Koperasi sebagai Sokoguru Perekonomian.
Pernyatan koperrasi sebagai “Sokoguru” ini sebenarnya diucapkan pertama kali oleh bung Hatta, Bapak koperasi Indonesia. Pernyataan itu tidak dimaksudkan sebagai cita-cita atau idaman kosong tentang peranan koperasi dimasa depan. Justru sebaliknya, Bung Hatta melihat kenyataan bahwa kekuatan ekonomi nasional yang berdasarkan kekeluargaan merupakan “penyangga utama” koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional. Namun di Jaman orde baru muncul pengertian yang berbeda sama sekali tentang sokoguru ekonomi ini, perbedaan persepsi sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, apakah apakah satu-satunya atau salah satu sokoguru ekonomi nasional.
Orang dari gerakan koperasi sering merasa tersendiri apabila masalah “sokoguru” ini dipersoalkan. Dalam kondisi ekonomi nasional sampai sekarang ini, khususnya dalam kaitannya proses konglomerasi, “Kesokoguruan” koperasi banyak sekali dipertanyakan. Tampaknya justru usaha-usaha swasta, khususnya swasta konglomerat, yang pantas disebut sokoguru perekonomian. Dan artnya BUMN-pun dapat menjadi sokoguru perekonomian nasional.
Sebenarnya, pembicaraan mengenai sokoguru tidak tepat dikaitkan dengan ke tiga pelaku ekonomi nasinal. Pengertian koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasinal harus dikembalikan pada pernyataan awal yang dicetuskan oleh Bung Hatta. Pengertian “Koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional” tidak dimengerti secara sempit sebagai salah satu dari tiga pelaku ekonomi, tetapi koperasi sebagai “ekonomi rakyat”. Jadi, pengertian ekonomi koperasi menurut Bung Hatta sama dengan ekonomi rakyat, baik pada masa awal kemerdekaan maupu di masa yang akan datang. Pernyataan Bung Hatta selalu benar yang menyatakan bahwa : “ Jika ekonomi rakyat ambruk, maka ambruklah seluruh ekonomi nasional”. Inilah pengertian sokoguru dalam arti kata yang sebenarnya, yang menurut Bung Hatta harus dibangun melalui pembangunan daya beli rakyat.
Kekeliruan persepsi mengenai koperasi tampaknya juga tercermin pada pendekatan konsepsional di Departemen koperasi pada masa lalu, dimana pada waktu lalu ada dua Direktorat Jenderal, yaitu Ditjen Bina Lembaga Koperasi (Bilek) dan Ditjen Bina Usaha Koperasi (Binus). Satu Ditjen menekankan pembinaan pada lembaganya dan satu Ditjen lagi menekankan pembinaan pada usaha-usaha koperasi.
Secara obyektif harus diakui, bahwa pengembangan koperasi selama ini lebih ditekankan pada aspek kelembagaan atau aspek strukturalnya. Hal ini tercermin dari lahirnya Inpres No. 2 Tahun 1978, yang mengandung ketentuan, bahwa koperasi akan dikembangkan kepedesaan sebagai salah satu lembaga serba usaha, yang disebut Koperasi Unit Desa (KUD).
Pengembangan koperasi sebagai badan usaha inilah yang antara lain tercermin dalam 13 Syarat KUD mandiri sebagai berikut :
- Minimal 25% penduduk dewasa menjadi anggota.
- Minimal 60% bisnisnya harus dengan anggota.
- Minamal 3 tahun berturut-turut mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) tepat waktu.
- Anggota pengurus dan pengawas harus anggota KUD.
- Modal sendiri minimal 25 juta rupiah.
- Volume usaha harus proporsional dengan anggota, minimal 250.000 peranggota pertahun.
- Pendapatan kotor minimal harus menutup biaya.
- Sarana usaha layak dikelola sendiri.
- Tidak menunggak Hutang.
- Hasil audit laporan keuangan layak tanpa catatan.
- Diviasi usaha dari rencana maksimal 20 %.
- Likuiditas 150 – 200 %, Sovabilitas minimal 100%
- Tidak ada penyelewengan dan manipulasi oleh pengelola KUD.
Dari ke 13 syarat tersebut, 9 diantaranya berkaitan dengan bisnis koperasi, dan hampir tidak ada yang bisa dikaitkan dengan upaya pendidikan dan pengembangan asas-asas kekeluargaan yang sebenarnya sangat penting bagi pengembangan solidaritas anggota.
Jaringan Koperasi
Salah satu aspek yang menyebabkan belum mantapnya perana koperasi sebagai pelaku ekonomi yang kuat dan berdaya guna dalam masyarakat, selain kewirakoperasian yang belum berkembang dengan semestinya, juga “jaringan kerja” antara koperasi yang ada belum dimantapkan.
Kelmahan memantapkan jaringan koperasi ini, merupakan hal yang perlu kita perhatikan secara serius dalam suasana yang dialogis dan terbuka untuki kepentingan semua pihak, sesuai patokan pasal 33 UUD 1945.
Pemahaman mengenai jaringan koperasi sering kali begitu datar atau begitu runyam, antara lain, akibat aneka pembinaan yang kurang menyeluruh yang datang dari atas, atau datang dari luar gerakan koperasi, justru melemahkan jaringan koperas atau bahkan meatikannya.
