Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, Dan Sejarah Sastra
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.
Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar.
Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.
HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Hakikat Sastra Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-masing. Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah pengertian, dan dari ke-5 pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah definisi. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis. Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis, pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan itu.
Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5 karakteristik sastra yang mesti dipahami. Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia. Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak 'terkesan' dibuat-buat. Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra. Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih sama, dengan norma, adat, atau kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.
Teks dan Konteks
Teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan sebuah kesatuan, sedangkan konteks adalah fungsi yang diacu oleh teks. Baik teks maupun konteks, keduanya senantiasa hadir secara bersama dan tidak dapat dipisahkan. Terdapat enam faktor yang menentukan sebuah teks. Faktor tersebut selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor yang berperan dalam tindak komunikasi. Keenam faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran.
Sementara itu, terdapat empat jenis teks, yakni: (1) teks acuan, (2) teks ekspresif, (3) teks persuasif, dan (4) teks-teks mengenai teks. Teks acuan dibedakan lagi menjadi tiga, yakni: (1) teks informatif, (2) teks diakursif, dan (3) teks instruktif.
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai teks harus bermuara pada bagaimana cara menilai teks-teks sastra. Memang, ilmu sastra tidak memberikan penilaian pada teks, tidak menghakimi baik-buruknya teks, tetapi ia bersama para ahli estetika dan juga kritikus sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang diungkapkan dalam sebuah penilaian.
JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif. Jenis-jenis tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.
Sastra Non-imajinatif
Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu unsur). Sastra non-imajinatif itu sendiri merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif. Dalam praktiknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.