Reinventing Pendidikan ( Berkebudayaan) Indonesia
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan. Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek pendidikan zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.
Jaman kolonial sekolah dikelompokkan menurut ras[1] dan level mutu yang dijadikan penentu. Pertama-tama sekolah dipisahkan untuk ras Eropa, ras Cina, Arab dan India, dan ras pribumi. Kemudian, sekolah untuk ras pribumi dibagi dalam tiga level mutu yaitu: sekolah untuk bangsawan dan elit lokal, sekolah untuk kelas menengah perkotaan, dan sekolah rakyat desa. Singkat kata, penambahan jumlah sekolah sebagai bagian peluasan akses pendidikan tidak dibarengi penghapusan segregasi dan diskriminasi yang membatasi kesempatan warga pribumi.
Tujuan pemerintah kolonial menyediakan pendidikan bagi warga pribumi belum beranjak dari desain sebelum politik etis[2], yakni dihasilkannya pegawai terampil yang mau digaji rendah. Proses pendidikan pada jaman kolonial disterilkan dari paham dan gerakkan nasionalisme kebangsaan Indonesia. Pemerintah kolonial berpendirian bahwa sekolah harus bebas dari politik ideologi[3]. pendidikan diarahkan pada upaya mengenalkan konteks kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar. Dengan upaya itu, pemerintah kolonial menekankan pentingnya murid mengenal lingkungan alam sosialnya. Pengajaran tidak hanya diorientasikan pada pemhaman atas hidup dan lingkungan sendiri, tetapi juga pada terbentuknya keyakinan murid tentang “status kerakyatannya (onderdaanschap) dalam kesatuan negara Belanda. Singkatnya, pemerintah kolonial menanamkan pemahaman, bahwa hanya lingkungan alam sosial tempat tinggal murid dan negara Belanda-lah yang ada sebagai satu kesatuan, bukan “Indonesia” dan yang lainnya.
Pilarisasi sistem pendidikan, yang memilah-milah ketersediaan dan mutu sekolah menurut ras dan kelas sosial-ekonomi murid, memastikan murid dididik “sesuai asal usulnya” dan tidak tercerabut dari asal usulnya itu. Praktik pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja".[4] Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Belanda (Barat) diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Belanda (Barat) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang dalam tempo yang singkat, bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti amat signifikan. Lewat pendidikan Jepang, sistem pendidikan disatukan, tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia merdeka dari Belanda. Pemerintah Indonesia melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Pada masa ini, politik mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan, terutama periode Orde Lama.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965, dipengaruhi sistem pendidikan Belanda. Setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan pendidikan sebagai instrumen pembangunan. Praktek pendidikan sebagai alat untuk pendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan. Dengan kata lain praktek pendidikan bersumber pada kebijaksanaan guna kepentingan pembangunan ekonomi[5]. Perkembangan pendidikan yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun kecepatan perkembangan cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis.
Proses pendidikan diperlakukan sebagai sebuah pabrik. Akibatnya guru dan murid yang memiliki "kepribadian" tidak mendapatkan perhatian, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat. Sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembang manusia bermental "juklak" dan "juknis" yang diberlakukan seragam. Akibatnya di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.
Di samping praktek pendidikan mendorong munculnya generasi terdidik bersifat materialistik, individualistik, hedonistik, dan konsumtif. Ini merupakan konsekuensi logis pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini[6].
Ada bentuk produk pendidikan yang menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", suka menarabas , menjunjung tinggi keatasan, pragmatis[7] dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang, generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrinsik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person)[8]. Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.
Agen yang mengawasi
Pakar pendidikan H.G. Wells[9], mengatakan “ semakin tumpulnya etika sosial masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktek anomali dalam sistem pendidikan, sebagai salah satu sebab kemungkinan”. Demikian hipotesis H.G. Wells dalam laporan hasil penelitian dengan judul “ The Catastrope of Education, 1981, pada beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Penelitian H.G. Wells didorong atas dasar gejala ketidakberesan dalam sistem sosial, sistem pemerintahan, pendidikan pada negara berkembang.
