Perbaikan Genetik Sorgum Melalui Program Pemuliaan Tanaman
Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang banyak dibudidayakan di daerah beriklim panas dan kering. Sorgum bukan merupakan tanaman asli Indonesia tapi berasal dari wilayah sekitar sungai Niger di Afrika. Domestikasi sorgum dari Etiopia ke Mesir dilaporkan telah terjadi sekitar 3000 tahun sebelum masehi (House, 1985). Sekarang sekitar 80 % areal pertanaman sorgum berada di wilayah Afrika dan Asia, namun produsen sorgum dunia masih didominasi oleh Amerika Serikat, India, Nigeria, Cina, Mexico, Sudan dan Argentina.
Sorgum memiliki potensi hasil yang tinggi dibanding padi, gandum dan jagung. Bila kelembaban tanah bukan merupakan faktor pembatas, hasil sorgum dapat melebihi 11 ton/ha dengan rata-rata hasil antara 7-9 ton/ha. Pada daerah dengan irigasi minimal, rata-rata hasil sorgum dapat mencapai 3-4 ton/ha (House, 1985). Selain itu, sorgum memiliki daya adaptasi luas mulai dari dataran rendah, sedang sampai dataran tinggi. Hasil biji yang tinggi biasanya diperoleh dari varietas sorgum berumur antara 90-110 hari. Varietas sorgum berumur dalam cenderung akan cocok bila digunakan sebagai tanaman pakan ternak (forage crop).
Sorgum terkenal sebagai tanaman yang tahan terhadap kondisi kekeringan. Secara fisiologis, permukaan daun yang mengandung lapisan lilin dan sistem perakaran yang ekstensif, fibrous dan dalam cenderung membuat tanaman efisien dalam absorpsi dan pemanfaatan air (evavotranspirasi). Hasil studi menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1 kg akumulasi bahan kering sorgum memerlukan 332 kg air, sedangkan jagung, barley dan gandum berturut-turut memerlukan 368, 434 dan 514 kg air (House, 1985). Dibanding tanaman jagung, sorgum juga memiliki sifat yang lebih tahan terhadap genangan air, kadar garam tinggi dan keracunan aluminium.
Berdasarkan bentuk malai dan tipe spikelet, sorgum diklasifikasikan ke dalam 5 ras yaitu: Bicolor, Guenia, Caudatum, Kafir, dan Durra. Karakteristik tipe spikelet masing-masing ras dapat dilihat dalam Gambar 1. Durra yang berbiji putih merupakan ras yang paling banyak dibudidayakan sebagai sorgum biji (grain sorgum) dan digunakan sebagai sumber bahan pangan. Diantara ras Durra terdapat varietas yang memiliki batang dengan kadar gula tinggi disebut sebagai sorgum manis (sweet sorghum). Di banyak negara sorgum manis digunakan sebagai sumber bahan baku pembuatan sirup, gula (jaggery), dan etanol.
Oleh karena sorgum bukan merupakan tanaman asli Indonesia maka keragaman genetik sorgum yang ada di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa varietas sorgum diintroduksi dari International Crop Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT) dan dari beberapa negara seperti India dan Thailand. Setelah melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi kemudian beberapa varietas introduksi tersebut oleh Departemen Pertanian dilepas menjadi varietas unggul nasional. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki beberapa varietas sorgum unggul nasional seperti UPCA, Keris, Mandau, Higari, Badik, Gadam, Sangkur, Lumbu dan Kawali. Varietas-varietas unggul nasional tersebut memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan pada lahan-lahan pertanian di Indonesia.
Gambar Klasifikasi ras sorgum berdasarkan tipe spikelet.
Program Pemuliaan Sorgum
Sorgum tergolong tanaman yang menyerbuk sendiri (selfpollinated crop) dan diploid (2x = 2n = 20). Oleh karena itu, sistem pemuliaan tanaman sorgum kira-kira mirip dengan sistem pemuliaan tanaman padi, kedelai dan sebagainya. Seperti halnya pada padi, pemuliaan tanaman sorgum dapat diarahkan menuju perolehan varietas galur murni atau varietas hibrida. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Cina, sorgum hibrida telah banyak dikembangkan dan memiliki hasil sampai 15 ton/ha. Di masa depan Indonesia mungkin perlu juga mengarah pada pengembangan sorgum hibrida apabila nanti budidaya sorgum telah memasyarakat, meluas dan komersial.
