Budaya Dan Dimensi Budaya Nasional
Budaya (culture) merupakan keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Istilah the collective mental programming atau software of mind digunakan untuk menyebutkan keseluruhan pola dalam kajian budaya. Mental prorams atau budaya suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial, (seperti negara, daerah, tempat kerja, sekolah dan rumah tangga) dan kejadian-kejadian yang dialami dalam kehidupan para anggota kelompok yang bersangkutan. Kemudian proses terbentuknya pola fikir, perasaan dan perbuatan tersebut dianalogikan dengan proses penyusunan program dalam komputer.
Budaya dapat dikelompokkan ke dalam berbagai tingkatan antara lain: nasional, daerah, gender, generasi, kelas sosial, organisasional atau perusahaan.
Budaya Nasional
Dimensi-dimensi perbedaan budaya dalam penelitian budaya nasional meliputi: power distance, collectivism/ individualism, masculinity/ feminity dan uncertainty avoidance.
Power distance
Power distance adalah satu dari ‘dimensi’ budaya nasional yang merefleksikan jarak jawaban yang ditemukan dalam beragam negara ke dalam pertanyaan mendasar tentang bagaimana mengelola fakta bahwa orang-orang dalam keadaan tidak seimbang. Skor-skor power distance dari 50 negara dan 3 wilayah kelompok negara dihitung dari jawaban karyawan IBM pada posisi pekerjaan yang sama dan survey yang sama. Seluruh pertanyaan terdapat kode tipe jawaban yang diwakili oleh skor angka: biasanya 1, 2, 3, 4 atau 5. Prosedur statistika dengan faktor analisis digunakan untuk meringkas survei pertanyaan ke dalam kelompok yang disebut faktor atau klaster. Suatu klaster tersusun dari pertanyaan yang terkait dengan power dan (in) equality. Dari pertanyaan ini, Hofstede menyeleksi tiga yang paling kuat terkait. Skor rata-rata standar sampel karyawan-karyawan IBM dalam suatu negara pada tiga pertanyaan, suatu power distance index (PDI) untuk perhitungan negara. Tujuan formula PDI adalah: menjamin bahwa tiap-tiap tiga pertanyaan menunjukkan bobot yang seimbang yang terdapat pada indeks akhir dan nilai indeks berjarak dari 0 untuk negara dengan power distance yang rendah sampai 100 untuk negara dengan power distance yang tinggi.
Tiga pertanyaan survey yang digunakan untuk menyusun power distance index adalah:
- Pertanyaan yang menunjukkan kekhawatiran atau ketakutan karyawan/ bawahan.
- Pertanyaan yang menunjukkan perasaan karyawan terhadap lingkungan kerja terkait dengan gaya otokrasi atau paternalistik.
- Pertanyaan yang menunjukkan dan mengekspresikan preferensi responden (karyawan).
Hasil analisis menunjukkan bahwa negara-negara Latin, seperti Amerika Latin, Perancis dan Spanyol juga negara-negara di Asia dan Afrika memiliki power distance yang tinggi. Sedangkan sebagian besar negara-negara barat, USA dan Inggris tergolong memiliki power distance yang rendah. Jika power distance yang dimiliki rendah berarti ketergantungan subordinat pada pimpinan terbatas, ada hubungan interdependensi anatara mereka dan jarak emosional antara mereka relatif rendah, dan sebaliknya. Perbedaan power distance dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan power distance juga dapat dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam negara.
Collectivism vs Individualism
Mayoritas orang di dunia yang tinggal dalam suatu komunitas yang memiliki minat pada kelompok melebihi secara individu disebut sebagai kelompok masyarakat collectivist. Sebagian besar lingkungan collectivist, ‘keluarga’ di mana anak tumbuh berkembang terdiri dari sejumlah orang yang hidup bersama seperti: kakek-nenek, paman, bibi, pembantu, atau anggota lainnya. Dalam antropologi budaya ini dikenal sebagai extended family. Ketika anak tumbuh berkembang mereka belajar untuk berpikir mereka sebagai bagian dari kelompok ‘kita’.
Minoritas orang di dunia hidup dalam masyarakat di mana minat-minat individu di atas minat kelompok, masyarakat itu disebut sebagai individualist. Di sini sebagian besar anak-anak dilahirkan dalam keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan, kemungkinan dari keluarga dengan orangtua tunggal. Saudara-saudara lain hidup terpisah dan jarang bertemu. Keluarga jenis ini dikenal sebagai nuclear family (dari bahasa Latin yang berarti inti). Anak-anak dari keluarga seperti ini akan tumbuh dan kemudian berpikir bahwa mereka sebagai ‘aku’.
