Ekologi keluarga merupakan teori umum yang dapat digunakan untuk mengkaji beragam masalah berkaitan dengan keluarga dalam hubungannya dengan beragam lingkungan. Nilai moral dasar ekologi keluarga terletak pada saling ketergantungan manusia dengan alam, kebutuhan manusia untuk hidup berdampingan satu sama lain, dan kebutuhan untuk hidup lebih baik. Nilai moral dasar tersebut diimplementasikan dalam kemampuan adaptasi, daya untuk hidup (survival) dan pemeliharaan keseimbangan (equilibrium atau homeostasis) untuk
meraih kehidupan manusia yang lebih baik.
Teori ekologi keluarga merepresentasikan sintesis berbagai asumsi, konsep, dan proposisi ekologi dalam beragam disiplin; dan sintesis dari teori sistem umum dengan teori home economic. Konsep dalam teori sistem umum merupakan penghubung/jembatan antara perspektif sistem dengan perspektif ekologi.
Terdapat beberapa dalil dasar (basic premises) pengaruh teori sistem umum terhadap ekologi keluarga, yaitu:
1. Ketergantungan seluruh manusia terhadap sumberdaya di bumi. Kesehatan ekologi dunia bukan hanya tergantung kepada keputusan dan aksi negara, tapi juga tergantung pada apa yang dilakukan individu dan keluarga.
2. Interaksi keluarga dengan lingkungannya membentuk ekosistem. Kesejahteraan individu dan keluarga tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan seluruh ekosistem.
3. Keluarga menjalankan pemeliharaan atau fungsi ekonomi-fisik-biologis, sertafungsi pengasuhan dan psikososial bagi anggotanya.
4. Daya juang untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik merupakan landasan dari beragam nilai perilaku manusia. Empat nilai utama yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan hidup manusia adalah (1) kecukupan ekonomi yang membagi manusia kedalam kategori kaya atau miskin; (2) keadilan; (3)
kebebasan; dan (4) kedamaian.
Beberapa asumsi penting yang menjelaskan dalil dasar pengaruh teori sistemumum terhadap ekologi keluarga adalah:
1. Keluarga merupakan bagian dari sistem kehidupan keseluruhan dan berinteraksi dengan beragam lingkungan.
2. Keluarga merupakan sistem yang adaptif, semi-terbuka, dinamis, dan perilaku serta keputusannya diarahkan oleh tujuan.
3. Seluruh bagian lingkungan saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Lingkungan alam (fisik dan biologis) menyediakan sumberdaya esensial bagi seluruh kehidupan, dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sosial budaya dan lingkungan yang dibangun manusia (human-built environment).
4. Keluarga merupakan sistem transformasi energi dan membutuhkan energi tertentu untuk pemeliharaan dan keberlangsungannya, untuk adaptasi dan berinteraksi dengan sistem lain, juga untuk melakukan beragam fungsi kreatif.
5. Interaksi antara keluarga dengan lingkungan dipandu oleh dua macam aturan yaitu: (1) hukum alam fisik dan biologi, seperti hukum termodinamik; serta (2) aturan yang diturunkan manusia seperti norma sosial.
6. Lingkungan tidak menentukan perilaku manusia, tapi memberi batasan dan kendala sebagaimana juga menyediakan peluang dan kesempatan bagi keluarga untuk mengoptimalkan pemanfaatannya.
7. Keluarga memiliki beragam tingkat kontrol dan kebebasan dalam interaksinya dengan alam.
8. Pengambilan keputusan merupakan proses kontrol utama dalam keluarga yang mengarahkan pencapaian tujuan individu dan keluarga. Secara kolektif keputusan dan aksi keluarga memiliki dampak kepada masyarakat, budaya, dan lingkungan alam.
Penekanan keluarga sebagai sistem membawa kepada pemahaman bagaimana sistem keluarga berjalan serta melaksanakan fungsi dan peran yang diembannya. Sebagaimana sebuah sistem, keluarga terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait satu sama lain, dimana perubahan dalam satu komponen akan mengubah komponen lainnya, untuk mempertahankan sistem senantiasa dalam suatu keseimbangan atau homoestasis. Menurut Von Bertalanffy (1962) sebagaimana diacu Melson (1980), homeostasis merupakan suatu mekanisme pengaturan yang berfungsi untuk mempertahankan sistem.