Kalau saja H.G. Wells itu benar, maka kita tidak perlu sakit hati atau dengan kata lain sia-sialah guru-guru atau dosen-dosen kita mengajar anak-anak kita, karena toh pada akhirnya pendidikan menghasilkan manusia mentalitas korup, tidak jujur, suka rampok. Bahkan gejala ini sudah menjalar sampai kepada lembaga agama, yang diyakini mempunyai kekuatan menolak segala bentuk anomali dalam masyarakat. Mestinya sekolah/kampus adalah tempat dimana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiannya. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari ancaman-ancaman, di sana mereka belajar tentang demokrasi. Pokoknya sekolah adalah tempat memanusiakan manusia merdeka.
Namun dalam praktek justeru sebaliknya. Di sekolah anak-anak menjadi muram, sedih, takut menghadapi guru. Di sekolah anak-anak kehilangan kegembiraan dan terasing dari sesama teman. Mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi anak-anak yang hidupnya diwarnai dengan bermain. Di sekolah juga anak-anak sudah mulai resah, tak tahu nasib apa yang bakal menimpanya di masa depan.[10]
Prof. Kurt Singer, dalam bukunya “Jika Sekolah membuat Sakit”, 2000, membeberkan panjang lebar gejala anomali pada pendidikan kita. Menurut Singer sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat para siswa/mahasiswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah/kampus bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Kurt Singer menyebut pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan itu, sebagai Schwarzer Paedagogic[11] (pedagogi hitam).
Gejala anomali dalam pendidikan, setidak-tidaknya ada tiga faktor sebagai sebab. Pertama, semakin banyak guru berperan sebagai komandan lapangan tempur, yang tidak mengenal kata maaf. Kedua, sistem sekolah lebih mendekati model pendidikan penjara, anak-anak tidak pernah diajar tentang kebebasan berpikir, bergaul dan memiliki perasaan sosial dengan temannya. Sistem sekolah sengaja mengkotak-kotakkan anak yang bodoh dan yang pintar ( jalur akselerasi atau pertimbangan kaya dan miskin). Ketiga, guru atau dosen benyak mengambil jalan pintas dalam hal jual beli nilai atau mengajar/membimbing siswa/mahasiswa asal-asalan, sehingga siswa/mahasiswa kita tidak lebih sebagai “ tahu sepotong-sepotong mengenai sepotong-sepotong”[12].
Disamping itu sadar atau tidak pendidikan kita akan bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang mandiri. Hampir seluruh kegiatan di sekolah atau kampus belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan minat siswa/mahasiswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras. Mentalitas jalan pintas rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita, budaya trobosan, budaya menjilat pimpinan, budaya mediokritas. Di kalangan siswa/mahasiswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya menyontek, budaya plagiat, penelitian fiktif, budaya malas berpikir, budaya malas berdiskusi, budaya malas menulis, budaya suka jalan pintas. Oleh karena itu sekolah/kampus sejak dini perlu diajarkan bekerja keras dan jujur menurut kesanggupannya dan dijauhkan dari kebudayaan babu (babysiting culture). Sebab menumbuhkan warisan kerja keras dan jujur akan sulit tumbuh dalam kebudayaan babu. Pemikiran ini berawal dari suatu sintesa bahwa pada akhirnya pendidikan itu tidak akan bermanfaat apabila menghasilkan “ babysiting culture”[13].
Visi pendidikan masa depan harus jelas dan setidak-tidaknya tetap menghasilkan manusia apa yang disebut “ theologicalsynergism”. Artinya, pendidikan tidak menghasilkan manusia robot tanpa tuhan, pendidikan tetap menghasilkan manusia mengakui adanya kekuatan ilahi yang mengatur kekuatan jagat raya, yang berarti pula pengakuan terhadap keterbatasan iptek (keserasihan antarrasio dan alam semesta, antarmanusia dan tuhan, mengharmoniskan moral dan teknologi). Dengan demikian pendidikan kita tidak hanya mengurus bagaimana supaya manusia jadi pintar, tetapi lebih menampilkan sosok yang humanis.
Otonomi pendidikan sebagai jawaban atas inequty dan inequality atas sistem pendidikan. Disatu sisi otonomi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ini berarti pemberdayaan sekolah sebagai masyarakat belajar (learning society) harus lebih dioptimalkan. Jika otonomi pendidikan sudah berjalan dengan baik, maka kemungkinan gejala anomali atau pedagogi hitam dalam praktek pendidikan akan semakin tereduksi, karena adanya kontrol yang sangat ketat dari masyarakat ataupun pers. Tugas pendidikan setidaknya mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah lama hilang dan tetap mempertahankan fungsinya sebagai garda depan pengajaran nilai, kejujuran, moral, etika sosial, sehingga terwujudlan manusia Indonesia yang bermoral tinggi, tanggungjawab, dan suka bekerja keras.
