Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional
Di dalam fenomena persaingan usaha nasional selalu terdapat issue kondisi struktural ekonomi, issue prilaku pro-persaingan atau anti-persaingan dari para pelaku usaha nasional, serta issue kebijakan persaingan usaha nasional. Dalam issue pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol, untuk issue yang kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari prilaku tersebut dan perspektif hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan (code of conduct) dari prilaku tersebut, sedangkan issue yang ketiga, sangat menonjol perspektif hukumnya. Oleh karenanya, dalam pembahasan issue persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya.
Dalam paper pengantar ini akan dibahas mengenai posisi hukum persaingan usaha di dalam sistem hukum nasional Indonesia, hal ini ditujukan agar dapat diidentifikasi posisi hukum persaingan usaha di dalam pembidangan hukum nasional sehingga pembaca tidak terperangkap pada paradigma pembidangan hukum yang telah usang. Pembidangan hukum yang membagi-bagi permasalahan hukum secara rigid pada bidang hukum publik (hukum negara (tata negara dan administrasi negara) dan hukum pidana) dan hukum perdata (private).
Pembidangan hukum tersebut tidak mengenal adanya bidang hukum yang merupakan kombinasi di antaranya.
Kemudian Bab ini akan pula membahas secara umum mengenai eksistensi dan issue di seputar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat “UU No. 5 / 1999”) yang sampai saat ini dianggap sebagai hukum payung dan paling komprehensif yang mengatur issue persaingan usaha di Indonesia. Selanjutnya akan dibahas pula secara umum mengenai peraturan hukum lain yang juga memiliki substansi persaingan usaha. Untuk peraturan hukum lain ini akan dapat dilihat bahwa ada peraturan hukum yang substansinya pro-persaingan dan ada pula yang anti persaingan. Jikalau peraturan hukum yang anti persaingan tersebut memiliki tingkat yang setara dengan “undang-undang” maka peraturan hukum tersebut jelas kontra produktif terhadap UU No. 5 tahun 1999 karena dapat saja berlaku prinsip “lex specialist derogat lex generalist”. Namun bila aturan hukum tersebut berada di bawah tingkat “undang-undang” maka dapat berlaku prinsip bahwa “hukum di atasnya mengatasi hukum di bawahnya”. Oleh karenanya sebagaimana pula diungkapkan secara implisit dalam peralihan undang-undang ini, aturan hukum yang memiliki tingkat di bawah undang-undang bila itu kontradiktif dengan UU No. 5 / 1999 maka aturan hukum itu secara otomatis tidak berlaku lagi.
Kebijakan Persaingan Usaha versus Hukum Persaingan Usaha.
Terkait dengan prihal eksistensi kebijakan persaingan usaha yang memang kental perspektif hukumnya, perlu kiranya disinggung terlebih dahulu mengenai beda antara terminologi “kebijakan” (“policy”) dan “hukum” (“law”).
Perbedaan pengertian antara terminologi “Kebijakan Persaingan Usaha” (yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai “Competition Policy”) dengan Hukum Persaingan Usaha
(yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai Competition Law) pada dasarnya terletak pada keluasan lingkup pengertian dan bidang pembahasan dari kedua terminologi tersebut. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy) melingkupi pula pengertian dari Hukum Persaingan Usaha (Competition Law) atau dengan kata lain bidang Hukum Persaingan Usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Sedang pengertian dan lingkup bidang dari Hukum Persaingan Usaha tidak melingkupi seluruh pengertian dan bidang dalam Kebijakan Persaingan Usaha.
Definisi Kebijakan Persaingan Usaha disamping melingkupi Hukum Persaingan Usaha, juga melingkupi perihal deregulasi, foreign direct investment, serta kebijakan lain yang ditujukan untuk mendukung persaingan usaha seperti pengurangan pembatasan kuantifikasi impor dan juga melingkupi aspek kepemilikan intelektual (intellectual property). Sehingga apabila di dalam laporan ini digunakan istilah “Kebijakan Persaingan Usaha” maka berarti termasuk pula di dalamnya “Hukum Persaingan Usaha”.
Per se versus Rule of Reason.
Di dalam rezim pengaturan persaingan usaha terdapat dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan yang dikenal dengan istilah “per se” dan pendekatan yang kedua dikenal dengan “rule of reason”. Pada illegal per se (bahasa latin yang sama artinya dengan “dengan sendirinya” / “by itself” atau “in itself” dan not subject to interpretation) beberapa bentuk persaingan usaha seperti penetapan harga (price fixing) harus dianggap secara otomatis (dengan sendirinya) bertentangan atau melanggar dengan hukum karena aspek negatifnya dapat langsung terlihat atau diduga. Pendekatan pelarangan ini, penekanannya terletak pada unsur formal dari perbuatannya. Sehingga tidak diperlukan adanya klausula kausalitas di dalam pengaturannya seperti klausula “…mengakibatkan kerugian perekonomian dan atau pelaku usaha lain.”
