Perdagangan Internasional dan pengembangan Agribisnis
Perjalanan panjang sebuah kegiatan ekonomi pada akhirnya bemuara pada konsumsi produk yang dihasilkan. Dalam hal ini peran perdagangan yang menjembatani proses produksi dan konsumsinya sangat penting. Bahkan pada umumnya marjin keuntungan terbesar dari suatu proses agribisnis adalah pada tahapan perdagangan yang diwakili oleh kegiatan pemasaran.
Dalam ekonomi modem saat ini, barang konsumsi dan modal bisnis dapat dengan mudah diperdagangkan antar negara. Dengan demikian teori ekonomi klasik tentang keunggulan komparatif menjadi tidak sepenuhnya aplikabel. Teori tersebut menyatakan bahwa proses perdagangan intemasional muncul akibat perbedaan sumber daya yang dimiliki setiap negara di dunia. Dengan asumsi bahwa seluruh faktor produksi domestik seperti lahan, tenaga kerja, dan modal adalah konstan, maka suatu negara yang memiliki sumberdaya melimpah akan memperoleh keuntungan dengan mengekspomya ke negara lain, serta mengimpor sumberdaya yang langka dari negara lain
Dunia agribisnis Indonesia telah lama dikembangkan dengan model keunggulan komparatif tersebut. Dengan tingkat harga yang lebih murah dari yang bisa dihasilkan oleh negara lain, komoditas agribisnis Indonesia dianggap telah mampu bersaing di pasar intemasional. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi dunia yang semakin mengglobal, untuk mampu bertahan di perdagangan intemasional, kegiatan agribisnis di suatu negara tidak lagi hanya bisa mengandalkan faktor produksi domestik semata.
Dengan demikian diperlukan strategi yang lebihj itu untuk tetap eksis dan, jika mungkin, meningkatkan peran agribisnis Indonesia dalam perdagangan intemasional.
Tulisan ini mencoba mengulas kondisi perdagangan internasional produk agribisnis Indones ia dan mendiskusikan konsep peningkatan perannya di masa depan, ditinjau dari perspektif bisnis. Studi difokuskan pada perdagangan bilateral antara Indonesia dan Australia di bidang agribisnis.
Agribisnis Indonesia vs. Australia
Wajah perdagangan intemasional produk agribisnis Indonesia dapat dilihat secara mudah dari angka-angka ekspor dan imp or komoditas agribisnis tersebut. Pada tahun 2003 ekspor nop-migas Indonesia mencapai 47.406,8 juta dollar AS (Depperindag, 2004). Darijumlah tersebut kontribusi produk agribisnis mencapai 17.962,7 juta dollar AS atau sekitar 38%. Sementara itu impor non-migas Indonesia pada tahun 2003 mencapai 24.939,8 juta dollar AS (Depperindag, 2004). Dari jumlah tersebut, impor produk agribisnis mencapai 4.312, 1 juta dollar AS atau sekitar 17%.
Pada periode 2002-2003 ekspor produk agribisnis utama Australia mencapai 35.736,48 juta dollar AS6, sedangkan impomya mencapai 4.885,14 juta dollar AS (ABS, 2003).
Hal ini memperlihatkan bahwa nilai ekspor agribisnis Australia sekitar dua kali nilai ekspor agribisnis Indonesia. Bahkan jika prod uk agroindustri Australia, termasuk di dalamnya produk kayu dan barang jadi dari kulit, dimasukkan, maka perbandingan ekspor produk agribisnis Australia dan Indonesia menjadi lebih tinggi lagi.
Terdapat dua faktor utama yang membedakan kinerja ekspor agribisnis Indonesia dan Australia. Pertama adalah masalah teknis yang berkaitan dengan produktivitas lahan pertanian. Pada tahun 2000, luas lahan pertanian Indonesia secara umum mencapai 49.4 juta ha (BPS, 2004), sedangkan produk domestik bruto sektor pertanian minus kehutanan dan perikanan pad a tahun 2002 bernilai 24.207,3 juta dollar AS7 (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2003). Di lain pihak, pada peri ode 2001-2002, luas lahan pertanian Australia mencapai 24 juta ha (ABS, 2004) dan mampu menghasilkan produk pertanian senilai 16.087,5 juta dollar AS. Dengan asumsi bahwa luas lahan pertanian Indonesia tahun 2000 dan 2002 tidak berbeda secara signifikan, maka produktivitas lahan pertanian Indonesia adalah 490 dollar ASIha/tahun. Sementara itu produktivitas lahan pertanian Australia adalah 670.3 dollar ASIha/tahun. Masalah produktivitas lahan ini disamping memiliki dimensi teknologi juga dimensi kebijakan penggunaan lahan. Kedua dimensi terse but seringkali berbenturan baik pada tingkat kebijakan makro maupun mikro.
