Faktor-Faktor Kritis Model Man dan Chan terhadap Kinerja Usaha Kecil
Sebagai landasan berpikir serta untuk mengetahui dan mempelajari berbagai metode analisis yang pernah dilakukan, penulis melakukan kajian atas penelitian sebelumnya yang dianggap relevan.
Bila dikaitkan dengan penelitian ini, hasil penelaahan menunjukan bahwa hampir semua peneliti kewirausahaan terdahulu menyoroti karakteristik wirausaha yang melekat pada diri wirausahawan. Hal ini dapat terlihat dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Entrepreneur dan Entrepreneurship
Berikut merupakan pemaparan mengenai perkembangan teori entrepreneur dan entrepreneurship sampai dengan saat ini.
Entrepreneur
Istilah entrepreneur pertama kali dikemukakan sekitar tahun 1800 oleh seorang ekonom asal Prancis J. B. Say (Drucker, 1984: 21) yang menyatakan bahwa, ‘shifts economic resources out of an area of lower and into an area of higher productivity and greater yield.’
Dari definisi entrepreneur tersebut, Drucker (1984, 21) berpendapat bahwa definisi yang dikemukakan oleh Say tidak menjelaskan siapakah yang bisa disebut sebagai entrepreneur. Dan saat ini setelah lebih dari 200 tahun teori enterpreneur terus berkembang hingga saat ini terdapat polemik dalam mendefinisikan entrepreneur dan entrepreneurship. Berdasarkan studi empiris di Amerika, Drucker (1984: 21) menegaskan bahwa:
“In The United States, for instance, the entrepreneur is often defined as one who starts his own, new and small business...but not every small business is entreprenerial or represents entrepreneurship.”
Peneliti lainnya Bygrave (1994: 1) menyatakan bahwa, “Entrepreneur is the person who perceives an opportunity and creates an organization to pursue it.”
Peneliti lainnya Scarborough dan Zimmerer (2006: 4) mendefinisikan entrepreneurssebagai berikut:
“Entrepreneur is one who create a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those opportunities...”
Dari beberapa kata kunci definisi-definisi yang telah dipaparkan tersebut, entrepreneurdideksripsikan sebagai subjek atau pelaku usaha yang melihat adanya peluang untuk menciptakan produk baru atau layanan baru, dengan melakukan upaya pengorganisasian untuk meminimalisir resiko dan ketidakpastian dalam pencapaian kinerja dan pertumbuhan bisnis yang didirikannya.
Entrepreneurship
Entrepreneurshipmerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan bisnis. Banyak ahli yang mendefinisikan entrepreneurship, diantaranya Hisrich, Peters dan Shepherd (2005: 8), yakni:
“Entrepreneurship is the process of creating something new with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, physics, and social risks, and receiving the resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independence.”
Menurut Scarborough dan Zimmerer (1996: 52) menyatakan bahwa, “Entrepreneurship is the result of a disciplined, systematic process of applying creativity and innovation to needs and opportunities in the marketplace.”
Dari beberapa kata kunci definisi-definisi yang telah dipaparkan tersebut, entrepreneurshipdideksripsikan sebagai suatu upaya menangkap peluang dengan menciptakan sesuatu yang bernilai bagi orang lain.
Model Man dan Chan
Karakteristik dari individual entrepreneurs yang umumnya digunakan untuk menilai keberhasilan suatu performa bisnis adalah umur, gender, pengalaman, latar belakang pendidikan dan latar belakang keluarga.
Man dan Chan (Jones dan Tiley, 2003: 18) mengemukakan bahwa, “competitiveness is concerned with factors that contribute to firms being competitive as well as with ways in which it can be achieved.”
Buchley et al (Jones dan Tiley: 2003, 18) menyatakan bahwa kriteria penilaian untuk menilai competitiveness, adalah sebagai berikut:
‘Three measures of competitiveness: Competitive Performance,, Competitive Potential and Management Process. Within the small firm context, it is more appropriate to discuss competitiveness by focusing on the entrepreneur’s behavior and actions.’
