Prinsip Dasar Perlindungan Hukum
Pengaturan Ultra Vires Dalam Hukum Perseroan Dan Dasar Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang dirugikan akibat perjanjian yang dibuat karena tindakan ultra vires, maka terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin tersebut dalam sistem hukum Indonesia.
Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam hukum perseroan Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Ultra Vires itu berasal dari sistem Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun demikian secara bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan di berbagai Negara seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika Serikat, Australia, dll. Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini sudah memperbarui sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan Doktrin Ultra Vires yang berasal dari system common law itu, maka terlebih dahulu haruslah diketahui apakah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(UUPT) mengatur dalam pengertian menerima doktrin tersebut.
Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai ultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Ultra Vires, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam system hukumnya yang menentukannya secara tegas.
Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan ini dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan.
Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul DoktrinDoktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih mendasarkan pendapatnya pada Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di Indonesia dengan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin yang berlaku universal. Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Ultra Vires ini.
2. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengisyaratkan berlakunya Doktrin Ultra Vires, yang antara lain menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang penting.
Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius. Kendati pun masih mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 yang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, pendapat tersebut pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan dapat diterima. Hal ini disebabkan karena kedua undang-undang itu sama-sama memandang bahwa mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek yang sangat penting sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan perseroan yang harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang dan dituangkan dalam anggaran dasar secara tegas pula.
Secara ringkas dapat dikemukakan, secara implicit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam UUPT terdapat sekitar 3(tiga) kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut:
1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha,
2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara tegas maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya,
3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
Di samping beberapa pengertian mengenai ultra vires yang telah mengisyaratkan keterkaitan antara tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya dengan anggaran dasar(memorandum of association), terdapat pula pandangan, bahwa bilamana suatu perusahaan telah berbadan hukum, perusahaan itu membutuhkan suatu konstitusi(memorandum of association) yang secara mendasar mencatat maksud-maksud untuk mana perusahaan itu didirikan, dan yang mengatur pendistribusian wewenang dalam perusahaan dan yang persoalanpersoalan prosedur internal.
Dari pengertian dan pandangan tersebut dapat diketahui fungsi-fungsi anggaran dasar. Di samping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat kedudukan, jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam hubungan ini anggaran dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk mengukur terjadi atau tidaknya tindakan ultra vires. Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima Doktrin Ultra Vires, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk menerapkan doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan.
Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama adalah untuk melindungi investor atau para pemegang saham. Sehubungan dengan adanya tindakan ultra vires yang berdampak merugikan pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula perlindungan hukum terhadap pihak ketiga.
Kendati pun perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang bersifat ultra vires itu batal(null and void) dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi kelangsungan usaha perseroan.
Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas Itikad Baik
b. Asas Pacta Sun Servanda
c. Doktrin Ultra Vires Modern.
1. Asas Itikad Baik
Agar perjanjian-perjanjian yang dibuat perseroan dengan pihak mana pun dapat dilaksanakan dengan baik dan berkesinambungan dibutuhkan adanya kondisi saling mempercayai. Untuk menumbuhkan kondisi ini maka kedua belah pihak harus menunjukan itikad baik. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, itikad baik itu merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa menggangu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain.
Dengan demikian berarti, perjanjian yang dilandasi itikad adalah perjanjian yang dilandasi kejujuran dan keseimbangan dalam memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Asas Itikad baik pada dasarnya juga mengandung unsure keadilan yaitu keadilan perbaikan(remedial justice). Konsepsi keadilan ini dimaksudkan untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan.
Keadilan ini merupakan pula suatu titik tengah di antara kutub keuntungan(gain) dan kerugian(loss). Konsepsi inilah yang kemudian menjadi pengertian keadilan sebagai perbaikan terhadap kesalahan dengan memberikan ganti rugi kepada korban kesalahan atau hukuman kepada pelakunya.
Dengan bertumpu pada uraian tersebut dapat dikemukakan Asas Itikad Baik relevan sekali dengan perlindungan terhadap pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires. Dalam hubungan ini, pihak ketiga dapat dipandang sebagai korban yang harus diberikan perlindungan hukum.
Keberadaan asas tersebut menjadi semakin relevan dengan adanya ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kalimat terakhir yang menentukan, persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan Pasal 1341paragraf kedua, bahwa hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, diperlindungi. Jadi asas ini memang dapat melindungi pihak ketiga.
2. Asas Pacta Sun Servanda
Sebagaimana pula telah diuraikan, asas Pacta Sun Servanda mengandung pengertian, perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian. Keharusan tersebut diperkuat oleh Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati.
