Pengertian Jaminan dan Hak Tanggungan
Dalam perjanjian kredit itu juga terkait dengan pengikatan jaminannya.
Kata “jaminan” dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal
1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
dan perubahannya dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
namun dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan diatas dapat diketahui,
bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah utang.
Hal tersebut perlu karena dengan adanya jaminan kepada bank maka
akan memperbesar kemungkinan kredit yang disalurkan akan kembali. Mengenai
sifat dari perjanjian jaminan lazim dikonstruksikan sebagai perjanjian yang
bersifat accessoir artinya, timbulnya perjanjian jaminan disebabkan oleh adanya
perjanjian pokok. Sehingga perjanjian jaminan tidak akan ada bila tidak ada
perjanjian pokok atau dengan kata lain perjanjian jaminan selalu menyertai
perjanjian pokok. Tetapi sebaliknya perjanjian pokok tidak selalu menimbulkan
adanya perjanjian jaminan. Dalam praktek perbankan, perjanjian pokoknya
tersebut adalah perjanjian (pemberian) kredit/perjanjian yang bersifat accessoir
atau tambahan dapat berupa Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
yang dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu, terhadap
kreditur-kreditur yang lain. Dengan demikian, UUHT memberikan kemungkinan
pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut
benda-benda lain diatasnya.
Hak Tanggungan merupakan jaminan hak atas tanah menurut UUPA,
oleh karena itu objek hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan sesuai
dengan Pasal 4 ayat (1) adalah :
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha; dan
3. Hak Guna Bangunan.
Selain hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut diatas itu, Hak Pakai
atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dan dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak
Tanggungan. Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak
atas tanah.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua tahap, yaitu
:
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan; dengan dibuatnya akta pembebanan Hak
Tanggungan (APHT) oleh PPAT, yang didahului dengan perjanjian hutang
piutang yang dijamin.
b. Tahap pendaftarannya oleh kantor pertanahan, yang merupakan saat lahirnya
Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang
Hak Tanggungan menurut ketentuan ini cara eksekusi pada prinsipnya dilakukan
melalui lelang. Selain itu eksekusi juga dapat dilakukan melalui penjualan
dibawah tangan.
Menurut Pasal 20 ayat (1), eksekusi penjualan lelang dilakukan berdasar
:
a. Hak Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (2) dinyatakan bahwa apabila debitor
cidera janji, maka berdasarkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah
tangan jika melalui penjualan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak.
Kedua cara eksekusi menurut Pasal 20 Undang-Undang Hak
Tanggungan di atas sekarang belum berlaku, karena belum ada peraturan
pelaksanaannya. Berhubung dengan itu dalam Pasal 26 dan penjelasannya
ditentukan, bahwa ketentuan eksekusi Hak Tanggungan yang berlaku sekarang
adalah yang diatur dalam Pasal 224 HIR (258 RBg).
Masalah eksekusi benda jaminan hipotik berdasarkan Pasal 224 HIR
(258 RBg) timbul sehubungan dengan dikeluarkannya pendapat Mahkamah
Agung, bahwa prosedur eksekusi parat tidak berlaku lagi, diganti dengan
eksekusi dengan pertolongan hakim (Pasal 224 HIR, 258 RBg). Masalah
utamanya adalah tidak adanya kesatuan pendapat diantara pejabat yang
berwenang menjalankan eksekusi, sejak saat itu timbul ketidakpastian tentang
apa yang dapat dieksekusi beserta syarat-syarat eksekusi benda jaminan, dan
penegasan tentang kekuatan eksekutorial sertifikat Hak Tanggungan.
Kredit Bermasalah
Dalam kasus kredit bermasalah, debitor telah dianggap mengingkari
janji untuk membayar bunga dan atau kredit induk yang jatuh tempo sehingga
terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran.
Dapat dikatakan bahwa kredit bermasalah didalamnya meliputi kredit
macet, meskipun demikian tidak semua kredit yang bermasalah adalah kredit
macet.
Berkenaan dengan kredit bermasalah tersebut dihubungkan dengan
perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh debitor atau nasabah menurut Gatot
Supramono, SH ada 3 macam perbuatan yang digolongkan wanprestasi, yaitu :
1. Nasabah sama sekali tidak dapat membayar angsuran kredit atau
beserta bunganya.
2. Nasabah membayar sebagian angsuran kredit atau beserta bunganya,
pembayaran angsuran tidak dipermasalahkan nasabah telah membayar
sebagian kecil angsuran. Walaupun nasabah kurang membayar satu
kali angsuran, tetapi tergolong kreditnya sebagai kredit macet.
3. Nasabah membayar lunas kredit atau beserta bunganya setelah jangka
waktu yang diperjanjikan berakhir. Hal ini tidak termasuk nasabah
yang membayar lunas setelah perpanjangan jangka waktu kredit yang
telah disetujui bank atas permohonan nasabah, karena telah terjadi
perubahan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, terjadinya kredit bermasalah dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu :
1. Iktikad tidak baik dari nasabah
2. Kesalahan nasabah sendiri
3. Perubahan peraturan perundang-undangan
4. Kondisi dan situasi ekonomi secara umum
5. Force Majeure
6. Kekurang hati-hatian bank
Untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut upaya-upaya yang dapat
dilakukan oleh pihak bank pada tahapan pertama adalah upaya penyelamatan
kredit, dengan syarat apabila bank mempunyai keyakinan bahwa usaha nasabah
masih mempunyai prospek untuk berkembang.
Yang dimaksud dengan upaya-upaya bank yang disebut penyelamatan
kredit adalah upaya-upaya bank untuk melancarkan kembali kredit yang telah
tergolong ‘tidak lancar’, ‘diragukan’, atau bahkan telah tergolong ‘macet’ untuk
dikembalikan menjadi ‘kredit lancar’, sehingga debitor kembali mempunyai
kemampuan untuk membayar kepada bank, baik bunga maupun pokoknya
ADS HERE !!!