Pembinaan atau pengarahan yang dating dari luar gerakan koperasi tidak boleh memunculkan semacam Trade off (saling meniadakan), melainkan harus memperkuat kaitan jaringan kerja antara primer, sekunder dan tersier. Misalnya, antara Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai primer dan Pusat Koperasi Desa (PUSKUD) sebagai koperasi sekunder, dan Induk Koperasi Unit Desa (INKUD) sebagai koperasi tesier atau puncak. Demikian pula dalam lingkup koperasi-koperasi lainnya, baik yang bersifat tunggal usaha seperti koperasi kredit maupun koperasi serba usaha.
Jaringan koperasi seperti tersebut di atas secara undang-undang atau secara hokum di Negara ini perlu kita mekarkan sesuai dengan konteks koperasi-koperasi. Pengarahan dari luar atau pembinaan dari pemerintah pada dasarnya perlu memperteguh jaringan koperasi, dan bukannya merunyamkannya. Dilapangan sering diakatakan bahwa koperasi skunder belum professional, dan tidak becus. Oleh karena itu, primer-primer koperasi dibina lsangsung dari luar seraya mengindahkan jaringan koperasinya. Pengarahan dan pembinaan seperti itu, secara perlahan-lahan dapat menimbulkan semacam pola divided and ruled yang kita tidak sukai. Karena cara begitu yang banyak dilakukan pada masa lalu yang banyak menimbulkan kenangan pahit.
Kalau ada kesalahan yang selama ini dilakukan oleh koperasi tingkat atas , atau kelalaian maupun penyakit mismanjemen yamng muncul, lantas tidak berarti bahwa kita perlu meninggalkan tatanan kerja antara koperasi primer, skunder dan tersier dalam lingkup jaringan kerja. Dalam hal ini, kita secara langsung dan tidak langsung mengarahkan primernya saja. Jika kita ingin membina koperasi, maka perhatian kita dalam rangka memperbaiki dan menyehatkan semua bagian dalam koperasi. Bukan membina yang satu supaya tidak tunduk kepada yang lain, tetapi perlu mempertautkan satu dengan lainnya dalam lingkup keterkaitan yang lebih baik untguk memacu sinergi, atau keserasian yang tuntas supaya menghasilkan produktivitas koperasi membaik dalam lingkup keterkaitan jaringan kerja.
Penataan jaringan kerja itu bila diatur dengan baik aqkan menghasilkan satu tata pembagian kerja yang pada dasarnya selalu dapat memacu efisiensi tekhnis dan efiseiensi social. Jika jaringan kerja antara koperasi-koperasi primer dan skunder itu dihampiri melalui pendekatan system, maka dapat dikatakan bahwa koperasi primer merupakan Focal system. Sementara itu, koperasi skundernya menjadi Related system, dan kaitan itu merupakan Symbiotic interdependence atau saling bergantungan secara simbiotik.
Daya Saing Koperasi
Harus diakui, bahwa banyak factor yang menyebabkan mengapa sampai saat ini koperasi belum mampu menjadikan dirinya berfungsi sebagaimana mestinya. Jika pemerintah kosekuen dengan pasal 33 UUD 1945, mestinya pemerintah memberikan kemauan politik yang jelas dan tegas. Kalau dikatakan bahwa pemerintah sampai saat ini masih banyak membantu koperasi, itu adalah benar, tapi tidak berarti pemerintah telah memberikan kemauan politik yang tegas untuk pengembangan koperasi.
Di pihak lain, perkembangan industry secara terang-terangan mendapatkan perhatian yang sangat besar, yang nota bene dilakukan oleh perusahaan swasta dan BUMN, sementara koperasi harus membantu meningkatkan produksi pangan dan sekaligus harus dapat pula mendukung proses industrialisasi, yakni bisa menurunkan harga pangan yang diperlukan masyarakat kota dan masyarakat industry guna dapat ikut menurunkan ongkos produksi dan politik upah rendah, demikian juga dapat menyediakan bahan baku yang cukup banyak dan murah dari sector pertanian. Inilah dilemma dan beban terbesar yang dihadapi koperasi saat ini,sementara kekuatan koperasi sebenarnya belum mencapai taraf itu.
Situasi ini diperberat dengan tumbuhnya unit-unit ekonomi komersial, baik terwujud dalam pertumbuhan sector bisnis swasta, maupunsektor kapitali Negara yang diwakili oleh perusahan Negara, yang kesemuanya mendominasi perkembangan kehidupan koperasi.
Untuk mengimbangi kedua sector lainnya, tidak ada salahnya jika lembaga koperasi mempunyai perusahaan di bawah naungannya, bahkan tidak ada larangan bagi koperasi untuk mengerahkan modal dari swasta atau memanfaatkan kemampuan permodalan swasta untuk kepentingan koperasi, tanpa mengorbangkan sendi dasar dan harga diri koperasi. Hal seperti itu telah lama berjalan di Negara-negara maju, bahkan salah satu Negara tetangga kita, pemerintahnya mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk menjual sebahagian sahamnya kepada perkumpulan koperasi.