Sebagai sistem, keluarga berkaitan dengan beragam fungsi yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, oleh karenanya keberlangsungan sistem juga mendapat perhatian dalam beragam kajian. Menurut Talcott Parson (Hamilton 1983; Winton 1995) terdapat empat masalah fungsional utama dalam keberlangsungan sistem yaitu: (1) masalah adaptasi mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem; (2) masalah pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk mencapai tujuan; (3) masalah integrasi mengacu kepada pemeliharaan ikatan dan solidaritas, dan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem; serta (4) masalah latency mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan. Sistem sosial akan hancur atau pecah jika tidak mengelola keempat masalah fungsional tersebut.
Keterkaitan Konsep Ekologi Keluarga
Teori ekologi keluarga bersinggungan erat dengan teori sistem umum dan teori ekologi manusia. Oleh karenanya dalam pembangunan teori ekologi keluarga diawali dengan mendeskripsikan konsep utama pada masing-masing teori, sebagai konsep sementara ”temporary conceptual” untuk membangun teori ekologi keluarga. Bubolz dan Sontag (1993) menyajikan perbandingan ”ruang lingkup sementara” dari konsep sistem umum, ekologi manusia, dan ekologi keluarga seperti disajikan pada Tabel.
Konsep-konsep pada Tabel tersebut oleh Bubolz dan Sontag (1993) dijadikan dasar pembangunan teori ekologi keluarga dengan mengelompokkannya kedalam tiga kategori yaitu struktur ekosistem keluarga, proses ekosistem keluarga, dan outcome keluarga (level mikro dan makro) yang secara komprehensif digambarkan keterkaitannya pada Gambar 3. Struktur ekosistem keluarga terdiri dari: (1) keluarga dengan beragam karakteristiknya seperti struktur keluarga (utuh vs cerai), etnik, tahap perkembangan kehidupan keluarga, dan status sosial ekonomi; (2) atribut individu dan keluarga yang meliputi sumberdaya, tujuan, nilai, dan kebutuhan; serta (3) lingkungan alam, sosial-budaya, dan lingkungan yang dibangun manusia. Keluarga dengan beragam karakteristiknya melakukan transformasi energi, materi dan informasi, serta melakukan adaptasi melalui aktivitas persepsi, organisasi, komunikasi, pengambilan keputusan, manajemen, penggunaan teknologi, pemeliharaan sistem serta perkembangan manusia, untuk meraih kehidupan individu dan lingkungan yang lestari dan berkualitas.
Sementara itu Melson (1980), menyatakan bahwa keluarga melakukan transaksi dengan berbagai lingkungannya melalui empat proses yaitu - penerimaan (perceiving), penetapan/pengaturan ruang (spacing), pemberian nilai (valuing), dan pengambilan keputusan (deciding) - sebagai cara dimana keluarga menerima dan mengolah informasi, menetapkan tujuan, dan berperilaku dalam rangka mencapai tujuan. Keempat proses tersebut, baik pada tataran individu dan keluarga, dapat dipandang bersama sebagai pengaturan stimulasi dan kontrol terhadap lingkungan. Penjabaran beberapa konsep dalam teori ekologi keluarga menurut Bubolz dan Sontag (1993) dan Melson (1980) diantaranya adalah:
Pertama, individu dan keluarga memiliki kebutuhan yang pada tingkatan tertentu harus dipenuhi untuk melakukan adaptasi serta mempertahankan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan. Kebutuhan manusia bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori. Maslow membagi kebutuhan manusia ke dalam kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, dan kesehatan; kebutuhan pendidikan, keamanan, pengakuan, harga diri (self esteem), dan kebutuhan perwujudan diri (self actualization).
Sementara Allardt (1976) seperti diacu Bubolz dan Sontag (1993) membagi kebutuhan ke dalam tiga golongan yaitu kebutuhan untuk memiliki (materi, energi, informasi), untuk berhubungan (mencintai, dicintai), dan kebutuhan untuk menjadi seseorang (tumbuh dan berkembang, kontrol diri, kepuasan, harga diri). Kebutuhan individu dan keluarga hendaknya dipertimbangkan dalam konteks masyarakat dan ekosistem, dan menjadi landasan motivasi perilaku individu dan keluarga.
