Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan (dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan hahasa Arab disebut
al-dzaka`) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan
sesuatu. Dalam arti, kemampuan (alqudrah) dalam memahami sesuatu secara cepat
dan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina, seorang psikolog
falsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif (al-badlsj (Mujib, 2001).
Binet ketika mengadakan tes kecerdasan individual menekankan pada masalah
penalaran, imajinasi, wawasan (irrsight), pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai
proses mental yang tercakup dalam tingkah laku kecerdasan. Namun pada penelitian
yang,
lain, pengukuran kecerdasan ditekankan pada kemampuan penyesuaian diri
secara cepat dan efektif terhadap situasi yang baru. Penelitian yang berbeda
memberikan penekanan pada kemampuan memecahkan masalah-masalah abstrak.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, J.P. Chaplin (1999) kemudian merumuskan
tiga definisi kecerdasan, yaitu:
- Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap situasi baru secara cepat dan efektif;
- Kemampuan menggunakan konsep
abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat,
mengontrol, dan mengritik; dan
- Kemampuan memahami pertalian-pertalian dan
belajar dengan cepat sekali
Dalam pengertian yang lebih luas, William Stern, yang dikutip oleh Crow and
Crow (1984), mengemukakan bahwa inteligensi berarti kapasitas umum dari seorang
individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan
kebutuhan-kebutuhan baru, keadaan ruhaniah secara umum yang dapat disesuaikan
dengan problema-problema dan kondisi-kondisi yang baru di dalam kehidupan.
Pengertian ini tidak hanya menyangkut dunia akademik, tetapi lebih luas,
menyangkut kehidupan non-akademik, seperti masalah-masalah artistik dan tingkah
laku sosial.
Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal
(intellect) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanva hersentuhan
dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al- ma'rifi). Namun pada perkembangan
berikutnya, disadari hahwa kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi
struktur akal, melainkan terdapat struktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri
untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infi'ali), seperti kehidupan
emosional, moral, Spiritual, dan agama. Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri
seseorang sangat beragam seiring dengan kemampuan atau potensi yang ada pada
dirinya.
Topik ini lebih memfokuskan pada penelaahan kecerdasan Spiritual (Spiritual intelligence)
Karena sebuah dimensi yang tidak kalah pentingnya didalam kehidupan manusia
bila dibandingkan dengan kecerdasan emosional, karena kecerdasan emosional lebih
berpusat pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara itu
dimensi kecerdasan Spiritual bersifat vertikal yang sering disebut dengan kecerdasan
Spiritual (Spiritual Quotient), Danah Zohar dan Marshall (Najati, 2002) sebagai
pengembang pertama tentang kecerdasan Spiritual tapi mereka masih berkisar pada
wilayah biologis dan psikologis.
Lebih lanjut diterangkan di Najati (2002) Danah dan Ian Marshall mendefinisikan
kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value,
yaitu kecerdasan inti menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan lebih kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Kecerdasan Spiritual adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan
kecerdasan Spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia.
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang kecerdasan Spiritual disini akan
diterangkan sedikit tentang agama adalah salah satu kebutuhan manusia. Manusia
disebut sebagai mahluk yang beragama (homo religious) Yamani (dalam Jalaludin, 2002)
mengemukakan tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat berpikir dan daya
penulisan, diberikan pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar
mengenai alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan
kebengisan alam itu.
Dalam ajaran agama Islam bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan
manusia selaku mahluk Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa
sejak lahir. Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan terhadap agama, dan ini sesuai
dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). Tetapkanlah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. (QS-al-Rum:30)
Prof. Dr. Hasan Laggulung (dalam Jalaludin, 2002) menyatakan “ Salah satu ciri
fitrah ini adalah, bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan,dengan kata lain,
manusia itu adalah dari asal mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu
sebagian dari fitrah-Nya”
Tasmara (2001) Mengatakan kecerdasan ruhaniah sangat erat kaitannya dengan
cara dirinya mempertahankan prinsip lalu bertangung jawab untuk melaksankan prinsipprinsipnya
itu dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang
berkesesuaian.