Faktor kedua adalah masalah non-teknis yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan agribisnis. Seiring. dengan melemahnya sistem politik dan ekonomi komunisme, maka kapitalisme saat ini menjadi kekuatan tunggal yang tidak terhindarkan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dalam hal ini sistem politik dan ekonomi kapitalisme kedua negara sangat mempengaruhi dunia bisnis di negara masing-masing yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja produksi dan ekspor produk agribisnis. Tabel menjelaskan kecenderungan sistem ekonomi dan politik di dua tipe utama kapitalisme.
Tabel Kecenderungan Dua Arus Utama Kapitalisme
Pada dasamya sistem politik dan ekonomi Indonesia bertipe Continental-Asian sedangkan sistem politik dim ekonomi Australia bercorak Anglo-American. Mengingat kapitalisme yang saat ini berkembang berasal dari Eropa dan Amerika Serikat, tidak mengherankan j ika tipe AngloAmerican menjadi lebih sesuai dalam pengembangan sektor-sektor pembangunan termasuk agribisnis.
Ditinjau daTi sefoi efisiensi pemerintahan, Australia tampak lebih efisien dalam menangani masalah agribisnis. Di tingkat pemerintahan federal, agribisnis ditangani oleh Departemen Pertanian, Pertanian dan Kehutanan (Department of Agriculture, Fisheries and Forestry), sedangkan perdagangannya langsung ditangani oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (Department of Foreign Affair and Trade). Dengan demikian koordinasi dalam hal penggunaan lahan dan peningkatan produksi lebih mudah dilaksanakan karena seluruh sumberdaya agribisnis berada dalam satu departemen. Berbeda dengan kondisi Australia, di Indonesia agribisnis ditangani oleh lima departemen berbeda yaitu Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian, dan Departemen perdagangan. Bahkan untuk perdagangan luar negeri masih melibatkan Departemen Luar Negeri. Koordinasi keenam departemen tersebut tentu lebih sulit jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Federal Australia. Hal ini juga seringkali menjadi hambatan tersendiri bagi dunia bisnis untuk menentukan kebijakan-kebijakan bisnisnya karena harus berhubungan dengan panjangnya birokrasi pemerintahan.
Perdagangan Bilateral Indonesia-Australia
Bagi Australia, Indonesia merupakan pasar ekspor terbesar kesepuluh. Produk-produk yang diperdagangkan oleh Australia dan Indonesia meliputi barang manufaktur, tambang dan hasil pertanian (agribisnis). Produk-produk yang diekspor oleh Australia antara lain adalah produk dari gandum, ternak hidup, susu, buah-buahan, dan alat rekayasa. Sementara itu produk-produk yang diekspor Indonesia ke Australia antara lain bahan bakar minyak, kayu olahan, pulp dan kertas, kopi, teh dan karet. Tabel menunjukkan perkembangan perdagangan Indonesia-Australia sejak tahun 1998 hingga 2003.
Tabel. Perdagangan Bilateral Indonesia-Australia 1998-2003 (Juta Dollar AS)
Pada Tabel terlihat bahwa sejak tahun 1998 hingga 2003, secara umum Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan Australia, kecuali pada tahun 2000 terjadi defisit perdagangan sebesar 65 juta dollar AS. Bahkan sejak tahun 2001, nilai surplus perdagangan tersebut cenderung meningkat dari 279 juta dollar AS pada tahun 2001 menjadi 845 juta dollar AS pada tahun 2003. Meskipun secaara umum perdagangan bilateral Indonesia dengan Australia menghasilkan surplus, namun hal tersebut lebih dikarenakan besarnya kontribusi ekspor minyak dan gas ke Australia. Bahkan selama kurang waktu 1999 - 2002, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan non-migas, meskipun pada tahun 2003 mengalami surplus kembali. Hal ini juga berlaku pada neraca perdagangan agribisnis.