Sedangkan dengan “rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara umum. Dalam pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun anti-persaingan (misalnya tindakan merger yang menghasilkan dominasi satu pelaku usaha) tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional pada umumnya. Atau sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan barriers to entry). Oleh karenanya, penekanan pada rule of reson adalah unsur material dari perbuatannya. Dan pada rule of reason, tindakan restriktif tidak rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atu perekonomian nasional pada umumnya. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan klausula kausalitas seperti di atas.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia dimana kondisi sumber daya manusia pelaksana hukumnya (termasuk otoritas pengawas persaingan usahanya) masih kurang baik (lack), direkomendasikan untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “per se” ketimbang “rule of reason”. Hal ini karena pendekatan per se lebih sederhana dalam proses pembuktiannya ketimbang rule of reason.
Namun begitu tindakan-tindakan yang terkait dengan masalah struktur perusahaan seperti merger, konsolidasi, dan akuisisi serta integrasi vertikal yang memang memiliki unsur tujuan efisiensi tetap diperlukan pendekatan rule of reason ketimbang perse.
Sebagai catatan ciri utama undang-undang Amerika Serikat yang dikembangkan dalam penerapan Article 1 Sherman Act adalah pendekatan larangan per se. Sementara prinsip pokok untuk menilai perilaku anti kompetitifnya adalah rule of reason.
Sebelum prihal aspek hukum dari persaingan usaha dibahas lebih jauh memang perlu kiranya dicapai suatu pemahaman bersama berkaitan dengan posisi hukum persaingan usaha dalam wacana sistem hukum nasional Indonesia Perlu dicatat bahwa pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional, tidak dapat dipungkiri telah pula memacu pula perkembangan bidang hukum yang merupakan “rule of the game” dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata dan KUH Dagang serta KUH Pidana yang nota bene merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mahzab Eropa Kontinental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundangundangan yang khusus (lex specialist) di bidang ekonomi tidak lagi dapat terbendung.
Kekhasan yang sangat menonjol dari produk perundang-undangan yang khusus ini adalah kondisi karakteristik substansialnya dimana telah terlingkupinya seluruh aspek dari bidangbidang hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum yang selama ini dianut (hukum perdata dan hukum publik) dalam sistem hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya, masih sebagian pakar hukum tadi, kini pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka bidang hukumnya adalah hukum ekonomi. Untuk itu layak dicermati pendapat para pakar hukum di bawah ini.
Sunaryati Hartono berpendapat bahwa:
"Kalau metode penelitian dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata murni, maka hukum ekonomi Indonesia telah memerlukan metode penelitian dan penyajian yang inter-disipliner dan transnasional. Interdisipliner, karena:
- Hukum Ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum Administrasi Negara, Hukum Antar Wewenang, Hukum Pidana bahkan juga tidak mengabaikan Hukum Publik Internasional dan Hukum Perdata Internasional.
- Hukum Internasional Ekonomi Indonesia memerlukan landasan pemikiran bidang-bidang non-hukum seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan bahkan juga futurologi."
Sri Redjeki Hartono berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif. Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata. Oleh karenanya hukum ekonomi dapat mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum tersebut yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Agus Brotosusilo berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang publik dan perdata seperti sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenyataannya kini hampir tidak ada bidang kehidupan yang terlepas dari campur tangan negara. Dengan demikian untuk keperluan pengkajian ilmiah, bidang hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
(1) Hukum Tata Negara.
(2) Hukum Administrasi Negara.
(3) Hukum Pribadi.
(4) Hukum Harta Kekayaan:
(a) Hukum Benda:
i. Hukum Benda Tetap.
ii. Hukum Benda Lepas.
(b) Hukum Perikatan:
i. Hukum Perjanjian.
ii. Hukum Penyelewengan Perdata.
iii. Hukum Perikatan lainnya.
(c) Hukum Hak Imateriel.
(5) Hukum Keluarga.
(6) Hukum Waris.