Keterbatasan ragam genetik sorgum memacu pemulia tanaman untuk mencari sumber-sumber genetik baru untuk memperbaiki sifat-sifat agronomi, produksi dan kualitas sorgum. Upaya tersebut mungkin dapat ditempuh melalui program pemuliaan tanaman dengan metoda seleksi, introduksi, hibridisasi, mutasi, bioteknologi. Kombinasi antara metoda-metoda tersebut mungkin juga dapat dilakukan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Seandainya sumber plasma nutfah tersedia cukup, maka pemuliaan sorgum dengan metoda seleksi dapat dilakukan dengan cara memilih sumber plasma nutfah yang tepat dan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi varietas sorgum unggul baru. Namun apabila sumber genetik terbatas maka perlu dilakukan cara lain. Metoda introduksi adalah upaya pemuliaan tanaman dengan mendatangkan sumber genetik (varietas) dari luar negeri/wilayah yang kemudian diteliti daya adaptasi dan daya hasilnya di daerah setempat. Tanaman sorgum introduksi yang terseleksi memiliki daya adaptasi baik, berproduksi tinggi dan atau memiliki sifat keunggulan lainnya kemudian dapat dilepas menjadi varietas unggul baru. Apabila tidak dapat dilepas sebagai varietas unggul baru, sorgum introduksi mungkin bisa dimanfaatkan sebagai sumber genetik baru dalam suatu program persilangan (hibridisasi). Sebagai contoh dan seperti telah disebut di atas, bahwa Indonesia telah mengintroduksi materi genetik sorgum dari luar dan setelah melalui proses penelitian kemudian dilepas sebagai varietas unggul nasional. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki beberapa varietas sorgum unggul nasional.
Sejak dikenalnya hukum Mendel dalam ilmu genetika, pemuliaan tanaman lebih intensif dilakukan dengan metoda hibridisasi yaitu melalui persilangan tanaman (dalam spesies yang sama) yang memiliki sifat-sifat genetik yang berbeda. Perpaduan genetik antara tetua tanaman yang disilangkan diharapkan menghasilkan rekombinasi sifat baru yang kemudian malui proses seleksi dapat menghasilkan galur atau varietas unggul tanaman. Sampai kini telah banyak dilaporkan varietas unggul sorgum yang dihasilkan melalui pemuliaan lewat hibridisasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu genetika, maka akhir-akhir ini dikenal pemuliaan tanaman dengan menggunakan metoda bioteknologi. Dalam upaya meningkatkan keragaman genetik tanaman, pada prinsipnya teknik ini mirip dengan hibridisasi, hanya saja materi yang disilangkan (ditransfer) pada teknik bioteknologi berada pada tingkat gen. Transfer gen dapat dilakukan baik dalam spesies tanaman yang sama maupun yang berbeda. Gen yang ditransfer seharusnya telah diidentifikasi sebagai gen unggul pengontrol ekspresi suatu sifat tertentu, misalnya gen pengontrol ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Transfer gen dapat dilakukan melalui media bakteri (Agrobacterium) atau dengan menggunakan alat biolistic bombardment. Tanaman yang telah menerima transfer gen dikenal sebagai tanaman transgenik, dan apabila tanaman transgenik memang memiliki keunggulan maka dapat dilepas menjadi varietas unggul baru. Namun demikian, di banyak negara penggunaan tanaman transgenik sampai kini masih berada dalam perdebatan karena pemanfaatan tanaman transgenik sangat erat terkait dengan isyu keamanan hayati (biosafety), keamanan pangan (food safety) dan keamanan lingkungan (environmental safety). Setiap negara, termasuk Indonesia, perlu menetapkan peraturan atau regulasi khusus untuk menjamin keamanan penggunaan tanaman transgenik.