Prinsip merupakan fitrah paling mendasar bagi harga diri manusia. Nilai
takwa atau tanggung jawab merupakan ciri seorang profesional.
Mereka melangar prinsip dan menodai hati nurani
merupakan dosa kemanusiaan yang paling ironis.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gandhi (Tasmara, 2001), yang membuat
daftar tujuh dosa orang-orang yang menodai prinsip atau nuraninya sebagai berikut:
- Kekayaan tanpa kerja (wealth Without work).
- Kenikmatan tanpa suara hati (pleasure without conscience).
- Pengetahuan tanpa karakter (knowledge without caracter).
- Perdagangan tanpa etika (moral) (commerce without morality).
- Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan (science without humanity).
- Agama tanpa pengorbanan (religion without sacrifice).
- Politik tanpa prinsip (politic without principle).
Tujuh dosa itu dapat saja menjadi lebih panjang misalnya, mengaku Islam tapi
sikapnya tidak Islami, tidak mendirikan salat, tidak ikhlas dalam membantu sesama.
Suharsono (dalam Tasmara,2001) mengatakan kecerdasan spritual dari sudut
pandang keagamaan ialah suatu kecerdasan yang berbentuk dari upaya menyerap
kemahatahuan Allah dengan memanfaatkan diri sehingga diri yang ada adalah Dia Yang
Maha Tahu dan Maha Besar. Spiritual merupakan pusat lahirnya gagasan, penemuan,
motivasi, dan kreativitas yang paling fantastik.
Sementara Tasmara (2001).
Mengatakan kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan
yang paling sejati tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan Ilahi. Kecerdasan ini
dapat menimbulkan kebenaran yang sangat mendalam terhadap kebenaran, sedangkan
kecerdasan lainya lebih bersifat pada kemampuan untuk mengelola segala hal yang
berkaitan dengan bentuk lahiriah (duniawi). Oleh sebab itu mujib (2001) mendefinisikan
kecerdasan Spiritual sebagai “kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin
seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebihmanusiawi,
sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal
fikiran manusia”.
Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa setiap niat yang terlepas dari nilai-nilai
kebenaran Ilahiah, merupakan kecerdasan duniawi dan fana (temporer), sedangkan
kecerdasan ruhaniah qalbiyah bersifat autentik, universal, dan abadi.
Kecerdasan ruhaniah merupakan inti dari seluruh kecerdasan yang dimilki manusia
karena kecerdasan ruhaniah dapat mempengaruhi perkembangan berapa kecerdasan
yang lain diantranya yaitu:
a. Kecerdasan Intlektual.
b. Kecerdasan Emosional.
c. Kecerdasan Sosial.
d. Kecerdasan Physical.
Pada gambar berikut dapat terlihat bagaimana peran kecerdasan ruhaniah atau
kecerdasan Spiritual dari Tasmara (2001) menjadi puasat atau inti dari seluruh
kecerdasan yang dimilik oleh seseorang.
Gambar Kecerdasan Ruhaniah Menurut Tosmara (2001)
Aspek-Aspek kecerdasan Spiritual
a. Shiddiq
Salah satu dimensi kecerdasan ruhaniah terletak pada nilai kejujuran yang
merupakan mahkota kepribadian orang-orang mulia yang telah dijanjikan Allah akan
memperoleh limpahan nikmat dari-Nya. Seseorang yang cerdas secara ruhaniah,
senantiasa memotivasi dirinya dan berada dalam lingkungan orang-orang yang
memberikan makna kejujuran, sebagai mana firma-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yangbenar( jujur)”. (At-Taubah:119)
Shiddiq adalah orang benar dalam semua kata, perbuatan, dan keadaan batinya.
