Politik Bisnis Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh aktor dalam suatu negara dengan negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Interaksi aktor - aktor yang dimaksud disini dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Perdagangan internasional turut mendorong terjadinya industrialisasi, perkembangan / kemajuan transportasi - teknologi, globalisasi, dll.
Tulisan ini mencoba menganalisis perdagangan dua komoditi andalan ekspor dan impor Indonesia yaitu gula dan kelapa sawit. Terkait dengan bagaimana kebijakan yang dilakukan pemerintah serta analisis model benefit dari kebijakan yang diberlakukan tersebut.
Gula
Indonesia di tahun 1930an yang sempat menjadi negara eksportir gula terbesar di dunia, akhir – akhir ini disebut – sebut sebagai salah satu negara pengimpor gula terbesar di dunia. Hal ini disebabkan karena merosotnya produksi gula dalam negeri. Bahkan Mentri perdagangan Mari Elka Pangestu untuk memenuhi kebutuhan gula kristal putih di tahun 2011 dengan membuka transaksi impor sebanyak 450.000 ton. Melihat kondisi ini, pemerintah Indonesia membatasi impor gula kasar (selama musim giling). Hal ini disebabkan karena munculnya kekhawatiran jatuhnya harga gula petani nasional. Jadi, sebulan sebelum dan sesudah musim giling, gula impor dilarang masuk dan diedarkan di pasar domestik. Dengan demikian, produksi gula dalam negeri dapat meningkat dan maksimal.
Kebijakan pembatasan impor gula (Import Quota) merupakan upaya pemerintah untuk melindungi produksi gula dalam negeri. Kecenderungan konsumen nasional menggunakan gula impor akan membuat industri gula dalam negeri semakin terpuruk. Pemerintah melakukan pembatasan untuk gula kasar dan gula rafinasi. Izin impor gula kasar hanya diberikan dalam masa enam bulan, dengan kuota 807.365 ton, sedangkan gula rafinasi hanya sebesar 11.714 ton.
Ada beberapa faktor mengapa Indonesia membuat kebijakan untuk mengimpor gula, diantaranya karena masih kurangnya sumber daya yang produktif untuk memproduksi gula dalam negeri secara maksimal, baik kuantitas, maupun kualitas. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan sumber daya produktif agar dapat meningkatkan produksi gula petani nasional. Di tahun 2010, selain membatasi kuota impor gula, pemerintah juga berupaya memaksimalkan produksi gula domestik diantaranya dengan menambah lahan perkebunan seluas 500.000 hektar dan juga menambah pabrik gula baru di beberapa daerah, serta melakukan peningkatan teknologi dan revitalisasi terhadap mesin – mesin lama yang digunakan untuk memproduksi gula yang kurang produktif.
Khusus untuk impor gula, tetap dikenakan bea masuk dengan tarif spesifik sebesar Rp550/Kg dan Rp790/Kg yang mengacu pada PMK No.233/PMK.011/2008. Sementara itu, dalam APBN 2011, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk subsidi pertanian senilai Rp31,8 triliun. Sehingga harga gula di Indonesia lebih tinggi dari harga gula negara asal pengekspor.
Analisis :
- Kurva pada ‘home market’ menggambarkan kondisi impor Gula Indonesia terhadap India. E1 merupakan titik equilibrium jumlah Supply dan Demand sebelum terjadinya perdagangan antara kedua negara. Harga gula domestik sebelum terjadinya perdagangan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan harga gula dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia membuat kebijakan mengimpor gula dari India. Di lain kasus India merupakan negara pengekspor gula, dimana harga gula domestiknya relatif lebih murah dibandingkan dengan harga gula dunia.
- Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan tarrif import untuk gula yang masuk ke domestiknya. Akibatnya, dalam kurva dapat terlihat terjadi pergeseran harga, supply dan demand (digambarkan dengan garis putus – putus merah). Harga gula di Indonesia kemudian bergeser sedikit lebih turun, namun tetap berada di atas harga dunia. Sedangkan harga gula domestik negara pengekspor (India), mengalami sedikit peningkatan namun tetap berada di bawah harga dunia.