Keterlibatan masyarakat atau pers sebagai mitra sekolah akan sangat membantu perbaikan manajemen sekolah. Dan seluruh kegiatan pendidikan masa depan harus mengakomodir persoalan substansi yakni basic competency, yakni kombinasi antara academic competency dengan moral competency. Pada tingkat yang lebih tinggi kepala sekolah sebagai pilar kemajuan sekolah berperan menjadikan sekolah sebagai “ learning organization” yang senantiasa respons terhadap perubahan yang terjadi pada tingkat makro.
Dalam banyak hal keberhasilan pendidikan diukur sampai seberapa jauh pendidikan menunjang tingginya moral suatu bangsa serta pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Oleh karena itu cukup beralasan jika Gestener, dalam Tilaar[14], mengatakan bahwa, permasalahan yang dihadapi lembaga pendidikan bukannya tidak adanya kemajuan yang dicapai, tetapi kemajuan tersebut belum dapat mengimbangi perubahan atau kemajuan di bidang lain.
Sebagai learning organization, sekolah dituntut mampu merumuskan tujuan atau program secara terukur. Keterukuran dalam penentuan program merupakan pedoman bagi guru dan kepala sekolah sendiri menjalankan fungsi dan alokasi dana. Realokasi dana dapat dilakukan dalam keadaan contingency, tetapi masih dalam batas pencapaian tujuan sekolah tidak akan terjadi kerugian ganda, yakni hilangnya energi yang terbuang percuma, hilangnya investasi yang semakin sulit dan langka, rasa ketidakpuasan karena jarak besar antarharapan dan hasil yang dicapai.
Demokratisasi pendidikan semacam ini adalah dasar yang tidak boleh ditawar dalam kehidupan bangsa beradab. Maka janganlah kita bermimpi demokrasi, kejujuran, bekerja keras, menghargai karya sendiri, menghargai pemikiran orang lain, dan lain sebagainya, akan dengan sendirinya terjadi jika tidak mengusahakan suatu sistem pendidikan demokratis, yang membebaskan manusia untuk dapat menjadi dirinya, dan dengan demikian juga menghargai orang lain untuk dapat menjadi dirinya.
Piranti Pengembangan SDM
Tantangan pendidikan dewasa ini bukan pada mengglobalnya berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains, akan tetapi terletak pada apakah pendidikan itu berperan atau berfungsi sebagai piranti pengembangan karakter anak bangsa.
Sebab ada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengatahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter peserta didik. Padahal, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter peserta didik hanya ditempatkan pada posisi yang sangat minimal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek.
Minimalnya peran agama, tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 bidang mata pelajaran, dimana di sana terlihat bahwa pendidikan agama tidak menjadi landasan bagi bidang pelajaran lainnya.
Hal ini berdampak pada tidak terwujudnya tujuan pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan sebagai salah satu piranti ( means) pembangunan SDM, harus secara jelas berperan membentuk peserta didik menjadi asset bangsa, yaitu SDM yang dengan keahlian profesional yang dimilikinya dapat menjadi produktif dan berpenghasilan, serta mampu menciptakan produk unggul industri Indonesia yang siap menghadapi persaingan di pasar global.
Keahlian profesional yang harus dikuasai pada dasarnya mengandung unsur ilmu pengetahuan, teknik, dan kiat ( arts). Unsur ilmu pengetahuan dan teknik dapat dipelajari sendiri, sedangkan unsur kiat adalah suatu yang tidak diajarkan, tetapi dapat dikuasai melalui proses pembiasaan (habit forming ) dan internalisasi. Unsur kiat yang menjadi faktor utama penentu kadar keprofesionalan seseorang, hanya dapat dikuasai melalui cara mengerjakan langsung pekerjaan pada bidang profesi itu sendiri, karena itulah tumbuh suatu ukuran keahlian profesional berdasarkan jumlah pengalaman kerja.
Globalisasi perdagangan dan lebih luasnya bernuansakan kondisi pasar bebas merupakan suatu tatanan dunia baru hasil dari rekayasa masyarakat antarbangsa, guna menciptakan suatu kondisi interaktif perdagangan dan atau perekonomian maupun budaya yang relatif lebih bebas tanpa pembatasan rigiditas oleh aturan-aturan suatu negara.