Hati nuraninya menjadi bagian dari kekuatan dirinya karena dia sadar bahwa segala hal
yang akan mengganggu ketentraman jiwanya merupakan dosa.Dengan demikian,
kejujuran bukan datang dari luar, tetapi ia adalah bisikan dari qalbu yang secara terus
menerus mengetuk-ngetuk dan memberikan percikan cahaya Ilahi. Ia merupakan bisikan
moral luhur yang didorong dari hati menuju kepada Ilahi (mahabbah lilllah). Kejujuran
bukan sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah pangilan dari dalam (calling from withim)
dan sebuah keterikatan (commitment, aqad, i‟tiqad).
Perilaku yang jujur adalah prilaku yang diikuti dengan sikap tanggung jawab atas
apa yang diperbuatnya, karena dia tidak pernah berfikir untuk melemparkan tanggung
jawab kepada orang lain, sebab sikap tidak bertanggung jawab merupakan pelecehan
paling azasi terhadap orang lain, serta sekaligus penghinaan terhadap dirinya sendiri.
Kejujuran dan rasa tanggung jawab yang memancar dari qalbu, merupakan sikap sejati
manusia yang bersifat universal, sehingga harus menjadi keyakinan dan jati diri serta
sikapnya yang paling otentik, asli, dan tidak bermuatan kepentingan lain, kecuali ingin memberikan keluhuran makna hidup.
Dalam usaha untuk mencaSpiritual sifat Shiddiq
seseorang harus melalui beberapa hal diantranya adalah :
- Jujur pada diri sendiri
Salah satu contoh jujur pada diri sendiri adalah
pada saat seseorang melakukan sholat, begitu taat dan bersungguh-sungguh untuk
mengikuti seluruh proses sejak dari takbir samSpiritual salam, ritual sholat telah
melahirkan nuansa kejujuran dan melaksanakan seluruh kewajiban dengan penuh
tanggung jawab, bagi orang-orang yang shiddiq, esensi sholat tidak berhenti samSpiritual
ucapan assalamu‟alaikum, tetapi justru ucapan itu merupakan awal bagi dirinya untuk
membuktikan hasil sholatnya dalam kehidupan secara aktual dan penuh makna manfaat.
- Jujur pada orang lain
Sikap jujur pada orang lain berarti sangat prihatin melihat penderitaan yang dialami
oleh mereka. Sehingga, seseorang yang shiddiq mempunyai sikap dan mempunyai jiwa
pelayanan yang prima (sense of steweardship). Maka, tidak mungkin seseorang merasa
gelisah berada bersama-sama dengan kaum shiddiqiin karena mereka adalah sebaikbaiknya
teman yang penyantun dan penyayang serta direkomendasikan Allah. Tidak
mungkin para shiddiqiin itu akan mencelakakan orang lain karena didalam jiwanya
hanya ada kepedulian yang amat sangat untuk memberikan kebaikan.
- Jujur terhadap Allah
Jujur terhadap Allah berarti berbuat dan memberikan segala-galanya atau
beribadah hanya untuk Allah, hal ini sebagaimana didalam doa iftitah, seluruh umat
Islam menyatakan ikrarnya bahwa sesungguhnya sholat, pengorbanan, hidup, dan mati
mereka hanya diabadikan kepada Allah Yang Mahamulia, penyataan ini merupakan
komitmen yang secara terus-menerus harus diperjuangkannya agar tidak keluar atau
menyimpang dari arah yang sebenarnya. Itulah sebabnya didalam Al-Qur’an banyak
ditemukan kata shirath, syai‟ah, thariqah, sabil, dan minhaj, yang semuanya memberikan
makna dasar” jalan “.
- Menyebarkan salam
Salam tidak hanya memberikan pengertian selamat, tetapi mempunyai kandungan
bebas dari segala ketergantungan dan tekanan, sehingga hidupnya terasa damai, tenteram
dan selamat, karena itu setiap muslim akan mengucapkan salam setiap akhir sholat,
seakan-akan mereka ingin membuktikan bahwa hasil audensinya dengan Allah akan
dinyatakannyan secara nyata dan aktual dalam kehidupnya, yaitu ikut berpartisipasi dari
dirnya sendiri merupakan bagian dari salam tersebut.
