Sistem Ekonomi, Tinjauan Historis Secara Singkat
Bila definisi ilmu dan sistem ekonomi yang ada mampu mencakup kemungkinan adanya ilmu dan sistem yang tidak perlu dinamakan ekonomi namun mengandung makna yang sama, maka Islam telah memiliki ilmu dan sistemnya sendiri termasuk ekonomi, meskipun tidak perlu berlebihan untuk tidak mengakui bahwa—pengaruh pemikiran para filsuf Yunani kuno pun masuk pada perkembangan pemikiran ekonomi di kalangan Islam, seperti pemikiran Ibnu Sina dalam tulisan singkatnya tentang administrasi rumah tangga dalam (‘Ilm al-Tadbir al-Manzili), yang merupakan contoh pengaruh langsung pikiran Politics-nya Aristoteles, atau sebagaimana Essid mengobservasi, ada pula pengaruh dari salah seorang penganut neo-Phitagorean yaitu Bryson.
Kita dapat saja sepakat bahwa pemikiran dan sistem ekonomi ada sejak peradaban Yunani kuno dengan istilah oikonomikus, atau bahkan sejak pertama keberadaan manusia, namun perlu diingat bahwa Islam dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW memberikan landasan etika dan moral yang agung dan belum pernah disentuh secara tegas oleh peradaban manapun termasuk Yunani. Sejarah menjadi saksi keberadaan keagungannya di Spanyol (sekitar abad XI s/d XIV) misalnya untuk menyebut salah satu yang memiliki kaitan erat dengan munculnya sistem ekonomi kapitalis Barat.
Ketika itu, akibat peralihan kekuasaan dari Muslim ke Kristen, terjadi suatu transformasi nilai-nilai sosial dari moralitas Islam yang merintis jalan ke sekularisasi. Kemudian, datanglah Adam Smith yang “membuang moralitas untuk menemukan ekonomi”. Fenomena ini memang telah mendapatkan pengesahan sejarah melalui tonggak-tonggak penting yaitu “The Enlightenment”; revolusi ilmiah; revolusi industri; dan imperialisme-kolonialisme ekonomi serta berbagai bentuk lainnya hingga sekarang.
Worldview,Rationalitas Dan Kelangkaan
Worldviewatau pandangan dunia merupakan konsep Barat, yang seringkali dipinjam oleh beberapa pemikir Muslim untuk menjelaskan berbagai fenomena di dunia ini. Pandangan dunia dalam definisi ekonomi antara sekular dan Islam adalah jauh berbeda. Perbedaan prinsip terletak pada anggapan terhadap realita tentang eksistensi di alam semesta ini, yaitu eksistensi terhadap Tuhan, alam semesta itu sendiri dan manusia.
Menurut pandangan sekular, Tuhan terletak pada domain yang berbeda sama sekali berbeda, bahkan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Disinilah konsep Smith dalam ilmu ekonomi tentang invisible hand mendapat tantangan yang cukup berat. Smith meyakini adanya kekuatan dibalik mekanisme pasar, namun tidak mampu mendefinisikan ”apa” atau ”siapa” pemilik tangan gaib tersebut. Islam dengan jelas memberikan definisi ”tangan gaib” tersebut dengan merujuk pada kekuasaan Tuhan yang selalu melakukan monitoring terhadap semua kegiatan manusia.
Yadullahi fawqa aydihim. ”Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka,” menggambarkan kekuasaan Allah dalam menangani permasalahan ummat manusia di muka bumi. Termasuk dalam perekonomian, Islam meyakini keberadaan ”pasar” sebagai institusi perekonomian paling signifikan perannya, dan Allah senantiasa mengawasi proses mekanisme melalui proses interaksi manusianya. Maka pada saat terjadi inflasi sekalipun, manakala Rasulullah atas nama Pemrintahan Islam diminta melakukan intervensi, ketika masih belum dirasa perlu, beliau menolak campur tangan pemerintah dan membiarkan Allah yang mengtur harga-harga melalui mekanisme pasar. Inilah konsep awal dari invisible hand, yang kemudian melalui pikiran Smith yang dipengaruhi oleh pikiran pemisahan dogmatis antara agama (kristen) dengan ilmu menurunkan posisi ”Tuhan” dalam ketidak-jelasan.
Pandangan dunia tersebut menggiring manusia melakukan pengejaran materi sebagai standar rasionalitas, yang oleh Smith dinyatakan sebagai self-interest, yang kemudian diterjemahkan dengan utility dalam teori perilaku konsumen dan profit, rent atau surplus dalam perspektif para produsen. Baik utilityataupun profit merupakan pengejawantahan dari materi yang sekaligus sebagai ukuran rasionalitas dari kehendak untuk menciptakan kesejahteraan atau well-being.
Rasionalitas sebagai konsekwensi pandangan dunia yang serba benda menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan kepuasan yang juga material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi dibangun. Definisi Robbins tentang ilmu ekonomi sebagai the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scarce means which have alternative uses, menggambarkan keserakahan manusia dengan multiple ends atau alternative uses yang ingin dicapai dengan sumberdaya yang amat terbatas. Keterbatasan ini bahkan digambarkan sebagai “kekikiran alam”, nature is niggardly. Konsep kekikiran alam pada gilirannya menciptakan konsep lainnya yaitu scarcityatau kelangkaan
Scarcitymenurut pandangan ekonomi konvensional tidak lepas dari pelitnya sumberdya ekonomi yang tersedia di alam raya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Namun Islam dengan tegas menyangkal anggapan ini. Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan (al-Baqarah: 29). Keterbatasan manusia yang menimbulkan adanya kelangkaan sumberdaya, perspektif ini dipengaruhi oleh kekurangan pengetahuan, informasi dan/atau kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumberdaya yang tersedia. Dalam arti luas, sumberdaya material ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat.
Apabila term pemaksimalan dapat dipakai, maka rasionalitas dalam Islam berarti melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan dengan batasan etika dan moral Islam. Dengan demikian istilah “kepuasan” pun mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi falah atau sa’adah, dalam arti yang luas, dunia dan akhirat. Falah mencakup kepentingan material maupun spiritual. Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dalam relasi means-ends, bila diperbandingkan dengan pandangan sekular, material sebagai representasi falah di dunia adalah berfungsi sebagai the means, dalam rangka mencapai the ends, the real falah, di akhirat kelak (lihat surat al-Qashash /28, ayat 77).
Worldview, Rationality dan Kelangkaan menjadi persoalan mendasar yang terkait erat dengan perbincangan metodologi dalam ilmu ekonomi.