Selain dapat digunakan dalam rekayasa keragaman genetik tanaman, bioteknologi (biologi molekuler) dapat juga digunakan sebagai alat (tool) dalam proses seleksi tidak langsung (inderect selection) terhadap keunggulan sifat tertentu pada suatu program pemuliaan tanaman. Teknik seleksi semacam itu dikenal sebagai Molecular Assisted Selection (MAS). Namun secanggih apa teknik MAS yang digunakan, pengujian dan seleksi tanaman di lapangan masih saja tetap diperlukan.
Aplikasi Teknik Nuklir dalam Pemuliaan Tanaman
Iptek nuklir berperan dalam pemuliaan tanaman terutama terkait dengan kemampuannya untuk menimbulkan mutasi. Kemampuan tersebut ada dikarenakan tenaga nuklir, misalnya sinar Gamma, memiliki energi yang cukup tinggi sehingga apabila sinar tersebut melintasi materi reproduksi tanaman dapat menimbulkan ionisasi dan menyebabkan perubahan pada struktur dan/atau komposisi materi genetik tanaman. Perubahan tesebut kemungkinan dapat terjadi pada tingkat genom, kromosom, atau gen (DNA). Perubahan materi genetik yang terjadi secara tiba-tiba, acak dan terwariskan (heritable) ke generasi berikutnya dikenal dengan istilah mutasi. Bahan yang dapat menimbulkan mutasi disebut sebagai bahan mutagen dan tanaman yang telah mengalami mutasi disebut sebagai tanaman mutan.
Sebetulnya mutasi dapat saja terjadi secara alami (spontaneous mutation) dan dapat juga terjadi melalui induksi (induced mutation). Pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan antara mutasi yang terjadi secara alami dan mutasi induksi, hanya saja proses kejadian mutasi induksi jauh lebih cepat dibanding mutasi alami. Keduanya dapat menimbulkan variasi genetik untuk kemudian dijadikan dasar seleksi tanaman, baik melalui seleksi alami (evolusi) maupun seleksi buatan (pemuliaan).
Metoda mutasi khususnya mutasi induksi, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik dalam suatu program pemuliaan tanaman. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji, stek batang, serbuk sari, akar rhizome, kultur jaringan dan sebagainya. Bahan mutagen yang sering digunakan dalam program pemuliaan tanaman digolongkan menjadi dua kelompok yaitu mutagen kimia (chemical mutagen) dan mutagen fisika (physical mutagen). Mutagen kimia pada umumnya berasal dari senyawa alkyl (alkylating agents) misalnya seperti ethyl methane sulphonate (EMS), diethyl sulphate (dES), methyl methane sulphonate (MMS), hydroxylamine, nitrous acids, dan acridines. Sedangkan mutagen fisika bersifat sebagai radiasi pengion (ionizing radiation) dan termasuk diantaranya adalah sinar-X, radiasi Gamma, radiasi beta, neutrons, dan partikel dari aselerators.
Perubahan yang terjadi pada materi genetik (karena mutasi) pada umumnya diekspresikan pada fenotipe tanaman dan diturunkan (inherited) ke generasi berikutnya. Namun dalam beberapa kasus, mungkin juga mutasi tidak langsung terekspresikan pada fenotipe tanaman (silent mutation). Secara relatif ekspresi mutasi pada fenotipe tanaman dapat menuju ke arah positif (desirable mutations) maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat juga kembali ke normal (recovery). Ke arah negatif, mutasi mungkin saja dapat menyebabkan kematian (lethality), ketidaknormalan (abnormality), sterilitas (sterility) atau kerusakan fisiologis (physiological damage). Mutasi yang terjadi ke arah “sifat positif” dan terwariskan (heritable) ke generasi-generasi berikutnya merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia tanaman pada umumnya. Sifat positif yang dimaksud sangat relatif, tergantung pada tujuan program pemuliaan tanaman.
