Metodologi Ilmu Ekonomi, Antara Sekular Dan Islam
Dengan merangkum berbagai definisi metodologi, lebih khusus dalam ilmu sosial, Machlup memformulasikannya sebagai:
The study of the principles that guide the students of any branch of knowledge, and especially of any higher learning (science) in deciding whether to accept or to reject certain propositions as a part of the body of ordered knowledge in general or of their own discipline (science).
Machlup tampak mengikuti aliran methodological dualism, dengan menyatakan bahwa ilmu ekonomi masuk dalam kategori science, sekalipun berbeda dengan natural sciences, namun dia tidak banyak memberikan penjelasan terperinci tentang perbedaan tersebut.
Adalah Mark Blaug, termasuk yang berbeda dengannya, mengikuti pandangan methodoligal monism. Pandangan ini menyatakan bahwa kedua kategori ilmu tersebut memiliki metodologi yang sama, dengan doktrinnya, the unity of sciences. Karenanya, tambah Backhouse yang mendukung Blaug, metodologi ilmu ekonomi pun tidak menyimpang dari metodologi ilmu-ilmu pengetahuan alam. Pandangan kedua ini tampak lebih diterima secara luas oleh para ekonom.
Apa yang ingin dinyatakan Islam, tidaklah mesti sama atau sebaliknya berbeda dengan salah satu dari keduanya, karena Islam memiliki keunikan konsepnya sendiri.
Perlu digaris-bawahi bahwa dalam ilmu ekonomi konvensional, metodologi datang belakangan setelah ilmu ekonomi sendiri relatif mapan dan telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Dengan demikian, keberadaan metodologi adalah untuk menjustifikasi atau mengabsahkan keberadaan ilmu ekonomi sekaligus dengan praktek-praktek empirikalnya. Dari sini dapat difahami bahwa situasi yang senantiasa berubah, menjadi dasar dari kemapanan ilmu ekonomi. Konsekwensinya, bila kelak terjadi perubahan mendasar terhadap praktek perekonomian secara global, iapun akan mencari alat justifikasi yang baru dan sesuai, atau sebaliknya mengalami situasi yang tragis dan sulit untuk dibayangkan.
Sekedar contoh, kemungkinan ini, sebagaimana di-observasi oleh misalnya Zubair Hasan, secara empirik tampak dalam penyimpangan perilaku para pelaku ekonomi dari “kemestiannya” mengikuti “hukum persaingan yang baik” guna menegakkan pasar persaingan sempurna. Dalam kenyataannya kecenderungan kearah persaingan monopolistik tak dapat dihindarkan dalam pasar bebas. Hasan menyebut kecenderungan ini sebagai self-liquidating process atau proses penghancuran diri / bunuh diri.
Ini disebabkan tiadanya kemungkinan bagi ilmu ekonomi konvensional di-intervensi oleh tatanan nilai etik dan moral dalam bentuk apapun, karena ia telah menetapkan nilainya sendiri yang didasarkan pada materi. Proses ini terjadi karena, sebagaimana difahamkan kepada masyarakat bahwa dibawah “kebaikan pengusaha” untuk tetap mengambil “laba normal”, dengan marginal cost (MC) sesuai dengan tingkat harga (P), pengusaha akan meningkatkan labanya melalui peningkatan produksi dan penjualan, sehingga kecenderungan untuk menguasai pasar, baik pasar produk maupun faktor, terus berlangsung hingga menciptakan ketidak-sempurnaan pasar dengan munculnya persaingan monopolistik atau bahkan monopoli (terlepas apakah Islam membolehkan atau tidak).
Kembali pada masalah utama, Islam membangun terlebih dahulu metodologinya, seperti dikenal misalnya dalam konteks ini berbentuk usul al-fiqh, baru kemudian ilmu (fiqh, termasukfiqh mu’amalat) dengan berbagai kategorinya berkembang mengikuti metodolgi. Dari sini pula suatu sistem, katakanlah dengan meminjam istilah modern, ekonomi, memperoleh berbagai momentum sejarahnya melalui berbagai bentuk baik teoretik maupun empirik.
Para pemikir Muslim, seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Imam Abu Hanifah beserta kedua muridnya Imam Abu Yusuf dan Imam Syaibani, Imam Malik, Ibn Taymiyyah dan nama-nama yang tiada terhitung lagi memformulasikan berbagai perangkat dalam mekanisme ekonomi yang banyak dipakai ilmu ekonomi konvensional saat ini.
Dari segi metoda yang dipergunakan, sejarah menyatakan bahwa para ulama terdahulu kebanyakan mempergunakan metoda penalaran, bila al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ tidak menyediakan jawaban, melalui berbagai bentuk analisa seperti Qiyas, Istihsan, Masalih al-Mursalah dan sebagainya. Mereka senantiasa merujuk pada sumber utama terlebih dahulu bila terdapat permasalahan yang ingin dipecahkan, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, baru sebagiannya beralih kepada Ijma’ atau langsung melakukan ijtihad dengan beberapa pendekatan yang secara garis besar terbagi dua.
