Analisis Agribisnis Ternak Kado
Tahun 1992, Puslitbangnak telah melakukan penelitian menyeluruh tentang ternak kado (Wodzlcka et all, 1993). Penelitian Puslitbangnak ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi kebutuhan informasi ternak kado di Indonesia terutama sebagai bahan rujukan dalam konteks kebijakan peningkatan manfaat dan nilai tambah kado. Sehingga, dalam analisis ini lebih banyak melihat bagaimana agribisnis kado berlangsung di dalam satu kawasan yang diperlakukan sebagai suatu kesatuan bisnis berbasis ternak kado sehubungan dengan kebutuhan analisis kebijakan dalam laporan ini.
Subsistem Produksi
Sistem produksi kado tidak mengalami perubahan dalam 50 tahun terakhir. Sebagian besar sumbangan produksi tetap berada dalam tangan peternak rakyat. Peternak besar tidak berkembang sebaliknya terjadi perkembangan juragan-juragan ternak (pedagang besar). Juragan ini sekilas seperti peternak besar, tetapi sebenarnya juragan ini menampung ternak kado dari segala lokasi untuk dipasarkan. Juragan ini mempunyai kaki tangan yang bergerak diseluruh penjuru mencari kado rakyat. Kepadatan populasi ternak kado yang tersedia, memberikan kesan suplai mencukupi, sehingga juragan ini dapat hidup dan berkembang. Keadaan ini tidak mendorong orang untuk beternak secara maju, karena kebutuhan ternak disediakan oleh masyarakat, apalagi juragan ini tidak perlu menanggung resiko dan keuntungan relatif besar. Juragan akan tetap eksis selamu stok populasi relatif tinggi.
Karena bentuk pemeliharaan masih tetap usaha rakyat maka sistem pemeliharaan tetap pula konventional tidak ada sentuhan investasi dan biaya yang nyata dalam pemeliharaan. Namun demikian sistem tradisonal ini tetap bertahan sampai sat ini dengan jumlah kado sebesar 15 juta ekor, yang tersebar pada struktur ekozone yang luas antara lain dataran rendah dan tinggi, baik pada lahan sawah, lahan tegalan, lahan perkebunan bahkan lahan disekitar lahan hutan. Pemeliharaan ternak kado yang dilakukan peternak secara umum adalah sistem kandang. Namun demikian tidak jelas pemeliharaan ternak itu apakah termasuk katagori sumberdaya, komoditas aau ternak produk, sekalipun dapat dinyatakan bahwa sebagian besar ternak dipeliharan untuk dijual sebagai ternak hidup. Selanjutnya tidak ada informasi apakah ternak itu menjadi bibit atau ternak potong.
Dari sisi manajemen pakan menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipelihara sangat tergantung oleh ketersediaan tenaga kerja keluarga yang ada. Terutama tenaga kerja untuk mencari hijauan pakan ternak. Dengan kondisi yang demikian maka kemampuan pemeliharaan dalam skala jumlah masih terbatas, mengingat adanya keterbatasan tenaga kerja keluarga. Masih sangat kecil peternak (0.1 %) yang mampu mengusahakan budidaya kado dalam skala menengah keatas. Implikasinya, peternak dapat meningkatkan skala usaha jika kebutuhan hmt disediakan, sehingga tenaga kerja yang tersedia dapat digunakan untuk kegiatan lain.
Kenyataan ini mengundang pertanyaan apakah mungkin pengembangan ternak dengan system tradisonal ini dikembangkan seara terpadu dengan sumber-sumber hmt yang terdapat dalam satu wilayah yang sama. Sistem produksi terpadu dengan mengintegrasikan kado dengan tanaman sebenarnya sudah lama dikenal. Hal ini secara rinci telah dilaporkan oleh Sabrani dan Levine, 1980 dengan mengunakan istilah mix farming system. Menurut Sabrani dan Levine, sistem produksi tradisional yang diterapkan peternak skala kecil adalah memanfaatkan daur ulang antara tamanan dengan ternak.
