Sejarah Sistem Kekerabatan Masyarakat Desa Jerowaru
Manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat merupakan bagian yang sangat kompleks untuk dibicarakan. Karena seperti yang kita ketahui bahwa suatu masyarakat mempunyai bentuk-bentuk struktur sosial seperti kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan lain sebagainya. Akan tetapi semua itu mempinyai derajat yang berbeda-beda dalam beberapa aspek sosial di atas yang menyebabkan pola prilaku, adat-istiadat maupun budaya masyarakat yang berbeda-beda tergantung dari tempat serta situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat sebagai bagian dari anak lingkungan bahkan anak zamannya.
Salah satu dari struktur sosial dalam masyarakat adalah stratifikasi sosial, dimana keberadannya menjadi bagian yang tidak kalah penting dalam sejarah hidup manusia yaitu adanya golongan atas (upper class), golongan menengah (middle class) dan kelas menengah (lower class) yang secara umum mewarnai kehidupan masyarakat mulai dari zaman prasejarah, zaman Hindu-Budha sampai saat ini adalah adanya strata sosial dalam kehidupan masyarakat, yang sekaligus merupakan bagian yang kompleks dari perbedaan kelompok di tengah-tengah masyarakat, baik itu stratifikasi sosial yang horizontal maupun pelapisan sosial yang vertikal telah mewarnai kehidupan manusia baik dengan kita sendiri maupun tidak.
Terdapat dua macam sistem pelapisan sosial yang kita kenal, yaitu sistem pelapisan sosial yang bersifat tertutup ( closed social stratification) dan sistem pelapisan sosial yang bersifat terbuka (open social stratification) ( Soerjono Soekanto:1990), dimana yang disebut pertama sudah mengakar dalam sejarah kehidupan manusia dan yang terakhir secara umum baru berkembang sejak zaman modern.
Stratifikasi sosial yang ada di Indonesia pada umumnya jika dilihat dari sistem pelapisan social tertutup ( closed social stratification) dalam konteks sejarah maka secara jelas dapat dikatakan bahwa kedatangan agama Hindu dari India, berdirinya kerajaan-kerajaan besar di Indonesia yang bercorak Hindu telah membawa dan memperkenalkan stratifikasi social yang jelas seperti adanya beberapa golongan atau golongan status social dalam masyarakat seperti golongan Brahmana, golongan Ksatria, golongan Waisya, dan yan terakhir adalah golongan Sudra. Dimana dari keempat macam golongan dalam strata social masyarakat di India tersebut terdapat juga di Indonesia meskipun tidak seketat di India dalam implementasi perbedaan golongan strata sosialnya. Jadi bisa dikatakan walaupun dalam hal stratifikasi sosial ini juga berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia tidak pernah menyentuh kehidupan masyarakat secara kseluruhan melainkan hanya berpengaruh di kalangan Istana saja. Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat luas pada umumnya stratifikasi sosial ini tidak begitu berpengaruh. Adapun yang sampai saat ini stratifikasi soaial yang dibawa dari India ini berdasarkan gelarnya dapat kita lihat pada masyarakat Bali, dimana walaupun berbeda nama gelarnya namun memiliki makna dan maksud yang sama. Adapun keempat gelar strata social yang di maksud yaitu golongan Brahmana, golongan Ksatria, golongan Waisya (triwangsa) dan golongan Sudra (Jaba) (Soerjono Soekanto, 1990:258).
Walaupun gelar tersebut tidak memisahkan setiap strata social secara ketat tetapi sangat berarti dalam melihatnya secara berbeda dalam adat-istiadat yang dikembangkam sesuai dengan tingkatan sosialnya. Di samping itu hukum adat-istiadatnya juga menetapkan hak-hak bagi pemakai gelar tersebut, misalnya dalam memakai gelar, perhiasan-perhiasan, pakaian-pakaian adat sesuai dengan golongan sosialnya. Perkembangan sistem kasta di Bali umumnya terlihat jelas dalam sistem perkawinan. Seorang gadis suatu kasta tertentu umumnya dilarang bersuamikan dari kasta yang lebih rendah (Soerjono Soekanto, 1990: 258).
Lain halnya dengan sistem pelapisan sosial (stratifikasi social ) yang terbuka ( open social stratification ), dimana di dalamnya pengembangan tingkat statusnya bukan atas dasar apa yang diwariskan secara turun temurun, namun prestasi seseorang, kemampuan seseorang serta kepemilikan seseorang dan lain sebagainya merupakan tolak ukur dalam tinggi rendahnya tingkat status seseorang yang pada suatu saat bisa berubah sesuai sesuai dengan kemampuan seseorang mempertahankan apa yang dimilikinya. Namun setiadaknya masyarakat yang pernah mengembangkan sistem ini karena tidak ada ukuran yang membedakan secara ketat dalam setiap golongan maka bisa dikatakan mulai sejak kedatangan Islam, masuknya imprealisme barat sampai saat ini, baik pada masyarakata umum maupun pada masyarakat bangsawan pada khususnya.
Adanya stratifikasi sossial ini terdapat dihampir semua lapisan masyarakat yang secara tidak sadar hal tersebut, namun keberadaannya tidak terkapling seperti pada masyarakat yang berlapiskan kasta seperti India yang begitu ketat, walaupun di Indonesia juga terdapat pelapian sosial tersebut namun keberadaannya masih ada toleransi dengan tingkatan di bawahnya. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya pernah berdiri beberapa kerajaan sebagai tolak ukur dalam status sosial, seperti kerajaan Selaparang, kerajaan Pejanggik, kerajaan Langko, kerajaan Pujut, kerajaan Pene dan lain sebagainya masih menyisakan adanya bukti sejarah tentang adanya pelapisan sosial yang ditambah lagi dengan adanya pengaruh kerajaan Karang Asem Bali.
