Metodologi Ilmu Ekonomi
Sebagai suatu body of doctrineyang mencakup fenomena ekonomi dalam masyarakat, ilmu ekonomi modern dinyatakan bangkit pada paroh kedua abad kedelapan belas, melalui The Wealth of Nationtulisan Adam Smith. Sungguhpun demikian ia baru memperoleh status pengukuhannya sebagai disiplin yang mandiri, khususnya dikalangan akademik perguruan tinggi, pada dua abad kemudian. Pengakuan ini banyak ditandai secara monumental dengan kehadiran tulisan-tulisan para pemikir yang menyingkap persoalan metodologis, misalnya Nassau Senior, J.S. Mill, Cairnes, Bagehot dan sebagainya sebagai pendukung apa yang disebut sebagai positive economics pada satu sisi, dan mazhab historis Jerman yang lebih menekankan aspek moral dan etika dalam ilmu ekonomi.
Perdebatan tentang what is danwhat ought to be tetap saja berlangsung apalagi dengan kehadiran Lionell Robbins, John Neville Keynes, Mirdal, disusul Mark Blaug, Caldwell, Machlup, dan sebagainyadalam khazanah pemikiran ekonomi, yang mencoba melakukan klarifikasi terhadap pertentangan tersebut dalam perspektif masing-masing.
Mereka berangkat dari pandangan dunia, worldview, yang serba material, diturunkan sehingga memperoleh pengukuhan metodologis dan ilmiahnya melalui berbagai tahapan historis yang panjang. Pandangan dunia material tersebut untuk kemudian menjelma menjadi kenyataan ekonomi yang berkembang di dunia modern seperti dirasakan sekarang ini.
Tulisan kecil ini dengan segala keterbatasannya, berusaha menyingkap perjalanan metodologis ilmu ekonomi dengan beberapa pokok persoalan yang terkait seperti konsep tentang pandangan dunia, kelangkaan sumberdaya dan sebagainya untuk kemudian diperbandingkan dengan perspektif Islam.
Kebangkitan Ilmu Ekonomi Modern
Pada mulanya, ilmu ekonomi modern adalah cabang dari filsafat, yang dijadikan tempat sumber segala ilmu pengetahuan modern, kemudian datanglah Adam Smith bersama David Hume, Bentham, Mill dan disusul pula oleh Say yang memformulasikan konsep equilibrium pasar beserta perangkat mekanismenya, mengikuti jejak para pendahulu mereka, Newton dan kawan-kawannya, dalam bidang fisika.
Sebagaimana Newton memformulasikan keharmonisan alam dalam perspektif ruang dan waktu, dan dengan hukum serta peraturannya, Smith mentransformasikan konsep ruangkepada pasar, dan konsep waktu dengan uangdalam keharmonisan sosial melalui sistem Euclidean space, yang didalamnya setiap individu, memaksimalkan pemenuhan self-interest-nya, maka pencapaian kesejahteraan sosial merupakan suatu keniscayaan (imperative). Ini dapat dimengerti dari sistem reduksionisme Newton yang memperlakukan gaya gravitasi sebagai basis kekuatan yang mencipta percepatan mengikuti posisi masa dan partikel, untuk kemudian menciptakan pula hukum gaya gerak (laws of motion) yang menjadikan setiap individual sebagai komponen dari universal.
Waktu, yang sama sekali terpisah dari sistem ruang, mengukur percepatan dan gerak sebuah partikel dalam ruang yang didefinisikan dalam sistem ko-ordinat Cartesian, yang memproyeksikannya dari setiap titik dimana partikel berada. Smith, dan para classicists lainnya, menempatkan masyarakat sebagai tidak lebih dari penjumlahan atau kumpulan individu manusia dalam setiap noktah yang ada didalamnya, sehingga self-interest setiap individu secara otomatis akan mengarahkan pada pencapaian social-interest (well being). Sebagaimana waktu terhadap ruang, uang yang terpisah dengan pasar, oleh Smith didefinisikan sebagai pengukur harga—yang lebih mengacu pada harga faktor produksi berupa gaji atau upah—dalam keseimbangan pasar melalui grafik dua dimensi.
Perkembangan berikutnya juga menunjukkan parallelisme sejarah antara apa yang dilakukan Einstein dengan John Mynard Keynes. Ketidakpuasan Einstein terhadap sistem reduksionisme Newtonian, tertuang dalam The General Theory of Relativity, yang membuktikan bahwa tiada pemisahan berarti dalam hubungan antara ruang, waktu dan gerak dalam sebuah konsep yang terpadu. Ia menyatakan bahwa fenomena universal lebih dapat dengan mudah dilihat dalam perspektif keseluruhan dengan menempatkan partikular/individual didalamnya. Keynes, melalui The General Theory of Employment, Interest and Money, menyerang salah satu konsekwensi dalam teori klasik dari mekanisme pasar tersebut bahwa dengan menurunkan standar gaji sampai pada titik tertentu, unemployed person akan selalu dapat memperoleh lapangan kerja, padahal yang terjadi justru sebaliknya, yaitu involuntary unemployment, sebab mereka enggan bekerja dengan gaji yang dipotong.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ilmu ekonomi (dan juga ilmu-ilmu sosial lainnya), secara filosofis dan karenanya juga secara metodologis, sangat menggantungkan diri perkembangan ilmu alam/fisika.
Ketergantungan ini diratapi oleh sebagian ekonom yang akhirnya mengidap gejala inferiority complex, meminjam istilah Machlup, terhadap rekannya dari disiplin ilmu alam. Sesuatu yang tampaknya lain dalam perspektif Islam. Mengapa?. Karena dalam Islam manusia dan alam memiliki sejarah penciptaan dan perkembangannya sendiri, sekalipun sudah barang tentu keduanya tidak bisa dipisahkan.
Sebelum diskusi dalam paper ini memasuki permasalahan metodologi secara lebih detail, ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu tentang tinjauan historis perkembangan sistem, yang secara simultan memproduk sekaligus sebagai produk dari ilmu ekonomi; dan perbandingan pandangan dunia dalam ilmu (maupun sistem) ekonomi menurut Islam dan menurut materialisme sekular.