Hal ini memperkuat gagasan bahwa pengembangan ternak kado dengan mempertahankan sistem daur ulang harus dilanjutkan namun demikian pemerintah sebaiknya memberikan pelayanan yang cukup bagi terlaksananya daur ulang tersebut, baik dalam batasan waktu (kompos), dalam batas geografi (transportasi) dan dalam batasan akses (ada penyaluran). Tahun 2000 lalu, pemerintah mencanangkan program CLS, namun program ini tidak berhasil metoda yang diterapkan merubah sistem tradisonal yang telah menjadi kearifan lokal yakni kebiasaan peternak yang paling prinsip seperti skala usaha yang tetap sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia, sistem diversifikasi yang merubah menjadi mono dan sebagainya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penerapan suatu program dapat mempengaruhi perubahan sumber-sumber pendapat secara keseluruhan yang dapat membahayakan hidup peternak. Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah tidak merubah kearifan lokal tersebut.
Hal lain yang penting adalah kesehatan ternak. Kesehatan ternak tidak saja mempengaruhi pengembangan populasi, tetapi juga mencegah penularan penaykit antara ternak dan kepada manusia. Teknologi pemeliharaan terutama menyangkut pencegahan penyakit masih rendah. Petani lebih mengandalkna cara-cara tradisional dalam pengobatan dan pencegahan penyakit kado. Banyak peternak yang belum mengenal oba-obatan bagi ternak kado, sementara kalaupun sudah mengenal umumnya enggan untuk membelinya. Sementara ketersediaan obat yang ada juga masih terbatas. Pengawasan kesehatan hewan agak sulit dilakukan di wilayah pedesaan karena kesulitan tenaga dokterhewan atau tenaga mantri hewan. Dibutuhkan peningkatan SDM ditambah kebijakan yang disertai peraturan dari PePPa. Hal ini menjadi pertimbangan penting jika dilakukan pengembangan wilayah.
Sistem Pengadaan Sarana Produksi
Sarana produksi utama yang seharusya tersedia adalah bibit, hmt, konsentrat dan obat ternak. Pada umumnya bibit dihasilkan sendiri oleh peternak. Sedangkan konsentrat buatan pabrik pakan belum umum digunakan peternak. Pakan berupa hmt merupakan input yang penting dalam usaha ternak. Walaupun hmt banyak tersedia dalam alam, namun untuk memperolehnya dibatasi oleh banyak hal antara lain:
Peternak tidak mempunyai lahan yang cukup sementara akses peternak sempit terhadap lahan hijauan yang tampaknya bebas, sebagian peternak hanya mampu mendapatkan hijauan dipinggir jalan.
Karena akses terhadap lahan yang sempit tersebut, maka peternak membutuhkan lebih tenaga kerja untuk mengarit rumput dari sekitar rumah hingga mencapai jarak 2-5 Km dari peternakan.
Peternak tidak mampu mengupah tenaga luar keluarga, sehingga akhirnya peternak hanya mampu memelihara beberapa ekor ternak yang sesuai dengan jumlah tenaga kerja keluarga.
Dari subsistem pengadaan sarana produksi, peternak tidak menghadapi masalah yang krusial, selama mereka berusaha dalam alam tradisional. Namun demikian, tidak ada usaha pihak lain dalam melakukan pelayanan bersifat komersil dalam pengadaan hmt. Berbeda dengan penggemukan ternak sapi di Jawa Timur telah ditemukan petani-petani yang khusus menana hmt untuk dijual kepada peternak sapi. Secara umum dapat dikatakan sistem pasok sarana produksi masih jauh dari pemanfaatan ekosystem secara terorganisir.