Gambar. Hubungan antara Konsep-konsep dalam Teori Ekologi Keluarga
Kedua, nilai merupakan konsepsi manusia mengenai benar dan salah, baik-buruk, dan kepatutan (pantas-tidak pantas). Nilai juga menyangkut keindahan, keberfungsian, serta kemanfaatan. Nilai menembus sistem keluarga dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses keluarga (Bubolz dan Sontag 1993).
Hasil penelitian mengenai nilai yang dianut individu yang dilakukan tehadap lebih 1400 contoh di Amerika pada tahun 1971 menunjukkan bahwa baik contoh laki-laki maupun perempuan sepakat menempatkan kedamaian dunia, ketahanan keluarga, dan kebebasan, sebagai nilai akhir yang dituju individu pada rangking pertama sampai ketiga. Sedangkan untuk nilai instrumental, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama menempatkan kejujuran (honest) pada rangking pertama dan tanggungjawab (responsibility) pada rangking ketiga, sementara laki-laki menempatkan ”ambisi” sebagai nilai instrumental pada rangking kedua, dan perempuan menempatkan ”mudah memberi maaf (forgiving)” sebagai nilai instrumental pada rangking kedua (Melson 1980).
Ketiga, sumberdaya bermakna sumber dan kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat atau tujuan. Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan (Rice et al 1986). Ketersediaan sumberdaya berkaitan dengan kemampuan memperoleh dan akses. Salah satunya adalah melalui keluasan jejaring sosial (social networks). Penelitian Simons, Beaman, Conger, dan Chao (1993) dirujuk Stafford dan Dawton (1995) menunjukkan bahwa orang tua (ibu) tunggal dengan pendidikan rendah cenderung tidak memiliki dukungan dan jejaring sosial yang memadai. Selain itu ibu tunggal dengan tekanan ekonomi berat cenderung memiliki pengalaman hidup yang negatif akibat rendahnya dukungan sosial yang lemah mengakibatkan stress psikologis, dan pola pengasuhan anak yang kurang efektif.
Keempat, adaptasi merupakan konsep utama ekologi (Klein dan White 1996) dan merupakan kunci interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam rangka adaptasi, sistem keluarga harus mendeteksi informasi, menyeleksi beragam respon alternatif, dan memberikan respon. Adaptasi merupakan proses yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan integrasi progresif sistem kehidupan. Brody (1969) sebagaimana diacu Melson (1980) memandang bahwa proses keluarga atau individu dalam keluarga dalam bertransaksi energi dan materi dengan lingkungannya sebagai adaptasi terhadap lingkungan. Adaptasi diartikan sebagai proses menguatkan dan memelihara status hubungan timbal balik yang relatif stabil dengan lingkungannya. Yorgburg (1983) melaporkan fungsi adaptif keluarga terhadap perubahan pola nafkah. Terjadi pembagian peran antar laki-laki dan perempuan dengan berkembangnya tipe masyarakat berdasarkan pola nafkahnya.
Tekanan pemenuhan pangan pada masa perkembangan teknologi hortikultura, berbeda dengan masa sebelumnya. Pembagian peran yang terjadi diantaranya adalah bahwa perempuan mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan beban fisiknya seperti menanam dan memanen, sementara laki-laki mengerjakan pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik seperti membersihkan ladang dan mencangkul.
Kelima, persepsi merupakan proses interpretasi terhadap berbagai stimulus (informasi) yang secara selektif diterima individu setiap saat untuk membangun pengetahuan. Persepsi merupakan proses dimana informasi dari lingkungan diterima sensor untuk kemudian masuk dan dicatat di dalam ingatan, dikelola agar memiliki makna, dan disimpan untuk digunakan. Persepsi keluarga mengenai dunia, mengenai lingkungan, ketersediaan materi dan energi untuk melakukan beragam aktifitas kehidupan, dihasilkan dari proses persepsi. Pengambilan keputusan di keluarga dipandang sebagai refleksi dari persepsi, kebutuhan, dan nilai-nilai di keluarga, juga dipandang sebagai refleksi pola interaksi keluarga (Melson 1980). Keluarga merupakan sistem dimana pertukaran informasi di dalamnya diarahkan menuju tujuan. Pada tingkatan mikro, pengambilan keputusan merupakan proses utama interaksi keluarga yang merefleksikan dan mempengaruhi pola kekuasaan, otoritas, komunikasi, dan resolusi konflik di dalam keluarga itu sendiri. Gaya pengambilan keputusan individu sangat dipengaruhi oleh kehidupan keluarga.
