Kelin dan Aspek Immaterial dalam Modernisasi Ekonomi
Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesiapada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi sudah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi sudah berlangsung lebih dari 6 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis budaya. Memang terdapat hubungan yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan aspek budaya (immaterial).
Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebenarnya masih berproses mencari bentuk. Negara Pancasila berpretensi sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak berdasarkan agama, sebagai sarana alternatif untuk menjaga keutuhan bangsa yang pluralis dari ancaman yang dirumuskan sebagai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan). Dalam hal ini akan dibatasi keterkaitan agama sebagai ancaman kesatuan bangsa. Dimana pada saat menjelang kemerdekaan ada dua kutub yang saling berlawanan antara umat Islam dan umat Kristen; dan masing-masing berkeinginankan membentuk negara agama. Umat Kristen yang merupakan mayoritas di Irian Jaya ingin memisahkan diri dari Indonesiajika Indonesiamenjadi negara Islam.
Pertentangan agama antara Islam dan Kristen lebih kentara karena keduanya sama-sama sebagai agama personal, sekedar untuk membedakan dengan agama-agama yang berasal dari Peradaban Timur seperti Hindu dan Budha yang bersifat impersonal. Yang dimaksud dengan agama impersonal adalah karakter agama yang berusaha mencari hubungan yang harmonis dengan alam, disamping tidak berkelindan dengan urusan politik; sedangkan agama personal adalah karakter agama yang ingin mengatur (menguasai) alam dan berkompeten untuk mengatur segala sesuatu, termasuk mengatur urusan politik dan kadang berkepentingan dengan negara agama. Bila kita konsisten dengan karakter ini, Islam tidak bisa digolongkan kedalam Peradaban Timur. Islam bersama Kristen dan Yahudi adalah anak kandung Peradaban Barat, tetapi mereka saling berkelahi memperebutkan warisan truth claim (klaim kebenaran mutlak).
Umat Islam hendaknya memainkan peranan yang besar bagi terciptaya identitas bangsa ini, mengingat jumlahnya yang mayoritas. Bila umat Islam berhasil merumuskan kebudayaan Islam Indonesianis (budaya Pancasila) maka proses modernisasi (ekonomi) menjadi lebih cepat berhasil. Selama ini berbagai kelompok umat Islam masih mengalami hambatan komunikasi, dan kadang-kadang mereka mengembangkan ideologi yang tidak mudah dicarikan titik temunya. Adopsi ideologi tertentu oleh suatu kelompok merupakan konsekuensi logis bagi agama yang bersifat personal (yang sangat berkepentingan dengan urusan duniawi). Hendaknya tiap-tiap ideologi tidak mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, suatu sikap yang tidak mudah untuk diwujudkan bagi gerakan yang berpretensi sebagai gerakan revolusioner. Padahal ideologi bukanlah agama, seharusnya semua ideologi mau melakukan dialog untuk mencari suatu program bersama yang berguna bagi kemanusiaan.
Aspek Immaterial Menentukan Modernisasi
Biasanya diterima asumsi bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak sepenuhnya dapat disesuaikan dengan asumsi tersebut. Berbagai agama datang dan berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengganti agama yang lama dan menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi dalam kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang dikatakan sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-Hindu sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain menglami perubahan.
Pandangan Snouck Hurgronje berikut juga bertentangan dengan kenyataan sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu secara implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para penganutnya sifatnya reaktif karena adanya perubahan periode kebudayaan di mana agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada umumnya yang menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa.
Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Hal tersebut telah menjadi perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan: Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europeand not in the other places?. Jawabannya adalah pemikiran agama mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia menjelaskan industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean Calvin (1509-1564). Calvin sangat menekankan peranan rasio (akal) dalam pemahaman agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di dunia ini. Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang, dan hidup ekonomis.
Dalam Islam, pemikiran agama juga terus-menerus mengalami pembaharuan untuk memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan dalam kehidupan di dunia ini, dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif; sebagai konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih tertinggal dari peradaban Barat. Memang beberapa negara Islam telah dapat mengikuti perkembangan teknologi modern, tapi karena belum didukung oleh pemikiran agama yang mampu menopangnya maka hasilnya masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa:
the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists - countries such as …Pakistan have these aplenty; …. The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently ‘technical’ decisions are taken.
Dengan kata lain, kemampuan teknis di dunia Islam belum dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan material secara luas karena belum ada kondisi yang kondusif dalam aspek immaterial, seperti pemikiran agama.
Unsur Rasio dan Tradisi dalam Modernisasi
Perhatian terhadap realitas sosiologis historis berbagai komunitas Islam sangat penting karena masing-masing mewakili budaya tersendiri dengan berbagai bentuk konvensinya, seperti diyakini sejarawan Thomas L. Haskell (1999: 3) bahwa: “…Nietzsche, who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so long as he secured recognition that both were subordinate to the “will to power.”Konvensi sebagai kesepakatan dari suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu, karena hal ini terkait erat dengan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru dilakukan dialog seiring dengan berlalunya waktu agar dianggap lebih rasional.