Pertanyaan-pertanyaan survey di mana individualism index diperkenalkan termasuk ke dalam kumpulan 14 ‘work goals’. Pertama adalah individualism versus collectivism, dan yang kedua dinamai masculinity versus feminimity (lihat D: Masculinity dan Feminimity).
Untuk individualism:
- Personal time. Memiliki suatu pekerjaan yang memberikan anda waktu yang cukup untuk kehidupan personal atau keluarga.
- Freedom. Memiliki kebebasan yang tinggi untuk menggunakan pendekatan anda sendiri dalam pekerjaan anda.
- Challege. Memiliki tantangan pekerjaan yang dilakukan – bekerja di mana anda dapat mencapai prestasi yang berarti bagi pribadi.
Untuk collectivism:
- Training. Memiliki kesempatan training (untuk meningkatkan ketrampilan anda atau mempelajari ketrampilan baru)
- Physical conditions. Memiliki kondisi kerja fisik yang baik (ventilasi dan penerangan yang baik, tempat kerja yang leluasa, dsb.).
- Use of skills. Secara penuh menggunakan ketrampilan dan kemampuan anda dalam pekerjaan.
Banyak negara dengan skor tinggi untuk PDI memiliki skor rendah pada IDV dan sebaliknya. Dengan kata lain hubungan kedua dimensi tersebut cenderung berkorelasi negatif. Perbedaan individualism-collectivism dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan individualism-collectivism juga dapat dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam negara.
Masculinity and Feminity
Dalam suatu masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan. Secara biologis mereka berbeda. Perbedaan biologis menggunakan terminologi male dan female, sedangkan perbedaan sosial dan secara budaya ditentukan oleh peran masculine dan feminine. Seorang laki-laki dapat berkelakuan feminim dan sebaliknya.
Dimensi kedua ini secara erat berhubungan dengan item terkait berikut. Untuk masculine:
- Earnings. Memiliki kesempatan untuk meraih pendapatan yang besar.
- Recognition. Memperoleh pengakuan yang layak.
- Advancement. Memiliki kesempatan untuk maju ke tingkat pekerjaan yang lebih tinggi.
- Challenge. Memiliki pekerjaan yang menantang untuk berprestasi.
Sebaliknya untuk feminine:
- Manager. Memiliki hubungan kerja yang baik dengan superior di atas anda.
- Cooperation. Bekerja baik dengan orang lain
- Living area. Hidup di lingkungan menarik bagi anda dan keluarga anda.
- Employment security. Memiliki jaminan di mana anda dapat bekerja pada perusahaan anda sepanjang anda inginkan.
Skor MAS dihitung dari 50 negara-negara dan 3 wilayah dalam data IBM. Skor 0 menunjukkan paling feminim dan skor 100 menunjukkan paling maskulin. Hasil analisis data menunjukkan bahwa maskulinitas tertinggi di Jepang (rank 1), selanjutnya beberapa negara di Eropa kontinental seperti: Austria, Italia, , Switzerland juga sejumlah negara di Amerika Latin seperti: Venezuela, Meksiko, dan negara-negara Anglo seperti: Irlandia, Jamaika. Perbedaan masculinity-feminity dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan masculinity-feminity juga dapat hubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam negara.
Uncertainty avoidance
Terminologi uncertainty avoidance telah dipinjam dari organisasi sosiologi Amerika khususnya dari karya James G.March. Cara untuk mengatasi ketidakpastian merupakan bagian dan bidang dari setiap manusia di negara manapun. Sebagai manusia kita harus berhadapan dengan fakta bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok; masa yang akan datang tidak pasti tetapi kita harus menghadapinya.
Ketidakpastian yang ekstrim menciptakan kegelisahan yang tidak dapat ditolelir. Setiap lingkungan masyarakat telah berkembang cara untuk meredakan kegelisahan tersebut. Cara-cara tersebut dapat berasal dari bidang teknologi, hukum dan agama.
Budaya Organisasional
Berbicara mengenai ‘budaya’ suatu perusahaan atau organisasi telah menjadi suatu mode di antara para manajer, konsultan, dan dengan pehatian yang agak berbeda di antara para akademisi. Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Meskipun demikian banyak para ahli sepakat pada karakteristik konstruk budaya organisasional.
Hofstede membagi budaya organisasional ke dalam enam dimensi praktek: (1) Process-Oriented vs. Results Oriented, (2) Employee-Oriented vs. Job-Oriented, (3) Parochial vs. Professional, (4) Open System vs. Closed System (5) Loose Control vs. Tight Control (6) Normative vs. Pragmatic.
Perbedaan Budaya organisasional dan Budaya Nasional
Menurut Hofstede antara budaya nasional dan budaya organisasional sulit dibedakan dan merupakan fenomena yang identik. Perbedaan keduanya tercermin dalam manifestasi budaya ke dalam nilai-nilai dan praktek. Pada budaya organisasional, perbedaan banyak pada tingkat praktek dibandingkan perbedaan nilai-nilai. Perbedaan budaya organisasional selanjutnya dianalisis pada tingkat sub organisasi atau sub unit organisasi.