Bahan mutagen kimia dapat menimbulkan mutasi melalui beberapa mekanisme. Gugusan alkyl aktif dari bahan mutagen kimia dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana kepadatan elektron cukup tinggi seperti phosphate groups dan juga molekul purine dan pyrimidine yang merupakan penyusun struktur dioxiribonucleic acid (DNA) tanaman. Seperti diketahui umum, DNA merupakan struktur kimia yang membawa gen. Basa-basa yang menyusun struktur DNA terdiri dari adenine, guanine, thyimine, dan cytosine. Adenine dan guanine merupakan basa bercincin ganda (double-ring bases) disebut purines, sedangkan thymine dan cytosine bercincin tunggal (single-ring bases) disebut pyrimidines. Struktur molekul DNA berbentuk pilitan ganda (double helix) dan tersusun atas pasangan spesifik Adenine-Thymine dan Guanine-Cytosine. Suatu contoh mutasi yang paling sering ditimbulkan oleh mutagen kimia adalah perubahan basa pada struktur DNA yang mengarah pada pembentukan 7-alkyl guanine (IAEA, 1977).
Bahan mutagen fisika bersifat sebagai radiasi pengion (ionizing radiation) yang dapat melepas energi (ionisasi), begitu melewati atau menembus materi. Begitu materi reproduksi tanaman terkena radiasi, proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan pada tingkat sel, genom, kromosom dan/atau gen (DNA). Perubahan yang terjadi sering bersifat permanen dan terwariskan (heritable) ke generasi-generasi berikutnya dikenal sebagai mutasi. Dalam program pemuliaan tanaman, mutasi sering berperan positif dalam upaya meningkatkan keragaman genetik tanaman.
Yang tergolong sebagai mutagen fisika diantaranya adalah sinar-X, radiasi Gamma, radiasi Beta, neutrons, dan partikel dari aselerators. Selama ini sinar Gamma merupakan mutagen fisika yang paling banyak digunakan dalam program pemuliaan tanaman karena memiliki panjang gelombang pendek sehingga energi dan daya tembusnya sangat tinggi. Secara global sinar Gamma telah terbukti paling efektif, efisien dan banyak digunakan dalam menghasilkan varietas unggul bermacam jenis tanaman (Maluszynski, 2000). Karakteristik untuk masing-masing jenis mutagen fisika disajikan dalam Tabel.
Secara global pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi telah menghasilkan banyak varietas mutan tanaman. Sejak tahun 1976 hingga 1996 perkembangan perolehan varietas mutan tanaman sangat pesat dan pada tahun 2000 tercatat sebanyak 2252 varietas mutan tanaman (Maluszynski dkk., 2000). Sebagian besar varietas mutan tanaman dihasilkan dari benua Asia, Eropa dan Amerika. Negara yang paling banyak menghasilkan varietas mutan tanaman adalah Cina, India, Rusia, Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Bahan mutagen yang paling banyak digunakan dalam memproduksi varietas mutan tanaman adalah sinar Gamma, kemudian sinar-X dan neutrons. Varietas mutan tanaman paling banyak dihasilkan adalah dari jenis tanaman biji-bijian (serealia), kacang-kacangan, tanaman industri, dan tanaman sayuran. Khusus untuk tanaman serealia, varietas mutan tanaman padi paling banyak dihasilkan kemudian disusul barley dan gandum (Maluszynski dkk., 2000).
Tabel Karakteristik berbagai jenis radiasi.
Sumber: IAEA, 1977.
Pemuliaan Sorgum dengan Teknik Mutasi
Penelitian pemuliaan tanaman sorgum dengan teknik mutasi telah dilakukan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sejak 1996. Tujuan penelitian adalah memperbaiki genetik tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitas sorgum sesuai dengan kriteria pemanfaatannya. Untuk mendukung peningkatan produksi sorgum maka kriteria sifat-sifat agronomi unggul perlu diimplementasikan dalam proses seleksi tanaman. Sedangkan untuk perbaikan kualitas maka krietria pemanfaatan sorgum perlu dipertimbangkan. Kriteria kualitas sorgum mungkin dapat diklasifikasikan atas dasar pemanfaatannya sebagai bahan pangan, pakan ternak dan/atau bahan baku industri. Oleh karena sorgum memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah-daerah berlahan marginal, maka pemuliaan hendaknya diarahkan mencari genotipe yang dapat tahan terhadap kondisi marginal seperti kekeringan, salinitas tinggi dan lahan masam.