Dengan demikian, makna salam merupakan benang merah dan indentitas paling
monumental yang menjadi misi dan hiasan kepribadian serta sikap dan prilaku
seorang muslim.
b. Istiqamah
Istiqamah diterjemahkan sebagai bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap
konsisten (taat azas) dan teguh pendirian untuk menegakkan dan membentuk sesuatu
menuju pada kesempurnaan atau kondisi yang lebih baik, sebagai mana kata taqwin
merujuk pula pada bentuk yang sempurna(qiwam).
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang Telah Taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Abu Ali ad-Daqqaq (Tasmara, 2001) berkata ada tiga derajat pengertian istiqamah,
yaitu menegakkan atau membentuk sesuatu (taqwim), menyehatkan dan meluruskan
(iqamah), dan berlaku lurus (istiqamah), takwim menyangkut disiplin jiwa, Iqamah
berkaitan dengan penyempurnaan, dan istiqamah berhubungan dengan tindakan
pendekatan diri kepada Allah.
Sikap istiqamah menunjukkan kekuatan iman yang merasuki seluruh jiwanya,
sehingga dia tidak mudah goncang atau cepat menyerah pada tantangan atau tekanan,
mereka yang memiliki jiwa istiqamah itu adalah tipe manusia yang merasakan
ketenanggan luar biasa (iman, aman, muthmainah) walau penampakannya diluar bagai
orang yang gelisah. Dia meresa tenteram karena apa yang dia lakukan merupakan
rangkaian ibadah sebagai bukti “yakin” kepada Allah SWT.dan Rasul-Nya.
Sikap
istiqamah ini dapat terlihat pada orang-orang :
1. Mempunyai Tujuan
Sikap istiqamah hanya mungkin merasuki jiwa seseorang bila mereka mempunyai
tujuan atau ada sesuatu yang ingin dicaSpiritual. Mereka mempunyai visi yang jelas dan
dihayatinya sebagai penuh kebermaknaan, mereka pun sadar bahwa pencaSpiritualan
tujuan tidaklah datang begitu saja, melainkan harus diperjuangkan dengan penuh dengan
kesabaran, kebijakan, kewaspadaan, dan perbuatan yang memberikan kebaikan semata.
2. Kreatif
Orang yang memilki sifat istiqamah akan tanpak dari kretivitasnya, yaitu
kemampuan untuk mengahasilkan sesuatu melalui gagasan-gagasannya yang segar,
mereka mampu melakukan deteksi dini terhadap permasalahan yang dihadapinya, haus
akan imformasi, dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar (curiousity) serta tidak takut
pada kegagalan.
3. Menghargai Waktu
Waktu adalah aset Ilahiyah yang paling berharga, bahkan merupakan kehidupan
itu yang tidak dapat disia-siakan, Sungguh benar apa yang difirmankan Allah agar kita
memperhatikan waktu („ashar). Rasulullah saw. Bersabda, “Jangan mencerca waktu karena
Allah pemilik waktu.” (HR Ahmad).
Disamping menunjukkan waktu ketika matahari telah melampaui pertengahan atau
menuju ke magrib, kata ashar berasal dari kata ashara yang artinya memeras sesuatu
sehingga tidak lagi ada yang tersisa dari benda yang diperas tersebut’, Hal ini sebagai
mana terdapat dalam surah Yusuf ayat 36 :
Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah
seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Aku memeras anggur." dan
yang lainnya berkata: "Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Aku membawa roti di atas kepalaku,
sebahagiannya dimakan burung." berikanlah kepada kami ta'birnya; Sesungguhnya kami
memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi).
