Aspek pendukung E-commerce.
Guna menjalankan bisnis elektronis, dibutuhkan aspek-aspek pendukung yang tidak persis sama dengan bisnis konvensional, oleh karena pembeli tidak secara langsung berinteraksi dengan penjual. Beberapa aspek yang penting untuk diperhatikan adalah (menurut Mardiyanto M.S):
Aspek Hukum (Legal):Hukum yang mengatur proses bisnis pada E-commerceuntuk melindungi hak pembeli dan perusahaan penjual, misalnya untuk menyatakan bahwa suatu transaksi dinyatakan sah atau tidak.
Aspek Etika Bisnis Elektronis: Kode etik yang harus ditaati oleh perusahaan dalam kaitan dengan hubungan antar perusahaan elektronis ataupun antara perusahaan dengan pelanggan (misalnya tentang kerahasiaan identitas pelanggan).
Aspek Teknologi: yang berkaitan dengan teknologi pendukung E-commerce, baik perangkat keras (hardware), maupun perangkat lunak (software) yang handal (reliable) dan aman (secure) seperti : Situs WEB, jaringan komunikasi data (jaringan komputer), protokol komunikasi data dan antarmuka pemakai (user interface).
Aspek Ekonomi Global: untuk digunakan sebagai landasan yang berlaku universal di semua negara bagi para pelaku E-commerce.
Sejarah
Awal perdagangan digital atau E-commerce ditandai dengan berdirinya sejumlah “perusahaan elektronis” (E-company). Perusahaan elektronis ini tidak membutuhkan etalase untuk memajang dagangannya, tetapi cukup menayangkan gambar dan spesifikasi produk/barang dagangannya secara online melalui layar komputer yang terhubung ke Internet. Dengan cara tersebut pembeli dapat memilih barang yang akan dibelinya dan menyimpannya pada “keranjang belanja maya”, kemudian membayar secara elektronis dengan memberikan otorisasi pembayaran kartu kredit. Untuk menjamin keamanan transaksi, sejumlah prosedur otentikasi (authentication) dapat dilakukan oleh pembeli. Hal ini juga berguna untuk menghindari pemalsuan jati diri pembeli oleh orang yang tidak berhak. Selanjutnya barang yang dibeli akan dikirim ke alamat pembeli dengan bantuan jasa ekspedisi (freight forwarder) atau melalui pos.
Salah satu “perusahaan elektronis” yang merintis E-commerceadalah Amazon.com yang didirikan pada tahun 1994, oleh Jeff Bezos, seorang sarjana Ilmu Komputer. Dalam kurun waktu lima tahun, Amazon.com telah tumbuh pesat dan memperluas bidang bisnisnya dengan mengakuisisi beberapa E-company saingannya, antara lain: Drugstore.com, HomeGrocer.com, dan Gear.com. Jumlah pelanggan Amazon.com diperkirakan telah mencapai 12 juta E-shopper, dengan jumlah barang yang dijual sekitar 19 juta item barang. Perusahaan elektronis lainnya yang bergerak di bidang perdagangan sejenis adalah AOL (America Online), yang belum lama ini melakukan merger dengan perusahaan Time Warner.
Perkembangan E-commercesecara global.
Dengan meningkatnya persaingan di dunia bisnis maka telah banyak pula perusahaan yang mulai melirik transaksi melalui internet (e-commerce). Hal ini memacu perkembangan E-commerce secara spektakuler. Newsweek ( Pikiran Rakyat.com, 2003) menyebutkan business to business (B2B) E-commerce meningkat dari 200 miliar dolar AS pada tahun 2000 menjadi 1.200 miliar dolar AS pada tahun 2003, yang artinya meningkat 6 kali lipat dalam waktu 3 tahun.
Selain itu perkembangan transaksi bisnis melalui e-commerce pada tahun 2003 juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Bahkan bisnis jasa ini diperkirakan akan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang.
Perkembangan E-commerceIndonesia.
Menurut Saragih Barita. 2000 di Indonesia, statistik menunjukkan bahwa transaksi e-commerce semakin meningkat bahkan dapat dikatakan sudah menjadi kebutuhan. Sampai tahun 2000 ini, pengguna jasa internet service provider (ISP) diperkirakan tumbuh sampai 400 persen dengan jumlah 1,5 juta orang. Namun menurut Teddy Sukardi ( dalam Bisnis.com, 2003 ) perkembangan e-commerce di Indonesia masih terbatas pada skala kecil. Padahal, secara teknis sebenarnya sudah siap mengadopsi teknologi tersebut. Menurut Bambang, 2000 terbatasnya perkembangan itu disebabkan pelaku bisnis masih sulit melakukan transaksi dan pembayaran secara elektronik dengan aman. Bisnis e-commercedi Indonesia dinilai memiliki risiko bisnis cukup tinggi, karena belum adanya UU bidang teknologi informasi (cyber law). Akibatnya, penggunaan e-commerce saat ini baru pada level dua yakni komunikasi melalui e-mail dan menyajikan informasi produk di web. Padahal seperti yang kita ketahui e-commerce banyak memberikan keuntungan. Menurut Purbo, 2001 keuntungan - keuntungan yang dapat diambil dengan adanya e-commerce antara lain :
- Revenue stream (aliran pendapatan) baru mungkin lebih menjanjikan, yang tidak bisa ditemui di sistem transaksi tradisional.
- Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar)
- Menurunkan biaya operasional (operating cost)
- Melebarkan jangkauan (global reach)
- Meningkatkan customer loyalty
- Meningkatkan supplier management
- Memperpendek waktu produksi
- Meningkatkan value chain (mata rantai pandapatan).
Meskipun e-commerce merupakan sistem yang menguntungkan karena dapat mengurangi biaya transaksi bisnis dan dapat memperbaiki kualitas pelayanan kepada pelanggan, namun pemanfaatan e-commercejuga dapat menimbulkan risiko antara lain:
- Kehilangan segi financial secara langsung karena kecurangan.
Misalnya seorang penipu yang berasal dari dalam atau dari luar mentrasfer sejumlah uang dari rekening yang satu ke rekening yang lainnya, atau dia menghancurkan/mengganti semua data financial yang ada.
- Pencurian informasi rahasia yang berharga.
- Padanya banyak organisasi atau lembaga-lembaga yang menyimpan data rahasia yang sangat penting bagi kelangsunag hidup mereka. Misalnya kepemilikan teknologi atau informasi pemasaran maupun informasi yang berhubungan dengan kepentingan konsumen atau client mereka. Gangguan yang timbul bisa menyingkap semua informasi rahasia tersebut kepada pihak-pihak yang tidak berhak dan dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi si korban.
- Kehilangan kesempatan bisnis karena gangguan pelayanan.
Bergantung pada pelayanan elektronik dapat mengakibatkan gangguan selama periode waktu yang tidak dapat diperkirakan. Kesalahan ini bersifat kesalahan yang nonteknis, seperti aliran listrik tiba-tiba padam, atau jenis-jenis gangguan tak terduga lainnya.
- Gangguan akses ke sumber oleh pihak yang tidak berhak.
Pihak luar mendapatkan akses yang sebenarnya bukan menjadi haknya dan dia gunakan hal itu untuk kepentingan pribadi. Misalanya seorang hacker yang berhasil membobol sebuah sistem perbankan, setelah itu dengan seenaknya sendiri dia memindahkan sejumlah rekening orang ke dalam rekeningnya sendiri.
- Kehilangan kepercayaan dari para konsumen.
Kepercayan konsumen terhadap sebuah perusahaan/lembaga/institusi tertentu dapat hilang karena berbagai macam factor, seperti usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh pihak lain yang berusaha menjatuhkan reputasi perusahaan tersebut, dan bisa juga karena kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan oleh perusahaan itu yang mengakibatkan kepercayan konsumen hilang.
- Kerugian-kerugian yang tidak terduga.
Gangguan terhadap transaksi bisnis, yang disebabkan oleh gangguan dari luar yang dilakukan dengan sengaja, ketidakjujuran, praktek bisnis yang tidak benar, kesalahna factor manusia (human error), atau kesalahan sistem elektronik, mengakibatkan kerugaian transakasi bisnis yang tidak bisa dihindari terutama dari segi financial. Sebagai contoh, konfirmasi sebuah transakasi tidak diterima dengan baik sebagaimana mestinya. Kehilangan kesempatan bisnis, hilangnya kredibilitas dan reputasi, dan kerugian biaya yang besar merupakan risiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi, namun kita harus siap untuk mengatasi dan mangantisipasinya.
Hukum Indonesia Dan e-commerce
Praktik bisnis e-commerce mengandung risiko bisnis dan ketidakpastian yang sangat tinggi dan untuk memperkecil ketidakpastian itu, perlu adanya aturan yang mengatur transaksi bisnis canggih ini. Tetapi di Indonesia belum ada hukum yang mengatur kegiatan bisnis ini. Mulya Lubis (dalam Bambang 2000) mempertanyakan bagaimana status hukum saham yang diperdagangkan melalui fasilitas Internet, yang meniadakan bentuk surat saham secara fisik. Juga mengenai dokumen berharga seperti bond(obligasi) yang scriptless (tanpa warkat) yang perlu dilihat secara saksama aspek hukumnya, jika dimainkan secara e-commerce. Undang-undang nasional yang ada seperti UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU Nomor 36/199 tentang Telekomunikasi, tidak mengatur soal ini. Sehingga ancaman kejahatan transaksi bisnis di dunia maya di Indonesia masih sangat besar dan terbuka lebar.