Melalui program kerjasama penelitian, PATIR-BATAN telah mendapatkan sejumlah materi genetik sorgum dari International Crop Reearch Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT). Salah satu dari materi genetik tersebut adalah varietas Durra yang terkenal tahan kekeringan, produksi tinggi dan memiliki kualitas biji yang baik untuk bahan pangan. Sorgum varietas Durra berbiji putih bersih dan di India umum digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan roti (japati).
Dalam upaya peningkatan keragaman genetik tanaman, radiasi sinar Gamma bersumber dari Cobalt-60 telah diperlakukan terhadap benih sorgum varietas Durra tersebut. Tingkat dosis iradiasi rendah sampai tinggi diperlukan dalam studi orientasi dosis dan untuk mempelajari respons tanaman sorgum terhadap iradiasi sinar Gamma. Dari percobaan tersebut kemudian akan dapat diestimasi dosis iradiasi optimal bagi tujuan pemuliaan tanaman sorgum. Pada umumnya dosis optimal iradiasi Gamma ditentukan atas dasar nilai LD-20 dan LD-50 (IAEA, 1977
; VAN HARTEN, 1998). Best Fitting Curve Software digunakan untuk menetukan hubungan atau fungsi yang paling tepat antara dosis iradiasi Gamma dengan respon pertumbuhan tanaman sorgum. Sebagai contoh, pada Gambar 2 disajikan hubungan antara dosis iradiasi Gamma dan laju pertumbuhan tanaman sorgum varietas Durra. Hasil analisa dengan software tersebut diperoleh hubungan fungsi antara dosis iradiasi Gamma (Gy) dan survival reate (%) sebagai outprint berikut:
Gaussian Model: y = f(x) = a*exp((-(b-x)^2)/(2*c^2))
Coefficient Data: a = 106.46282; b = 134.77204; c = 286.19445
LD-20 = 300.13 Gy and LD-50 = 486.63 Gy
(Pembulatan untuk dosis optimal = 300 – 500 Gy)
Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa dosis optimal iradiasi sinar Gamma berkisar antara 300-500 Gy. Keragaman (variance) tanaman yang muncul akibat iradiasi sinar Gamma dipelajari pada generasi kedua setah perlakuan iradiasi (disebut generasi M2). Seleksi tanaman yang memiliki sifat agronomi lebih unggul (dibanding kontrol) juga dimulai pada generasi M2, terfokus pada populasi tanaman berada dalam kisaran dosis optimal (IAEA, 1984). Pemurnian dan pengujian (dibanding kontrol) galur-galur tanaman terseleksi dilakukan berkesinambungan selama beberapa generasi sampai tanaman mencapai tingkat homogenitas tinggi (asumsi genotipe tanaman homozygot). Selanjutnya tanaman unggul yang telah homogen disebut sebagai galur mutan harapan (promising mutant lines).
Sebanyak 70 galur mutan yang terseleksi berdasarkan sifat-sifat agronomi unggul kemudian diuji ketahanannya terhadap kekeringan di Gunungkidul dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengujian dilakukan secara langsung di lapangan dengan mengatur waktu tanam pada saat akhir musim hujan (sekitar bulan Juni 2003-2005). Sebagai tanaman kontrol digunakan varietas asal yang tidak diradiasi (Durra) dan varietas unggul nasional (UPCA dan Higari). Variabel data agronomi yang diamati meliputi daya tumbuh, umur 75% berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering malai, panjang malai, jumlah biji/malai, berat biji/tanaman, produksi biomas, indeks panen, hasil/plot, dan estimasi hasil/ha (ton/ha).
Gambar Kurva respons tanaman sorgum varietas Durra terhadap iradiasi sinar Gamma pada generasi M1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa galur mutan yang secara signifikan memiliki ketahanan sangat tinggi (dilihat dari produksi biomas) dan produksi bijinya relatif tinggi (3-4 ton/ha) pada kondisi kering di Gunungkidul dan Bantul. Diantara galur-galur mutan tersebut adalah galur B-68, B-69, B-72, B-75, B-76, B-83, B-92, B-95, dan B-100. Secara visual, variasi bentuk dan ukuran malai beberapa galur mutan sorgum disajikan dalam Gambar.