Subsistem Pemasaran
Pasar sempit bagi pengsuaha ternak. Pada kenyataannya, hanya sekitar 1 persen ternak kado yang diusahakan secara komersil (Soedjana, 1993). Sementara itu ditemukan bahwa di seluruh lokasi penelitian, tidak ada usaha komersil. Mengapa peternak komersil tidak mampu berkembang menjadi komersil? Peternak komersil sulit dikembangkan karena mereka akan menghadapi pasar yang sempit. Pasar yang sempit disini dimaksudkan, tidak tersedia pasar yang luas karena persaingan dengan usaha rakyat. Semua pasar dan juragan telah mempuhyai pasar dan memenuhinya. Jika ada perusahaan baru masuk, akan segera keluar kembali, karena tidak akan mampu bersaing dengan peternak rakyat yang dikendalikan oleh para juragan. Para juragan mempunyai resiko yang sangat kecil dibandingkan sebuah perusahaan komersil. Pada sisi lain, permintaan tdak mengalami kekurangan pasokan dan budaya ternak cenderung menggunakan biaya tunai nol.
Sisi lain, peternak rakyat mempunyai posisi bargaining yang sangat rendah dan para peternak ini tidak mempunyai ambisi untuk merubah keadaan tersebut karena telah dianggap cukup menguntungkan, sederhana dan tanpa biaya pemasaran. Dengan pandangan semacam itu, peternak menjual ternak hidup kepada tengkulak tanpa mempersoalkan bagaimana penentuan harga yang tidak adil dan seala macam bentuk aturan yang memaksa peternak harus menanggung resiko pemasaran seperti kematian, sakit dan sebagainya. Keuntungan pemasaran lebih banyak dinikmati oleh para tengkulak perekor sementra keuntungan akumlasi dinikmati oleh juragan (karena partai besar). Sehingga menjadi pertanyaan diomana sebenarnya atau siapa sebenarnya pelaku dominan dalam menentukan harga ternak kado?.
Subsistem Kelembagaan
Pemanfaatan limbah industri sebagai pemenuhan kebutuhan pakan ternak masih meiliki peluang besar terutama limbah industri hasil pertanian yang selama ini belum banyak dimanfaatkan oleh peternak tradisional. Mengingat kebutuhan pakan membutuhkan modal yang tidak sedikit dan senantiasa dibutuhkan secara tunai, maka salah satu alternatif adalah mengandalkan jasa para pedagang. Disamping mereka berfungsi sebagai penampung hasil juga berperan dalam menyediakan kebutuhan modal.
Keterlibatan lembaga keuangan di pedesaan terhadap usaha pengembangan ternak belum maksimal, hal ini masih perlu diupayakan agar fihak lembaga perbankan dalam menyalurkan kridtnya tidak terlalu diskriminatif. Adanya program-program pengembangan ternak yang dilakukan pemerintah dalam bentuk proyek pengembangan ternak merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan modal ternak bagi para peternak dan calon peternak peserta program yang bersangkutan.
Identifikasi Penanganan Pasca Panen Hasil-Hasil Ternak Kado
Penanganan Pasca Panen
Pasca panen adalah saat ternak siap untuk dipotong karena telah mencapai berat badan yang diinginkan. Peternak kado tidak umum melaksanakan kegiatan pasca panen seperti pada peternakan unggas dan kelinci. Peternak hanya melakukan pemeliharaan sampai saat ternak dijual kepada pedagang. Pada umumnya pedagang tidak lagi melakukan pemeliharaan, tetapi segera menjualnya dalam bentuk hidup pada pedagang besar atau menyembelihnya dan menjual karkasnya pada para penjaja makanan baik restoran atau rumah makan kecil seperti warung sate. Penangan pasca panen dilakukan oleh para pedagang.