Sebagai contoh, pada periode 1998-1999 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan agribisnis dengan Australia sebesar 183.7 juta dollar AS (Newman dan Kopras, 2001).
Pada sisi politik ekonomi, kerjasama Indonesia dan Australia di bidang agribisnis ditandai dengan terjalinnya hubungan antar pemerintah dan antar swasta kedua negera. Di bidang pengembangan produksi, telah dibentuk Australia Indonesia Working Group on Agriculture and Food Cooperation (WGAFC) sejak tahun 1992. Tujuan utama WGAFC adalah untuk memaksimumkan peluang yang tersedia dan meningkatkan kerjasama kedua negara untuk mengembangkan usaha bersama serta memfasilitasi peluang perdagangan dan investasi di sektor pangan dan pertanian. WGAFC memiliki fokus perhatian pada peningkatan:
(1) produk peternakan,
(2) produk tanaman pangan dan
(3) sistem pendukung agribisnis.
Sektor swasta Indonesiajuga memilikijaringan kerjasama yang erat dengan Australia melalui Indonesia-Australia Business Council (JABC). Misi utama organisasi ini adalah untuk.meningkatkan jaringan bisnis dan kemitraan serta mengkomunikasikan peluang investasi dan bisnis di kedua negara.
Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Lingkungan Bisnis Perdagangan intemasional saat ini memperlihatkan tingkat ketergantungan tinggi antarnegara dengan ancaman kompetisi yang ketal. Hal ini mengakibatkan perubahan sosial politik disuatu negara akan berpengaruh pada situasi perdagangan internasional baik pada tingkat regional maupun global. Kondisi ini memaksa setiap negara untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang dikaitkan dengan kecenderungan global perdagangan intemasional.
Bagi dunia bisnis, memahami perubahan-perubahan global dan kebijakan pemerintah di dalam negeri sangat penting bagi pengembangan pasar. Lingkungan strategis agribisnis secara umum diilustrasikan oleh Gambar
Gambar Perusahaan Agribisnis dan Lingkungan Strategisnya
Gambar menjelaskan interaksi tiga kekuatan ekstemal utama yang mempengaruhi agribisnis yaitu globalisasi, perubahan sosial dan perubahan teknologi. Globalisasi telah memungkinkan terjadinya arus modal keluar-masuk negara tanpa hambatan yang berarti. Perubahan teknologi telah membawa pada semakin ketatnya persaingan di bidang bisnis karena proses produksi semakin cepat dan murah. Perubahan sosial telah menghilangkan sekat-sekat kultural proses perdagangan intemasional. Sejauh mana ketiga kekuatan terse but mempengaruhi eksistensi sektor swasta agribisnis sangat tergantung dari kebijakan pemerintah yang diambil. Dengan demikian pemerintah memiliki peran kunci dalam perdagangan dan investasi intemasional.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, kebijakan agribisnis Indonesia terkait erat dengan minimal lima departemen. Dari segi fokus pada permasalahan yang akan dihadapi, maka peran masing-masing departemen sangat efektif untuk mendeteksi persoalan secara lebih cepat, namun dibutuhkan sistem koordinasi yang terpadu untuk mampu mensintesa kebijakan yang mampu mengantisipasi ketiga 'kekuatan ekstemal perdagangan intemasional agribisnis tersebut. Pada tataran ideal, paling tidak diperlukan 7 (tujuh) institusi untuk menjembatani
1. Bank Ekspor-Impor; sebuah institusi swasta yang dimiliki oleh pemerintah yang mendorong ekspor dengan memberikan pinjaman, jaminan dan asuransi pada para eskportir.
2. Sebuah KelembagaanAgribisnis LuarNegeri; sebagai bagian dari Departemen Pertanian yang membantu peningkatan ekspor produk agribisnis, mengelola subsidi ekspor agribisnis dan menangani kredit korporasi agribisnis.
3. Atase Perdagangan; sebagai bagian dari Departemen Perdagangan yang membantu sektor swasta agribisnis yang ingin melakukan perdagangan intemasional.