Gelar Lalu, Raden (laki-laki) ataupun Baiq, Dende, dan Lale (perempuan) adalah gelar-gelar bangsawan di NTB sekaligus dan Bape pada golongan bangsawan yang lebih rendah. Gelar-gelar yang disebut di atas ini merupakan serumpun status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan yang lain, dan khususnya di pulau Lombok ini menunjukkan adanya sertifikasi sosial dalam masyarakat, meskipun secara vertikal untuk saat ini tidak lagi menjadi pembeda dalam masyarakat, namun dalam kelompoknya menjadi kelas atau status sosial yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Adanya Perwangse dan Jajar Karang merupakan salah satu bukti bahwa di Lombok juga setelah kerajaan-kerajaan yang disebut di atas sudah tidak ada lagi golongan bangsawan ini masih eksis melaksanakan adat-istiadat sesuai dengan golongannya membedakannya dengan golongan di bawahnya. Salah satunya adalah di desa Jerowaru, yang dulunya sebelum tahun 70-an masih memperlihatkan adanya stratifikasi sosial tertutup dalam masyarakatnya.
Terkait dengan kedatangan bangsawan di desa Jerowaru dan asal usulnya, seperti banyak informasi mengatakan ada yang menyebutnya sebagai bangsawan pendatang dan bangsawan asli. Adapun oleh masyarakat sering disebut bangsawan pendatang adalah bangsawan yang berasal dari beberapa tempat seperti Kopang, Kediri, Pagutan dan lain sebagainya. Sedangkan yang dikatakan sebagai bangsawan asli Jerowaru adalah bangsawan yang saat ini tinggal di gubuk Tembok, merupakan keturunan bangsawan kerajaan Pene yang satu wilayah dengan desa Jerowaru.
Perpindahan bangsawan terutama yang berasal dari kawasan Mataram ini memang secara menyakinkan belum dapat kita pastikan, apakah perpindahannya ke Jerowaru setelah dikuasainya kerajaan-kerajaan Lombok pada umumnya atau sesudahnya. Namun jika setelah penguasaan kerajaan Lombok dikuasai baru mereka pindah maka bisa dikatakan sudah dimulai sejak tahun 1744 (166 saka) setelah puri Karang Asem Mataram berdiri sebagai pusat pemerintahan dengan Gusti Angluran Karang Asem sebagai rajanya (Muhsipuddin, 2004: 10).
Perpindahannya ke desa Jerowaru tujuan utama sebenarnya belum dapat diketahui secara pasti apakah karena keinginan mencari tanah dan tempat tinggal yang baru atau terdesak atau seperti yang dikatakan Lalu Lukman meskipun seluruh kerajaan di Lombok berada dalam kekuasaan kerajaan Karang Asem Bali namun dalam system pemerintahannya termasuk cara menjalankan pemerintahan sampai tingkat yang paling bawah diserahkan kepada orang-orang kepercayaan dan petugas Sasak yang pada umumnya merupakan bangsawan ataupun keturunan dari bangsawan-bangsawan yang dulunya menjadi penguasa atau pejabat pemerintah ( L. Lukman, 2005:28-29). Oleh karena itu karena tidak adanya bukti yang dapat dirujuk secara pasti maka dapat disimpulkan tujuan kedatangannya ke desa Jerowaru.
Kehidupan para bangsawan di desa Jerowaru untuk saat ini atau setidaknya sejak tahun 70-an cukup berbeda dengan sebagian bangsawan yang masih kental memegang adat-istiadat lamanya. Namun yang jelas bisa dikatakan bahwa adat-istiadat bangsawan di desa Jerowaru yang dulunya merupakan kelas tersendiri dalam stratifikasi sosial masyarakat disana yang saat ini mulai hilang dengan sendirinya seiring dengan perkembangan zaman.
Umumnya sejak awal kedatangannya sampai kira-kira generasi ketiga dihitung mundur dari sekarang para bangsawan memiliki tanah yang cukup luas sehingga hal ini menunjukkan juga status sosialnya yang cukup tinggi sekaligus ditunjang oleh statusnya sebagai bangsawan yang saat ini sangat dihormati. Namun bagaimanapun dengan proses waktu yang terus berjalan sampai saat ini status kebangsawanan di desa jerowaru yang ditunjukkan dengan adat-istiadat, bahasa, sistem perkawinan maupun kepemilikannya atas tanah sampai saat ini sudah tidak begitu menonjol atau bisa dikatakan sudah terjadi proses pergeseran. Oleh karena adanya proses pergeseran tersebut maka sangat perlu untuk dikaji seperti adat-istiadat, bahasa, sistem perkawinan,dan lain-lain yang diterapkan pada awal kedatangannya. Proses interaksi dengan masyarakat maupun saat ini dalam kedudukannya sebagai golongan bangsawan yang dahulunya merupakan stratifikasi tersendiri dalam kehidupa masyarakat.
Pergeseran ini perlu dikaji bukan untuk membahas masalah pergesera itu saja namun yang penting disini juga karena adanya penghilangan yang cukup drastis dari beberapa aspek dari budaya yang dikembangkan oleh bangsawan, padahal seperti yang dikatakan Widjaya bahwa suatu bentuk proses perubahan sosial dari kebudayaan yang terwujud dalam masyarakat yang berkebudayaan primitive maupun maju, yaitu adanya proses imitasi yang dilakukan oleh generasi muda terhadap generasi yang lebih tua, hal tersebut dilakukan dengan belajar mencari apa yag dilihat ( Widjaya, 1985: 106). Namun melhat realitas dan pergeseran dari bebrapa aspek pada golongan bangsawan tersebut maka dapat dikatakan proses imitasi tersebut tidak berjalan secara sempurna.