BAGIAN KEDUA
Ada 3 (tiga) bahasan penting dari perspektif penelaah (reviewer) pada bagian kedua meliputi agreements dan disagreements. Basis pembahasan bagian kedua meliputi Penyajian yang meliputi sistematika dan isi buku (book content), metoda penelitian, rerangka teori (theoritical framework) dan kontribusi buku bagi perkembangan teori organisasi.
I. Penyajian dan Isi Buku
Penyajian buku yang meliputi isi dan sistematika buku sangat baik dan menjadikan buku ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang budaya pada berbagai level budaya dan beragam setting. Beragam terminologi dan rujukan pada penelitian sebelumnya keterbukaan penulis (opennes) dalam konteks keberfihakan pada ilmu pengetahuan (science).
Dari sisi penyajian bahasa dan sistematika penulisan cukup baik. Bahasa yang digunakan dalam buku ini/ disampaikan kepada pembaca relatif dapat dimengerti dengan baik. Kadang tiap bahasan diawali dengan ilustrasi bahkan humor yang relevan dalam menggambarkan bahasan dengan cerdas. Di samping itu buku ini memberikan panduan (A guide through this book, pada hal xiii-xiv) yang sangat baik bagi pembaca berbagai kalangan/ segmen sehingga memudahkan memahami buku ini secara lebih baik.
Pesan tentang keragaman budaya sebagai sebuah keniscayaan akan bermanfaat bagi kalangan ilmiah dan yang terpenting adalah para pembuat kebijakan bisnis untuk menjadikan pertimbangan penting mereka.
Meskipun demikian “tiada gading yang tak retak”, berbasis pada penelitian tahun 1967-1973 tentang budaya nasional dan penelitian budaya organisasional pada tahun 1985-1987 dengan setting yang terbatas dan adanya kemungkinan bias waktu bagi kajian budaya dewasa ini yang sangat pesat berubah, maka merupakan kewajaran bahwa buku ini tampaknya tidak sepenuhnya menggambarkan “hewan” budaya nasional dan budaya organisasional. Salah satu hal yang tampak mencolok adalah tentang teknologi informasi. Hal ini dapat menjadi kajian di masa ke depan seperti buku-buku “best seller” karya Naisbitt ataupun karya Toffler yang di dalamnya meliputi pesatnya teknologi informasi dan beberapa telaah “kontemplasi” para futurolog yang mungkin masih diperdebatkan.
Namun demikan isi buku memberikan telaah ilmiah sekaligus implikasinya sehingga buku ini sangat menarik tidak hanya bagi kalangan akademis ataupun peneliti, namun juga dapat digunakan para praktis/ profesional sebagai referensi penting/ guidelines dalam kegiatan manajerial.
Buku ini dapat dikategorisasikan sebagai buku referensi ilmiah klasik, yang akan sering digunakan sebagai rujukan berbagai kalangan, termasuk kalangan ilmiah/ akademis dan dapat menghindarkan diri dari sekedar mengejar “pasar” atau terjebak pada “manajemen yang bersifat mode” bahkan apa yang kita kenal sebagai “pseudoscience”.
Metoda Penelitian
Dalam kaitannya dengan penelitian budaya nasional yang menggunakan data IBM survey menunjukkan bahwa populasi dan sampel dalam penelitian Hofstede sangat terbatas untuk mewakili pengukuran dimensi-dimensi budaya nasional pada suatu negara tertentu, sehingga
Pada sub bagian metoda penelitian, kita lebih banyak membahas ide tulisan, pendekatan dan metoda penelitian yang digunakan oleh Hofstede. Pada bagian ini akan disampaikan beberapa bahasan kritis terkait dengan agreements dan disagreements. Beberapa hal yang dibahas meliputi jenis penelitian, premis & asumsi, metoda sampel, serta prosedur penelitian.
1. Jenis Penelitian
Buku ini berbasis pada dua penelitian yang dilakukan Hofstede. Pertama penelitian tentang budaya nasional dengan menggunakan data IBM. Penelitian ini tergolong kategori jenis penelitian eksploratori dan berdasarkan tujuannya, penelitian ini juga dapat kita kelompokkan pada jenis penelitian induktif, yaitu penelitian yang memiliki tujuan untuk mengembangkan (generating) theory atau hipotesis melalui pengungkapan fakta (Indriantoro & Supomo., 1999:23). Sedangkan penelitian kedua tentang budaya organisasional juga dapat kita kelompokkan jenis penelitian eksploratori yang pada umumnya menggunakan pendekatan induktif.