Menurut peraturan pemerintah, maka pemotongan ternak harus dilakukan di RPH karena alasan supaya penularan penyakit dapat diamankan, menghasilkan makanan hasil ternak yang aman dan mencegah kerusakan lingkungan jika dipotong sembarangan. Disamping itu pemerintah memberi ijin bagi perusahaan peternakan swasta untuk melakukan pemotongan sendiri dengan catatan tersebut harus memeriksakan ternak yang hendak dipotong, menjaga lingkungan dan sebagainya. Jika peratuan ini dapat diterapkan dengan baik, maka salah satu keuntungan yang diperoleh adalah bahwa dapat diketahui kemana dikirim selanjutnya hasil ternak berupa kulit sebagai bahan baku industri.
Namun, ternyata harapan itu tidak tercapai. Beberapa RPH yang dikunjungi tidak melakukan pemotongan ternak kado. Ternyata yang dipotong sebesar 69.4 persen dipotong secara liar .Untuk ternak kado hampir 100 persen dipotong diluar RPH dan hanya sekitar 2 persen dipotong diperusahaan swasta. Dengan demikian, produksi kulit kado sebanyak hampir 600 ribu lembar per tahun tidak diketahui jelas kemana distribusinya.
Berdasarkan keterangan pedagang, jika mereka melakukan pemotongan sendiri maka kulit ternak mereka jual langsung kepada perusahan penyamakan kulit yang ada disekitar wilayah sendiri. Jika perusahaan penyamakan berada jauh dari tempat pemotongan maka kulit kado dijual kepada para pedagang yang mempunyai hubungan perusahaan penyamakan tersebut.
Karena lokasi peternak menyebar luas, maka pencegahan dan penggendalian sulit dilakukan. Dibutuhkan kesadaran peternak melalui penyuluhan. RPH tidak menangani hasil ternak hanya mengambil pembayaran ongkos potong, sedangkan yang memotongnya sendiri adalah (jagal) pemilik ternak atau suruhan. Menurut keterangan kepala RPH terbesar di Kab. Bogor bahwa sepengetahuannya pemotongan Kado sekarang sudah tidak dilakukan di RPH, bahkan hampir diseluruh Indonesia tidak ada lagi pemotongan khusus kado.. Pemotongan Kado pada umumnya dilakukan di rumah-rumah dalam jumlah sekitar 5 ekor. Pengawasan kesehatan secara khusus tidak ada, tetapi biasanya sudah dalam bentuk karkas/potongan dibawa dari tempat pemotongan kecamatan ke pusat pasar tradisonil di kota-kota berdekatan.
Indusri Penyamakan Kulit
Kulit kado pada umumnya menjadi bahan baku garmen, antara lain jaket, sarung tangan, celana, rok. Barang-barang ini tidak dapat dihasilkan dari kulit sapi yang pada umumnya berkulit tebal/keras dan lebih banyak digunakan untuk membuat sepatu, tas, sabuk (ikat pinggang), dompet. Ada juga sebagian yang dibuat jaket, sarung tangan dengan harga yang lebih murah.
Industri kulit kado menghasilkan produk sebanyak 50 persen untuk pasar lokal dan 50 persen untuk non lokal kualitas ekspor. Ekspor diperkirakan ke Korea, Itali. Hasil industri penyamakan dalam bentuk nappa (hasil akhir yang digunakan untuk membuat jaket dan sebagainya. Terkait dalam hal ini, adalah menarik mengamati usaha kerjama perusahaan penyamak kulit kado di Garut dengan pengusaha dari Korea untuk menyamak kulit mentah dari Korea diproses menjadi kulit jadi dalam bentuk lembaran kemudian akan dibawa kembali ke Korea. Saat ini sedang dilakukan test dengan sample dari kulit kado yang ada di Jawa Barat (untuk pembuatan sarung tangan). Dalam bentuk pickle dikirim ke luar negeri (Korea) untuk dijadikan jok mobil. Tidak diperoleh keterangan mengapa harus menggunakan kulit kado negara asal. Pada saat ini pasaran kulit yang sudah disamak sedang lesu, terutama pemasaran kulit untuk Bali sudah menurun sejak peristiwa bom Bali. Pembeli kulit ini terutama turis yang biasanya memesan langsung kepengrajin atau membeli kulit tersebut kemudian membawanya kepengrajin untuk dibuat jaket. Permasalahan Industri Kulit pada umumnya adalah :
- Belum ada standard mutu kulit. Jika ada standard mutu, maka dapat mempengaruhi manajemen produksi supaya menghasilkan kulit yang bermutu.