Dalam konteks pasar bebas, pendidikan tetap diyakini keutamaannya karena berfungsi: memajukan ekonomi dan teknologi, mewujudkan dan memperteguh rasa kebangasaan dan menyelenggarakan suatu negara modern.
Bila kemajuan tekonologi, ekonomi, keberbangsaan, dan kebernegaraan merupakan sebagian hajat pembangunan, jelas bahwa pendidikan ditafsir sebagai upaya penumbuhkembangan segenap potensi manusia. Ada keyakinan bahwa dengan pendidikan manusia dapat mengejawantah dalam wujud yang lebih bermutu. Bermodal pendidikan yang baik manusia mampu menyerap, mengembangkan dan meneruskan anasir-anasir wigati kebudayaan masyarakat.
Masalahnya kendati berbagai kemajuan telah dicapai, tidak berarti bahwa model program pendidikan sekarang dapat dipertahankan. Dalam pendidikan dasar, misalnya belum menunjukkan hasil yang meyakinkan. Selain itu, ditengarai bahwa, motivasi, kesadaran dan minat dan daya serap pelajaran sekolah dasar masih rendah. Belum lagi kecenderungan umum mereka untuk merasa jenuh, baik karena materi maupun proses pembelajarannya yang menekankan model banking system, (termionologi Paulo Freire)[15], yang cenderung membosankan siswa. Karena itu tidak mengherankan bila angka putus sekolah menunjukkan prevalensi cukup tinggi.
Program pembelajaran untuk peningkatan pendapatan dan mata pencaharian (life skills) cenderung kurang tersentuh oleh pendidikan kita. Dengan mempertimbangkan prioritas pada wajib belajar pendidikan dasar, keterabaian program belajar untuk peningkatan pendapatan dan mata pencaharian memang bisa dimaklumi.
Numun bila kecenderungan ini terus terjadi, bukan tidak mungkin pendidikan kita tidak bisa berperan banyak dalam menyongsong era globalisasi pendidikan.
Karena itu, kaharusan untuk mendekonstruksikan kembali makna pendidikan sebagai “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran” harus dilakukan. Dalam semangat meraih masa depan itu, pendidikan tidak boleh lagi terpasung dalam kegiatan pengajaran dan orientasi waktu sekarang semata. Tanpa kegiatan bimbingan dan latihan berorientasi ke depan, pendidikan justeru kehilangan makna dan jati diri sebagai penyedia layanan belajar yang luwes dan responsif terhadap kebutuhan individu, masyarakat dan pembangunan nasional.
Walhasil rancangan bangun program pendidikan harus menyertakan bimbingan dan latihan kewirausahaan, bukan sekadar sebagai bumbu untuk pengajaran akademik, melainkan sebagai bagian dari menu utamanya.
Paling tidak, filosofi dasar, lingkungan belajar, pola ganjaran, dan pola kepemimpinan pendidikan harus dirancang ulang agar konduktif bagi tumbuh kembang motivasi berprestasi dan semangat kewirusahaan di kalangan peserta didik.
Secara umum pemahaman kita tentang pendidikan belum berhasil mengubah persepsi dan pola pikir para pelaku pendidikan. Semula sangat kuat adanya kecenderungan anggapan bahwa dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan dua hal yang berbeda, dimana keduanya berjalan pada jalurnya masing-masing dengan didasari perspektif yang berbeda; dunia pendidikan cenderung berpikir dari segi kepentingan pendidikan, sebaliknya dunia kerja cenderung berpikir dari segi kepentingan ekonomi.
Saat ini wawasan dan pola pikir kalangan pembina dan pelaku pendidikan, mulai dari pusat hingga tingkat pelaksana, cenderung beranggapan bahwa pendidikan merupakan bagian terpadu dari pengembangan sumber daya manusia dan tidak ada lagi kesan melaksanakan “ pendidikan demi pendidikan”. Mereka tidak lagi merasa “paling berhak, paling tahu, dan paling bisa” melaksanakan pendidikan. Sudah tumbuh kemauan dan keberanian membuka diri bahkan mengundang dunia usaha dan industri untuk ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Hal ini sejalan dengan arah pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan dewasa ini, yang pada reformasi pendidikan yang sedang dilaksanakan dewasa ini, yang pada pokoknya dimaksudkan untuk menghilangkan jarak diantara kedua dunia tersebut sehingga terjadi dialog yang mengarah kepada terjadinya transformasi dan integrasi.