Keenam, perkembangan manusia. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dimana anggota keluarganya tumbuh dan berkembang. Bagaimana sosialisasi dan dukungan bagi hak tumbuh kembang anak berlangsung, dijabarkan oleh Berns (1997) dengan menggambarkan interaksi subsistem mikro, meso, ekso, dan makro.
Perubahan-perubahan subsistem tersebut, dan konsekuensi dari perubahan inter dan antar subsistem terhadap sosialisasi anak. Oleh karenanya Berns membahas secara rinci masing-masing tingkat ekologi anak, ekologi keluarga, ekologi pengasuhan anak, ekologi sekolah, ekologi peer-group, ekologi media massa, juga ekologi masyarakat. Kajian faktor yang mempengaruhi atau mendasari interaksi orangtua-anak yang sehat, membutuhkan perspektif ekologi yang lebih luas, baik kaitannya dengan struktur keluarga maupun fokus terhadap pembangunan ketahanan keluarga. Tantangan yang lebih spesifik di dalamnya adalah kajian bagaimana memecahkan masalah yang dihadapi keluarga, seperti mengurangi atau mengeliminasi kemiskinan, memelihara perkawinan yang sehat, dan menciptakan lingkungan keluarga yang stabil.
Ketujuh, tata ruang atau pengelolaan ruang (spacing) merupakan perilaku anggota keluarga berkaitan dengan lingkungan spasialnya. Pemahaman pentingnya kepemilikan atau keterikatan individu dengan ruang baik melalui pembahasan keramaian (crowded), ruang pribadi (personal space), kepadatan (density), privacy, maupun teritorial individu (human territoriality, adopsi kajian teritorial hewan), mengarahkan kepada berbagai kajian seperti diantaranya hubungan desain rumah dengan keberfungsian keluarga, hubungan desain rumah dengan efisiensi manajemen sumberdaya keluarga, atau hubungan keramaian dengan perilaku manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika densitas (kepadatan) dalam seting bermain anak ditingkatkan, ternyata meningkatkan perilaku agresif anak. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku paralel antara manusia dan hewan, yang disebut “invasi” (Melson 1980).
Kedelapan, kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan merupakan cerminan keberfungsian ekosistem keluarga. Kualitas manusia dinilai dari tingkatan realisasi nilai-nilai kehidupan dan pencapaian tujuan, yang digabungkan dalam prestasi perkembangan manusia. Sedangkan kualitas lingkungan meliputi beragam dimensi seperti keamanan, kesehatan, tempat tinggal, kebertanggungjawaban, keamanan, kualitas estetika, kecukupan dan pemerataan ekonomi, serta sumberdaya dan dukungan sosial. Sebagaimana asumsi bahwa setiap individu terikat dengan sistem mikronya, yaitu keluarga, maka kualitas hidup individu sangat terkait erat dengan kualitas keluarga. Keberfungsian ekosistem keluarga sebagai kunci pencapaian kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan berkaitan dengan dukungan sosialyang diperoleh keluarga. Beragam penelitian telah membuktikan efek positif dukungan sosial terhadap keberfungsian keluarga, terutama pada keluarga yang memiliki masalah dan keterbatasan. Dunst dan Trivette (1988) menggambarkanbahwa secara langsung dan tidak langsung dukungan sosial mempengaruhi kesejahteraan orangtua, integritas keluarga, interaksi orangtua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak. Sedangkan faktor multidimensi yang mempengaruhi anak, orangtua, dan keberfungsian keluarga menurut perspektif ekologi diuraikan pada Gambar. Gambar tersebut menunjukkan tujuh tingkatan “sarang” yaitu: anak, keluarga, jejaring kekerabatan formal, jejaring kekerabatan informal, organisasi sosial, profesi dan agen layanan manusia, serta pembuat kebijakan. Gambar memetakan kompleksnya faktor yang mempengaruhi keberfungsian individu dan keluarga.