Asas dan ketentuan tersebut harus dikaitkan dengan pandangan bahwa Pasal 1338 dan peraturan-peraturan dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah pada umumnya hanya merupakan “hukum pelengkap (aanvullend recht), bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.
Dengan demikian dan ditambahkan dengan kewajiban melaksanakan berdasarkan itikad baik, kendati pun suatu perjanjian dinyatakan tidak sesuai dengan undang-undang dan ultra vires, maka tidaklah dengan serta merta dapat mengabaikan asas Pacta Sun Servanda. Pelaksanaan asas ini harus tetap dikaitkan dengan asas Itikad Baik, sehingga pihak ketiga tetap memperoleh perlindungan hukum minimal sebatas menyangkut hak-hak pokoknya, seperti pemberian kompensasi atas modal dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
3. Doktrin Ultra Vires Modern
Salah satu perkembangan dari doktrin ultra vires yang cukup monumental adalah perlindungan pihak ketiga (pihak luar perseroan) yang bertransaksi dengan pihak perseroan, bahkan tindakan yang tergolong ultra vires tetap dianggap sah untuk kepentingan pihak lawan transaksi (pihak ketiga) asalkan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pihak ketiga tersebut beritikad baik
2. Pihak ketiga tidak menyadari adanya unsur ultra vires tersebut.
Perkembangan tersebut pada dasarnya bertolak belakang dengan substansi doktrin ultra vires yang bersifat tradisional, dimana suatu tindakan ultra vires berakibat batas demi hukum (null and void) . Berdasarkan perkembangan yang bersifat sangat progresif itu, perlindungan hukum terhadap pihak ketiga menjadi semakin kokoh.
Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Istilah perlindungan hukum atau rechtsbescherming (Belanda) atau legal protection(Inggris) untuk kepentingan uraian ini dipergunakan sebagai suatu konsep untuk menggambarkan hal-hal yang dapat dan patut diberikan oleh hukum agar tidak sampai timbul kerugian pada satu sisi, serta hal-hal yang dapat dan wajib dilakukan untuk menanggulangi kerugian yang timbul.
Batasan tersebut pada dasarnya merujuk pada jenis-jenis perlindungan hukum yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Dikaji dari aspek tujuannya, perlindungan hukum preventif bertujuan mencegah terjadinya akibat hukum yang merugikan dan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menanggulangi atau menyediakan sarana-sarana hukum dalam melakukan penanggulangan terhadap akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu peristiwa atau hubungan hukum.
Dalam kaitannya dengan ultra vires, perlindungan hukum preventif dalam pengertian upaya-upaya menghindarkan atau mencegah agar perjanjian-perjanjian yang ultra vires tidak terwujud dan pihak ketiga tidak terjerumus membuat perjanjian seperti itu (enter into contract) serta mengalami kerugian pada pokoknya terdiri dari:
a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar
b. Meningkatkan client awareness.
a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan kembali bahwa anggaran dasar memegang peranan yang sangat penting. Bagi perseroan eksistensi anggaran dasar merupakan konstitusi dimana ketentuan-ketentuan terutama yang berkenaan dengan pendirian dan beberapa aspek dalam pengoperasian perseroan dituangkan.
Hal tersebut dapat disimak dari ketentuan Pasal 15 ayat
(1) UUPT yang pada pokoknya menentukan anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. Jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham;
f. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
Sebagai landasan konstitusional perseroan, maka anggaran dasar tersebut dapat dikatakan merupakan norma dasar dan menjadi pedoman dalam perseroan. Dengan demikian sudah semestinya tindakan Direksi yang mewakili perseroan harus mematuhi dan sesuai dengan anggaran dasar. Tindakan ultra vires perseroan melalui Direksi itu terjadi karena ketidak sesuaian tindakan tersebut dengan anggaran dasar. Jadi Direksi harus bersikap konsisten terhadap ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar terutama yang mengatur mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Disamping melindungi investor dalam perseroan yaitu pemegang saham sendiri, ketentuan tersebut juga mengandung tujuan melindungi khalayak ramai baik yang berkedudukan sebagai kreditur maupun konstituen lain bagi perseroan seperti pemasok dan pelanggan.
Direksi tidak boleh seperti terbujuk dan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan atau transaksi-transaksi seperti memberikan derma atau pemberian lain, menjadi penjamin atau memberikan jaminan atas utang perusahaan lain baik dalam satu kelompok(grup perusahaan) maupun yang tidak terafiliasi sama sekali, padahal perseroan tidak memiliki kapasitas untuk mengikatkan diri dalam perjanjian seperti itu karena tidak tercantum dalam ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
Dalam hukum perseroan dengan sistem common law, perjanjian atau transaksi-transaksi seperti disebut dengan Gratuitous Transactions yang pada pokoknya merupakan tindakan atau transaksi-transaksi yang tidak berdasar. Dalam kaitan ini Andrew Hicks dan S.H. Goo mengemukakan, perseroan tidak memiliki kompetensi mengadakan hubungan hukum dalam perjanjian seperti itu dan seluruh transaksi yang tidak berdasar itu bersifat ultra vires. (company did not have the capacity to enter into wholly gratuitous transactions which were thus ultra vires).