Reinventing
Estimasi masyarakat terhadap rendahnya mutu pendidikan lebih disebabkan pendidikan kita telah mengalami disorientasi nilai, dan lebih mengedepankan pemenuhan keinginan politik ketimbang proses pencerdasan manusia. Aktivitas pendidikan hanya berkutat pada persoalan klasik yang memusatkan aspek rasional manusia. Transfer ilmu pengetahuan rasional ini begitu ditekankan dalam pendidikan sehingga dimensi lain pendidikan seperti aspek psikis, spiritual, aspek social dilupakan. Akibatnya pendidikan kita menjadi berat sebelah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia yang tinggi kadar intelektualnya namun tanpa emosi dan jiwa social yang haus akan nilai-nilai human. Itulah konsep pendidikan yang keliru selama beberapa dasawarsa yang kita terapkan pada anak didik kita, yang pada akhirnya pendidikan itu tidak akan bermanfaat, karena proses yang berjalan adalah robotisasi nilai. Gejala atau simpton pendidikan ini nampak pula dalam proses pendidikan yang secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan kita hanya mendidik manusia untuk “tahu banyak hal dan pandai mengetrapkan sejumlah keterampilan teknis”[16].
Begitu kuatnya kita meletakkan proses yang keliru pada pendidikan, maka fungsi pendidikan ( sekolah) tak ubahnya sebagai penjara., yang seharusnya tempat dimana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiannya. Di sana anak-anak belajar berteman, bermain, menjadi dirinya, dan mengembangkan bakatnya.[17] Proses yang begitu lama ini bermuara pada hasil pendidikan tidak pernah melahirkan manusia yang kritis dan cerdas.
Pendidikan kita telah mengalami disfungsional karena isi pendidikan mengandung muatan-muatan nilai yang berakibat timbulnya kecemasan, ketakutan, kriminalitas, ketidakberdayaan, ketidakadilan, kesombongan, anaomali, dan sebagainya.
Bahwa saintisme, pendewasan teknologi sebagai nilai mutlak, materialisme merajalela, kemerosotan mental dan moral, ketidakadilan social yang meluas, kekerasan merajalela, dan sebagainya, menjadi pilihan dan merasuk serta membantin pada sebagian masyarakat kita, tidak dapat tidak karena proses pendidikan yang keliru sebagai salah satu sebab kemungkinan[18].
Walau demikian minornya penilaian orang terhadap proses/mutu pendidikan kita, sisi positifnya tetap ada, yakni lembaga pendidikan merupakan lembaga social yang paling arkais manakala masyarakat begitu dinamis dan rentan terhadap perubahan, fungsi pendidikan tetap sebagai “ watchdog” terhadap perubahan yang keliru[19]. Sebab dengan memperoleh pendidikan yang secukupnya masyarakat kita akan tetap beradap dan menjadi merdeka pikiran dan batinnya ( konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara).
Dalam konsep Ki Hadjar Dewantara[20], lembaga pendidikan merupakan institusi social yang sangat menentukan kemajuan dan peradapan bangsa. Sulit dibayangkan, bangsa primitif menjadi beradab dan bisa bersaing dengan bangsa lain jika tidak tanpa melalui pendidikan yang bermutu. Oleh sebab itu pengelolaan pendidikan ke depan adalah perlunya reinventing pendidikan, yakni: 1) menempatkan peserta didik menjadi subyek dari agen perubahan untuk membebaskan dirinya dari isolasi peradaban dan pragmatisme intelektual. 2) Meletakkan kerangka konspetual pendidikan etis berbudaya Indonesia pada porsi yang lebih sehingga proses enkulturasi pendidikan bisa menemukan kembali wajah pendidikan kita yang berkebudayan Indonesia. Jangkauan jangka panjang yang kita harapkan adalah dari penyadaran menjadi pembebasan, dan dari pembebasan menuju humanisasi, baik personal maupun sosial, sehingga ia bisa melihat teman atau orang lain sebagai bagian dari ciptaan tuhan, bukan dianggap sebagai makluk kafir.
