 68 jenis tumbuhan obat, sebagian besar digunakan sebagai obat penurun panas atau demam yaitu hoinu (A. esculentus), kompanga (Alstonia scholaris (L.) R.Br.), kepaya (Carica papaya L.), kawu-kawu (Ceiba pentandra (L.) Gaertn.), bontu (Hibiscus tiliaceus L.), tanga-tanga (Jatropha curcas L), langsat (Lansium domesticum Correa), kayu cina (L. amboinense) dan punti bugisi (Musa sp.). Di antara 9 jenis tumbuhan obat ini, yang paling sering dan umum digunakan oleh masyarakat Wawonii untuk obat penurun panas adalah C. papaya, mengingat jenis ini mudah didapatkan dan merupakan tanaman budidaya yang umum dijumpai di pekarangan atau kebun. Cara penggunaannya dengan meminum rebusan daun tua (kuning), sedang air rebusan akar berkhasiat sebagai obat malaria.
Penggunaan J. curcas sebagai obat penurun panas adalah dengan cara meminum, terutama air rebusan biji, namun hal ini perlu penelitian lebih lanjut, misalnya dosis pemakaiannya, mengingat minyak bijinya mengandung asam palmitik, asam stearik, asam oleik, asam linoleik, dan senyawa racun ester yaitu diterpen 12-deoxy-16-hydroxyphorbol (Susiarti dkk.,1999). Senyawa racun ini dapat menyebabkan iritasi yang kuat pada usus, bahkan dapat mematikan. Tumbuhan ini berasal dari Amerika Latin, menyebar luas ke kawasan tropis lainnya (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968). Di lokasi penelitian seringkali dibudidayakan sebagai tanaman pagar.
Le (Imperata cylindrica (L.) Raeusch) merupakan salah satu gulma yang sulit dibasmi, namun akarnya berkhasiat sebagai obat darah tinggi atau penyakit dalam. Penggunaannya dengan cara merebus akar dan dapat dicampur dengan daun tokule (Kleinhovia hospita L), kemudian airnya diminum. Jonathan dan Hariadi (1999) melaporkan pemanfaatan alang-alang sebagai obat tradisional di Asia Tenggara sangat bervariasi antara lain untuk untuk obat penurun panas/demam, mual-mual, beriberi, sakit kuning, asma, flu, mimisan, batuk, dan sakit ginjal. Penggunaan K. hospita dapat secara tunggal yaitu dengan cara menyeduh air daunnya yang tua (kuning) dan telah dikeringkan seperti meminum teh, sedangkan daun mudanya dapat dijadikan sayur. Menurut Perry dan Metzger (1980) daunnya mengandung asam prussic, triterpinoid, dan sejumlah minyak atsiri; berkhasiat sebagai antipiretik (menurunkan demam) dan antisipilis. Latif (1977) mengemukakan bahwa daun dan kulit batang K. hospital mengandung senyawa sianogenik yang berkhasiat sebagai pembasmi ektoparasit seperti kutu, sedangkan ekstrak daunnya mempunyai aktivitas sebagai anti tumor pada tikus. Di Pulau Wawonii, jenis ini banyak ditemukan di tepi sungai atau semak-semak belukar yang agak lembab. Atas anjuran Dinas Kesehatan setempat, dalam tiga tahun terakhir, di desa Lampeapi jenis ini mulai ditanam di pekarangan rumah sebagai tumbuhan obat dan sayur.
Kulit kayu A. scholaris dan L. domesticum digunakan juga sebagai obat malaria oleh beberapa etnis lain di Indonesia (Uji, 1995). Caranya kulit kayu direbus dan airnya diminum. A. scholaris, A. flava, dan F. tinctoria merupakan tiga jenis tumbuhan obat langka di Indonesia (Mogea dkk., 2001; Moelyono dan Sidik, 1999.). Populasi jenis pertama masih banyak dijumpa di lokasi penelitian, sedangkan populasi kedua jenis lain tergolong jarang dijumpai.
Pulau Wawonii dikenal juga sebagai pemasok ikan untuk kota Kendari. Pembersihan dan cara pengolahan yang kurang sempurna seringkali menyebabkan ikan kurang layak dikonsumsi karena dapat menyebabkan keracunan bahkan mematikan bagi konsumen. Guna menanggulangi keracunan ini masyarakat Wawonii menggunakan dua jenis tumbuhan yaitu pate-pate le (Passiflora foetida L.) dan tolike (Terminalia catappa L). untuk menetralkan racun tersebut. Kulit batang dan akar T. catappa kaya akan kandungan tannin, sedangkan P. foetida mengandung senyawa alkaloid (Perry dan Metzger, 1980).
Komponen aktif yang terdapat dalam kedua senyawa tersebut diduga berperan sebagai penetral racun ikan. Kedua jenis tumbuhan tersebut banyak ditemukan di Indonesia. Jenis pertama merupakan tumbuhan liar di daerah pegunungan atau pada daerah yang berudara sejuk dan lembab, sedangkan jenis kedua banyak dibudidayakan sebagai tanaman peneduh di daerah dataran rendah. Dari hasil wawancara dengan sando dan masyarakat setempat diketahui jumlah jenis tumbuhan obat yang ditemukan relatif sedikit dibandingkan dengan yang mereka ketahui. Hal ini diduga terkait dengan semakin luasnya pembukaan kawasan semak belukar dan hutan untuk lahan pertanian. Dari hasil pengamatan diketahui pewarisan pengetahuan lokal ini ke generasi muda tidak berlangsung baik terutama pengetahuan tumbuhan obat tradisional.
Faktor peningkatan kesehatan dari pemerintah terutama kunjungan dari dinas kesehatan dan pemberian obat dan vitamin merupakan salah satu penyebab terjadinya erosi pengetahuan tumbuhan obat tradisional, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian jenis-jenis tumbuhan obat yang berpotensi untuk dikembangkan dan digalakkannya pelatihan/penyuluhan kepada generasi muda tentang manfaat tumbuhan obat dan pelestariannya.