Di samping itu kedua penelitian ini juga melakukan kombinasi dengan pendekatan deduktif sehingga kita melihat penelitian ini menggunakan metode double movement of reflective thought.
Menurut pandangan penelaah, pendekatan pada kedua penelitian ini sangat baik, namun setting yang relatif terbatas maka hasil penelitian ini seperti halnya penelitian di bidang organisasi dan manajemen pada umumnya tidak memberikan saran ataupun tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Meskipun demikian kedua penelitian yang disarikan dalam buku ini telah memberikan perspektif dan struktur terhadap komplesitas keragaman budaya pada berbagai level.
2. Premis, Paradigma dan Asumsi
Dalam buku ini premis dan asumsi yang dilakukan dalam konteks nasional dan organisasi. Salah satu kelemahan kajian budaya pada umunya adalah masalah durasi penelitian yang relatif pendek, cenderung bersifat “snapshoot” dan penarikan kesimpulan dari values individu menjadi shared values organisasi memang tidak cukup dengan teknik kuesioner (survey research), melainkan perlu dukungan observasi dengan durasi waktu yang relatif panjang.
Sedangkan paradigma dan asumsi dalam penelitian ini memiliki kecenderungan trianggulasi pada pendekatan baik kualitatif dinamakan juga pendekatan konstruktifis naturalistik atau interpretatif dikombinasikan dengan kuantitatif melalui perhitungan faktor analisis. Paradigma ini menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistik, kompleks dan rinci. Dengan demikian asumsi yang dibangun juga konsisten dengan paradigma ini. Kita melihat pendekatan yang dilakukan cukup baik namun perlu modifikasi teknik dan kejelasan operasional penelitian.
3. Metoda Sampel
Penelitian sebelumnya menggunakan data IBM yang dikumpulkan dengan survey dengan cara in-depth interviews terhadap karyawan yang dikelola oleh tim ahli ilmu sosial dari dalam dan luar perusahaan sebagai participant observers. Sedangkan penelitian di Denmark dan Belanda meliputi lebih dari 20 unit dari 10 organisasi yang berbeda, menggunakan data dengan cara in-depth interviews dari informan terpilih dan survei kuesioner. Teknik atau metoda sampel yang digunakan adalah stratified random sampling anggota organisasi.
4. Validitas Internal dan Eksternal
Dalam kaitannya dengan penelitian budaya nasional dengan menggunakan data IBM survey menunjukkan bahwa populasi dan sampel dalam penelitian Hofstede sangat terbatas untuk mewakili pengukuran dimensi-dimensi budaya nasional pada suatu negara tertentu, sehingga validitas eksternalnya tergolong lemah.
Sedangkan validitas internal budaya nasional masih sangat abstrak, walaupun Hofstede telah mencoba merumuskan ke dalam dimensi-dimensi.
Theoritical Framework
Penelitian tentang budaya organisasional (organization culture) dalam buku cultures and organizations memberikan gambaran yang lebih jelas sekaligus perspektif baru yang merupakan komplementari term perbedaan budaya nasional.
Banyak kalangan baik manajer, konsultas dan akademisi menyebutkan budaya (culture) dalam pemahaman yang agak berbeda satu sama lain, sehingga “budaya” telah menjadi “a fad”. Namun demikian kondisi tersebut paling tidak telah meninggalkan jejak bagi pengembangan ilmu khususnya teori organisasi. Budaya organisasional telah mendapatkan status yang mirip dengan struktur, strategi dan pengendalian. Dalam pandangan Weick (1985) bahwa konstruk “budaya” dan “strategi” bersifat saling melengkapi sebagian yang lain. Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Namun banyak ahli ilmu-ulmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Meskipun demikian banyak para ahli sepakat pada karakteristik konstruk budaya organisasional meliputi:
1. Menyeluruh (holistic)
2. Historically determined
3. Terkait dengan konsep antropologi
4. Dikonstruksi secara sosial.
5. Tidak berwujud dan tidak kasat mata (soft)
6. Sukar untuk berubah
Kontribusi
Dari perspektif ilmu (science) secara umum kita ketahui bahwa penelitian yang bersifat eksploratori ataupun induktif memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan ilmu itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan Hofstede memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang perbedaan budaya. Dalam kajian Hofstede dijelaskan bahwa perbedaan budaya nasional sebagai salah satu faktor penentu yang harus diperhitungkan di samping budaya organisasional jika akan membuat ramalan yang lebih akurat mengenai perilaku organisasi di negara-negara yang berlainan. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya nasional mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan daripada budaya organisasional (Kent, 1991). Kontribusi penting Hofstede lainnya adalah empat dimensi budaya yang diidentifikasi dari data IBM meliputi: power distance, individualism/ collectivism, masculinty/ feminity dan uncertainty avoidance. Dalam buku ini pula, Hofstede menambahkan dimensi short/ long term orientation.