Dengan reinventing[21] pendidikan mengantarkan manusia peserta didik bukan saja menjadi manusia yang pintar dan syarat dengan ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu menjadikan manusia peserta didik lebih humanis. Artinya pendidikan kita melahirkan kembali manusia peserta didik apa yang disebut “ humansynergism”[22]. Hal ini dapat dijelas, meski pendidikan kita masih bersifat kodian, kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang mandiri. Orientasi baru pendidikan kita ke depan dijauhkan dari mentalitas jalan pintas dan lebih banyak usaha nyata untuk menimbulkan minat peserta didik untuk cinta kepada kerja keras dan kejujuran, mengharagi kebudayaan sendiri, termasuk nilai-nilai local (local wisdom). Mentalitas jalan pintas rupanya sejalan dengan keengganan kepada kerja keras, budaya trobosan (nyontek, budaya fotokopi, malas berpikir) tetap saja hidup subur dalam budaya kampus/sekolah, yang pada akhirnya pendidikan kita hanya akan menghasilkan manusia Indonesia rasa segan dan enggan bertanggungjawab. Ia cenderung berorientasi ke atas, kepada otoritas, suatu sikap feodalisme dan paternalistic. Ia lebih suka diperintah, lebih suka disuruh menghafal, ia lebih suka menjadi buruh, menjadi babu (babysitting).
Menurut Mark Blaug[23] begitu banyak informasi akan menimbun manusia sehingga manusia harus dapat memilih dan memanfaatkan untuk pengembangan pribadinya. Untuk itu konsep pendidikan menurut Blaug adalah kemudahan untuk memperoleh informasi. Kemajuan teknologi akan sangat membantu, meski kita tidak dapat mengatakan bahwa komputerisasi akan memecahkan seluruh problem pendidikan. Belajar dengan bantuan komputer akan membuka horizon yang sangat luas bukan saja dalam proses belajar, juga tentang konsep sekolah. Sekolah masa depan akan berubah sehingga akan lebih berupa “personalized learning center”. Komputer akan banyak mengambil alih prosesm belajar hal-hal yang wajib, tugas sekolah atau guru akan beralih kepada memperkenalkan dan membangkitkan persepsi mengenai nilai-nilai.
Maka reinventing pendidikan kita ke depan antara lain juga harus menghasilkan manusia apa yang disebut “enculturationsynergism”. Artinya, pendidikan itu tidak menghasilkan manusia robot tanpa budaya, pendidikan tetap menghasilkan manusia mengakui adanya kekuatan budaya yang mengatur kegiatan jagat raya, yang berarti pula pengakuan terhadap iptek (keserasihan antar akal dan alam semesta, antar manusia dan tuhan). Secara sederhana dapat dijelaskan pendidikan “bagaimana mengharmoniskan antar moral dan budaya, dimana manusia, mengakui adanya kekuatan moral yang mengatur kekuatan rasio, yang berarti pula mengagumi kebudayaan”.
Dalam praktiknya proses pendidikan harus mengenalkan model pendidikan holistic, yakni, pendidikan moral, pendidikan social, pendidikan budi pekerti, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan kebudayaan,dan pendidikan mental. Dengan menerakan pendidikan holistic ini anak bangsa kita tidak saja menjadi pintar tapi juga menghasilkan manusia berbudaya.
Pendidikan berbasis nilai budaya, sebuah solusi
Sebagai sebuah agenda reformasi saat ini, sudah saatnya paradigma pendidikan Indonesia harus memiliki relevansi dengan nilai masyarakat, budaya dan kebangsaan. Pendidikan yang berbasis masyarakat, budya akan memungkinkan menjadi alternatif bagi terciptanya sumber daya manusia (SDM) seutuhnya. Sebab, secara filosofis, pendidikan merupakan upaya pewarisan, penyempurnaan dan pengembangan ilmu, pengalaman, kebiasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sesuai norma, nilai hukum yang menjadi acuan dalam kebudayaan masyarakat.
Sejalan dengan hal itu, Rusman Tumanggor (2000) mensinyalir bahwa para ilmuan dan tokoh Indonesia terkemuka mencetuskan world-view bangsa: ”Mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya” yang oleh WHO (World Health Organization) dinyatakan world-view bagi kesempurnaan manusia sejagad, melalui konsep kesehatan meliputi kesehatan kesempurnaan: fisik, mental, sosial dan spiritual (Health is a state of physical, mental, social, and spiritual well being and not merely the absence of diseases or infirmity).
Melalui gagasan tersebut, pendidikan berarti upaya terbaik untuk meraih kesempurnaan hidup manusia sesuai dengan realitas faktual yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, perubahan paradigma pendidikan itu dimaksudkan untuk mengembalikan pendidikan kepada basis masyarakat. Masyarakat dilibatkan untuk memahami program-program yang dilakukan pendidikan dengan tujuan agar mereka termotivasi untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal terhadap pelaksanaan program-program pendidikan tersebut.