Berdasarkan konsep Buchley tersebut, Man dan Chan (Oswald dan Tiley, 2003: 18) mengadopsi dan mengembangkan konsep Buchley dengan pernyataan sebagai berikut:
‘In developing a conceptual model of SME competitiveness, the authors argue that these six ‘entrepreneurial competencies’ comprise the process dimension. Task 1 involves the entrepreneur establishing the firm’s competitive scope by scanning a range of external factors which include market heterogeneity, technological sophistication, market attractiveness, product/industry life-cycle, market demand and competitive concentration. In carrying out Task 2, the entrepreneur focuses attention on the firm’s internal capabilities which include innovation, quality, cost-effectiveness and organicity (creating flexible organisation structures and systems). Finally, Task 3 involves the entrepreneur setting goals.’
Berdasarkan pernyataan tersebut, Man dan Chan (Oswald dan Tiley, 2003: 18) menyatakan bahwa untuk menilai competitiveness pada Usaha Kecil sebaiknya dititikberatkan pada penilaian entrepreneurs behavior dan acton. Dengan demikian faktor kritis yang digunakan untuk menilai competitiveness pada Usaha Kecil adalah: entrepreneur’s competencies sebagai process dimension, competitive scope sebagai potential dimension external dan organization capabilities sebagai potential dimension internal.
Entrepreneurial capabilities berhubungan korelasional dengan dimensi-dimensi competitive scope dan organization capabilities serta secara simultan ketiga dimensi tersebut mempengaruhi firm performance sebagai performance dimension.
Faktor Kritis Competitiveness in Small Medium Enterprise
Faktor-faktor kritis dalam menilai firm performance sebagaimana diungkapkan oleh Man dan Chan adalah sebagai berikut:
Entrepreneurial Competencies
Dengan menguji banyak literatur yang ada kaitannya dengan competitiveness,, Man dan Chan (Jones dan Tiley, 2003: 19) mengidentifikasi enam competency areasdari entrepreneurial competencies, sebagai berikut:
Competence and Competitiveness with Focus at Entrepreneurial Competencies
(Sumber: Jones dan Tiley, Competitive Advantage in SME’s, 2003)
Competencies area sebagaimana dimaksud adalah pemusatan perhatian pada entrepreneurial behavior yang dimiliki oleh entrepreneurs dalam menentukan tindakan yang diambil untuk pencapaian firm performance.
Competitive Scope
Faktor kritis selanjutnya adalah menilai sejauh mana kemampuan yang dimiliki oleh entrepreneurs dalam menentukan tindakan-tindakan yang dipilih dalam menyingkapi competitive scope sebagai potential dimension external usaha yang dimilikinya. Menurut Man dan Chan (Jones dan Tiley, 2003: 18) dimensi yang menilai competitive scope, adalah sebagai berikut:
1. ‘Market Heterogeneity
2. Technological Sophistication
3. Market Attractiveness
4. Product/ Industry life-cycle
5. Market Demand
6. Competitive Concentration.’
Penjelasan mengenai dimensi competitive scope yang dikaitkan dengan entrepreneurial competencies dalam menganalisa dan mengambil kebijakan yang menyangkut usaha yang didirikannya, adalah sebagai berikut:
1. Market Heterogeneity; how manager of business really know about their markets.
2. Technological Sophistication; how manager of business respons the rapid change of technology.
3. Market Attractiveness; how manager of business really know about their industry competitive forces.
4. Product/ Industry Life Cycle; how manager of business know about stages in product or industry.
5. Market Demand; how manager of business know about segmenting their demand.
6. Competitive Concentration; how manager of business really know about strategy they choose including competitive scope and competitive advantage.
Organization Capabilities
Faktor kritis selanjutnya adalah menilai sejauh mana kemampuan yang dimiliki entrepreneurs dalam menentukan tindakan-tindakan yang dipilih untuk memaksimalkan organization capabilities sebagai potential dimension internal usaha yang dimilikinya. Menurut Man dan Chan (Jones dan Tiley, 2003: 18) dimensi yang menilai organization capabilities, adalah sebagai berikut:
1. ‘Innovation
2. Quality
3. Cost-effectiveness
4. Organicity.’
Penjelasan mengenai dimensi organization capabilities yang dikaitkan dengan entrepreneurial competencies dalam menganalisa dan mengambil kebijakan yang menyangkut usaha yang didirikannya, adalah sebagai berikut:
1. Innovation; every idea that has a potential to become a successful business which include product and internal workings of business.
