Reposisi budaya Dalam mewujudkan sustainabilitas pembangunan ekonomi bangsa
Kepemilikan ribuan kekayaan alam dan budaya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan betapa negeri ini layak mendapatkan julukan bak “Rangkaian Mutu Manikam”. Keestimewaan tersebut merupakan daya tarik dan menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Sehingga tak hayal banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang tertarik untuk sekadar menikmati keistimewaan tersebut. Ungkapan, “Bukalah mata pada berbagai tradisi dan budaya” serta “Manjakan diri Anda dalam kemegahan Indonesia” menjadi sebuah pernyataan cerdas dan elegan yang dirancang oleh tim Branding Indonesia dengan Majalah SWA, yang amat dalam maknanya (SWA, 2009).
Betapa menariknya kekayaan dan budaya Indonesia nampak dari jumlah Wisatawan mancanegara (Wisman) dan Wisatawan Nusantara (Wisnus) yang cukup berarti. Berdasar dari situs Departemen Komunikasi dan Indormatika (Depkominfo), pada 2008 jumlah Wisman sebanyak sekitar 6,43 juta orang. Jumlah Wisman tersebut mengalami kenaikan sekitar 27,73% dibandingkan tahun 2002 yang hanya sekitar 5,03 juta orang. Pada Juli 2009, jumlah Wisman mengalami kenaikan sebesar 2,56%. Walaupun, pada tahun 2006 jumlah Wisman sempat mengalami penurunan hingga hanya sebanyak 4,87 juta orang saja atau turun sekitar 3% dibandingkan tahun 2002.
Dalam kurun lima tahun hingga 2008, jumlah Wisman rata-rata sekitar 5,23 juta orang. Sementara jumlah Wisnus hanya mengalami kenaikan sebesar 11,23% dalam lima tahun. Pada tahun 2002, jumlah Wisnus sebanyak 105,4 juta orang, tahun 2008 mengalami kenaikan hingga mencapai 117,2 juta orang.
Besarnya potensi ekonomi dari kunjungan Wisman dan Wisnus nampak dari sumbangan devisa dan pendapatan negara. Rata-rata besarnya pengeluaran oleh wisman tiap tahun sebesar US$103,59. Jumlah pengeluaran rata-rata mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari US$91,29 pada tahun 2002, hingga mencapai US$137,38 pada tahun 2008. Sedangkan jumlah total pengeluaran Wisnus rata-rata selama lima tahun sebesar Rp.86,64 triliun. Pada tahun 2002 hanya sebesar Rp. 68,82 triliun, mengalami kenaikan hampir dua kali lipat hingga mencapai Wisnus Rp.123,17 Triliun pada tahun 2008.
Sumbangan devisa negara dari kunjungan Wisman pada tahun 2008 sekitar US$ 7,38 juta. Jumlah tersebut mengalami kenaikan yang berarti jika dibandingkan pada tahun 2004 yang hanya sebesar US$4,79 juta. Pada tahun 2008 jumlah devisa yang disumbang oleh Wisman sebesar angka tersebut menempatkan urutan ke empat penyumbang devisa setelah minyak, gas, kelapa sawit dan olahan karet.
Bahkan, Throsby (1997), mengatakan dalam kajian pembangunan ekonomi bangsa culture dan development merupakan sebuah fondasi yang berkaitan. Demikian juga UNESCO, melalui Word Commission on Culture and Development (WCCD) telah lama menegaskan, bahwa sustainabillitas suatu negara menempatkan budaya (culture) sebagai suatu yang amat penting.
Dari sekelumit fenomena diatas memunculkan sebuah pertanyaan besar yakni dimana posisi budaya dalam pembangunan sustainabilitas ekonomi bangsa?
Kepemilikan ribuan kekayaan alam dan budaya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan betapa negeri ini layak mendapatkan julukan bak “Rangkaian Mutu Manikam”. Keestimewaan tersebut merupakan daya tarik dan menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Sehingga tak hayal banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang tertarik untuk sekadar menikmati keistimewaan tersebut. Ungkapan, “Bukalah mata pada berbagai tradisi dan budaya” serta “Manjakan diri Anda dalam kemegahan Indonesia” menjadi sebuah pernyataan cerdas dan elegan yang dirancang oleh tim Branding Indonesia dengan Majalah SWA, yang amat dalam maknanya (SWA, 2009).
Betapa menariknya kekayaan dan budaya Indonesia nampak dari jumlah Wisatawan mancanegara (Wisman) dan Wisatawan Nusantara (Wisnus) yang cukup berarti. Berdasar dari situs Departemen Komunikasi dan Indormatika (Depkominfo), pada 2008 jumlah Wisman sebanyak sekitar 6,43 juta orang. Jumlah Wisman tersebut mengalami kenaikan sekitar 27,73% dibandingkan tahun 2002 yang hanya sekitar 5,03 juta orang. Pada Juli 2009, jumlah Wisman mengalami kenaikan sebesar 2,56%. Walaupun, pada tahun 2006 jumlah Wisman sempat mengalami penurunan hingga hanya sebanyak 4,87 juta orang saja atau turun sekitar 3% dibandingkan tahun 2002.
Dalam kurun lima tahun hingga 2008, jumlah Wisman rata-rata sekitar 5,23 juta orang. Sementara jumlah Wisnus hanya mengalami kenaikan sebesar 11,23% dalam lima tahun. Pada tahun 2002, jumlah Wisnus sebanyak 105,4 juta orang, tahun 2008 mengalami kenaikan hingga mencapai 117,2 juta orang.
Besarnya potensi ekonomi dari kunjungan Wisman dan Wisnus nampak dari sumbangan devisa dan pendapatan negara. Rata-rata besarnya pengeluaran oleh wisman tiap tahun sebesar US$103,59. Jumlah pengeluaran rata-rata mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari US$91,29 pada tahun 2002, hingga mencapai US$137,38 pada tahun 2008. Sedangkan jumlah total pengeluaran Wisnus rata-rata selama lima tahun sebesar Rp.86,64 triliun. Pada tahun 2002 hanya sebesar Rp. 68,82 triliun, mengalami kenaikan hampir dua kali lipat hingga mencapai Wisnus Rp.123,17 Triliun pada tahun 2008.
Sumbangan devisa negara dari kunjungan Wisman pada tahun 2008 sekitar US$ 7,38 juta. Jumlah tersebut mengalami kenaikan yang berarti jika dibandingkan pada tahun 2004 yang hanya sebesar US$4,79 juta. Pada tahun 2008 jumlah devisa yang disumbang oleh Wisman sebesar angka tersebut menempatkan urutan ke empat penyumbang devisa setelah minyak, gas, kelapa sawit dan olahan karet.
Bahkan, Throsby (1997), mengatakan dalam kajian pembangunan ekonomi bangsa culture dan development merupakan sebuah fondasi yang berkaitan. Demikian juga UNESCO, melalui Word Commission on Culture and Development (WCCD) telah lama menegaskan, bahwa sustainabillitas suatu negara menempatkan budaya (culture) sebagai suatu yang amat penting.
Dari sekelumit fenomena diatas memunculkan sebuah pertanyaan besar yakni dimana posisi budaya dalam pembangunan sustainabilitas ekonomi bangsa?