Melalui konsep demikian, pendidikan pada dasarnya berbasis masyarakat. Abuddin Nata (2006) mendefinisikan konsep tersebut, sebagai sebuah alternatif untuk ikut memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas. Jadi, masalah-masalah yang dihadapi sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat dipecahkan bersama dengan masyarakat. Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti siswa/mahasiswa, guru/dosen, perlengkapan keuangan dan perumusan tujuan sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat seperti lapangan olah raga, bengkel kerja, masjid, tempat-tempat kursus ketrampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan, tanpa harus membayar.
Upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat selaras dengan asas demokrasi, keadilan, dan keterkaitan pendidikan dengan kehendak masyarakat. Lebih dari itu, pendidikan berbasis masyarakat merupakan pilar untuk merealisasikan UU 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Peran serta masyarakat yang menjadi ciri konsep pendidikan era otonomi bukanlah hal yang baru. Karena jauh sebelum itu, di setiap sekolah pada umumnya sudah ada apa yang disebut BP3 (Badan Pembina dan Pengawasan Sekolah) yang anggotanya terdiri dari orangtua siswa, atau di Perguruan Tinggi disebut POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa) yang anggotanya terdiri dari para orangtua mahasiswa.
Dengan membangun pendidikan berbasis masyarakat, diharapkan akan memberikan peluang bagi institusi pendidikan agar semakin meningkat peranannya, yakni dengan cara memberikan kemudahan kepada pimpinan sekolah atau Perguruan Tinggi untuk memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat, termasuk sumber daya manusia. Dengan cara demikian, antara lembaga sekolah atau Perguruan Tinggi dan masyarakat berada dalam satu visi, misi dan tujuan dalam ikut serta menyukseskan program pendidikan.
Keharusan masyarakat ikut serta terlibat dalam menangani masalah-masalah pendidikan tersebut sebenarnya sudah di atur dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Sumber daya pendidikan adalah dukungan dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia dan diadakan serta didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Perlu diakui bahwa pendidikan yang bermental ‘swasta’ adalah corak pendidikan yang berbasis masyarakat. Pendidikan yang bermental swasta itu-baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta betulan- telah teruji dilapangan dalam penerapan pendidikan yang berbasis masyarakat. Melalui pendidikan seperti inilah yang diharapkan mampu bertarung dalam kompetisi era global.
Selama ini, pada umumnya pendidikan terbiasa menggantungkan batuan dari pemerintah. Dengan ketergantungan tersebut, mengakibatkan keterbatasan, kekurangan dan berbagai masalah muncul di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mengurangi ketergantungan itu pendidikan diharapkan dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi yang terdapat di masyarakat.
Secara umum, pendidikan yang masih mengharapkan ‘pulung’ dari atas, selalu mempengaruhi kinerja sistem penyelenggaraan di sekolah/Perguruan Tinggi. Dengan kembali kepada ‘mental’ swasta diharapkan mampu meningkatkan kemauan, kemampuan ketrampilan dan strategi dalam menggali sumber-sumber yang ada di masyarakat.
Pengalaman yang cukup menjadi referensi bagi kita saat ini adalah sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara maju. Amerika misalnya, sejak lama telah menerapkan pendidikan semacam ini. Pendidikan tidak bergantung pada pemerintah, tetapi justru diserahkan kepada masyarakat. Karena pendidikan merupakan bagian dari cermin dan kultur masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat diberikan ruang yang layak untuk mengelola, menilai dan menikmatinya. Masyarakat diberi ruang partisipasi yang luas, agar institusi penyelenggara pendidikan memperoleh dukungan dan mendapat legetimasi sosial.
Sekali lagi, mengembalikan pendidikan kepada masyarakat berarti menghargai keragaman budaya, kultur dan segala sumber daya yang dimiliki masyarakat. Pendidikan harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ali Khalil memberikan apresiasi bahwa pendidikan adalah proses sosial. Karena itu, pendidikan dalam suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan karakter masyarakat itu sendiri. Dalam arti lain, pendidikan adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.
Adanya berbagai variasi lembaga sosial, tempat pariwisata, kesenian dan sejumlah aset masyarakat membuka seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Antara masyarakat dengan pihak lembaga pendidikan betul-betul bisa membangun kerjasama sinergis yang kompak dalam menunjukkan kegiatan pendidikan.