Kelapa Sawit
Indonesia merupakan eksportir minyak kelapa mentah / CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia sejak tahun 2006, menggeser Malaysia. Total produksi sawit bahkan telah menyumbang sekitar 45 persen total produksi sawit dunia. Dengan negara tujuan utama ekspornya seperti ; Amerika, China, India, dan negara Eropa lainnya.
Dalam mengantisipasi penurunan penerimaan devisa negara, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekspornya. Dalam kasus ini, akan menganalisis lebih lanjut perdagangan CPO Indonesia dengan Uni Eropa.
Ekspor minyak sawit dan turunannya mengalami peningkatan jumlah dan nilai setiap tahunnya. Seperti pada periode 2004 – 2008 terjadi peningkatan ekspor sebesar 37, 96 %. Indonesia sendiri termasuk negara produsen sekaligus konsumen minyak sawit - dalam kondisi tertentu untuk mencukupi kebutuhan minyak sawit dalam negeri.
Dukungan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan pengembangan industri minyak sawit secara umum, diantaranya melalui pembebasan pajak pertambahan nilai terhadap Tandan Buah Segar Sawit (TBS), subsidi bagi kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan, pemberian insentif melalui pengurangan pajakn industri hilir minyak sawit, perbaikan penetapan tarif bea masuk dan penetapan harga produk ekspor.
Pengambangan komoditas minyak sawit dan produk turunannya perlu dilakukan dalam rangka memanfaatkan pasar global. Selain untuk menyumbang dalam pendapatan negara, pengembangan komoditas minyak sawit dan turunannya berperan dalam mengatasi salah satu permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat, yaitu penyedia lapangan pekerjaan.
Untuk ekspor dengan tujuan negara – negara Uni Eropa, terdapat suatu aturan / kesepakatan antara negara terkait, yang dikenal dengan REACH (Registration, Authorisation and Restriction of Chemicals). Aturan yang diterapkan UE terkait penggunaan bahan kimia yang aman ini, dianggap dapat mengurangi daya saing ekspor CPO dan turunannya. Setiap impor yang masuk ke UE diwajibkan melakukan registrasi / pendaftaran kepada European Chemicals Agency (ECHA) mengenai kandungan bahan kimia. Pendaftaran produk dapat dilakukan oleh negara eksportir non UE dengan menujuk sebuah perusahaan yang didirikan UE yang bertindak sebagai perwakilan satu satunya Pada akhirnya, aturan tersebut kemudian mengharuskan negara eksportir (seperti Indonesia) menambah biaya.
Tantangan lain yang juga dihadapi Indonesia selaku negara pengimpor CPO adalah adanya tarif bea masuk (yang dalam kasus UE ini), Indonesia dikenakan tarif bea masuk sebesar 3,8%. Hal ini menyebabkan harga CPO meningkat di negara tujuan ekspor (Eropa).
Analisis :
- Berbeda dengan kasus ‘gula’ sebelumnya, untuk komoditas kelapa sawit / CPO, Indonesia menjadi eksportir bagi negara – negara Uni Eropa. Dalam transaksinya, di Eropa sendiri diterapkan aturan adanya biaya masuk / pajak yang dikenakan terhadap barang yang masuk ke dalam pasar domestiknya.
- Kurva pada ‘home market’ menggambarkan kondisi impor CPO Eropa terhadap Indonesia. E1 merupakan titik equilibrium jumlah Supply dan Demand sebelum terjadinya perdagangan antara kedua negara. Harga CPO domestik Eropa sebelum terjadinya perdagangan lebih tinggi dibandingkan dengan harga CPO dunia. Hal ini menyebabkan Eropa mengimpor CPO dari Indonesia. Di lain kasus Indonesia sebagai eksportir CPO, dengan kondisi harga domestiknya relatif lebih murah dibandingkan dengan harga CPO dunia.
- Negara – negara Eropa menetapkan kebijakan tarrif import untuk CPO yang masuk ke domestiknya. Akibatnya, dalam kurva dapat terlihat terjadi pergeseran harga, supply dan demand (digambarkan dengan garis putus – putus merah). Harga CPO di Eropa kemudian bergeser sedikit lebih turun, namun tetap berada di atas harga dunia. Sedangkan harga CPO domestik Indonesia sebagai eksportir, mengalami sedikit peningkatan namun tetap berada di bawah harga dunia.