Para ulama. Madzhab Syafi’i dan Mutakallimun termasuk golongan Mu’tazilah -- dikenal sebagai kalangan yang lebih banyak mempergunakan pendekatan teoretis dan filosofis, yang diharapkan dapat menjadi standar dalam penyelesaian permasalahan empirik. Metoda ini disebut juga Usul al-Shafi’iyyah atau Tariqah al-Mutakallimun. Pendekatan ini lebih menekankan eksposisi teoretikal dengan berbagai prinsipnya yang kemudian diformulasikan secara detail ke dalam hukum fiqh. Ia Tidak terlalu berkepentingan apakah formulasi detail ini akan bersentuhan langsung dengan persoalan praktis ataupun tidak. Untuk yang terakhir ini contohnya adalah berbagai persoalan kenabian.
Sebaliknya, Usul al-Hanafiyyah atau Tariqah al-Fuqaha dikembangkan oleh khususnya Madzhab Hanafi, yang hampir sepenuhnya mempergunakan pendekatan deduktif dengan memformulasikan doktrin teoretikal yang sesuai dengan problem-problem yang relevan dalam masyarakat, sehingga terkesan lebih pragmatik.
Jadi melalui metodologi yang dikenal dalam usul fiqh inilah diproduksi hukum-hukum yang memuat semua ketentuan fiqh. Sementara fiqh ini diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, salah satunya adalah fiqh al-mu’amalat yang memuat ketentuan hukum transaksi perdagangan dan ekonomi.
Menyediakan ilustrasi tentang kategori ilmu dalam Islam yang dikembangkan para ulama terdahulu, sebagai produk dari metodologi yang diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Kategori ini memisahkan fiqh mu’amalah (dan juga fiqh siyasah/fiqh politik) yang menempatkan persoalan ekonomi pada posisi yang berbeda secara metodologis dengan ilmu-ilmu alam.
Para ulama Madzhab Syafi’i menerima Qiyas sebagai sumber hukum selama ‘illah atau kausa efektif-nya dapat ditemukan secara jelas, ini dimaksudkan untuk melindungkan diri dari pengambil-an hukum secara sewenang-wenang melalui hawa nafsu manusia, mereka mengidentikkannya dengan ijtihad. Namun kaum Mu’tazilah, Dzahiriyyah dan Syi’ah (khusunya Zaidiyyah) amat menentang pemakaian Qiyas sebagai sumber hukum.
Bagi Imam Hanbali, pemakaian Hadits mursal atau bahkan yang dza’if pun masih lebih baik dari pada pemakaian Qiyas, meskipun para pengikutnya dapat memberikan suppor terhadap kehadiran Istihsan sebagai sumber hukum tambahan.
Sementara Qiyas diinterpretasikan lagi oleh kalangan Madzhab Hanafi, sekalipun Imam Hanafi sendiri menganggapnya berbeda, dengan metode Istihsan, yaitu pilihan hukum. Sebagai misal As-Syarakhsi al-Hanafi menyebutnya sebagai metoda penyediaan fasilitas kemudahan secara hukum (daf’u al-haraj), sejalan dengan ketentuan Syari’ah Ia merupakan varian dari Qiyas, bila dirasakan ‘illah yang jelas (dari qiyas jalli) tidak lagi sepadan dengan persoalan yang baru (far’u), maka dapat dicari ‘illah yang tersembunyi atau (dari qiyas khafi) untuk menjelaskannya karena dianggap lebih efektif untuk menghilangkan madzarat dan menegakkan manfaat dan keadilan.
Jika sumber-sumber hukum diatas tidak menyediakan jawaban atas suatu masalah tertentu, khususnya dalam transaksi perdagangan dan ekonomi, para ulama mencari alternatif melalui Istislah. Imam Malik dan kalangan Madzhabnya lebih banyak mempergunakan metode (Masalih al-Mursalah) ini, yaitu pengambilan hukum sesuai bagi kepentingan umum (public interest) yang tak terbatas namun dengan beberapa syarat yang ketat. Ia dibedakan dari yang secara terang diakui oleh Syari’ah atau dikenal Masalih al-Mu’tabarah, seperti melindungi kepentingan lima kebutuhan dasar (dzaruriyat al-khamsah) yaitu: agama; kehidupan; akal; keluarga; dan harta benda. Alasan utama pemakaian hukum ini adalah bahwa Allah menurunkan Syari’at untuk menyediakan kemudahan bagi manusia dalam melaksanakan agama. Teori pengambilan hukum ini juga banyak diterima oleh kalangan Syafi’iyyah seperti at-Thufi, al-Ghazali dan juga al-Amidi.