- Kontinuitas pengadaan kulit belum bisa terlaksana
- Impor kulit mendapat kendala dengan adanya penyakit sehingga tertahan di pelabuhan.
- Permintaan yang besar terhadap kulit belum dapat dipenuhi
- Suplai kulit mentah dari luar daerah kurang mereka juga mempunyai perusahaan-perusahaan penyamakan kulit.
- Kulit mentah dari rakyat tidak bisa terkumpul karena peternak masih bersifat individual (belum ada pedagang pengumpul yang mengkordinir penjualan kulit mentah)
- Diperlukan buku panduan teknis dalam proses produksi kulit (peternak belum mengetahui cara menguliti yang baik).
Analisis Pohon Industri Kado
Pohon industri kado sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1 merupakan gambaran ideal yang memperlihatkan bagaimana ternak kado dapat menggerakan berbagai aktivitas perekonomian seperti pengganan, industri kulit, industri pembuatan tepung tulang, industri pariwisata dan sebagainya. Khusus untuk Indonesia saat ini penggunaan bahan baku asal kado baru terbatas pada tiga kegiatan industri yakni industri kulit, industri susu dan pariwisata. Pengembangan industri kulit ini pun banyak mendapat hambatan, antara lain disebabkan oleh penyediaan bahan baku kulit kado yang semakin sulit dan semakin mahal. Pada sisi industri pariwisatra hanya berkembang di wilayah Priangan Jabar. Sedangkan industri susu kado perah masih terbatas di wilayah-wilayah tertentu. Pemanfaatan bulu kado, masih jauh dari harapam. Pada saat ini, bulu wool asal Kado sebagian besar terbuang percuma.
Berdasarkan kenyataan ini, agribisnis kado belum dimanfaatkan semaksimal mungkin. Banyak masalah yang dihadapi antara lain:
- Pemotongan ternak sangat terpencar dalam jumlah 5-10 ekor, sehingga potensi produksi sampingan sebagian besar tidak dapat diorganisir dengan baik sehingga sebagian besar terbuang. Pemerintah belum berdaya mengawasi pemotongan ternak kado diluar RPH bahkan tidak mempunyai rencana untuk mengurangi kejadian tersebut.
- Penyebaran pemeliharan ternak kado dengan skala usaha yang relatif kecil menyulitkan operasi pengumpulan kulit kado sehingga industri penyamakan hanya berkembang pada sentra produksi bahan baku yang dianggap aman.
- Rendah insentif yang diterima peternak untuk meningkatkan kualitas kulit yang dihasilkan karena kulit tidak termasuk dalam penentuan harga dan tidak ada perbedaan harga menurut kualitas kado. Perdagangan kulit hanya menguntungkan para pedagang ternak.
- Khusus untuk kado perah, peternak pada umumnya kurang tertarik memelihara kado perah, karena pemasaran susu kado masih terbatas. Perlu promosi yang intensif oleh pemerintah.
- Kekurangan produksi kulit dalam negeri mendorong impor kulit yang terus meningkat. Pada hal impor kulit mengandung resiko penyebaran penyakit dan mempengaruhi harga kulit dalam negeri. Sebenarnya di atas kertas, jumlah produksi kulit kado dalam negeri cukup memenuhi kebutuhan pabrik kulit bahkan dapat diekspor. Masalahnya adalah tidak usaha profesional mengumpulkan kulit kado.