4. Sabar
Sabar merupakan suasana batin yang tetap tabah, istiqamah pada awal dan akhir
ketika menghadapi tantangan, dan mengemban tugas dengan hati yang tabah dan
optimis, sehingga dalam jiwa orang yang sabar tersebut terkandung beberapa hal yang
diantaranya sebagai berikut, menerima dan menghadapi tantangan dengan tetap
konsisten dan berpengharapan, berkeyakinan Allah tidak akan memberikan beban diluar
kemampuanya. Mereka tetap mengendalikan dirinya dan mampu melihat sesuatu dalam
perspektif yang luas, tidak hanya melihat apa yang tanpak, tetapi melihat sesuatu dalam
kaitanya dengan yang lain.
c. Fathanah
Fathanah diartikan sebagai kemahiran, atau penguasaan terhadap bidang tertentu,
pada hal makna fathanah merujuk pada dimensi mental yang sangat mendasar dan
menyeluruh. Seorang yang memilki sikap fathanah, tidak hanya menguasai bidangnya
saja begitu juga dengan bidang-bidang yang lain, Keputusan-keputusanya menunjukkan
warna kemahiran seorang profesional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak
yang luhur, memilki kebijaksanaan, atau kearifan dalam berpikir dan bertindak.
d. Amanah
Amanah menjadi salah satu dari aspek dari ruhaniah bagi kehidupan manusia,
seperti halnya agama dan amanah yang dipikulkan Allah menjadi titik awal dalam
perjalanan manusia menuju sebuah janji. Janji untuk dipertemukan dengan Allah SWT,
dalam hal ini manusia dipertemukan dengan dua dinding yang harus dihadapi secara
sama dan seimbang antara dinding jama’ah didunia dan dinding kewajiban insan
diakhirat nanti. Sebagai mahluk yang paling sempurna dari ciptaan Allah SWT
dibandingkan dengan mahluk yang lain, maka amanah salah satu sifat yang dimilki oleh
manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
Didalam nilai diri yang amanah itu ada beberapa
nilai yang melekat :
- Rasa ingin menunjukkan hasil yang optimal.
- Mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting. Mereka
merasa dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan amanahnya dengan
sebaik-baiknya.
- Hidup adalah sebuah proses untuk saling mempercayai dan dipercayai.
e. Tablig
Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain.
Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive kecuali ada kehadiran orang lain.
Seorang muslim tidak mungkin bersikap selfish, egois, atau ananiyah‟ hanya mementingkan
dirinya sendiri’. Bahkan tidak mungkin mensucikan dirinya tanpa berupaya untuk
menyucikan orang lain. Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan harus memberikan
makna bagi orang lain bagaikan pelita yang berbinar memberi cahaya terang bagi mereka
yang kegelapan.
Mereka yang memilki sifat tabliq mampu membaca suasana hati orang lain dan
berbicara dengan kerangka pengalaman serta lebih banyak belajar dari pengalaman dalam
menghadapi persoalan-persoalan hidup.
Berdasarkan kelima aspek-aspek kecerdasan ruhaniah dari Tasmara (2001) maka
dapat membuat disimpulkan, bahwa kecerdasan Spiritual adalah kemampuan atau
kapasistas seseorang untuk pengunaan nilai-nilai agama baik dalam berhubungan secara
vertikal atau hubungan dengan Allah SWT (Hab lum minallah) dan hubungan secara
horizontal atau hubungan sesama manusia (Hab lim min‟nan nas) yang dapat dijadikan
pedoman suatu perbuatan yang bertangung jawab didunia maupun diakhirat.
Dengan kata lain Kecerdasan Spritual dimana kondisi seseorang yang telah
dapat mendengar suara hati karena pada dasarnya suara hati manusia masih bersifat
universal, tapi apa bila seseorang telah mampu memunculkan beberapa sifat-sifat dari
Allah yang telah diberikan-Nya kepada setiap jiwa manusia dalam bentuk yang fitrah dan
suci maka akan memunculkan sifat takwa/