Tulisan ini tentu saja tidak cukup untuk membahas semua persoalan usul fiqh, maka beberapa sumber hukum tambahan tidak dapat dibahas dalam kesempatan ini. Yang amat penting untuk disampaikan adalah bahwa melalui dua sumber hukum yang terakhir ini, persoalan ekonomi yang dihadapi manusia modern mendapatkan tempat penyelesaian sesuai dengan ketentuan Syari’ah, dengan melalui proses pemikiran dan perenungan berdasarkan syarat-syarat ketat sebagaimana di atas.
M. Hashim Kamali memberikan contoh pemakaian metoda Istihsan dalam ekonomi ialah: Andai A dan B membentuk partnership dengan usaha penjualan rumah angsuran, dengan dengan sistem bagi hasil (rugi). Misal C membeli dengan menyerahkan uang muka katakan Rp 5.000.000, yang diterima oleh A atas nama mereka berdua. Tiba-tiba uang tersebut hilang ketika dibawa oleh A. Maka berdasarkan ketentuan Qiyas (jalli), Kerugian atas kehilangan itu ditanggung mereka berdua berdasar sistem bagi hasil. Akan tetapi berdasar ketentuan Istihsan, hanya A-lah yang menanggungnya, karena uang tersebut statusnya masih dibawah pengawasan A. Sedangkan contoh untuk metoda Istislah ini banyak ditemukan juga pada para sahabat seperti pengumpulan zakat oleh Khalifah Abu Bakar.
Sampai disini barangkali semua kalangan ummat Islam sepakat. Persoalan muncul ketika sistem ekonomi yang dominan saat ini berorientasi pada materialisme dan ditopang oleh mapannya landasan teoretik ilmu ekonomi yang kuat. Secara metodologis ada dua issu mendasar yang muncul, pertama, tentang bagaimana kita mendefinisikan ilmu (dan sistem) ekonomi Islam, berimplikasi pada munculnya pertanyaan tentang sejak kapan ilmu (dan sistem) ekonomi Islam berlangsung, yang telah terjawab dengan singkat di bagian atas.
Kedua,konsekwensinya, tentang bagaimana menurunkan ketentuan Syari’ah menjadi alternatif solusi bagi perkembangan ekonomi modern. Apakah untuk kasus ilmu ekonomi, kemudian Islamisasi merupakan jalan penyelesaian yang tepat, dan bagaimana bentuknya.
Ini bukanlah issu yang sederhana, sehingga tidak mungkin tulisan sesingkat ini mampu menyediakan pembahasan yang luas. Namun demikian bukan berarti harus ditinggalkan begitu saja, melainkan disentuh secukupnya.
Dan bila proses Islamisasi merujuk pada prosedur di atas, maka Islamisasi adalah sebuah kemestian yang tak dapat dapat ditunda. Sebaliknya bila Islamisasi ternyata hanya akan lebih menempatkan Islam sebagai alat justifikasi atas praktek-praktek ekonomi yang ada, Allah lah yang akan menjadi saksi. Keduanya memiliki konsekwensi yang amat berbeda, dan keduanya juga memiliki kecenderungan bagi keberlangsungannya.
Alternatif Yang Mungkin
Antara “Islamisasi” dan “metodologi” sebenarnya adalah dua hal yang berbeda, akan tetapi karena proses Islamisasi dalam konteks ini menyangkut persoalan yang bersifat metodologis, maka perlu memperoleh tempat dalam perbincangan ini.
Peminjaman alat analisa pengetahuan modern dapat terlihat pada klaim terhadap Islamisasi pengetahuan, yang dalam hal ini dipertegas secara sistematik oleh al-Faruqi melalui “dua belas langkah”nya. Dalam bidang ilmu ekonomi dikembangkan dengan meminjam pendekatan Lakatosian scientific research programme (SRP), oleh Muhammad Arif, yang secara metodologis menyepakati ketergantungan ilmu sosial pada ilmu alam. Hanya notion tentang Islamisasi tampaknya masih belum menyinggung lebih jauh tentang model kuantitatif yang paling mungkin untuk kepentingan ilmu ekonomi.
Untuk kepentingan ini, terlepas dari term “Islamisasi” yang masih menjadi perdebatan diantara pemikir Islam, betapapun sederhana, Saiful Azhar Rosly mencoba menampilkan model dengan contoh investasi sebagai fungsi dari profit rate, I = f(p), dengan regresi ekonometrik misalnya:
I = b0 + b1p + u 0 , b1 > 0
Untuk tujuan analisis, Rosly menyusun seperangakat asumsi yang dibagi dalam dua kategori, yaitu yang “tidak boleh berubah” didasarkan pada aturan Syari’ah semisal aplikasi zakat pada investasi, ketiadaan elemen gharar dan sebagainya; dan yang “boleh berubah”, diambil dari observasi empirik seperti bentuk kompetisi, investasi, sistem bagi hasil dan sebagainya.