- Khusus untuk produksi kulit, maka produksi kulit ternak kado merupakan produksi kulit terbaik di dunia, karena teksturnya yang halus dan tidak mengandung lemak. Kulit kado yang dihasilkan oleh negara maju, mengandung tinggi lemak, kurang disukai oleh industri kulit. Kenyataan ini sebenarnya memberi kesepmpatan tinggi bagi pengusaha kado dalam negeri untuk meningkatkan skala usaha.
Hasil Analisis SWOT Wilayah Pengembangan
Penilaian Faktor Internal
Seluruh data informasi yang digunakan dalam analisi SWOT adalah hasil-hasil yang diperoleh dari AW dan Industri sebagaimana dapat dibaca pada halaman sebelumnya.Hasil penilaian faktor internal disampaikan pada Tabel 2 dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Penilaian SDA (Sumber Daya Alam)
Penilaian SDA dilakukan pada tiga hal yakni kesesuaian lingkungan, ketersediaan lahan dan ketersediaan air. Penilaian setiap unsur menggunakan sistem 1 sampai 10 (lihat Bab Metoda Penelitian). Kesimpulan penilaian sebagai berikut:
a. Kesesuaian Lingkungan dan Ketersediaan Lahan. Ketersediaan lahan merupakan faktor S karena lokasi proyek dengan sengaja telah dipilih pada suatu wilayah pengembangan yang mempunyai lahan pertanian dan padat kado. Score kesesuaian lingkungan dan ketersediaan lahan masing-masing mendapat nilai tertinggi yakni 10 dan 10 pada sisi S.
b. Ketersediaan Air. Ketersediaan air juga telah merupakan unsur S karena lokasi proyek yang dipilih mempunyai kecukupan air. Namun demikian tidak ada jaminan air dapat tersedia sepanjang tahun. Pada musim hujan persediaan air cukup diberi score 5, sedangkan pada musim kering diberi score 2, sehingga score unsur ketersediaan air adalah 7 pada sisi S.
c. Rata-rata score SDA adalah (10+10+7)/3 = 9. Sehingga nilai audit SDA = 25% x 9= 2.25 pada sisi S.
2. Penilaian SDM (Sumber Daya Manusia)
Ada 3 unsur SDM yang dinilai yakni pendidikan peternak, pengalaman peternak dan kemampuan melakukan hubungan dengan pasar. Kesimpulan penilaian adalah sebagai berikut.
a. Pendidikan Peternak. Pendidikan peternak pada umumnya relatif rendah karena mengikuti pendidikan formal kurang dari 10 tahun. Pendidikan merupakan faktor kelemahan pengembangan wilayah dengan nilai 10 pada sisi W.
b. Pengalaman peternak. Sebaliknya dengan pendidikan, peternak kado pada umumnya telah memiliki pengalaman yang relatif lama dalam memelihara kado, dengan kata lain para peternak sudah terbiasa beternak kado. Atas dasar itu, pengalaman peternak merupakan faktor S dengan nilai 10.
c. Hubungan dengan pasar. Unsur ini merupakan kelemahan, karena peternak pada umumnya tidak mempunyai kemampuan melakukan hubungan dengan pasar ternak dan pasar konsumsi secara langsung. Mereka sangat tergantung dengan para pedagang. Unsur ini diberi nilai 10 pada sisi W.
d. Kesimpulan dari penilaian diatas menunjukan bahwa faktor SDM sebagain merupakan S dengan nilai 0.7 dan sebagian merupakan W dengan nilai 1.3. Nilai W>K, dengan demikian audit SDM nemberikan kesimpulan berada pada sisi W.