2. Quality; the ability to create a product that meet the customer needs.
3. Cost-effectiveness; the ability to measure future economic benefit.
4. Organicity; the optimality of flexibility that performances held in reserve.
Firm Performance
Faktor kritis selanjutnya adalah menilai sejauh mana firm performance yang diraih Usaha Kecil dengan pengaruh entrepreneurial competencies yang dimiliki entrepreneurs. Menurut Man dan Chan (Sultan, 2007: 64), kinerja dalam aspek daya saing didefinisikan sebagai berikut:
‘Competitiveness is the mean by which entrepreneurs can improve their firm’s performance, and which can be measured accoding to a number of dimensions including market share, profit, growth, and duration.’
Penjelasan mengenai dimensi firm performance yang dikaitkan dengan entrepreneurial competencies, adalah sebagai berikut:
1. Market Share; the percentage of the overall volume of business in a given market that is controlled by one company in relation to its competitors.
2. Profit; an accounting measure designed to gauge the financial health of a business firm or industry. In general, it is defined as the ratio of profit earned to total sales receipts (or costs) over some defined period.
3. Growth; something for which small companies strive getting bigger that can be sales figures, number of employees, physical expansion, or other criteria to judge it.
4. Duration; how long the business had survive.
Usaha Kecil di Indonesia
Bagian ini memaparkan kajian teoritis mengenai Usaha Kecil di Indonesia baik dari sisi definisi, karakteristik, kinerja, kendala, serta klasifikasinya.
Definisi Usaha Kecil
Definisi Usaha Kecil sangatlah beragam di masing-masing negara diseluruh dunia berdasarkan sektor ekonomis dimana bisnis tersebut beroperasi. Umumnya definisi Usaha Kecil tersebut dikaitkan dengan kategori-kategori tertentu. Salah satunya kategorinya adalah tenaga kerja. Misalnya Usaha Kecil di Inggris adalah suatu usaha bila jumlah karyawannya antara 1 – 200 orang, di Jepang antara 1 – 300 orang, di Amerika Serikat antara 1 – 500 orang.
Definisi Usaha Kecil menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKK tahun 2003 perihal Kredit Usaha Kecil adalah, “...usaha yang memiliki total aset maksimum Rp. 600 juta (enam ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan rumah yang ditempati.”
Pengertian Usaha Kecil ini meliputi usaha perseorangan, badan usaha swasta dan koperasi, sepanjang aset yang dimiliki tidak melampaui nilai Rp. 600 juta.
Pemerintah mendefinisikan Usaha Kecil dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, sebagai berikut:
“...kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum tersebut, adalah sebagai berikut:
a. “Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah);
c. Milik Warga Negara Indonesia;
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;
e. Berbentuk usaha orang, perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.”
Sedangkan definisi Usaha Kecil menurut Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 598/MPP/KEP/10/1999, adalah ”...suatu kegiatan usaha industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.”
Dalam penelitian ini, definisi Usaha Kecil yang digunakan sama dengan TCDC. Yakni didasarkan pada Keputusan Menteri BUMN Tahun 2003 tentang Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, yang muatannya sama dengan Undang-Undang No. 9 tahun 1995 sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya ditambah dengan kriteria jangka waktu berdirinya usaha minimal satu tahun serta cukup memiliki potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan.
Karakteristik Usaha Kecil
Secara umum karakteristik Usaha Kecil menurut M. Taufik (2004: 3) dapat dikenali sebagai unit usaha yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. “Skala usaha kecil
b. Padat karya
c. Berbasis sumber daya lokal dan sumber daya alam
d. Pelaku banyak
e. Menyebar.”
Selanjutnya, Suryana seperti dikutip I Putu Sugi Darmawan (2004: 22) mencantumkan karakteristtik perusahaan yang tergolong Usaha Kecil sebagai berikut:
a. “Biasanya bersifat bebas, tidak terikat dengan identitas bisnis lain, misalnya sebagai cabang, anak perusahaan, atau divisi dari perusahaan yang lebih besar
b. Biasanya sepenuhnya dikendalikan oleh pemiliknya yang biasanya adalah owner-manager yang memberikan kontribusi kepada hampir semua hal, tidak hanya terbatas pada modal kerja
c. Otoritas pengambilan keputusan dipegang penuh oleh pemilik usaha.”