Prinsip-prinsip pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup (long life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi yang luas bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana diharapkan Tim Reformasi Pendidikan Nasional.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup . Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya begitu longgar dengan berbagai pedoman yang fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan tertulis (Mujtahid, 2007).
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau “enculturation”, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya Indonesia, jika tidak akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu pada anak didik kita..
Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik, indivualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang “moral Ninomiya Kinjiro” merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeli alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.
Agenda ke depan
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa (ilmu) pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan (ilmu) pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang masih rendah. Dengan demikian upaya mencari kualitas pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus didasarkan pada hasil penelitian pendidikan sehingga terpadulah kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development).
Pertama, agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai budaya local dari segala segi kehidupan yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Misalnya, nilai "Ratu adil didukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.
Kedua, agenda penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dengan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?
Ketiga, agenda penelitian yang menggali makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat, agenda penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, agenda penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan ujian nasional dengan mutu pendidikan? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?
Keenam, agenda penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?
Ketujuh, agenda penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan Televisi, sekolah dengan surat kabar dan radio?
Kedelapan, agenda penelitian tentang peningkatan hasilhasil penelitian untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi segi kebijakan maupun pelaksanaan.
Kesembilan . agenda penelitian yang mengkaji dampak pendidikan terhadap perilaku manusia. Misalnya bagaimana hubungan antara pendidikan yang dimiliki seseorang terhadap perilaku keseharian dalam kehidupan sosial maupun pemerintahan.
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1]Agus Suwignyo, Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan, Makalah, Seminar, Forum Y.B.Mangunwijaya,Kurikulum Nasional dan Visi Indonesia 2030 seberapa Jauh Pendidikan Mengahasilkan Lulusan Berkompeten, Yogyakarta 1 Mei 2007, hal.5
[2] Politik Etis, adalah Politik yang diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kaum pribumi
[3] Agus Suwignyo, loc.cit hal..6
[4] Wardiman Djoyonegoro, (1995), Fifty Years Developmen of Indonesia Education, Ministry of Education And Culture, 1995, p. 13-19
[5] Ben Senang Galus, Arah dan Kebutuhan Pendidikan Kita Masa Depan, Harian Bernas, 2 Mei 2005
[6] Ibid.
[7] Kuntjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, 1974, Gramedia, hal. 3-10
[8] Ben Senang Galus, 2004, Pengangguran Terdidik dan Mismatch Perguruan Tinggi, Harian Bernas, 8 September
[9] H.G. Wells ,The Out Line of History, dalam Shane Harold G., Education for a Millinium, Views of 132 International Scholars, Phi Delta Kappa Education Foundation, Bloomington, 1981, p. 232
[10] Sindhunata, Awas Pedagogi Hitam, Basis Nomor 01-02 Tahun ke 50 Januari-Februari 2001 Hal,
[11] Ibid.
[12] Ben Senang Galus, 2005, loc.cit
[13] H.A.R. Tilaar, (2001),Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong abad 21, Balai Pustaka, hal, 105-107
[14] Ibid
[15] Paulo Freire, 1994, Pedagogy of Hope ( New York: Continuum, p. 46-47
[16] Ben Senang Galus, 2004, Reinventing Pendidikan Kita, Kedaulatan Rakyat 22 Juli
[17] Sindhunata, loc. cit
[18] Ben Senang Galus, loc. cit
[19] Ibid
[20] Ki Suratman, Ajaran Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Nasional, Pusara,Majalah Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan, Nomor 10 Oktober 1990, h.20. Lihat juga Asas-asas Tamansiswa 1922, butir kedua, bandingkan dengan konsep pendidikan Paulo Freire tentang pendidikan orang dewasa
[21] Menemukan kembali pendidikan Indonesia yang berbasis pada kebudayaan atau kultur keindonesiaan, sehingga proses pembelajaran di sekolah tidak menjadikan siswa sebagai obyek melainkan sebagai subyek pendidikan dan meletakkan entitas kebudayaan Indonesia pada prose pendidikan sehingga pendidikan tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan akan tetapi sekaligus proses enkulturasi budaya
[22] Ben Senang Galus. Loc. cit
[23] Mark Blaug, 1973, education and the Employment Problem in Development countries, International Labour Office, Geneva, p. 215