4. Badan Perdagangan Intemasional; sebagai bagian dari Departemen Perdagangan yang menangani masalahmasalah ketidakadilan perdagangan intemasional.
5. Komisi Perdagangan Internasional; sebuah badan independen untuk membantu pemerintah menetapkan kebijakan tarif dan peraturan-peraturan berkaitan dengan legal formal perdagangan luar negeri.
6. Badan Investasi Swasta; sebuah institusi independen yang menangani analisis risiko sosial politik bagi investasi luar negeri di Indonesia atau investasi swasta Indonesia di luar negeri.
7. Komisi Perdagangan Indonesia; sebuah pos di kabinet yang bertanggung jawab untuk untuk melaksanakan negosiasi dalam perjanjian kerjasama perdagangan internasional.
Indonesia telah memiliki sebagian besar intitusi-institusi tersebut di atas, walaupun dengan nama dan independensi yang berbeda. Stakeholder agribisnis Indonesia perlu melakukan advokasi untuk mengoptimalkan institusiinstitusi terse but dan meningkatkan peran serta independensinya bagi perkembangan perdagangan agribinsis. Sebagai perbandingan, Departemen Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia memiliki tiga institusi utama yang menangani masalah agribsinis, yaitu:
- Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics, yang menangani masalah-masalah alokasi sumberdaya ekonomi pertanian,
- Bureau of Rural Sciences, yang menangani masalah-masalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah-wilayah pertanian, dan
- Australian Quarantine and Inspection Service, inenangani masalah-masalah proteksi terhadap pengaruh spesies asing terhadap eksistensi komoditas pertanian Australia.
Ketiganya membantu perumusan kebijakan pertanian Australia dalam menghadapi tiga kekuatan eksternal bisnis. Koordinasinya dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan telah menunjukkan kinerja ekspor produk agribisnis Australia yang mantap.
Peran Sektor Swasta Agribisnis dalam Pengembangan Ekspor
Dalam teori perdagangan intemasional, terdapat dua arus pemikiran utama yaitu perdagangan bebas (free trade) dan merkantilisme (yang berkembang menjildi neomerkantilisme). Perbedaan keduanya adalah pada diterima tidaknya proteksi perdagangan. Dalam ideologi perdagangan bebas, proteksi perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan suatu inefisiensi alokasi sumberdaya dan dianggap sebagi sebuah biaya. Sedangkan bagi aliran neo-merkantilisme proteksi tetap diperlukan untuk meIindungi industri (terutama yang strategis) di dalam negeri untuk menjaga stabilitas nasional. Saat ini free trade, meskipun belum sepenuhnya, lebih banyak diadopsi oleh banyak negara untuk melakukan perdagangan internasional. Sebagai contoh, Indonesia terlibat perdagangan bebas melalui AFTA, sedangkan Australia baru saja menandatangani kerjasama perdagangan bebas dengan Amerika Serikat.
Mengingat kecenderungan global yang mengarah ke perdagangan bebas tersebut, maka sektor swasta agribisnis dituntut untuk mampu bersaing secara bebas. Kerjasama sinergis dengan pemerintah seperti dalam WGAFC dan IABC merupakan salah satu langkah konkret peran sektor swasta dalam merespon perubahan-perubahan Iingkungan bisnis baik perubahan teknologi, perubahan sosial maupun globalisasi dalam kerangka kebijakan pemerintah yang kondusif.
Meskipun pemerintah melalui kebijakan dan politik ekonomi perdagangan internasional merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan ekspor, bukan berarti sektor swasta tidak bisa terlibat di dalamnya. Upaya aktif sektor swasta dalam membentuk jaringan bisnis yang berkelanjutan dengan mitra dagang luar negeri seringkali lebih efektif dibandingkan dengan upaya diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini pihak swasta dan pemerintah harus mampu bersinergi untuk menciptakan pasar-pasar baru produk agribisnis. Sebagai contoh pemanfaatan peluang pasar adalah yang dilakukan oleh Australia-Malaysia Business Council (AMBC).
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Austrade dan AMBC telah melakukan kerjasama pengembangan makanan halal untuk pasar ekspor intemasional, khususnya timur tengah. Pasar makanan halal intemasional merupakan pasar yang besar yang seharusnya juga menjadi peluang bagi agribisnis Indonesia