Selanjutnya, Pratomo dan Soedjoedono (2002: 15), menyebutkan kriteria umum Usaha Kecil dilihat dari ciri-cirinya pada dasarnya dapat dianggap sebagai berikut:
a. ”Struktur organisasinya sangat sederhana.
b. Tanpa staf yang berlebihan.
c. Pembagian kerja yang kendur.
d. Memiliki hirarki manajerial yang pendek.
e. Sedikit aktivitas formal dan penggunaan perencanaan.
f. Kurang membedakan aset pribadi dan perusahaan.”
Kinerja Usaha Kecil
Terdapat banyak sekali pendapat mengenai kriteria keberhasilan sebuah usaha. Disebutkan Glueck dan Jauch (Nurhayati 2005: 439) Ukuran yang paling banyak dipergunakan adalah Return on Investment (ROI) disamping ukuran-ukuran kualitatif dan kuantitatif lainnya. Penelitian Ghost et al (Riyanti, 2003: 27) tentang entrepreneursdi Singapura menunjukan hasil bahwa dari 85 persen responden yang menjawab, 70 persen diantaranya menggunakan net profit growth untuk mengukur keberhasilan. Disusul oleh laba penjualan (sales revenue growth) sebesar 61 persen, laba setelah pajak (earning after tax) sebesar 50 persen dan pangsa pasar (market share) sebesar 48 persen. Selanjutnya, 38 persen dari entrepreneurs yang menggunakan kriteria keberhasilan berdasarkan laba bersih (net profit growth) berpendapat bahwa prestasi 6-10 persen pertumbuhan per tahun merupakan indikator keberhasilan usaha.
Wibisono (1999:12) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan daya saing sebuah sistem usaha.
Rancangan sistem pengukuran kinerja yang akurat dan kontekstual merupakan jembatan emas ke arah mana keunggulan sebuah perusahaan akan dibawa. Meskipun disadari bahwa sampai pada saat ini belum terdapat kesepakatan bulat perihal pendefinisian variabel kinerja.
Kinerja perusahaan merupakan faktor umum yang digunakan untuk mengukur dampak dari sebuah strategi perusahaan. Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja baik berupa kinerja pemasaran (seperti volume penjualan, pangsa pasar, tingkat pertumbuhan penjualan) maupun kinerja keuangan (seperti ROI).
Kendala Usaha Kecil
Kendala Usaha Kecil telah disebutkan sebelumnya dalam perumusan masalah. Kendala lain menurut Ira Irawati (2003: 27) sejumlah kendala baik internal maupun eksternal yang seringkali harus dihadapi oleh Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. “Masalah sumber daya manusia
b. Masalah pemasaran
c. Masalah permodalan
d. Masalah penyediaan bahan baku
e. Masalah teknologi
f. Masalah organisasi dan manajemen
g. Masalah infrastruktur
h. Masalah kerjasama usaha
i. Masalah kurangnya wawasan (budaya) usaha
j. Masalah pesaing
k. Masalah generasi penerus
l. Masalah tidak adanya akses kepada Usaha Besar/ Pemerintah
m. Masalah yang timbul dari konsumen.”
Pada penelitian ini akan menitikberatkan pada kendala yang menghambat kinerja Usaha Kecil pada aspek nternal dan eksternal bisnisnya seperti yang telah dipaparkan pada perumusan masalah.
Klasifikasi Usaha Kecil
BPS menggunakan standar internasional ISIC(International Standard Industrial Clasification of All Economic Activities) dalam mengklasifikasi sektor usaha. Ada 9 sektor yang tercakup yakni:
a. Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
b. Sektor Pertambangan dan Penggalian
c. Sektor Industri Pengolahan
d. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih
e. Sektor Bangunan
f. Sektor Perdagangan, Hoten dan Restoran
g. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
h. Sektor Keuangan
i. Sektor Jasa-Jasa.
Sedangkan TCDC mengklasifikasikan sektor usaha ke dalam delapan sektor sesuai dengan lampiran Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-236/MBU/2003 sebagai berikut:
a. ”Sektor Industri
b. Sektor Perdagangan
c. Sektor Pertanian
d. Sektor Peternakan
e. Sektor Perkebunan
f. Sektor Perikanan
g. Sektor Jasa
h. Sektor Lainnya.”