Ditambahkan pula, untuk mengukur apakah suatu perseroan melakukan gratuitous transactions atau tidak, terdapat beberapa tes yang relevan. Tes-tes tersebut pada pokoknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah transaksi tersebut dilakukan secara insidental ?
2. Apakah transaksi tersebut dapat dipercaya(bonafide) ?
3. Apakah transaksi tersebut menguntungkan dan dapat memajukan kesejahteraan perseroan.
Tes tersebut pada dasarnya dapat bersifat subyektif karena dapat pula mendorong Direksi untuk berspekulasi dan melakukan interprestasi sendiri terhadap anggaran dasar, sehingga akurasinya dalam menentukan apakah suatu transaksi merupakan Gratuitous Transactionsi atau sebaliknya dapat mengundang keragu-raguan.
Suatu spekulasi pada dasarnya merupakan perbuatan yang bersifat untung-untungan dan apabila dilakukan secara berlebuhan dapat mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Sementara itu menurut The Nexus of Contract Theory, perseroan termasuk anggaran dasarnya sebenarnya merupakan akumulasi perjanjian. Melakukan interpertasi terhadap perjanjian(anggaran dasar) yang sudah jelas tidaklah diperkenankan oleh KUH Perdata.
Oleh karena itu pencegahan terhadap tindakan ultra vires dan kerugian pada pihak ketiga masih lebih efektif apabila dilakukan dengan mempergunakan secara langsung ketentuanketentuan dalam anggaran dasar sebagai ukuran yang dicocokan dengan perilaku nyata Direksi. Dengan demikian dalam rangka perlindungan hukum preventif terhadap pihak ketiga maka terhadap Direksi tetap dituntut bersikap konsisten atau taat asas terhadap anggaran dasar .
b. Meningkatkan client awareness
Client awareness pada dasarnya merupakan salah satu sikap yang direkomendasikan oleh Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer sehubungan dengan perancangan kontrak yang efektif. Penulis itu sendiri tidak memberikan definisi mengenai istilah tersebut. Namun demikian istilah tersebut dapat diuraikan dapat diuraikan secara kata demi kata.
Istilah client pada umumnya dipergunakan untuk menyebut antara lain orang yang dibela oleh pengacara dan orang-orang yang dilayani oleh notaris. Akan tetapi secara gramatikal berarti langganan atau nasabah. Oleh karena itu pihak ketiga baik kreditur maupun pemasok dan pelanggan yang berhubungan dengan perseroan dapat pula disebut client perseroan. Sementara itu awareness berarti sadar atau mengetahui. Dengan demikian client awareness mengandung makna, bahwa pihak ketiga dalam menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan harus menyadari dan mengetahui kondisi perseroan, apakah perseroan memiliki kompetensi membuat perjanjian yang dimaksud dengan pihak ketiga.
Untuk menunjang pelaksanaan client awareness tersebut pihak ketiga berhak memperoleh informasi mengenai kompetensi perseroan sesuai anggaran dasar dan Direksi wajib memberikan informasi tersebut. Di Indonesia hal ini menjadi sangat relevan sehubungan dengan adanya kewajiban untuk mengumumkan anggaran dasar perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia(BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia(TBNRI) dengan tujuan agar khalayak mengetahuinya.
Dengan demikian terlihat dengan jelas client awareness yang menekankan perlunya kesadaran dan kewajiban pihak ketiga untuk mengetahui kompetensi perseroan itu pada dasarnya bertujuan mencegah terjadinya tindakan ultra vires dan kerugian pada pihak ketiga, karena apabila pihak ketiga mengetahui atau menyadarinya sudah tentu pihak ketiga dapat mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires
Perlindungan hukum represif dalam pengertian upaya menanggulangi atau menyelesaikan akibat-akibat dari tindakan ultra vires terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian adalah dengan memulihkan atau mengembalikan kondisi pihak ketiga pada keadaan semula.
Dalam kaitan itu sistem hukum harus membuka kesempatan kepada pihak ketiga untuk memperoleh kondisi-kondisinya kembali baik secara litigasi atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun non litigasi seperti arbitrase dan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif. Sementara itu perseroan apabila terbukti ultra vires berkewajiban memberikan remedy berupa kompensasi.