Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tersebut adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya menentukan kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (2) sulitnya mengubah mental pemimpin Indonesia dari kebiasaan ketergantungan, sehingga mereka cenderung berorientasi pada saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yang belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (3) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat dalam pendidikan sebagai akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.
Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial dari masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia merupakan pencangkokan lembaga pendidikan negara-negara yang sudah maju, sehingga dalam praktek sehari-hari, hasil pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang mengembangkan unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang menerima pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yang akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu dan pengalaman eksistensial.
Kemajuan masyarakat industri Eropa adalah hasil dari akumulasi empat gugus institusi, yang menurut pandangan Giddens (Dimyati, 2000) sebagai hubungan komplementer dari (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (3) pengawasan, dan (4) kekuatan militer. Rembesan model institusi ini di Indonesia menjelma dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak didik, tidak adanya komunikasi interaktif antara guru dan siswa, murid dituntut menghafal secara mekanis, guru cenderung bercerita tentang pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-insan yang jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan.
Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan pada pendidikan negara-negara maju memberikan dampak kurang menguntungkan masyarakat Indonesian dan masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia hingga sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan dan persatuan bangsa, untuk menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu ialah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal yang beragam, dan corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan dengan penekanan pada pemberian materi pengajaran yang lebih banyak bersifat urban dan universal dan kurang memperhatikan situasi kondisi lokal, akan meningkatkan harapan ekonomis dan ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan.
Di samping itu, hasrat emosional untuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti di negara-negara kaya dan maju, banyak mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada realitas bangsa sendiri, khususnya bagi masyarakat lapisan bawah. Ide-ide utopis tersebut ternyata menghambat pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yang bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi masyarakat dan sinkron dengan kebudayaan asli Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-hasil pendidikan yang belum memenuhi harapan masyarakat tersebut, memberikan dorongan untuk sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi untuk memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini.
1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57 tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang banyak membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan di awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yang dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan hasil dan layu sebelum berkembang.
Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.
Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yang menjadi prioritas utama, di samping sumber-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah dalam sumber informasi iptek, kelembagaan dan peraturan, sumber modal, dan sumber kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, muncul pula paradigma pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-program wajib belajar yang bermula diberlakukannya wajib belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat paradigma tersebut adalah terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.
Didorong oleh keinginan untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif dan berbagai peraturan yang menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya norma-norma EBTANAS, dan berbagai tes standar. Paradigma ini diarahkan untuk mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan supervisi, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.
Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah menghasilkan percepatan pencapaian target-target kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif dan kemampuan berpikir kritis anak didik dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999).
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tersebut tampak dalam UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan untuk pengajaran. Kemudian, sebagai akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka paradigma proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan kegiatan-kegiatan untuk pemenuhan tenaga kerja industri. Namun, perluasan ruang lingkup pendidikan tersebut telah mengubah dimensi pendidikan dari tanggung jawab keluarga beralih pada kekuatan-kekuatan di luar lingkungan keluarga, formalistis, dan sistematis, serta sekadar untuk memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.
Munculnya berbagai jenis program pendidikan dan pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi sebagai akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti pada sejauh mana dunia pendidikan dan dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yang tidak berorientasi pada esensi praksis pendidikan akhirnya membawa dunia pendidikan semakin mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yang terjadi adalah terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap sebagai state business non profit; dan pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand dari konsumen.
Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan pada tujuan hidup manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan untuk membentuk kehidupan bersama. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa dan refleksi kekuatan penguasa pada ide-ide politiknya. Sekolah merupakan sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap paling bermanfaat oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian rakyat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.
Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa dan sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan pula prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan adalah (1) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (2) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih dalam mengahadapi era global yang melanda semua segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko pada keterbelakangan peradaban manusia Indonesia di mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya untuk menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, meningkatkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban manusia ke arah yang lebih baik, dan bisa berkecimpung dalam percaturan global.
Paradigma baru pendidikan Indonesia tersebut, di samping tetap berorientasi pada empat indikator yang dijadikan pijakan untuk mengevaluasi paradigma lama, juga berorientasi pada nilai-nilai orisinal yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tersebut dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia.
2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membentuk wawasan pendidikan yang utuh.
Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan dan filsafat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat dan martabat manusia dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, sementara di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) masyarakat dan kebudayaannya, (3) keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.
Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan adalah untuk dapat hidup sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Orang belajar dari hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang membangun pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator yang dinamis.
Unsur kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan adalah membina pribadi-pribadi yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yang kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.
Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa kini sebagai suatu upaya untuk merekonstruksi masyarakat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal berdasarkan budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan global. Nilai-nilai budaya seperti itu adalah Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas dari Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).
Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk salah satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap manusia. Proses sosialisasi akan dimulai dari keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.RI.No.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi keluarga, pola hubungan orang tua dengan anak dalam keluarga, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan perbedaan kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).
Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat, seperti kelompok keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok khusus yang datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi dari anak-anak lain yang hampir seusia, yang disebut kelompok sebaya. Kelompok sebaya merupakan agen sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah dengan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial, kelompok sebaya tidak mempunyai struktur yang jelas dan tidak permanen. Tetapi kelompok sebaya dapat menciptakan solidaritas yang sangat kuat di antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang dapat disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya dapat memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan untuk lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, dan membuka horizon anak menjadi lebih luas.
Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya, adalah pengaruh pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan pada sosialisasi, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak untuk hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan pada umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub penekanan tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.
Pendidikan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga ia dapat berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi dari prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yang dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan permasalahan sosial.
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan memberikan keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan harus bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi masyarakat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya tidak selalu terbaik dan juga tidak terburuk bagi masyarakat, namun gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika gagasan tersebut gagal menunjukkan keunggulannya, dalam artian akan terjadi konflik antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka harus dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan peran sikap ilmiahnnya.
Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang dipelajari dan dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud (1) ide, gagasan, nilai; (2) prilaku manusia dalam masyarakat; (3) benda hasil karya manusia. Kebudayaan baik dalam wujud ide, prilaku, dan teknologi tersebut dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui proses pendidikan.
Cara untuk mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Ada tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam keluarga), nonformal (terjadi dalam masyarakat, dan formal (terjadi dalam lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Masyarakat memegang peranan dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat juga berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma tersebut merupakan transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial mempunyai peranan yang sangat penting, sebab pendidikan tidak hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan kepada generasi penerus, tetapi juga mentransformasikannya agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan tentang hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yang memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, dan strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan, strategi fenomenologis memandang manusia sebagai makhluk aktif yang mampu bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan tentang hakikat manusia tersebut berdampak dalam pandangan tentang pendidikan.
Pemahaman peserta didik, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki bakat, kemampuan, minat, kekuatan, serta tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi oleh kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik karena pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi sebagai akibat faktor internal sebagai akibat kematangan dan proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi karena pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).
Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek harus segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek ke dalam isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring dengan kemajuan iptek pada umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tersebut menyebabkan tersedianya informasi empiris yang cepat dan tepat, dan pada gilirannya, diterjemahkan menjadi program, alat, dan/atau prosedur kerja yang akan bermuara pada kemajuan teknologi pendidikan.
Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi suatu lingkup kegiatan yang luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan dengan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu harus segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan ilmu harus segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan tersebut.
4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada orang lain. Namun, ia memiliki potensi yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar.
Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas pertama dari tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada tanggal 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai. Kehidupan tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, di mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas penting dalam pendidikan di Indonesia.
Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yang memiliki makna baru dari ide lama, tetapi secara universal definisi yang dapat diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang (1) meliputi seluruh hidup setiap individu, (2) mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya, (3) tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri, (5) mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.
Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya dan memiliki makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sitematis untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang hayat.
Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan, tetapi juga terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi peserta didik untuk dapat bersaing di era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.
Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar merupakan kebutuhan yang mucul dari dalam diri sendiri sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram. Strategi-strategi belajar tersebut dapat terlaksana apabila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yang memadai dan pusat sumber belajar (PSB).
5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu kepada deskripsi masyarakat Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju paradigma pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal dan universal. Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk tetap survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi khas masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk menetapkan identitas bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang ada dan diakui oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan asli di Indonesia.
Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini dapat dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.
Penerimaan nilai-nilai asing dalam pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif tentang fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu dapat dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara: keluarga, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka dan media massa.
Untuk mengantisipasi tidak terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.
Untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju dan sebagian lagi terlantar.
Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3) menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (5) meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.
Pendidikan Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan, media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan dan kebudayaan adalah suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.
Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal berarti pula mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.