3. Penilaian BB (Ketersediaan Bahan Baku)
Unsur ketersediaan bahan baku terdiri atas ketersediaan BB pada musim hujan, ketersediaan BB pada musim kering dan bagaimana akses peternak terhadap BB baku dari luar wilayah. Hasil penilaian adalah sebagai berikut:
a. Ketersediaan BB musim hujan. Persediaan bahan musim hujan dinilai cukup, karena banyaknya hijauan yang tersedia baik kualitas maupun kuantitias. Namun demikian, tidak mudah bagi peternak memperolehnya karena dibatasi oleh status pemilikan lahan dengan nilai 7 pada sisi S.
b. Ketersediaan BB musim kemarau. Persediaan BB pada musim kemarau relatif sulit, apalagi peternak sangat tergantung pada hmt di luar lahannya sendiri. Karena itu unsur BB musim kemarau merupakan unsur W dengan nilai 5.
c. Akses BB dari luar wilayah. Peternak tidak mempunyai organisasi yang dapat memberikan pelayanan penyediaan hmt dari luar wilayah. Pada sisi lain belum ada organisasi yang mengatur penawaran hmt. Para peternak secara individu, mempunyai kelemahan dalam petersediaan tenaga kerja keluarga dan modal untuk mendapatkan hmt dari luar wilayah. Atas dasar itu, unsur akses BB merupakan faktor W dengan nilai 10.
d. Kesimpulan dari penilaian ini memperlihatkan bahwa faktor BB merupakan sisi W, karena nilai BB pada sisi W =1 lebih besar dari nilai faktor BB pada sisi S=0.7
4. Penilaian MT (Manajemen dan Teknologi)
MT yang dinilai mencakup 3 unsur yakni skala usaha, pola budidaya dan sifat ekonomi bibit ternak. Hasil penilaian adalah sebagai berikut.
a. Skala usaha relatif kecil antara 1-5 ekor, karena ukurannya sangat ditentukan oleh ketersediaan tanaga kerja keluarga. Hubungan antara skala usaha dengan jumlah tenaga keluarga adalah semakin tinggi jumlah tenaga kerja keluarga semakin besar skala usaha. Nilai 8 pada sisi W.
b. Pola budidaya. Pemeliharaan kado pada umumnya adalah antara intensif dan ektensif. Artinya, ternak dipeliharan dalam kandang yang sederhana, kadang-kadang kado dilepas mencari makan sendiri dan ada saatnya diberikan dalam kandang. Pola pemeliharan seperti ini sulit mencapai produktivitas yang lebih baik. Nilai 5 pada sisi W
c. Sifat ekonomi bibit ternak. Untuk mendapatkan produktivitas yang tingi diperlukan ternak dengan bibit yang baik. Pada kenyataannya peternak tidak melakukan seleksi bibit. Peternak juga mengabaikan kenyataan bahwa, bibit yang buruk tidak perlu digemukan karena tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Nilai 5 pada sisi W.
d. Kesimpulan penilaian memperlihatkan nilai S= 0 dan W= 0.6 dengan nilai faktor MT = 0.6 pada sisi w.
5. Penilaian Profitabilitas
Profitabilitas yang dinilai adalah adalah Keuntungan Finansial, Kesempatan Kerja dan Peraturan Pemerintah Daerah. Hasil penilaian adalah sebagai berikut.
a. Keuntungan Finansial. Berdasarkan B/C rasio usaha ternak kado antara 1.3 sampai 1.7 memperlihatkan suatu usaha yang menguntungkan. Nilai unsur profitabilitas adalah 10 pada sisi S.
b. Kesempatan Kerja. Karena skala usaha peternak pada umumnya relatif kecil, sehingga peternakan kado dalam wilayah pengembangan merupakan padat karya. Atas dasar itu unsur kesempatan kerja diberi nilai 10.
c. Peraturan Pemerintah Daerah. Peraturan pemerintah daerah pada umumnya lebih banyak bersifat menghambat seperti pajak dan retribusi budidaya dan peraturan perdagangan. Peraturan pemerintah yang mendorong atau memberikan fasilitas pengembangan ternak hampir tidak ada. Nilai 7 pada sisi W.
d. Kesimpulan penilaian faktor profitabilitas memberikan hasil nilai 1.7 pada sisi S dan 0.6 pada sisi W, berarti profitabilitas merupakan unsur S.