(7) Hukum Pidana
Masing masing bidang hukum terdiri dari hukum ajektif (formil) dan hukum substantif (materiel). Pembedaan tersebut di atas bukan merupakan pengkotak-kotakkan, karena seringkali suatu sikap-tindak melibatkan lebih dari satu bidang hukum. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek-aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Perkembangan tersebut menimbulkan berbagai spesialisasi baru di bidang hukum. Misalnya saja, dikenal adanya: hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hukum kesehatan dan sebagainya. Ciri-ciri bentuk hukum baru seperti ini tampak sangat nyata di bidang hukum ekonomi, yaitu seringkali bidang hukum baru ini tidak secara ketat mengikuti pembidangan.
Suatu bidang spesialisasi hukum kadang-kadang mencakup beberapa bidang tata hukum sekaligus.
Sesuai dengan pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa memang hukum ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Oleh karena hukum persaingan usaha merupakan bagian dari hukum ekonomi maka dapat dikatakan pula bahwa hukum persaingan usaha juga memiliki dimensi bidang hukum tata negara (lembaga dan instansi resmi, pusat dan daerah seperti eksistensi Departemen dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan eksistensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha); hukum administrasi negara (pelaksanaan peranan kelembagaan tersebut); bidang hukum perdata (seperti eksistensi perjanjian dan kontrak di dalam kasus-kasus persaingan usaha); dan ada bidang pidananya (sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999), sebagaimana terlihat dalam skema lingkaran di bawah ini.
Skema Lingkaran Hukum Persaingan Usaha.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata saja tapi lebih luas lagi yaitu melikupi hukum publik (hukum negara dan pidana).
Undang-undang No. 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Di bawah ini dipaparkan secara ringkas substansi dari UU No. 5 / 1999 sebagaimana berikut.
a. Larangan terhadap dua atau lebih pelaku usaha untuk melakukan perjanjian yang bersubstansi:
• Praktek Oligopoli (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 4).
• Penetapan Harga (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk: menetapkan harga (kecuali dalam usaha patungan atau berdasar undang-undang); diskriminasi harga; membuat harga di bawah harga pasar; atau melarang penjualan kembali dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan, Pasal 5-8).
• Pembagian wilayah pemasaran (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan wilayah pemasaran atau alokasi pasar sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 9).
• Pemboikotan (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama atau menolak untuk menjual produk pelaku usaha lain, Pasal 10)
• Kartel (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 11).
• Trust (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 12).
• Oligopsoni (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 13).
• Integrasi Vertikal (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat, Pasal 14).
• Perjanjian Tertutup (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama dari pelaku usaha lain, Pasal 15).
• Perjanjian denga Pihak Luar Negeri (perjanjian dengan pelaku usaha luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 16).
b. Larangan terhadap suatu kegiatan atau tindakan sebagai berikut:
• Monopoli (pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 17).
• Monopsoni (pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 18).
• Penguasaan Pasar (dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; atau menghalangi konsumen untuk bertransaksi dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk menyingkirkan pesaing (Pasal 20); dengan curang menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya (Pasal 21)).
• Persekongkolan (dilarang melakukan tender kolusif (Pasal 22), bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23), bersekongkol untuk menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24)).
c. Penyalahgunaan Posisi Dominan:
• Dilarang menggunakan posisi dominan secara langsung maupun tidak untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen; membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pesaing memasuki pasar bersangkutan. Pasal 25.
• Jabatan rangkap (dilarang merangkap jabatan direktur/komisaris di dua perusahaan atau lebih bila perusahaan lainnya; berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau memiliki keterkaitan dalam bidang dan jenis usaha; secara bersama menguasai pangsa pasar; yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), Pasal 26.
• Pemilikan saham (dilarang pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar), Pasal 27.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (dilarang bila dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan ada kewajiban notifikasi bila mengakibatkan penguasaan aset atau nilai tertentu), Pasal 28 dan 29.
d. Undang-undang ini menetapkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memiliki kewenangan yang signifikan untuk tidak hanya mengawasi pelaksanaan undang-undang ini tetapi juga untuk melakukan tugas penilaian perjanjian, kegiatan usaha, penyalahgunaan posisi dominan, melakukan tindakan berdasar kewenangan, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta berwenang untuk menerima laporan, penelitian, penyelidikan, memanggil pelaku usaha dan saksi, meminta keterangan institusi pemerintah, memutuskan dan menjatuhkan sanksi administratif yang berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran undang-undang ini. Pasal 30-37.
e. Undngan-undang ini juga menetapkan suatu tata cara khusus dalam penanganan perkara persaingan usaha. Dan terdapat ketentuan acara khusus bagi lembaga peradilan dalam menangani kasus persaingan usaha seperti ditiadakannya upaya banding ke Pengadilan Tinggi yang ada adalah upaya kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri atas kasus persaingan usaha. Pasal 38-46.