Selain itu Perundang-undangan yang ada seperti hukum kontrak (KUHPerdata) dan hukum dagang (KUHD) tidak lagi memadai untuk mengatur aktivitas-aktivitas internet, termasuk e-commerce. Untuk itu diperlukan adanya legislasi demi adanya kepastian hukum.
Masalah-masalah hukum yang dapat muncul di bidang hukum kontrak dan dagang sehubungan dengan transaksi elektronik ini, seperti kapan saat sebuah kontrak ditutup (tijdstip van sluiting van het contract), keabsahan dokumen dan catatan elektronik tanpa tanda tangan, serta apakah obyek transaksi selain barang bergerak dan/atau jasa bisa juga mengenai barang tidak bergerak dan hak atas kekayaan intelektual seperti paten, merek dan hak cipta.
Masalah hukum lain adalah bagaimana peralihan hak (levering atau transfer of title) dilaksanakan, tuntutan hukum sehubungan dengan adanya wanprestasi/cedera janji (misalnya pembayaran dalam e-commerce dilakukan dengan kartu kredit curian atau barang yang diperjanjikan tidak sebagaimana yang dimaksudkan). Pertanggungjawaban dari network service provider selaku perantara (aansprakelijkheid van tussenpersonen) serta hukum dan forum pengadilan mana yang berwenang dalam penyelesaian kasus-kasus yang timbul, juga perlu diatur.
Beberapa negara seperti di Amerika Serikat, sudah ada Uniform Computer Information Transactions Act dan Uniform Electronic Transactions Act. Demikian juga Negeri Belanda telah mengatur e-commerce dengan apa yang disebut de Code of Conduct voor Elecktronisch Zakendoen.
Singapura telah memiliki Electronic Transaction Act dan the National Computer Board Act. Di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), badan dunia ini juga telah mengeluarkan UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.
Masyarakat Eropa (melalui Parlemen dan Dewan Uni Eropa) telah pula menerbitkan Richtlijn (garis arahan) bagi negara-negara anggota dalam mengatasi persoalan mengenai kapan sebuah kontrak dalam e-commercesecara hukum mengikat. (Saragih, 2000).
Belum adanya hukum yang mengatur E–commerce di Indonesia menyebabkan ruang untuk melakukan kejahatan bagi orang – orang yang tidak bertanggungjawab semakin besar. Kejahatan melalui internet ini seperti pornografi, perjudian, pengintaian, prostitusi, dll semakin meningkat dan semuanya ini dapat merusak moral bangsa. Selain itu perusahaan domestik dan asing akan berfikir dua kali untuk memperdagangkan produknya lewat internet karena adanya ketidakpastian hukum. Para penjahat bisa saja menipu perusahaan sehingga mereka ataupun pihak lain mendapatkan kerugian. Selain itu hal ini akan memundurkan E-commerce di Indonesia padahal hal ini sangat menguntungkan bagi semua pihak.
Menurut Abdul (dlm Bambang, 2000) Selama belum ada aturan hukum yang mengatur bisnis di lapangan, maka sebaiknya para pelaku mengikuti hukum kebiasaan yang ada selama ini. Diharapkan walaupun belum ada aturan hukumnya, para pelaku tetaplah memakai konvensi atau kebiasaan berbisnis yang menjunjung tinggi itikad baik, asas kepatutan, dan berkeadilan. Dalam pengaturan hukum e-commerce di Indonesia jangan disandarkan pada nilai-nilai hukum yang tradisional. Diharapkan jangan sampai ada kesan pemaksaan penggunaan landasan hukum tradisional untuk praktik bisnis e-commerce ini. Menurut Heru S (dlm Bambang, 2000) perkembangan yang pesat di sektor e-commerce di negara tetangga seharusnya memacu pemikiran untuk mengembangkan hukum pidana dan hukum dagang nasional yang dikaitkan dengan perkembangan fenomena bisnis di alam maya ini.
Mengingat E-commerce sangat membantu para pelaku bisnis didalam melakukan transaksi bisnisnya, dan juga dapat menjadi lahan pemasukan bagi pemerintah serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, maka sangat diharapkan pemerintah dapat dengan serius memikirkan hal ini untuk kemudian membuat peraturan yang mengatur tentang E-commerce demi keamanan bertransaksi. Agar perusahaan-perusahaan Indonesia dapat mengikuti perkembangan globalisasi dan dapat tetap bertahan dalam persaingan global.