Hal itu dilakukan karena rasio bukan satu-satunya patokan bagi segala sesuatu. Manusia juga punya aspek perasaan, sebagai pemberi makna bagi hidupnya di dunia. Hal tersebut hanya didapatkan pada budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena itu tradisi harus diperhi-tungkan di dalam merumuskan pembaharuan Islam, sebagai realitas sosiologis- historis suatu komunitas, suatu yang dapat berubah tapi tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Daya tahan tradisi terhadap modernisasi diakui para pemikir modern gerakan Islam. Mereka mulai mereformasi strategi dakwah yang menitikberatkan pendekatan normatif, yang menjadikan gerakan kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits sebagai kriteria normatif absolut. Mereka mulai mengarahkan perhatiannya kepada teologi rasional sebagai landasan untuk menegakkan tatanan moral yang lebih tegas, dimana setiap tindakan memiliki nilai etisnya sendiri secara obyektif . Baik dan buruk tidak lagi ditentukan dengan pendekatan theistic subjective (pendekatan normatif) yang memaknai baik dan buruk berdasarkan perintah dan larangan dari Tuhan, dimana segala keputusan disandarkan kepada kehendak Allah. Pendekatan rasional memberikan tanggung jawab yang besar kepada manusia atas tindakannya, karena baik dan buruk sudah ditentukan berdasarkan karakteristik dari perbuatan itu sendiri.
Dengan demikian teologi Islam yang selama ini dirumuskan secara rasional melalui pendekatan normatif harus dilengkapi dengan pendekatan empiris obyektif. Pendekatan-pendekatan yang bersifat normatif, sebagai suatu bentuk paradigma, memang tidak dapat dihilangkan, namun jangan sampai menjadi suatu ideologi yang kaku melainkan harus diuji dalam realitas sejarah bagi upaya modifikasi lebih lanjut.
Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya adalah penuh resiko, karena pembicaraan mengenai iman (lebih luas dari aqidah) merupakan pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman memiliki sifat-sifat dan karakter tertentu, tetapi secara praktis tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan konseptual. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 193 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu.” Maka kami pun beriman.’
Karena iman tidak bisa dibatasi pada masalah aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di lapangan mengalami kesulitan karena bid’ah yang sering dianggap masuk wilayah aqidah bercampur aduk dengan bid’ah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian, lantaran apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah.
Konsekuensi dari pluralitas budaya tersebut, para pembaharu sejak awal menyadari sifat parsialis pembaharuannya, agar ada kesadaran untuk melakukan pembaharuan yang berkelanjutan karena memang pembaharuan Islam bukanlah paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan pembaharuan Islam yang memiliki kemampuan sinergis dengan managerial global membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit untuk sejak dini merumuskan pembaharuan yang memiliki daya jangkauan global bila kita belum memiliki informasi yang lengkap mengenai realitas sosiologis-historis semua komunitas Islam. Karena masing-masing komunitas Islam tersebut memiliki keunikan budaya yang harus diperlakukan secara khusus pula.
Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang memiliki realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini wajar setiap memulai pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yang masih sangsi terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya mampu meyakinkan pembaharuan ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia ini merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis.
Sepanjang sejarah Islam, faktor toleransi diantara berbagai organisasi Islam sangat sulit diwujudkan. Contohnya, Kekhalifahan Umayyah dan Kekhalifahan Abbasiyah selalu berseteru satu sama lain memperebutkan legitimasi sebagai satu-satunya pembela Islam yang syah, bahkan Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Kristen untuk menghancurkannya. Akibatnya umat Islam terusir dari Spanyol. Pertentangan sesama umat ini tentu melemahkan posisi umat vis-à-vis Peradaban Barat.
Di lain pihak, kemajuan Barat ini tidak bisa dilepaskan dari peranan umat Islam, yang telah mewarisi dan mengembangkan peradaban Yunani-Romawi kuno. Karena memang kegiatan intelektual bersifat lintas budaya. Memang sejarah Islam mencatat dengan tinta emas sikap toleransi umat Islam terhadap penganut beragama lain. Toby E Huff (1998: 46) benar ketika mengatakan ‘The path to modern science is the path to free and open discourse….’ Ini yang menjadi tema utama dalam bukunya The Rise of Early Modern Science, dimana dia mengakui pada abad ke-12 dan ke-13 Barat masih ketinggalan dalam pengembangan iptek, tetapi kemudian Barat berhasil membidani kelahiran modern science karena telah berhasil mengembangkan suasana free and open discourse.
Tidak lahirnya iptek modern dari peradaban Islam bukan karena Islam tidak kompatibel dengan ide-ide modern tapi karena interpretasi Islam yang tidak kondusif bagi perkembangan iptek. Dengan demikian permasalahannya tidaklah tidak filosofis, tetapi pada tataran sosial dan kultural seperti kasus pelarangan penggunaan print untuk mencetak huruf Arab yang dianggap suci. Akibatnya peradaban Islam berkembang sangat lambat dan sebaliknya peradaban Barat dapat berkembang cepat berkat penggunaan print ini.