Produksi biji galur-galur mutan harapan tersebut secara nyata lebih tinggi dibanding tanaman kontrol yaitu varietas Durra (varietas asal), UPCA dan Higari (varietas unggul nasional). Galur-galur mutan harapan tersebut kini sedang dalam taraf pengujian secara multi lokasi sebelum akhirnya akan diusulkan untuk dilepas menjadi varietas sorgum baru. Perolehan galur-galur mutan harapan tersebut telah memperkaya koleksi plasma nutfah sorgum di BATAN. Ada kemungkinan galur-galur tersebut dapat dilepas menjadi varietas sorgum baru (melalui proses uji multi lokasi) atau mungkin digunakan sebagai sumber genetik dalam program hibridisasi.
Gambar Variasi bentuk dan ukuran malai galur mutan sorgum hasil iradiasi sinar Gamma bersumber Cobalt-60.
Kerjasama Penelitian
Dalam melakukan penelitian tanaman sorgum PATIR-BATAN bekerjasama dengan beberapa mitra diantaranya PT. Multi Usaha Wisesa (LIPPO Enterprises) yang mengembangkan sorgum untuk industri pangan. Selain itu PT. Great Giant Pineapple juga mulai mengembangkan sorgum untuk pakan ternak dan konservasi kesuburan lahan di wilayah perkebunan nanas di Lampung. Kedua perusahaan swasta tersebut sedang melakukan kajian dan analisa kualitas terhadap sorgum hasil riset PATIR-BATAN khususnya yang terkait dengan pemanfaatan sorgum untuk industri pangan dan pakan ternak. Sedangkan pengujian kualitas sorgum untuk industri pati dan etanol dilakukan oleh Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Lampung.
Penelitian sorgum juga mendapat dukungan dan bantuan dari organisasi Internasional yaitu International Atomic Energy Agency (IAEA), Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA), Japan Sociaty for the Promotion of Science (JSPS), dan International Crop Research Institute of Semi-Arid Tropics (ICRISAT). Bantuan internasional umumnya diberikan dalam bentuk peralatan laboratorium (equipments), tenaga ahli (experts), fellowships and scientific visits, training, dan workshop. Khusus dari ICRISAT, PATIR-BATAN telah menerima kiriman bermacam jenis sumber genetik sorgum (breeding materials) seperti tersaji dalam Tabel 2. Materi genetik sorgum tersebut kini tersimpan dalam koleksi plasma nutfah di PATIR-BATAN. Koleksi plasma nutfah sorgum sangat diperlukan untuk penelitian dan pengembangan sorgum ke depan, terutama bagi para peneliti dan mahasiswa yang dapat memanfaatkannya dalam program pemuliaan tanaman.
Tabel Daftar materi genetik sorgum dikirim dari ICRISAT, India.
Abstract
SORGHUM GENETIC IMPROVEMENT THROUGH PLANT BREEDING PROGRAM. Sorghum is actually not Indonesian origin but it has a big potential to be grown and cultivated in this country owing to its wide adaptability. However, sorghum is not as popular as other cereal crops and it is insignificantly grown by very limited farmers. Available genetic variability of sorghum plant is also still low, thus, plant breeding program is badly required in order to support sorghum development in the country. The breeding objective is to search for superior genotypes to help improve sorghum production with good quality according to its use either as food, animal feed or raw material for industry. Any plant breeding method such as that of selection, introduction, hybridization, mutation and/or other related biotechnology may be of appropriate to be applied in sorghum improvement program. Research on sorghum breeding especially by using mutation techniques has been conducted at Center for the Application of Isotope and Radiation Technology, National Nuclear Energy Agency (BATAN) since 1996. Induced mutation was made by Gamma irradiation treatments to the sorghum seeds followed by selection of desirable mutants in successive generations. A number of promising mutant lines have been obtained and they are now under intensive multi location trials before submission for official release. Some of these lines have been identified to be good for food, animal feed, starch and ethanol industry. Sorghum research gets supports from national and international counterparts namely LIPPO Enterprises, International Atomic Energy Agency (IAEA), Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA), Japan Society for the Promotion of Science (JSPS), dan International Crop Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT). So far our sorghum germplasm collection has been enhanced with some national released varieties, promising mutant lines, and precious breeding materials introduced from ICRISAT. These collections may be of useful for further sorghum research and development in Indonesia.